Swemprul, akhir-akhir ini banyak pidio--pidio soal pengharaman musik bersliweran di berandaku. Ada pidio alat musik dihancurkan, ada juga yang dibakar. Emane rek, aku tuku gitar bolong ae direwangi merantau luar pulau disik hare. Itu saja merk-nya nggak jelas. Pokoknya kayu yang dipasangi senar, beres.
Herman aku, kok sik usum yo wong koyok ngono iku.
Bagaimana orang-orang itu mengharamkan musik, padahal kalau ngaji selalu dilagukan. Panjang pendeknya ayat diatur sedemikian rupa agar terdengar indah. Itu musik. Lomba MTQ itu lomba melagukan Al Qur'an, mencari siapa yang lebih indah dalam melagukan ayat Allah. Adzan pun juga begitu, nggak indah kalau nggak dilagukan. Iku adzan apo nge-rap?
Unsur musik ada tiga : nada, irama dan tempo. Sadar atau tidak, kita bermusik tiap hari. Ngomong pakai logat daerah itu musik. Logat Batak dengan Madura nadanya beda banget. Bahkan ngomong nggak pakai logat pun itu juga musik. Karena ngomong itu pasti pakai tempo dan irama. Kapan berhenti dan kapan dilanjut. Kalau nyerocos nggak pakai tempo, bisa mampus kehabisan nafas.
Bukan musiknya yang haram, tapi bagaimana dan untuk apa musik itu dipakai. Kalau musikan sambil mabuk-mabukan yo jelas haram. Pasti haram kalau bermain musik sambil telanjang di panggung, cuman pakai sempak, sabuk, dan dasi.
Semua bisa haram kalau digunakan untuk kemaksyiatan atau jika digunakan bisa merusak diri sendiri dan orang lain. Rokok itu halal. Rokok jadi haram kalau merokoknya nggak pakai perhitungan. Ngrokok ganok mandeke koyok sepur, akhire paru-parune ambrol, lambene gosong koyok silite pitik, untune kuning, ababe buadekkk, fuck off!
Jangan dipikir kalau halal pasti halal. Nasi, daging kambing, garam, mie instan, micin, telur ayam, dan banyak lagi, itu semua halal, tapi kalau overdosis atau makan tanpa perhitungan ya jadi haram. Kebanyakan nasi bisa diabetes, banyak makan daging kambing bisa kena jantung, kebanyakan micin jadi ndlahom total, dan seterusnya. Semua bisa membunuhmu, nggak cuman rokok.
Ada juga pidio soal bid'ah. Aku pikir soal ini sudah clear dari dulu. Bid'ah cuman di wilayah Rukun Islam yang 5 itu. Perintah yang lima itu jangan diutek-utek. Shalat jangan dimodifikasi (ditambah atau dikurangi), jangan nggaya puasa 3 hari 3 malam nggak makan, jangan berhaji di gunung Kawi, dan seterusnya. Di luar Rukun Islam nggak ada bid'ah. Yang ada adalah perbuatan baik dan buruk. Baik lakukan, buruk tinggalkan. Simpel banget.
Soal cadar, jujur aku rodok wedi mbahas iki. Bagiku cadar itu bukan agama, tapi sekte atau madzhab. Agamaku Islam tapi tidak bersekte ortodok. Kalau istriku pakai cadar, bisa-bisa aku tendang. Tapi tetap saja aku bisa menghargai orang yang bercadar, pada mereka komenku cuma 2 kata : "Top Ndes!"
Islam itu agama yang dimudahkan. Agama yang berada di tengah-tengah, atau yang tengah-tengah saja, nggak berlebihan (bahasa ustadznya : Ummatan Wasathan). Nggak terlalu ortodok juga nggak terlalu bebas. Dan membaca ayat atau hadits harusnya nggak tekstual. Ada apa dibalik kata. Harus dipahami kondisi alam dan karakter manusia dimana ayat itu turun. Bla bla bla bla bla bla percuma dijelasno, paling awakmu yo gak paham.
Islam itu nggak cuman urusan vertikal dengan Allah, tapi juga urusan horisontal dengan manusia. Nggak balance kalau hubungan dengan Allah bagus, tapi hubungan dengan manusia kacau. Bagaimana bisa enak berinteraksi kalau pakai cadar. Jika ada razia lalu lintas, bagaimana polisinya bisa yakin kalau orang yang bercadar itu sesuai dengan foto yang ada di SIM. Dan banyak kasus yang lain.
Untungnya yang melarang cadar itu kampus Islam yang penuh dengan Dosen, Guru Besar atau Profesor yang tahu dan paham soal Islam. Kalau yang melarang kampus umum atau non Islam, bakalan dituduh Islamophobia, Anti-Islam, atau yang paling parah kampusnya dibakar.
Jadi kalau ilmu agamamu masih setetes kencing kuda (dibandingkan para Guru Besar tadi), nggak usahlah ngurusi pelarangan itu. Raimu iku akeh gak pahame. Juga buat yang non muslim, nggak perlulah ikut-ikutan mbahas. Itu urusan intern muslim Ndes. Walau cadar bukan hanya busana muslim, agama lain juga ada, tapi dalam konteks di Indonesia soal cadar itu 99% muslim. Datanya mana? Fuck you eh, fuck me.
Ada juga kemarin yang posting seorang pria ditolak saat akan menolong wanita bercadar karena jilbab yang super lebar itu nyangkut di jeruji sepeda motor. Alasannya bukan muhrimnya. Oalaa swempruulll. Hukum agama itu berlaku kondisional, disesuaikan dengan kondisi. Kalau hanya ada pria yang sanggup menolong, yo no problem Ndes.
Kasus di atas kayak ibu hamil yang menolak ditolong dokter pria saat melahirkan. Dipikir dokternya akan ngaceng lihat jembut si ibu tadi. Malah dokternya yang tekanan batin, keseringan melihat begituan. Kesenangan apa pun yang sudah jadi rutinitas itu sangat membosankan, bahkan bisa bikin stres.
Itulah, ilmuwan Islam nggak bisa berjaya karena selalu diganggu kaum kolot. Ibnu Sina atau orang Barat menyebutnya Avicenna (ahli kedokteran) dulu dikafir-kafirkan hanya karena menyelidiki tubuh atau organ wanita. Alasannya bukan muhrinya. Guoblokkkkkk. Lha gimana bisa tahu anatomi wanita, kalau dilarang menelitinya.
Zaman sekarang pun banyak dokter wanita muslim berjilbab yang mengotopsi mayat pria. Tes kesehatan masuk tentara pun diharuskan telanjang, dan ndilalah ada yang pakai celdam pink berenda milik pacar. Mungkin sedang kangen pacarnya. Tengsin boooo!
-Robbi Gandamana-