Orang yang terbiasa berpikir lurus pasti marah membaca judulnya. Sori Mblo, bulan puasa itu memang bulan bunuh diri. Tentu saja frasa 'bunuh diri' di sini adalah idiom. Maksudnya membunuh diri kita yang lalu untuk menjadi manusia yang baru.
Ini sastra tingkat tinggi. Percuma tak jelasno, paling awakmu yo gak paham. Lha wong kamu memahami ayat dengan sangat harfiahnya begitu. Padahal Al Qur'an itu penuh bahasa sastra. Nggak heran kalau kamu ikut aliran Islam garis 'lutju'.
Di hari Idul Fitri ini kita diharapkan 'bunuh diri', kembali suci seperti bayi yang baru lahir. Kalau puasanya sekedar menahan lapar ya nggak jadi bayi yang suci, tapi bayi rembes.
Tapi puasa yang beneran memang sulit. Aku sendiri juga belum mampu. Ojok ngomong sopo-sopo yo. Maklum bajingan. Kadang aku ngabuburitnya nonton film. Film Barat yang kadang pemerannya cewek sexy, susune dipamer-pamerno. Jahanam.
Makanya aku sungkan berharap Laitul Qadar. Kalau berharap pasti diejek malaikat, "Poso cuman nahan luwih ae njaluk Lailatul Qadar. Gak isin ta Ndes?"
Lagian Lailutul Qadar itu yang ditunggu sudah turun kok. Lailatul Qadar itu khan terjemahan bebasnya malam kemuliaan. Dan di malam yang mulia itu turun Al Qur'an. Jadi yang turun itu Al Qur'an, bukan lailatul Qadar-nya. Dan Al Qur'an itu sudah turun. Lha terus sing kok enteni iku opo?
Menurut Mbah Nun, Lailatur Qadar itu tergantung engkau. Kapan saja engkau memetik puisi kehidupan, kapan saja engkau memetik keindahan Al Qur'an, masuk ke dalam hatimu dan membuatmu takjub pada kehidupan, maka engkau berada di Lailatul Qadar. Kapan saja.
Embuh wis, mumet. Gak usah dibahas. Tetaplah berharap Lailatul Qadar . Mungkin akan turun Al Qur'an versi extended.
Kembali ke soal Bunuh diri..
Bunuh diri itu nggak harus nunggu bulan puasa. Kalau bisa terus menerus bunuh diri dan terus menerus terlahir kembali tiap hari. 'Bunuh diri' idiom lho ya, bukan dalam artian yang sebenarnya. Bunuh diri di sini seperti konsep ruwatan dalam budaya Jawa. Paham nggak? Ala raimu.
Puasa tahun ini benar-benar bunuh diri luar biasa. Sabar berdiam terus di rumah. Sabar dengan penurunan pendapatan bagi yang terdampak Corona. Sabar tidak mudik. Sabar menghadapi berita-berita maling yang membuat waswas. Aku sendiri nggak waswas, karena nggak punya barang berharga. Opo sing kate dimaling.
Kita sedang menghadapi pandemi. Banyak orang lapar karena di-PHK atau pendapatannya menurun drastis. Maling ada dimana-mana. Nggak tahu, ini akibat kebijakan dikeluarkannya ribuan narapidana atau karena banyak orang kelaparan. Kalau belum jelas pelakunya, jangan menuduh pelakunya para mantan napi. Itu fitnah.
Kita saat ini seharusnya mematuhi anjuran pemerintah untuk social distanding. Artinya nggak bisa shalat terawih berjamaah di masjid. Bahkan kemungkinan besar nggak shalat Id, halal bihalal, reuni, atau pul kumpul yang lain.
Yo wis lah. Tidak berjamaah di masjid bukan soal takut atau panik terjangkit Corona, tapi ngajeni sing nggawe aturan. Yang paling penting membuat para tenaga medis tenang. Mereka misuh-misuh melihat kita masih rileks berkerumun, kemana-mana pringas-pringis nggak pakai masker.
Nggak usah galau kalau belum bisa ke masjid. Pada hakikatnya masjid itu bukan bangunan yang ada kubahnya. Di tengah lapang pun jika kamu gelar sajadah, shalat menghadap kiblat dan hatimu tertuju pada Allah, saat itu juga kamu ada di masjid. Masjid temporary.
Berkacalah pada nasib jamaah tabligh akbar di Goa yang satu-persatu terjangkit Corona. Tapi terserah kalau memang merasa maqamnya sudah oke. Wis sakti, gak mempan virus, monggo terawih berjamaah di masjid. Cuman ingat, Tuhan bersama orang yang taqwa, tidak bersama orang yang bebal.
Ya sudah itu saja, mari kita bunuh diri.
-Robbi Gandmana-