Minggu, 09 Juni 2019

Lebaran Bukan Ajang Fashion



Lebaran memang hari yang sangat sakral bagi orang endonesa. Seminggu (atau lebih) sebelum bulan puasa sudah disiapkan segala sesuatunya untuk menyambutnya. 
Pokoknya bagaimana caranya lebaran harus istimewa. Rumah dicat ulang sekinclong mungkin. Atau direnovasi kalau ada rezki. Baju, lebaran, sampai sempak pun harus baru. Kere bergaya parlente. 
Padahal kata ustadz, di hari lebaran kita dianjurkan memakai pakaian yang terbaik, bukan yang baru. Karena lebaran bukan ajang fashion show. 
Karena punya barang baru itu sangat berpotensi untuk dipamerkan. Baju baru dipamerkan,  celana baru dipamerkan,  sempak baru.... nggak ah. Tapi monggo nek wani mamerno. Resleting celana dibuka.  
Dan gara-gara budaya beli pakaian baru, ibadah puasa jadi nggak fokus. Terutama yang sudah punya anak. Terawih jadi bolong-bolong karena berburu baju diskonan di Mastohari dept. store.  Padahal sebelum didiskon,  harganya ditinggikan dulu.  Diakali bakul. 
Ada kisah tentang toko pakaian yang terbakar saat menjelang lebaran.  Toko dan isinya ludes dilalap api.  Anehnya si pemilik toko biasa saja menghadapi musibah itu. Nggak menunjukan ekspresi sedih. 
Dia bilang pada wartawan, "Untung kebakarannya hari ini mas,  nggak kemarin.."
Wartawannya heran,  " Lho memang bedanya apa hari ini dan kemarin?"
Pemilik toko menjawab serius, "Kemarin dagangan saya belum saya diskon.. " 
Dobollllll . 
****
Sebenarnya kita sebagai ortu tahu kalau lebaran nggak harus pakai baju baru,  tapi tetap nggak tega hati kalau anak tidak berbaju baru. Karena kalau nggak berbaju baru, takutnya si anak minder lihat teman-temanya pada pakai baju baru. 
Itulah manusia,  pikirannya mengatakan iya tapi hatinya menolak.  Sudah tahu kalau lebaran itu baju nggak harus baru, tapi  tetap beli karena terkondisikan oleh tradisi. 
Angel rek,  gak gampang menghindar dari tradisi.  Nggak perlu juga membid'ahkan. Bid'ah ndasmu. Sing penting bahagia dan tidak mengganggu ibadah. Beres wis. 
Semua tergantung niat dan konsep di dalam hati. Kalau berbaju baru niatnya untuk memuliakan hari lebaran khan oke juga.  Yo nggak?  Lebaran setahun sekali apa salahnya kalau all out.  Memberikan yang terbaik walaupun memang nggak harus yang terbaru.   
Aku sendiri ngalkamdulilah nggak beli baju baru.  Nek wong mbois iku nggak perlu klambi anyar rek.  Nggawe opo ae tetep mbois (howeekk). Ini bukan sombong,  tapi menghibur diri . Danae gak cukup.  
Ada juga yang beli baju karena memang mampunya beli baju saat lebaran. Mengandalkan tehaer. Kere of the year. 
Di zaman 80an dulu,  banyak yang seperti itu.  Mumpung bisa beli baju,  akhirnya yang dibeli baju seragam sekolah.  Itu banyak terjadi di desa. Nggak  heran kalau lebaran di zaman itu banyak anak kecil yang pakai seragam  sekolah. Duh, melas rek.
Aku terharu plus salut pada anak-anak desa zaman dulu. Bayangno ae awakmu pas riyoyo  klambine seragam pramuka.  Wani nggak?  
Wah dadi eling jaman mbiyen rek. Jaman  dimana baju baru adalah sebuah kemewahan yang hanya bisa terbeli setahun sekali.
Wis ngene ae rek. Selamat berbaju baru. Mohon maaf lahir dan batin. 
-Robbi Gandamana-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar