Jumat, 28 Juni 2019

Antara Kapitalisme dan Sistem Zonasi



Betul kata Cak Nun kalau dunia pendidikan kita terlalu terseret kapitalisme lembaga pendidikan. Pendidikan dikaitkan dengan urusan laba rugi. Sekolah saling berebut mendapatkan murid sebanyak-banyaknya bukan karena semata urusan pendidikan, tapi mengeruk keuntungan secara ekonomi.
Munculnya istilah Sekolah Favorit atau Sekolah Unggulan itu akarnya dari kapitalisme. Pelabelan seperti itu jelas kaitannya dengan dagang atau jualan untuk menarik konsumen. Ada pemasarannya, branding, dan seterusnya. Dan murid adalah konsumennya.
Kata "unggulan" untuk embe-embel sebuah sekolah itu adalah bentuk kesombongan. Di dunia ini tidak ada manusia yang lebih unggul dari manusia yang lain. Setiap orang punya kelebihan atau bakatnya masing-masing. Kelebihan seseorang adalah kekurangan bagi yang lain. Begitu juga sebaliknya.
Sama dengan "salam super" yang jadi jargon seorang motivator apes. Kata "super" pada jargon tersebut adalah kesombongan. Nggak ada manusia yang super. Manusia super hanya ada di film super hero. Tiap-tiap manusia dikasih bakat, fadhilah, kelebihan yang berbeda. Mereka saling mengisi dan melengkapi. Nggak ada yang lebih super. Kalau kuper banyak.
Semua orang boleh unggul. Tapi jangan dia sendiri yang bilang unggul. "Aku unggul lho.." Iku sombong rek. Kecuali nama di KTP-nya Unggul. Itu harapan orang tuanya agar si anak jadi orang unggul. Halo Nggul.
Orang sekarang itu disamping sombong juga matre. Ilmu dikapitalisasi. Mengajar ada tarifnya. Padahal mengajar itu pekerjaan melayani hamba Tuhan. Nggak jauh beda dengan ngajari ngaji atau ustadz. Jangan sampai ustadz ada tarifnya atau jadi profesi. Bahkan motivator pun harusnya juga nggak pakai tarif. Tapi ojok ngomong sopo-sopo.
Guru atau motivator dibayar bukan karena transfer atau sharing ilmunya, tapi karena penghargaan pada waktu dan tenaga si guru. Atau karena faktor X, aku gak eruh. Kalau dibayar karena sharing ilmu, derajat ilmunya bakalan rusak. Makanya banyak yang paham ilmu tapi kurang ajarnya tetep.
Uteke wong modern iku isine soal urusan laba rugi. Prinsipnya saja "time is money". Semuanya dikomoditaskan. Uang adalah hal pertama yang ada di pikiran. Bagaimana caranya pendidikan jadi lahan bisnis.
Maka ada penyeragaman kaos kaki, sabuk dan lainnya. Dan semua barang itu harus dibeli di sekolah. Sekolah merangkap perusahaan kaos kaki. Akhirnya saingan sama penjual kaos kaki dan sabuk.
Mungkin sebentar lagi ada penyeragaman sepatu (belinya harus di sekolah). Para pemilik toko sepatu pun misuh berjamaah.
Hakikat guru itu bukan mengajari tapi mendampingi murid untuk menemukan dirinya. Kalau ternyata si anak itu "kambing" ya jangan dipaksa jadi "ayam". Kambing jangan dipaksa berkokok. Akhire dadi: "Kukurumbeekkkk.."
Sekolah sekarang memang tempat training calon pegawai perangkat industri. Nggak ada urusannya dengan akhlak dan moral. Seorang sarjana yang terbukti menghamili anak orang, gelar sarjananya tidak akan dicopot. Tapi kalau ada ustadz yang ketahuan mesum, pasti tidak akan lagi diakui sebagai ustadz. Dia juga bakalan malu luar biasa, lari ke Arab.
Pemerintah sekarang sebenarnya agak cerdas dengan kebijakan zonasi yang bertujuan menghapus Sekolah Negeri Favorit atau Unggulan. Pemerataan bla bla bla bla tanyakan pada Menteri Pendidikan.
Jadi sistem zonasi itu sebenarnya bagus. Masalahnya kebijakan itu terlalu prematur kalau diterapkan saat ini. Yang dirolling cuman kepala sekolah dan guru. Tapi sarana prasana Sekolah Negeri di tengah kota dan pinggiran kota masih sangat jauh berbeda.
Ya'opo se rek, standarisasi belum beres, tapi kebijakan sudah diterapkan. Sebelum kebijakan zonasi diterapkan, favoritkan semua Sekolah Negeri di Indonesia (tumben ejaane bener, biasane Endonesyah. Sekali-kali tertib Ndes).
Sekolah Negeri di tengah kota sarana dan prasarananya oke punya. Sedang Sekolah Negeri pinggiran kota kondisinya kumuh jaya. Tentu saja orang tua calon murid yang rumahnya dekat Sekolah Negeri Kumuh pecah ndase. Nggak tega hati melihat buah hatinya hanya diterima di Sekolah Negeri cap Kandang Kambing. Naif memang, syarat diterima di sekolah bukan karena nilai (prestasi) tapi karena meteran.
Aku bukan penyembah sekolah favorit. Tapi kebanyakan yang disebut sekolah favorit itu fasilitasnya memang jos gandos. Konduksif, menggembirakan dan menyehatkan. Itu prinsip. Dan kalau ingin tahu sebuah sekolah itu bagus atau payah, lihatlah toiletnya.
Memang susah jadi Menteri Pendidikan, nuruti permintaan rakyat yang bermacam-macam. Tapi kalau nggak mau susah ya jangan jadi menteri, jadi ilustrator ae. Nang kantor wong-wong podo kerjo, tapi ilustratore malah nggambar ae.
Ah embuh rek...
-Robbi Gandamana-

Minggu, 09 Juni 2019

Lebaran Bukan Ajang Fashion



Lebaran memang hari yang sangat sakral bagi orang endonesa. Seminggu (atau lebih) sebelum bulan puasa sudah disiapkan segala sesuatunya untuk menyambutnya. 
Pokoknya bagaimana caranya lebaran harus istimewa. Rumah dicat ulang sekinclong mungkin. Atau direnovasi kalau ada rezki. Baju, lebaran, sampai sempak pun harus baru. Kere bergaya parlente. 
Padahal kata ustadz, di hari lebaran kita dianjurkan memakai pakaian yang terbaik, bukan yang baru. Karena lebaran bukan ajang fashion show. 
Karena punya barang baru itu sangat berpotensi untuk dipamerkan. Baju baru dipamerkan,  celana baru dipamerkan,  sempak baru.... nggak ah. Tapi monggo nek wani mamerno. Resleting celana dibuka.  
Dan gara-gara budaya beli pakaian baru, ibadah puasa jadi nggak fokus. Terutama yang sudah punya anak. Terawih jadi bolong-bolong karena berburu baju diskonan di Mastohari dept. store.  Padahal sebelum didiskon,  harganya ditinggikan dulu.  Diakali bakul. 
Ada kisah tentang toko pakaian yang terbakar saat menjelang lebaran.  Toko dan isinya ludes dilalap api.  Anehnya si pemilik toko biasa saja menghadapi musibah itu. Nggak menunjukan ekspresi sedih. 
Dia bilang pada wartawan, "Untung kebakarannya hari ini mas,  nggak kemarin.."
Wartawannya heran,  " Lho memang bedanya apa hari ini dan kemarin?"
Pemilik toko menjawab serius, "Kemarin dagangan saya belum saya diskon.. " 
Dobollllll . 
****
Sebenarnya kita sebagai ortu tahu kalau lebaran nggak harus pakai baju baru,  tapi tetap nggak tega hati kalau anak tidak berbaju baru. Karena kalau nggak berbaju baru, takutnya si anak minder lihat teman-temanya pada pakai baju baru. 
Itulah manusia,  pikirannya mengatakan iya tapi hatinya menolak.  Sudah tahu kalau lebaran itu baju nggak harus baru, tapi  tetap beli karena terkondisikan oleh tradisi. 
Angel rek,  gak gampang menghindar dari tradisi.  Nggak perlu juga membid'ahkan. Bid'ah ndasmu. Sing penting bahagia dan tidak mengganggu ibadah. Beres wis. 
Semua tergantung niat dan konsep di dalam hati. Kalau berbaju baru niatnya untuk memuliakan hari lebaran khan oke juga.  Yo nggak?  Lebaran setahun sekali apa salahnya kalau all out.  Memberikan yang terbaik walaupun memang nggak harus yang terbaru.   
Aku sendiri ngalkamdulilah nggak beli baju baru.  Nek wong mbois iku nggak perlu klambi anyar rek.  Nggawe opo ae tetep mbois (howeekk). Ini bukan sombong,  tapi menghibur diri . Danae gak cukup.  
Ada juga yang beli baju karena memang mampunya beli baju saat lebaran. Mengandalkan tehaer. Kere of the year. 
Di zaman 80an dulu,  banyak yang seperti itu.  Mumpung bisa beli baju,  akhirnya yang dibeli baju seragam sekolah.  Itu banyak terjadi di desa. Nggak  heran kalau lebaran di zaman itu banyak anak kecil yang pakai seragam  sekolah. Duh, melas rek.
Aku terharu plus salut pada anak-anak desa zaman dulu. Bayangno ae awakmu pas riyoyo  klambine seragam pramuka.  Wani nggak?  
Wah dadi eling jaman mbiyen rek. Jaman  dimana baju baru adalah sebuah kemewahan yang hanya bisa terbeli setahun sekali.
Wis ngene ae rek. Selamat berbaju baru. Mohon maaf lahir dan batin. 
-Robbi Gandamana-