Minggu, 29 April 2018

#GantiPeli


Tujuan awal Hari Bebas Kendaraan atau Car Free Day (CFD) di minggu pagi itu adalah membebaskan masyarakat berolahraga di jalan tanpa halangan karena mobil yang lewat. Dan juga pemurnian kualitas udara dari asap kendaraan. Peringatan pemerintah : Asap knalpot membunuhmu.
Belakangan CFD berubah fungsi jadi kayak Pasar Kaget, jadi ajang promosi, ajang mejeng berbagai komunitas, dari Komunitas Pecinta Marmut sampai Komunitas Anak Down Syndrome tumplek blek jadi satu. Tapi itu no problem. Asal tertib, monggo saja.
Tapi memang orang datang ke CFD nggak selalu berolah raga, banyak juga yang cuma nongkrong sembari cari barang atau makanan murah.  Di CFD harga barang dan makanan relatif murah. Tapi tetap saja ada satu dua warung atau pedagang yang suka 'mentung' (menghargai jauh lebih tinggi dari harga aslinya).
Budaya 'mentung' masih belum punah di kalangan oknum pedagang makanan. Kalau malu bertanya, "Harganya berapa?", bisa mampus 'kepentung'.
Aku sempat akan beli es teh di seorang penjaja keliling tapi nggak jadi, karena harganya dua kali harga umumnya. Untunge aku takok disik, "Piroan mas?". Penjual lain jualnya duaribu limaratus, dia jualnya limaribu. Aneh juga, biasanya di CFD harga-harga miring (atau aku yang kere). Mungkin dia terbiasa Jualan es teh di tengah gurun pasir. Di sana segelas es teh bisa dibarter dengan emas.
Aku penasaran, ilmu marketing kayak apa yang dijalankan oleh pedagang atau pemilik warung yang suka 'mentung'. Dalam jangka panjang, 'mentung' jelas sangat merugikan. Sekali 'dipentung', korban (pembeli) tidak sudi kembali, walau itu warung the last on earth. Korban juga pasti akan cerita ke orang lain. Walhasil, imej warungnya pun buruk.
Di tempat-tempat wisata, praktek 'mentung' banyak terjadi. Makanya wisatawan lebih suka bawa makanan sendiri daripada beli di warung. Seringnya kejadian 'mentung' di warung-warung tempat wisata tertentu, orang sudah nggak percaya lagi, walaupun sudah ditulis harga-harga makanannya di sebuah papan.
Kembali ke soal CFD.
Di tahun politik ini, CFD berubah jadi ajang kampanye politik. Nggak masalah kalau kampanyenya tertib, damai. Tapi kalau sudah saling bully atau persekusi antar pendukung, itu sudah nggak asyik lagi.
Melihat video yang beredar di you tube, seorang ibu dipersekusi oknum pendukung Ganti Presiden hanya gara-gara memakai kaos yang beda (tidak mendukung  Ganti Presiden), aku langsung misuh-misuh dalam hati : "Misuh!!!!"
Aku sama sekali nggak perduli, silakan saja kalian mau Ganti Presiden, Ganti Rai, sakarepmu kono. Tapi kalau kalian  mem-bully rame-rame seorang ibu (sampai anaknya menangis ketakutan) gara-gara  dia tidak mendukung Ganti Presiden, lebih baik kalian Ganti Peli.
Bersihkan CFD dari kampanye politik!

-Robbi Gandamana-

*Peli = Penis.

Dilema Endonesyah


Jalanan kota saat pagi hari selalu ruwet nggak karu-karuan. Nggak cuman para Mbokde yang suka ngawur dalam berkendara, para Pakde juga banyak yang 'pamer kesaktian' --> zig zag di kemacetan. Ini di Solo, bagaimana kalau Jakarta.
Orang Endonesyah itu hidup dalam dilema. Sarananya nggak beres tapi aturan (hukum) sudah diberlakukan dengan tegas. Ke kantor wajib tepat waktu tapi harus pasrah menerima kondisi jalan yang awut-awutan.
Sepertinya mereka itu lebih takut terlambat (potong gaji) daripada mati tabrakan di jalan. Ada memang jenis 'Pengendara Berani Mati' yang berani ngebut di jalanan ramai dan ruwet demi untuk tepat waktu. Mungkin  semboyan mereka "Tepat Waktu atau Mati!".
Tapi keruwetan di Solo nggak terlalu parah dibandingkan Jakarta (tentu saja). Konon di sana ada yang harus berangkat Subuh agar tidak terlambat sampai kantor. Kasihan kau nak.
Tepat waktu atau berangkat lebih awal itu bagus, tapi kalau taruhan nyawa ya nanti dulu. Dan jangan dipikir orang seperti itu hebat. Hebat kalau tepat waktu itu tumbuh dari kesadaran diri, bukan karena takut gajinya dipotong (kalau terlambat).
Di pinggiran Solo masih banyak yang satu ruas jalan dilewati jutaan kendaraan berbagai jenis. Dari sepeda motor, sepeda onthel, mobil, becak, odong-odong, dokar, bis, truk, tumplek blek jadi satu. Dan jumlahnya terus bertambah  tiap tahun.
Apalagi taraf masyarakat kita sekarang sudah di taraf mampu beli mobil. Wak Doel yang dulu hanya mampu nyicil motor Onda, sekarang sudah punya mobil Inopa. Jalanan kampung yang sempit dijejali mobil yang parkir depan rumah. Garasi nggak ada, tapi mobil punya. Orang Kaya Baru bermunculan dimana-mana. Wajah ndeso tapi rejeki kutho.
Melihat kondisi jalan kampung yang sempit, mungkin harus ada himbauan (bukan peraturan) untuk tidak mengantar anak sekolah di pagi hari pakai mobil. Jalanan kampung nggak konduksif dilewati mobil, sempit. Harus jalan pelan-pelan saat berpapasan dengan mobil lain. Kalau nekat ngebut, spion bisa benjut.
Banyak pengendara motor yang nggak sabar,  potong kompas lewat jalan alternatif (kampung) biar cepat. Ternyata sama saja. Jalannya berlubang dan banyak polisi  tidurnya. Apalagi polisi tidurnya nggak landai (siku), nggak nyaman di bokong.
Kalau dipikir jernih, rasanya kok wagu kalau kita bikin polisi tidur. Jalan dihaluskan (diaspal atau dibeton) biar nyaman dilewati, lha kok malah dikasih polisi tidur yang sema sekali nggak nyaman dilewati. Yang bikin juga orang situ yang tiap hari melalui jalan itu. Kayak senjata makan tuan.
Polisi tidur adalah tanda bahwa kesadaran hukum kita masih primitif. Dikasih rambu '20 Km' nggak mempan. Bahkan dikasih polisi tidur pun masih tetap ugal-ugalan. Orang seperti itu sulit disadarkan, sebelum pernah punya pengalaman nyonyor kecelakaan. Dan nggak usah repot-repot di-ESQ, ora ngefek Mbakyu.
Baguslah kalau ada revolusi mental. Sori aku bukan lover atau hater Jokowi (juga Prabowo), tapi program yang baik harusnya didukung. Hanya karena ente lover Prabowo terus gengsi mengakui program baiknya Jokowi. Tapi Presiden yang baru juga pasti gengsi meneruskan program presiden sebelumnya, walau itu baik dan perlu.
Revolusi mental itu tidak bisa beres selama 5 tahun. Bahkan keberhasilan program revolusi mental itu bisa dilihat setelah 100  sampai 200 tahun (2 keturunan). Keturunan pertama membiasakan diri, keturunan kedua mulai menjalankan. Kok bisa begitu? Karena semua tabiat kacau itu sudah jadi peradaban. Kalau sudah jadi peradaban, sangat sulit dirubah.
Jadi kalau ada pejabat korup atau ustadz cabul jangan menyalahkan Jokowi dengan pertanyaan : "Inikah hasil revolusi mental?" Itu pertanyaan goblok.
Kembali ke soal polisi tidur. Berdasar pada hipotesa awur-awuranku di atas, jangan harap Indonesia akan bebas polisi tidur. Tunggulah 100 atau bahkan 200 tahun lagi.
Tapi bangsa kita itu sejenis 'monyet terlatih'.  Sudah beradaptasi dengan kondisi yang morat-marit selama ratusan tahun. Kalau cuma jalanan kacau, itu soal sepele. Berangkat sekolah lewat jembatan gantung yang total reyot pun mereka oke-oke saja, padahal nyawa taruhannya.
Terlalu seringnya ditimpa krisis membuat bangsa kita punya teknologi bertahan hidup yang luar biasa. Krisis atau tidak, nggak ada bedanya. Ada uang seratus ribu, pasti cukup. Uang tinggal lima puluh ribu, cukuplah. Uang hanya dua puluh lima ribu, ya dicukup-cukupkan.
Rakyat ubet dengan perekonomiannya sendiri nggak ada urusan dengan krisis ekonomi. Krisis ekonomi itu persoalan golongan tertentu yang dibesar-besarkan oleh media. Nyatanya banyak buruh pabrik panci yang berhengpon canggih, banyak karyawan swasta ngoleksi Inopa, banyak wong ndeso yang pergi umroh.
Itulah Endonesyah.

- Robbi Gandamana -

Kamis, 12 April 2018

ESQ Itu Lucu


Sejak booming motivasi dan atau ESQ (Emotional and Spiritual Quotient), banyak orang yang jadi lebay. Banyak perusahaan swasta atau pemerintah yang tiap pagi melakukan semacam ritual. Meneriakan yel-yel "Semangat Ndes!", sharing mbelgedes, doa bersama, dan lainnya. Aku sendiri merasa nggak nyaman berada di situasi seperti itu. Kalau ada kesempatan, aku pasti akan ngeluyur pergi.
Sebenarnya ritual semacam itu oke-oke saja. Tapi menurutku sangat nggak cocok untuk orang yang introvert (termasuk saya). Banyak dari mereka yang memaksakan diri sok semangat, meneriakan yel yel kayak Partai Nazi lagi rapat, ludahnya muncrat-muncrat. Asli, itu "siksaan" berat bagi mereka (saya).
Bagiku ESQ itu cuman dagangan, komiditas yang bisa jadi lahan bisnis. Kalau sebuah perusahaan mengadakan kegiatan motivasi atau ESQ, itu sebenarnya sebuah bentuk sodaqoh (ngasih kerjaan) pada motivator, ngAlhamdulillah banget.
Sampai sekarang pun aku nggak bisa paham. Sebelum dan sesudah di-ESQ tetep nggak ada perubahan yang signifikan. Yang saat kerja ngantukan tetap ngantukan. Dulu ndlahom sekarang tetep ndlahom. Yang pasti, waktu untuk kerja jadi terpotong. Setidaknya itu yang saya rasakan, mungkin berbeda jauh dengan anda semua
Sori, saya adalah jenis orang yang kaku, sedikit introvert, benci formalitas, sebisa-bisa mungkin menghindari birokrasi, dan yang pasti nggak suka diatur-atur. \m/
Kebiasaan bisa diubah, tapi tidak dengan karakter. Kalau dipaksa berubah, itu sama saja dengan ganti kelamin. Rupanya banyak yang salah kaprah memaknai kurikulum pendidikan karakter. Ayam dipaksa jadi kambing, kambing dipaksa jadi anjing. Karakter manusia kok diseragamkan.
Jangan salah, aku nggak anti motivasi atau motivator. Cuman aku nggak cocok dengan acara motivasi atau ESQ. Kalau mau mbecak ya mbecak saja, nggak perlu dimotivasi: "Ayo semangat mbecak!" Mau berbuat baik, langsung berbuat saja, nggak usah menunggu dimotivasi. Mau shalat, langsung shalat saja.
Jadi menurutku tanpa motivasi pun manusia akan berbuat baik, selama dia manusia beneran. Harusnya ada gerakan kembali ke kitab suci (agama). Tapi sepertinya sekarang motivasi dan atau ESQ jadi semacam agama baru bagi orang modern. Sedikit -sedikit teriak "Semangat!". Percuma punya semangat kalau nggak punya iman. Iman itulah yang menumbuhkan semangat berbuat baik.
Nggak cuman sok semangat, sejak booming ESQ, banyak perusahaan yang jadi sok agamis. Tiap pagi diwajibkan berdoa bersama. Berdoa kok diwajibkan (dipaksa). Berdoa itu urusan moral umat, urusan personal manusia dengan Tuhan. Dalam berdoa, tiap orang punya goal yang berbeda, konyol kalau diseragamkan.
Berdoa itu harusnya cukup jadi imbauan moral, bukan aturan wajib. Dilaksanakan silakan, nggak dilaksanakan persetan. Kita sama-sama dewasa, sudah paham hitam dan putihnya kehidupan.
Jadi ingat zaman SD dulu. Tiap akan memulai pelajaran ada acara berdoa bersama. Kita bukan anak SD. Kita sudah melewati fase itu, atau sudah pasca dari hal-hal semacam itu.
Aku nggak menolak berdoa, tapi daripada pura-pura berdoa (munafik) mending nggak usah sekalian. Ada memang momen tertentu yang sangat pas untuk berdoa bersama, misalnya saat akan bertanding, saat akan konser, banyak lah. Kalau tiap hari doa bersama, aku nggak yakin mereka berdoanya dengan hati. Dan itu akhirnya cuman jadi formalitas doang bla bla bla (dulu sudah pernah aku tulis, males ngulanginya lagi).
Kata-kata motivasi itu asalnya dari kebenaran filsafat, bukan kebenaran dari kitab suci (wahyu Tuhan). Walau ada juga yang diadopsi dari kitab suci. Jadi jangan terlalu diyakini. Kebenarannya sangat relatif.
Ada sebuah quotes: "Semakin kuat bola dilempar, semakin jauh bola itu memantul" (Jika ingin mendapat hasil yang terbaik, lakukanlah dengan segenap kemampuan yang ada). Quotes ini bisa benar, bisa salah. Kita lihat dulu bidang yang akan dilempar bola. Iya kalau yang dilempar bola itu tembok yang disemen, lha kalau terbuat dari anyaman bambu (gedhek) gimana? Nggak jadi memantul, malah gedhek-nya yang ambyar bin jebol.
Akhirnya jadi kayak lirik lagu "Berakit-rakit" dari Jamrud: "Berakit-rakit ke hulu , berenang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, matilah kemudian." Mamfusssss.
Ada juga orang yang bermaksud memotivasi tapi malah bikin keki. Di sebuah meeting, seorang bos pabrik gembus dengan serius menasehati karyawannya, "Kalian itu mbok kalau kerja yang semangat! Kayak serdadu yang siap tempur! Ketika ada kerjaan mendadak, langsung 'Siap Ndan!', siap lembur sampai titik darah penghabisan." Ndasmu boss.
Buruh pabrik kok disamakan dengan serdadu yang kesejahteraannya sangat dijamin negara. Mereka mendapat berbagai tunjangan yang istimewa. Sangat jauh kalau dibandingkan dengan buruh pabrik yang kesejahteraannya very very limited.
Nggak masalah kalau ada buruh yang menganggap dirinya serdadu yang siap tempur. Itu pemahaman pribadi untuk meneguhkan diri. Kalau bosnya yang menyuruh, itu bos otoriter namanya.
Bos dan buruh harus paham koordinatnya masing-masing. Jangan sampai terbalik-balik. Seperti seorang sopir yang memecahkan kaca spion mobil bossnya saat srempetan dengan mobil lain di jalan. Harusnya boss yang menenangkan si sopir karena harus jaga imej dan martabatnya di depan sopir. Bukan sopirnya yang ngomong, "Nggak papa ya boss, spion murah kok, besok beli tiga ya boss." Bosnya langsung mbatin, sopir mbokneancok!
Nggak cuman salah kaprah menyamakan buruh dengan serdadu. Ada juga yang suka memakai kata-kata ibarat saat ceramah. "Jadilah pemberani, seperti (ibarat) seorang nelayan yang menerjang badai mengarungi lautan." Lambemu Ndes. Aku yakin, jika nelayan punya pilihan, mereka pasti nggak mau jadi nelayan. Seandainya boleh memilih, mereka akan memilih jadi PNS.
Makanya aku nggak suka dengan kata-kata ibarat. Bicara yang nyata-nyata saja Ndes. Ibarat itu cuman "senjata" bagi pembicara yang kehabisan kata. Dan harusnya hidup itu tidak ada dikotomi berani atau tidak berani. Melakukan sesuatu karena memang harus dilakukan, seperti ayam yang berkokok di pagi hari, matahari bersinar di siang hari, dan banyak lagi.
Daripada pakai kata-kata ibarat mending pakai kata pepatah. Misalnya: "Sambil menyelam buang air", "Tak akan lari Nunung dikejar", "Nazir sudah menjadi tukang bubur", "Alon-alon asal kelakson", dan banyak lagi.
Kalau mau mbecak ya mbecak saja, nggak perlu dimotivasi: "Ayo semangat mbecak!" Mau berbuat baik, langsung berbuat saja, nggak usah menunggu dimotivasi. Mau shalat, langsung shalat saja.
****
Mengakhiri nggedabrus saya kali ini, saya ceritakan kembali sebuah cerita klasik (untuk masa depan) yang menarik. Zuukkk cekidot:
Seorang Motivator berkata, "Tahun-tahun terbaik dalam hidupku kuhabiskan bersama seorang wanita yang bukanlah istriku."
Para audiens yang hadir langsung ndlahom jaya. Sang Motivator kemudian menambahkan, "Ia adalah ibuku."
Tepuk tangan diiringi tawa pun bergemuruh memenuhi ruangan.
Bongkeng yang ikut dalam acara The Gondes Ways tadi langsung meng-copy paste quotes Sang Motivator. Setelah makan malam, Bongkeng berkata dengan lantang di depan istrinya di dapur, "Aku menghabiskan tahun-tahun terbaik hidupku bersama seorang wanita yang bukan istriku..."
Bongkeng berhenti sejenak memejamkan matanya, mencoba mengingat kalimat terakhir sang Motivator. Dan "Mak pet!" semuanya gelap. Saat membuka mata, ia mendapati dirinya berbaring di tempat tidur rumah sakit. Rupanya dia baru saja mendapatkan perawatan akibat siraman air panas!
T:T
Pesan moral dari kisah di atas adalah jangan sekali-kali sok bijak kalau belum paham benar.
-Robbi Gandamana-