Masih ingat dulu jaman SD (80-an), saat razia kuku, gigi atau rambut selalu bikin jantung mau copot. Karena jika melanggar, hukuman fisik menanti. Saya sudah sering merasakan bagaimana rasanya jari tangan dipukul penggaris karena lupa memotong kuku. Atau bagaimana rasanya kulit perut dipelintir karena gigi kuning penuh dengan gidal. Subhanalloh..
Masa SMP dan SMA lebih gahar lagi. Waktu SMA dulu pernah ketahuan nggak ikut upacara dan dikepruk helm sama guru. Ceritanya, waktu upacara ngumpet di toilet Masjid depan sekolah, saat keluar toilet ternyata para guru sudah menanti di luar. Akhirnya 'prakkk!!!' helm 'congor' pun melayang di kepala...jiancok!
Tapi sekarang saya nggak ada dendam sama sekali pada guru-guru tersebut. Malah saya berterimakasih dan bersyukur punya banyak kenangan yang patut dikenang : dikepruk helm...yesss. Thanks pak guru, karena hukuman-hukuman begitulah yang bisa jadi membuka mata hati dan pikiran saya yang tumpul akan disiplin dan nilai-nilai kebenaran.
Orang bijak bilang, 'keburukan adalah kebaikan yang belum terkuak kulitnya'. Kadang agar murid bisa disiplin perlu hukuman fisik yang bisa membuka kesadarannya untuk berbuat baik. Seperti bajingan pemabuk yang jadi tobat karena hampir mati saat overdosis. Atau seorang jadi ingat Tuhan (tobat) karena tertimpa bencana hebat dan dia satu-satunya korban yang selamat.
Sekarang, mana ada guru yang berani menampar muridnya apalagi sampai mengepruknya dengan helm. Bakalan kena pasal HAM dan masuk penjara. Sekarang masih ada nggak hukuman dijemur di halaman sekolah karena tak bawa atribut upacara? Lha gimana, dikit-dikit HAM. Akibat terlalu percaya ilmu psikologi dari Barat yang malah merusak ketangguhan bangsa Indonesia.
Saya sudah banyak membaca (nggak banyak banget sih) soal ilmu psikologi hubungan guru dan murid. Dan kebanyakan bullshit! Saya lebih suka cara oldschool. Jaman dulu jarang sekali anak berani sama guru atau orang tua tertutama ayah. Neko-neko sama bapakmu, bakalan dipukul gagang sapu atau sabuk. Akhirnya anak lebih disiplin pada aturan dan mandiri.
Pemuda jadul bisa disiplin awalnya memang takut dihukum fisik. Tapi seiring perkembangan dan pertumbuhan intelegensi, mereka akan paham juga. Mengapa ortu harus dihormati. Dan wibawa memang kadang harus ditegakan dengan hukuman fisik. Mereka nggak bakalan dendam kecuali hukumannya di luar batas kemanusiaan seperti cerita sinetron "Ratapan Anak Bombay".
Jangan artikan saya pro kekerasan. Hukuman fisik tidak selalu berarti menyiksa. Memang ada benang tipis antara hukuman fisik dan menyiksa. Jika keluar jalur itu penyiksaan. Menampar itu karena rasa sayang, ngeman. Tapi kalau memukul (tangan menggengam) itu kriminal.
Bangsa timur adalah bangsa yang tangguh karena hidupnya adalah Ospek itu sendiri, keras!. Bagaimana Vietnam membikin babak belur Amerika. Atau kaum Mujahiddin Afganistan yang membuat tentara Soviet ampun-ampun.
Bangsa Indonesia itu sejatinya tangguh, bisa hidup dengan keterbatasan hanya dengan sugesti-nya. Percoyo karepmu gak percoyo urusanmu. Wong cuman opini saja kok dipikir serius.
Sekarang orang berlebihan menyikapi HAM. Menampar murid kena pasal HAM..cawpee dwech. Pemuda kita sekarang 'ngalem', lembek dan kurang mandiri. Hidup enak, kendaraan tinggal minta, rumah tinggal nempati dan sempat nulis status di Facebook, 'Hidup adalah perjuangan..!'. Perjuangan ndiasmu...
Ospek cuman seminggu saja mengeluh. Jaman dulu banyak orang merasakan hidup kayak Ospek bertahun-tahun. Saya selalu neg kalau baca jargon, 'Piye, enak jamanku to..?'. Enak raimu! enak bagi kaum priyayi atau mereka yang ada hubungan dengan penguasa. Yang kaya makin kaya, yang proletar tambah merana. Serba murah tapi tak terbeli.
Apalagi guru sekarang relatif lebih diperhatikan dibandingkan era Suharto dulu. Gaji lumayan dan tunjangan okelah, walau ada juga yang terlunta-lunta jadi guru di pelosok gunung yang tak terlacak GPS. Tapi mereka (bukan anda) berani begitu lantaran itulah jalan termuda jadi PNS dan selanjutnya berharap mutasi bila sudah mengabdi sekian tahun. Jadi bukan pengabdian semata, ada udang dibalik batu....ups.
Wis ah, trims...anda boleh tersinggung.
-Robbi Gandamana-
*dipublikasikan pertama kali di Kompasiana