Sejak booming motivasi dan atau ESQ (Emotional and Spiritual Quotient), banyak orang yang jadi lebay. Banyak perusahaan swasta atau pemerintah yang tiap pagi melakukan semacam ritual. Meneriakan yel-yel "Semangat Ndes!", sharing mbelgedes, doa bersama, dan lainnya. Aku sendiri merasa nggak nyaman berada di situasi seperti itu. Kalau ada kesempatan, aku pasti akan ngeluyur pergi.
Sebenarnya ritual semacam itu oke-oke saja. Tapi menurutku sangat nggak cocok untuk orang yang introvert (termasuk saya). Banyak dari mereka yang memaksakan diri sok semangat, meneriakan yel yel kayak Partai Nazi lagi rapat, ludahnya muncrat-muncrat. Asli, itu "siksaan" berat bagi mereka (saya).
Bagiku ESQ itu cuman dagangan, komiditas yang bisa jadi lahan bisnis. Kalau sebuah perusahaan mengadakan kegiatan motivasi atau ESQ, itu sebenarnya sebuah bentuk sodaqoh (ngasih kerjaan) pada motivator, ngAlhamdulillah banget.
Sampai sekarang pun aku nggak bisa paham. Sebelum dan sesudah di-ESQ tetep nggak ada perubahan yang signifikan. Yang saat kerja ngantukan tetap ngantukan. Dulu ndlahom sekarang tetep ndlahom. Yang pasti, waktu untuk kerja jadi terpotong. Setidaknya itu yang saya rasakan, mungkin berbeda jauh dengan anda semua
Sori, saya adalah jenis orang yang kaku, sedikit introvert, benci formalitas, sebisa-bisa mungkin menghindari birokrasi, dan yang pasti nggak suka diatur-atur. \m/
Kebiasaan bisa diubah, tapi tidak dengan karakter. Kalau dipaksa berubah, itu sama saja dengan ganti kelamin. Rupanya banyak yang salah kaprah memaknai kurikulum pendidikan karakter. Ayam dipaksa jadi kambing, kambing dipaksa jadi anjing. Karakter manusia kok diseragamkan.
Jangan salah, aku nggak anti motivasi atau motivator. Cuman aku nggak cocok dengan acara motivasi atau ESQ. Kalau mau mbecak ya mbecak saja, nggak perlu dimotivasi: "Ayo semangat mbecak!" Mau berbuat baik, langsung berbuat saja, nggak usah menunggu dimotivasi. Mau shalat, langsung shalat saja.
Jadi menurutku tanpa motivasi pun manusia akan berbuat baik, selama dia manusia beneran. Harusnya ada gerakan kembali ke kitab suci (agama). Tapi sepertinya sekarang motivasi dan atau ESQ jadi semacam agama baru bagi orang modern. Sedikit -sedikit teriak "Semangat!". Percuma punya semangat kalau nggak punya iman. Iman itulah yang menumbuhkan semangat berbuat baik.
Nggak cuman sok semangat, sejak booming ESQ, banyak perusahaan yang jadi sok agamis. Tiap pagi diwajibkan berdoa bersama. Berdoa kok diwajibkan (dipaksa). Berdoa itu urusan moral umat, urusan personal manusia dengan Tuhan. Dalam berdoa, tiap orang punya goal yang berbeda, konyol kalau diseragamkan.
Berdoa itu harusnya cukup jadi imbauan moral, bukan aturan wajib. Dilaksanakan silakan, nggak dilaksanakan persetan. Kita sama-sama dewasa, sudah paham hitam dan putihnya kehidupan.
Jadi ingat zaman SD dulu. Tiap akan memulai pelajaran ada acara berdoa bersama. Kita bukan anak SD. Kita sudah melewati fase itu, atau sudah pasca dari hal-hal semacam itu.
Aku nggak menolak berdoa, tapi daripada pura-pura berdoa (munafik) mending nggak usah sekalian. Ada memang momen tertentu yang sangat pas untuk berdoa bersama, misalnya saat akan bertanding, saat akan konser, banyak lah. Kalau tiap hari doa bersama, aku nggak yakin mereka berdoanya dengan hati. Dan itu akhirnya cuman jadi formalitas doang bla bla bla (dulu sudah pernah aku tulis, males ngulanginya lagi).
Kata-kata motivasi itu asalnya dari kebenaran filsafat, bukan kebenaran dari kitab suci (wahyu Tuhan). Walau ada juga yang diadopsi dari kitab suci. Jadi jangan terlalu diyakini. Kebenarannya sangat relatif.
Ada sebuah quotes: "Semakin kuat bola dilempar, semakin jauh bola itu memantul" (Jika ingin mendapat hasil yang terbaik, lakukanlah dengan segenap kemampuan yang ada). Quotes ini bisa benar, bisa salah. Kita lihat dulu bidang yang akan dilempar bola. Iya kalau yang dilempar bola itu tembok yang disemen, lha kalau terbuat dari anyaman bambu (gedhek) gimana? Nggak jadi memantul, malah gedhek-nya yang ambyar bin jebol.
Akhirnya jadi kayak lirik lagu "Berakit-rakit" dari Jamrud: "Berakit-rakit ke hulu , berenang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, matilah kemudian." Mamfusssss.
Ada juga orang yang bermaksud memotivasi tapi malah bikin keki. Di sebuah meeting, seorang bos pabrik gembus dengan serius menasehati karyawannya, "Kalian itu mbok kalau kerja yang semangat! Kayak serdadu yang siap tempur! Ketika ada kerjaan mendadak, langsung 'Siap Ndan!', siap lembur sampai titik darah penghabisan." Ndasmu boss.
Buruh pabrik kok disamakan dengan serdadu yang kesejahteraannya sangat dijamin negara. Mereka mendapat berbagai tunjangan yang istimewa. Sangat jauh kalau dibandingkan dengan buruh pabrik yang kesejahteraannya very very limited.
Nggak masalah kalau ada buruh yang menganggap dirinya serdadu yang siap tempur. Itu pemahaman pribadi untuk meneguhkan diri. Kalau bosnya yang menyuruh, itu bos otoriter namanya.
Bos dan buruh harus paham koordinatnya masing-masing. Jangan sampai terbalik-balik. Seperti seorang sopir yang memecahkan kaca spion mobil bossnya saat srempetan dengan mobil lain di jalan. Harusnya boss yang menenangkan si sopir karena harus jaga imej dan martabatnya di depan sopir. Bukan sopirnya yang ngomong, "Nggak papa ya boss, spion murah kok, besok beli tiga ya boss." Bosnya langsung mbatin, sopir mbokneancok!
Nggak cuman salah kaprah menyamakan buruh dengan serdadu. Ada juga yang suka memakai kata-kata ibarat saat ceramah. "Jadilah pemberani, seperti (ibarat) seorang nelayan yang menerjang badai mengarungi lautan." Lambemu Ndes. Aku yakin, jika nelayan punya pilihan, mereka pasti nggak mau jadi nelayan. Seandainya boleh memilih, mereka akan memilih jadi PNS.
Makanya aku nggak suka dengan kata-kata ibarat. Bicara yang nyata-nyata saja Ndes. Ibarat itu cuman "senjata" bagi pembicara yang kehabisan kata. Dan harusnya hidup itu tidak ada dikotomi berani atau tidak berani. Melakukan sesuatu karena memang harus dilakukan, seperti ayam yang berkokok di pagi hari, matahari bersinar di siang hari, dan banyak lagi.
Daripada pakai kata-kata ibarat mending pakai kata pepatah. Misalnya: "Sambil menyelam buang air", "Tak akan lari Nunung dikejar", "Nazir sudah menjadi tukang bubur", "Alon-alon asal kelakson", dan banyak lagi.
Kalau mau mbecak ya mbecak saja, nggak perlu dimotivasi: "Ayo semangat mbecak!" Mau berbuat baik, langsung berbuat saja, nggak usah menunggu dimotivasi. Mau shalat, langsung shalat saja.
****
Mengakhiri nggedabrus saya kali ini, saya ceritakan kembali sebuah cerita klasik (untuk masa depan) yang menarik. Zuukkk cekidot:
Seorang Motivator berkata, "Tahun-tahun terbaik dalam hidupku kuhabiskan bersama seorang wanita yang bukanlah istriku."
Para audiens yang hadir langsung ndlahom jaya. Sang Motivator kemudian menambahkan, "Ia adalah ibuku."
Tepuk tangan diiringi tawa pun bergemuruh memenuhi ruangan.
Bongkeng yang ikut dalam acara The Gondes Ways tadi langsung meng-copy paste quotes Sang Motivator. Setelah makan malam, Bongkeng berkata dengan lantang di depan istrinya di dapur, "Aku menghabiskan tahun-tahun terbaik hidupku bersama seorang wanita yang bukan istriku..."
Bongkeng berhenti sejenak memejamkan matanya, mencoba mengingat kalimat terakhir sang Motivator. Dan "Mak pet!" semuanya gelap. Saat membuka mata, ia mendapati dirinya berbaring di tempat tidur rumah sakit. Rupanya dia baru saja mendapatkan perawatan akibat siraman air panas!
T:T
Pesan moral dari kisah di atas adalah jangan sekali-kali sok bijak kalau belum paham benar.
-Robbi Gandamana-