Nonton di youtube, Pasar Maeklong di Thailand yang pedagangnya jualan di atas rel kereta api yang masih aktif, aku heran. Bukan heran pada kenekatan pedagangnya, tapi heran pada suguhan wisata yang seperti itu kok ya bisa laku.
Yang membuat para turis tertarik ke pasar Maeklong tentu saja karena para pedagangnya yang bercanda dengan maut. Tapi kalau cuman seperti itu, kita harusnya nggak heran. Di sini nggak cuman jualan, tapi juga menjemur kasur, baju, karak di atas rel kereta api yang masih aktif.
Itu menunjukan Thailand memang beneran, serius dalam mengolah pariwisata. (Gayaku koyok pakar pariwisata ae. Padahal jarang piknik). Hal biasa jadi luar biasa. Mungkin turisnya juga nggumunan, terbiasa dengan aturan yang sangat tertib di negaranya.
Di sana hal jelek pun jadi suguhan istimewa. Para banci di sana disulap jadi tontonan mbois. Ada sebuah pertunjukan cabaret yang dimainkan oleh para banci, mereka cuantik-cantik dan sueksi luar biasa. Tapi lebih baik Indonesia nggak usah niru yang ini.
Di sini, hal yang baik pun jadi jelek. Dapat hidayah, pakai jilbab tapi mengejek yang masih belum berjilbab. Ada kelompok alim, tapi ketika masjidnya dipakai shalat oleh kelompok lain, bekas shalatnya dipel. Hal yang baik pun jadi biang pemecah belah antar umat. Ribut terus.
Di Indonesia itu banyak bahan yang bisa jadi obyek wisata jempolan, banyak peninggalan sejarah yang jauh lebih dahsyat dari Thailand. Tapi di sini ketika ada orang atau kelompok yang diserahi proyek, yang dipikirkan nomer satu adalah --> "Aku dapat apa? Dapat berapa? Laba berapa?"
Pokoknya yang utama adalah mencari keuntungan pribadi (atau kelompok) sebanyak-banyaknya. Dana di-mark up, spesifikasi bangunan dikurangi. Yang paling apes, banyak orang yang minta upeti, dari oknum aparat, pejabat, wartawan bodrek sampai preman. Kontraktornya pun mrongos jaya.
Oke, kembali ke pasar Maeklong...
Dengan lakunya dinasti wisata pasar Maeklong, hal itu menunjukan manusia menyukai (penasaran) perbuatan yang menantang maut. Mereka pikir itu 'awesome' alias jos gandos.
Di Barat, prestasi itu ada urutannya : 'good', 'great' dan 'awesome'. Tapi jika gagal 'awesome' bisa jadi 'dead' alias modar. Banyak orang Barat yang mengejar 'awesome' akhirnya malah jadi 'dead'.
Pernah aku melihat tontonan di tipi, seorang motocrosser yang berambisi tercatat di Guinness Book of Record. Dia melakukan sebuah lompatan atau menyeberangi sebuah rintangan yang sangat berbahaya. Tapi sayang gagal total. Untungnya dia masih dikasih hidup, cuman cacat, tulangnya patah morat-marit nggak karu-karuan. Memble total.
Salah satu yang membuat manusia terpuruk adalah keinginan yang amat sangat. Itu membuat orang terobsesi. Bagus kalau keinginannya tercapai. Kalau tidak, bisa menghalalkan segala cara untuk bisa mencapainya. Ada orang yang terobsesi jadi PNS. Sudah jutaan kali iku tes, tetep saja nggak lolos. Akhirnya nyogok pakai uang ratusan juta. Dia bangga dengan itu, "aku mbayar 200 juta Ndes."
Ingat dulu aku pernah nulis : Suap is suap, haram is haram, taek gak iso dipoles dadi akik. Tapi yo wis lah, itu urusan pribadi orang. Sakarepe.
Orang yang suka 'pamer kesaktian' harusnya belajar dari Wo Yungning, seorang penakluk gedung pencakar langit asal Tiongkok. Dia dengan rileksnya mendaki, jumpalitan di gedung tinggi tanpa satu pun alat pengaman hanya untuk melakukan rooftopping (berfoto atau bikin video di tepian gedung tinggi). Tapi dia akhirnya jatuh juga (dari ketinggian 62 lantai). Mampus.
Pepatah 'sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga' ternyata sahih juga.
Banyak orang lupa bahwa di dunia ini tidak ada pencapaian. Pencapaian di dunia itu pencapaian semu. Pencapaian sejati itu di akhirat. Dunia isinya cuman ujian, lulus atau tidak itu penentuannya di akhirat. Dan kalah atau menang di dunia itu godaan. Menang jadi sombong, kalau kalah putus asa, mengasihani diri sendiri, mewek.
Nggak usah nggaya kalau kamu kebetulan jadi kaya atau juara. Raimu iku juara opo se, bagus kalau pencapaian itu bermanfaat bagi orang banyak. Sebut saja Michael Faraday yang menemukan listrik. Bayangkan saja kalau kita hidup tanpa listrik, bakal hlolak hlolok jaya. Harusnya kita kirim Al Fatihah ke para penemu seperti dia. Nggak malah mengkafir-kafirkan mereka (non muslim).
Embuh wis, cukup sekian nggedabrus kali ini. Percoyo karepmu, gak percoyo urusanmu.
-Robbi Gandamana-