Rabu, 29 Agustus 2018

Antara Kentut dan Suara Adzan



Apes bener Meiliana, seorang warga Tanjung Balai, Medan, Sumatera Utara. Protes volume suara adzan saja dibui 1,5 tahun. Bagaimana kalau yang diprotes itu adzannya.  Bisa digantung dan diarak keliling kota. Ya'opo Endonesyah iki rek.
Adzan dan volume adzan itu dua hal yang berbeda. Sebagaimana silit dan entut. Silahkan saja kamu kentut, lha wong iku silit-silitmu dewe. Tapi usahakan jangan sampai bau kentutmu mengganggu orang lain.
Tentu saja aku nggak bilang adzan itu silit. Juga nggak bilang kalau adzan itu kentut. Guoblok kalau kamu mengartikannya seperti itu. Makanya belajar sastra Ndes, biar paham kata. Sastra itu puenting asline. Aku bukan orang sastra, tapi yo gak goblok-goblok nemen lah.
Aku sebagai orang Islam saja kadang mumet (kalau pas bad mood) mendengar suara adzan yang sound-nya cempreng koyok gembreng diseret.  Lha ya'opo, satu kampung ada 3 masjid yang berdekatan. Adzannya berbarengan. Apalagi kalau yang adzan anak kecil. Sudah nggak fasih, fals, kenceng, sound speaker-nya jelek lagi : Awohuwakbar! Awohuwakbarrrrr!!!
Kemarin saat gerhana bulan, jam 3 pagi masjid-masjid di kampung mengajak warga muslim melaksanakan shalat gerhana yang diumumkan pakai speaker. Sambil menunggu jamaah, ada salah satu masjid yang shalawatan (dengan tetap pakai speaker, jam 3 pagi!). Tentu saja suaranya  yang keras terdengar sampai jauh. Untung aku Islam, aku nggak protes. Bagaimana dengan non muslim yang terpaksa terbangun. Opo nggak mumet ndase, "misuh!"
Pahamilah bahwa tidak semua warga beragama Islam. Dan yang Islam pun juga nggak alim semua. Nggak bisa kita memaksa orang untuk alim. Apalagi Shalat Gerhana itu nggak wajib. Fanatisme kadang membuat kita lupa pada budaya tepo seliro. Shalawatan itu baik, tapi mengganggu orang yang beragama lain istirahat (tidur) itu nggak asyik.  
Malesnya  kalau aku nulis seperti ini diartikan membela non muslim dan menyudutkan Islam. Ndes, ini bukan soal membela Islam atau Kristen, ini soal presisi berpikir. Orang protes volume suara bukan berarti benci dengan asal suaranya. Aku suka musik metal gedabukan, tapi kalau volume-nya  terlalu keras yo malah mumet ndasku, tonggo-tonggoku semaput.
Orang Islam itu mengagungkan adzan, bukan suara Toa, Polytron, Sharp atau Sony. Alat-alat itu cuman menghantarkan adzan, bukan adzan itu sendiri. Dan orang yang protes volume suara adzan itu belum tentu benci dengan adzan. Azas praduga tidak bersalah.
Ada banyak kemungkinan penyebab kenapa orang protes volume suara adzan. Pertama, karena memang setting volume-nya terlalu besar. Kedua, jumlah masjid di satu kampung terlalu banyak, sehingga saat waktu shalat, adzannya barengan, ramai man.  Ketiga, karena produk dari pengeras suaranya yang nggak asyik, murahan.  Keempat, karena soundman-nya nggak canggih, suaranya cempreng jaya. Kelima, bla bla bla ..buanyak lah.
Oke, kembali ke soal Meiliana..
Bisa jadi hakim memutuskan hukuman 1.5 tahun itu dalam rangka menyelamatkan diri dan instansinya. Pikiran masyarakat di sana sudah terbentuk, bahwa kasus Meiliana adalah soal penistaan agama. Apalagi Meiliana itu keturunan Tionghoa, non muslim lagi. Perfect. Kalau Meiliana dibebaskan, pengadilan bakalan babak belur menghadapi masyarakat yang marah. Mana berani hakim menghadapi masyarakat. Mending cari aman. Ajur Jum.
Ada yang nggak beres dengan Pasal Penistaan Agama ini. Tapi sori, aku nggak akan membahasnya. Aku bukan pakar hukum. Tanyakan saja ke ahlinya. Zuukk mariii.
-Robbi Gandamana-