Ilustrasi oleh Benny Rachmadi |
Kita ini generasi yang sangat sangat beruntung. Karena hidup di zaman yang serba instan. Lha ya'opo semua tinggal meneruskan, mengembangkan apa yang sudah dirintis oleh mbah-mbah kita dulu. Bahkan tinggal makai, tinggal menikmati hasil kerja keras, kesabaran, pengorbanan mereka.
Apa jadinya kalau kita hidup di zamannya Nabi-Nabi. Pasti kita jadi penjahatnya, ikut gengnya Abu Lahab. Lha wong awake dewe iki hobine ngremehno dan ngeyelan. Angel aturane.
Bayangkan saja kalau kita tetangganya Nabi Ibrahim. Bakalan misuh pol-polan saat lihat Ibrahim akan menyembelih Ismail, anaknya sendiri. Karena kita terbiasa hanya melihat apa yang tampak mata. Sama sekali nggak tahu apa yang melatarbelakangi perbuatan itu.
Dialoge mungkin koyok ngene :
Giman : "Him, karepmu opo kon iku. Arek cilik kok dibeleh. Ya'opo se. Gendeng ta?"
Ibrahim : "Lho Man, iki perintah Alloh.."
Giman : "Gak awoh-awohan. Awoh cap opo iku. Perintah kok mbeleh arek cilik. Ngawur ae. Ojok ngelindur talah.."
Ibrahim : "Lambemu...Ojok ngelamak kon. Nek gak iso meneng awakmu sing tak beleh.."
Giman : "Jasik..Nabi kisruh kon iku."
Akhire Giman karo Ibrahim gelut.....(bersambung).
Ajur Jum.
Jika Nabi Ibrahim hidup di zaman now juga pasti sudah digiring ke polsek. Jelas didakwa aliran sesat, lha wong menyembelih anak sendiri.
Nabi itu memang manusia luar biasa. Terutama Nabi Ibrahim. Menjalankan perintah menyembelih anaknya sendiri itu butuh ketaqwaan, kesabaran, dan keberanian tingkat dewa. Dia harus menghadapi omongan orang yang menganggapnya mengong, stres, pekok. Makanya Idul Adha itu hari yang jauh lebih mulia dari Idul Fitri.
Kalau membaca kisah-kisah Nabi dengan pikiran yang tidak linear, kita sebagai orang awam harusnya maklum dengan orang yang mencela Nabi. Lha wong apa yang dilakukan para Nabi itu kadang nggak masuk akal. Seperti apa yang dilakukan Nabi Ibrahim pada Ismail.
Kalau nggak dapat hidayah, nggak mungkin jadi umatnya Nabi. Untung lho aku nggak dilahirkan di zaman Nabi-Nabi, bakalan dadi koncone Giman. Jelas jadi golongan bajingan.
Tapi drama kehidupan memang harus seperti itu. Kalau ada orang alim, pasti juga ada bajingan.
Orang yang asyik itu yang merasa bajingan, dengan begitu dia selalu berusaha alim. Yang bahaya itu kalau sudah merasa alim. Tiap hari kerjaannya menilai orang lain. Jadi polisi moral. Merasa mulia karena tidak pernah maling, padahal belum ada kesempatan.
Makane gak usah berlebihan membenci koruptor atau penjahat yang paling kakap sekalipun. Ojok nggaya ngenyek Abu Lahab, Abu Jahal, Abu Ndlahom. Karena kita nggak di posisi mereka. Cobalah simulasi, kalau kita hidup di zaman itu, lebih cocok jadi umatnya Nabi atau umatnya Abu Lahab.
Bisa jadi kita lebih parah dari Abu Lahab. Lha wong bendino postingane nyacat wong liyo. Siapa saja yang beda dengan pilihan kita, apa itu soal agama, madzhab, presiden, pasti kita anggap mblendes. Ganok apike.
Tapi walaupun sudah berusaha keras berbuat baik, akhlak kita juga nggak bakalan kayak Nabi. Sing penting ada usaha keras, Tuhan tidak menagih di luar batas kemampuan hambaNya. Kita cuman manusia, bukan malaikat.
Wis talah, kita itu memang generasi yang wasyik. Hidup di negeri sempalan surga. Makanan dan minuman melimpah. Merayakan Idul Adha, daging gratis dimana-mana. Hari-hari begadang mbakar sate sambil main gitar bernyanyi ria koyok video klipe lagu Nike Ardila.
-Robbi Gandamana-