Selasa, 31 Juli 2018

Bau Badan dan Kejujuran


Salah satu kehebatan (bisa juga disebut kelemahan) manusia Jawa adalah menjaga ucapan. Artinya mereka tidak bisa benar-benar jujur, terbuka, blak-blakan membicarakan kelemahan, keburukan atau kekurangan orang lain walaupun itu bisa sangat mengganggu hubungan di lingkungan sosial.
Pernah aku kost sekamar dengan seorang penderita bau keringat akut luar biasa. Bau keringatnya bisa tercium dalam radius 100 meter. Apalagi dia orang lapangan yang tiap hari kepanasan, mobilitas tinggi, banyak mengeluarkan keringat. Kalau pulang kerja baunya nggak ketulungan. Jadilah dia kayak terasi berjalan.
Punya teman sekamar yang bermasalah dengan bau keringat memang bikin mati gaya. Selama berbulan-bulan lamanya bisaku hanya tahan nafas. Baru bisa ngomong terang-terangan ke doi saat sudah akrab banget : "Aku seneng koncoan karo awakmu Ndes, cuman sayange keringetmu mambu." Dan besoknya dia beli parfum. Walau itu pun nggak terlalu ngefek.
Sebenarnya kasihan sama penderita seperti itu. Kalau diomongkan gimana kalau nggak diomongkan juga gimana. Bingung, ya'opo enake. Kita nggak bisa terang-terangan ngasih tahu ke orangnya. Nggak mungkin kita pasang poster di kantor :
"Berikut ini yang keringatnya sangat bau : Maisaroh, Cempluk, Gendon, Sueb, Atim....Diharapkan dengan sangat untuk memakai wangi-wangian sebelum masuk kantor. Agar tercipta suasana harmonis dan konduksif di kantor."
Pernah aku di warung saat maksi bersebelahan dengan anak produksi yang kerjanya memang okol banget. Keringat bercucuran dimana-mana dan baunya sungguh jahanam, merusak selera makanku. Aku sebagai orang Jawa tentu nggak bisa blak-blakan. Aku tepuk pundaknya, "Alhamdulillah yo arek produksi nek lembur sampek bengi dike'i susu (milk)--Saat itu banyak orderan dari KPU, nyetak Surat Suara--. Tapi sayange gak onok Tunjangan Parfum."
Orang yang keringatnya bau juga nggak sadar kalau keringatnya bau. Dia rileks saja nimbrung ke sana kemari tanpa sadar kalau orang lain perutnya pada mules karena baunya. Dia juga nanya, "Opo'o kok wetengmu mules, kakean mangan sambel yo!?" Sambel Ndasmu.
Saat keluar dari toilet pun bau keringatnya tertinggal di sana. Swemprul jaya. Baru bisa hilang setelah pintu dibuka dan dikibas-kibaskan selama beberapa menit. Aku nggak paham kenapa bisa sampai seperti itu. Aku males dan nggak layak membahas itu. Tanyakan saja pada para SPG sebuah produk Deodoran.
Ada Muslimah yang sadar kalau keringatnya bau tapi karena takut dengan hadits yang menyatakan wanita yang berjalan memakai wangi-wangian tidak akan mencium bau surga, akhirnya nggak pakai parfum. Ini konyol, aturan itu kondisional. Kalau keringatmu bau, mengganggu kehidupan sosialmu, menurutku sebaiknya menyamarkan bau itu dengan parfum.
Bau keringat memang bisa merusak suasana, bad mood, bahkan bisa merusak persahabatan. Kita sebagai teman seorang pengidap bau badan stadium lanjut yang dibutuhkan hanya keberanian untuk jujur mengatakan, "Ndes, keringetmu mambu." Dan semuanya akan baik-baik saja (atau malah berantakan). Coba saja.
Eh, jangan-jangan keringetku mambu badek pisan..
-Robbi Gandamana-

Menempatkan Gengsi dengan Benar


Dulu ketika ada Bantuan Langsung Tunai (BLT), yang kaya ikutan antri. Waktu ada Pasar Murah, yang mborong juga banyak yang kaya. Saat ada Perumahan Murah yang kaya juga nggak mau kalah. Dan sekarang banyak orang yang ngaku miskin agar anaknya bisa lolos ke Sekolah Negeri idaman.
Orang kaya bermental miskin mewabah di Endonesyah. Kasihan para kere profesional (kere tulen). Haknya dicaplok oleh para begundal borju rai gedek (sori, karena ini termasuk perbuatan kriminal).
Banyak orang yang salah dalam menempatkan gengsi. Malu kalau punya gadget jadul, tapi nggak malu kalau ngurus Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Hidupnya makmur, badan sehat wal afiat gembrotful tapi ikut antri ambil BLT. Sudah punya rumah gedong pinggir embong tapi beli rumah murah khusus rakyat miskin.
Ngono iku kok gak isin blas. Harusnya ada semacam hukuman moral pada orang kaya bermental miskin seperti di atas. Misalnya nama-nama plus foto orang tua para pengurus Surat Miskin dicatat di papan pengumuman sekolah. Pasti gayeng."Oh iki ta dapurane sing ngaku kere...kere ni yeee."
Rakyat Endonesyah memang pakar dalam hal tipu-tipu. Slip gaji (tinggi) di-mark up (dijadikan rendah/sesuai syarat ketentuan) agar bisa di-ACC, beli rumah murah---karena yang bergaji besar dilarang beli--.  Dan belinya nggak cukup satu. Beli dua unit sekalian. "investasi Ndes," katanya. Taek.
Bisa jadi orang kaya bermental miskin itu pernah sangat miskin di masa lalunya. Orang yang terlalu lama kere punya semacam ketakutan (trauma) kembali ke titik itu lagi. Mereka jadi lupa kalau sebenarnya sudah kaya (makmur). Saat ada pasar murah, perumahan murah, lonte murah, mereka ikutan beli, karena merasa masih miskin. T:T
Btw, pemerintah sekarang sudah agak cerdas bikin istilah, nggak pakai kata 'miskin' lagi. Dulu istilahnya Gakin (Warga Miskin) sekarang jadi Surat Keterangan Tidak Mampu.  Karena kata 'miskin' itu merendahkan, nggak sopan, ngenyek banget. Makanya istilah Raskin (Beras Miskin) itu menyakitkan sebenarnya. Nggak ada lonte yang mau dipanggil : "Hai lonte !".
Tapi sakarepmu rek, itu urusan pribadimu, aku guduk bapakmu. Silakan saja ngaku miskin untuk mendapatkan belas kasihan dari pemerintah. Na'udzubillahimindzalik. Aku bajingan pol, bukan orang suci, tapi sebisa-bisa mungkin menjaga kesucian. Orang kaya yang ngurus SKTM itu nggak suci. Kalau asu jangan ngaku wedus.
Yang jelas, selalu ada karma di setiap perbuatan. Jangan kaget kalau di suatu masa dijadikan miskin beneran dan nangis gulung-gulung minta bantuan karena orang nggak percaya kalau dia miskin, "Aku kere tenan ndes! Sumpah demi awohhh!"
Oke-oke saja mengaku miskin untuk tujuan merendah, bukan untuk sebuah kecurangan. Menurutku nggak elok bila sengaja menunjuk-nunjukan kemiskinan diri agar mendapat belas kasihan orang. Tapi nggak masalah menutupi kemiskinan diri dengan tujuan agar tidak jadi beban orang lain. Asal tidak sok kaya. Kalau aku dari dulu--> biar kere asal gagah.
- Robbi Gandamana-