Minggu, 29 April 2018

Dilema Endonesyah


Jalanan kota saat pagi hari selalu ruwet nggak karu-karuan. Nggak cuman para Mbokde yang suka ngawur dalam berkendara, para Pakde juga banyak yang 'pamer kesaktian' --> zig zag di kemacetan. Ini di Solo, bagaimana kalau Jakarta.
Orang Endonesyah itu hidup dalam dilema. Sarananya nggak beres tapi aturan (hukum) sudah diberlakukan dengan tegas. Ke kantor wajib tepat waktu tapi harus pasrah menerima kondisi jalan yang awut-awutan.
Sepertinya mereka itu lebih takut terlambat (potong gaji) daripada mati tabrakan di jalan. Ada memang jenis 'Pengendara Berani Mati' yang berani ngebut di jalanan ramai dan ruwet demi untuk tepat waktu. Mungkin  semboyan mereka "Tepat Waktu atau Mati!".
Tapi keruwetan di Solo nggak terlalu parah dibandingkan Jakarta (tentu saja). Konon di sana ada yang harus berangkat Subuh agar tidak terlambat sampai kantor. Kasihan kau nak.
Tepat waktu atau berangkat lebih awal itu bagus, tapi kalau taruhan nyawa ya nanti dulu. Dan jangan dipikir orang seperti itu hebat. Hebat kalau tepat waktu itu tumbuh dari kesadaran diri, bukan karena takut gajinya dipotong (kalau terlambat).
Di pinggiran Solo masih banyak yang satu ruas jalan dilewati jutaan kendaraan berbagai jenis. Dari sepeda motor, sepeda onthel, mobil, becak, odong-odong, dokar, bis, truk, tumplek blek jadi satu. Dan jumlahnya terus bertambah  tiap tahun.
Apalagi taraf masyarakat kita sekarang sudah di taraf mampu beli mobil. Wak Doel yang dulu hanya mampu nyicil motor Onda, sekarang sudah punya mobil Inopa. Jalanan kampung yang sempit dijejali mobil yang parkir depan rumah. Garasi nggak ada, tapi mobil punya. Orang Kaya Baru bermunculan dimana-mana. Wajah ndeso tapi rejeki kutho.
Melihat kondisi jalan kampung yang sempit, mungkin harus ada himbauan (bukan peraturan) untuk tidak mengantar anak sekolah di pagi hari pakai mobil. Jalanan kampung nggak konduksif dilewati mobil, sempit. Harus jalan pelan-pelan saat berpapasan dengan mobil lain. Kalau nekat ngebut, spion bisa benjut.
Banyak pengendara motor yang nggak sabar,  potong kompas lewat jalan alternatif (kampung) biar cepat. Ternyata sama saja. Jalannya berlubang dan banyak polisi  tidurnya. Apalagi polisi tidurnya nggak landai (siku), nggak nyaman di bokong.
Kalau dipikir jernih, rasanya kok wagu kalau kita bikin polisi tidur. Jalan dihaluskan (diaspal atau dibeton) biar nyaman dilewati, lha kok malah dikasih polisi tidur yang sema sekali nggak nyaman dilewati. Yang bikin juga orang situ yang tiap hari melalui jalan itu. Kayak senjata makan tuan.
Polisi tidur adalah tanda bahwa kesadaran hukum kita masih primitif. Dikasih rambu '20 Km' nggak mempan. Bahkan dikasih polisi tidur pun masih tetap ugal-ugalan. Orang seperti itu sulit disadarkan, sebelum pernah punya pengalaman nyonyor kecelakaan. Dan nggak usah repot-repot di-ESQ, ora ngefek Mbakyu.
Baguslah kalau ada revolusi mental. Sori aku bukan lover atau hater Jokowi (juga Prabowo), tapi program yang baik harusnya didukung. Hanya karena ente lover Prabowo terus gengsi mengakui program baiknya Jokowi. Tapi Presiden yang baru juga pasti gengsi meneruskan program presiden sebelumnya, walau itu baik dan perlu.
Revolusi mental itu tidak bisa beres selama 5 tahun. Bahkan keberhasilan program revolusi mental itu bisa dilihat setelah 100  sampai 200 tahun (2 keturunan). Keturunan pertama membiasakan diri, keturunan kedua mulai menjalankan. Kok bisa begitu? Karena semua tabiat kacau itu sudah jadi peradaban. Kalau sudah jadi peradaban, sangat sulit dirubah.
Jadi kalau ada pejabat korup atau ustadz cabul jangan menyalahkan Jokowi dengan pertanyaan : "Inikah hasil revolusi mental?" Itu pertanyaan goblok.
Kembali ke soal polisi tidur. Berdasar pada hipotesa awur-awuranku di atas, jangan harap Indonesia akan bebas polisi tidur. Tunggulah 100 atau bahkan 200 tahun lagi.
Tapi bangsa kita itu sejenis 'monyet terlatih'.  Sudah beradaptasi dengan kondisi yang morat-marit selama ratusan tahun. Kalau cuma jalanan kacau, itu soal sepele. Berangkat sekolah lewat jembatan gantung yang total reyot pun mereka oke-oke saja, padahal nyawa taruhannya.
Terlalu seringnya ditimpa krisis membuat bangsa kita punya teknologi bertahan hidup yang luar biasa. Krisis atau tidak, nggak ada bedanya. Ada uang seratus ribu, pasti cukup. Uang tinggal lima puluh ribu, cukuplah. Uang hanya dua puluh lima ribu, ya dicukup-cukupkan.
Rakyat ubet dengan perekonomiannya sendiri nggak ada urusan dengan krisis ekonomi. Krisis ekonomi itu persoalan golongan tertentu yang dibesar-besarkan oleh media. Nyatanya banyak buruh pabrik panci yang berhengpon canggih, banyak karyawan swasta ngoleksi Inopa, banyak wong ndeso yang pergi umroh.
Itulah Endonesyah.

- Robbi Gandamana -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar