Secara hakikat, merdeka itu tidak ada. Dunia adalah penjara. Selalu ada batas, aturan yang tak bisa dilanggar. Dalam hubungan dengan Tuhan, manusia bisanya hanya menyerah. Apa pun kehendak, keputusan, takdir Tuhan, mau nggak mau harus mau. Nek gak gelem yo ojok urip.
Manusia diberi kesempatan untuk mengubah nasib, tapi hasil akhir tetap Tuhan yang menentukan. Karena itulah yang dinilai Tuhan pada manusia adalah usahanya bukan hasil akhirnya.
Ruang lingkup merdeka bagi manusia itu sebatas jalan menuju batasan. Yang dituju adalah batas. Kalau manusia tak tahu batasnya, dia akan terjerumus, lebih rendah dari hewan : Menikah sesama jenis, kawin sama wedus. Jadi selama Tuhan nggak marah, silakan merdeka.
Jangan marah kalau film disensor karena ada adegan tak senonoh pria dan wanita telanjang bulat di atas ranjang. Kalau ingin tak ada sensor, donlot filmnya dan putar sendiri di laptop. Masalah benar atau salah, itu urusan pribadi ente dengan hidup ente.
Ngomong soal sensor, jadi ingat teman yang nonton film 'panas' di bioskop. Saat ada adegan panas eh, lha kok disensor. Langsung doi teriak keras: "Jancok! Gak sido ngaceng!"
Sensor itu perlu, karena kita punya regulasi adat budaya dan agama yang berbeda dengan bangsa lain. Yang penting nggak lebay. Sekarang, film kartun penuh dengan sensor yang ambigu. Orang memerah susu sapi, susunya sapi disensor. Semprul..
Kata 'merdeka' spesifikasinya dipakai untuk apa pun yang berkaitan dengan hidup berbangsa dan bernegara. Tapi sekarang makna kata 'merdeka' meluas. Merdeka di-sama arti-kan dengan kebebasan. Akhire wong sing metu tekan toilet bisa menyatakan diri merdeka. "Merdeka! wetengku wis enting cah, " jare koncoku. Edan ya'e..
Dalam konteks kehidupan bernegara, kita sudah merdeka. Terbebas dari penjajahan bangsa lain. Berdaulat, bebas menentukan hidup dan nasib kita sendiri. Tapi di luar konteks itu, kita belum merdeka.
Di segala bidang, negeri ini masih dijajah oleh persekutuan kolonialis global. Kita selalu diadu domba, dilarang dewasa, dibuat minder dan dibodohkan. Begitu sering kita dengar pertikaian antar umat karena fanatisme buta. Terutama agama : Syiah dengan Sunni, Islam-Kristen dan lainnya.
Di dunia ini agama Islam itu cuman satu. Yang banyak itu adalah madzhab atau aliran. Apesnya ustadz-ustadz sekarang mengenalkan madzhab sebagai agama. Madzhad yang satu menuding sesat madzhab yang lainnya, akhire gegeran terus.
Padahal semua orang pasti menganggap madzhabnya paling benar. Tanpa dialoq, orang yang dianggap sesat langsung disikat. Orang tersesat kok tidak ditunjukan jalan yang benar, malah dipentungi, dibakar rumahnya dan diusir dari tanahnya sendiri.
Yang paling parah adalah begitu gampangnya kita dibodohkan dengan mitos kesehatan dan propaganda palsu dari Barat yang dilegalisasi Badan Kesehatan Dunia (WHO). (soal ini baca buku "Membunuh Indonesia", donlot di sini PDF-nya).
Bagaimana komiditi kelapa (kopra) dibantai dengan propaganda bahaya kolesterol dan diganti dengan minyak Canola. Saat itu kopra sedang berjaya di dunia. Produksi garam lokal juga sekarat karena gencar disosialisaikannya garam yodium yang katanya lebih oke .
Begitu juga dengan tembakau. Sampai sekarang pun kita sangat yakin seyakin-yakinnya bahwa rokok itu nggak sehat. Padahal yang terjadi bukan rokoknya yang tidak sehat tapi cara merokoknya. Walhasil petani tembakau pun mrongos jaya manunggal santosa.
Apa pun bisa nggak sehat kalau berlebihan. Nasi pun kalau berlebih bisa diabetes, daging kambing yang berlebih bisa darah tinggi dan ngacengan. Jadi pahami dulu kapasitas tubuh ente sebelum mengkomsumsi ini itu. Masih SD sudah ngerokok, yo paru-parune ambrol.
Dari dulu sampai sekarang kita masih meributkan mie instan berbahaya karena mengandung MSG dan zat kimia lainnya . Oalaa, ojok percoyo! Apa pun berbahaya kalau ente berlebihan memakannya. Yang penting tahu batasannya.
Kebanyakan kita nggak sadar, bahwa sekarang pun kita masih 'perang'. Perang budaya, perang ideologi, perang ekonomi dan lainnya. Mereka terus berupaya bagaimana caranya negeri ini tetap kerdil, cebol, ndlahom, mblendesss...
Cek lagi ilmu kesehatan dari Barat. Kita punya ketahanan dan gen yang berbeda dengan mereka. Juga sejarah negeri ini yang ditulis oleh sejarawan Barat. Belajarlah sejarah Jawa dari orang Jawa asli. Jangan belajar Babad Tanah Jawa dari De Graff (sejarawan Belanda). Tapi sakarepmu..
Di bidang budaya, kita dibikin minder dengan budaya sendiri. Kita lebih cinta dongeng dari luar daripada dongeng anak negeri. Buanyak sekali cerita rakyat yang jika digarap mateng bisa lebih dahsyat dari Cinderella, Snow White, Alice In Wonderland, Frozen, Naruto Kentu..
Malah falsafah Jawa 'sedulur papat lima pancer' diadopsi oleh Walt Disney dalam film animasi "Inside Out" (2015). Tapi kita memang bangsa cuek yang gampang sekali gembira. "Silakan ambil sana, gak ngurus!" Dan sekarang asyik masyuk memburu Pokemon. Ora popo wis, daripada Poke Raje..?????
Di samping produsernya nggak pede dan kere, di negeri ini kreator kurang dihargai dan kreatifitas nggak bisa bersemai karena lahannya kering. Nggak salah kalau mereka pada hijrah ke negeri orang.
Just remember : Indonesian dream is become to be PNS or TKI. Am I right? Wenesko weneske was wes wus wes wosss..
Pendidikan tinggi, kecerdasan atau keahlian pun tidak menentukan ente punya posisi tinggi di suatu departemen atau pemerintahan. Yang menentukan adalah uang dan koneksi : siapa yang ente kenal dan ente akrabi.
Tapi tiap orang punya definisi sendiri-sendiri soal merdeka. Di sel penjara pun kalau hatimu ikhlas dan bersyukur, ente sudah merdeka. Karena yang dipenjara itu tubuh, bukan jiwa. Jadi merdeka itu nggak jauh-jauh dari soal ikhlas dan bersyukur.
Maka bersyukurlah..biar Merdeka!
-Robbi Gandamana-
pertama kali dipublish di Kompasiana