Rabu, 23 Oktober 2019

Hari Santri atau Hari Peringatan Resolusi Jihad?


Jujur ae aku rodok bingung. Santri kok diharikan. Menurutku santri sejati itu nggak butuh Hari Santri. Nyantri ae lah, ngaji sampek raimu pucet. Wis gak usah nyumet lilin terus dikeploki bareng.
Endonesa pancen mbingungi kok. Hari Guru ada tapi Hari Pelajar tidak ada (pernah direkomendasi oleh PPI (Pelajar Islam Indonesia) tanggal 4 mei, tapi kok sepi gaungnya. Sido opo ora se). Hari Santri ada tapi Hari Ustadz tidak ada.
Di Endonesa pengertian santri dan pelajar itu beda. Santri itu anak yang belajar di pesantren, menginap, memakai kopyah dan berkain sarung. Tidak seperti umumnya pelajar di sekolah-sekolah umum.
Aku dewe nggak bisa dan nggak cocok jadi santri. Aku bisa bangun pagi dan shalat subuh, tapi kalau bangunku disuruh oleh ustadz dan ada sanksinya, bakalan tak pisuhi ustate. Aku bisa bersih-bersih halaman, tapi kalau di suruh-suruh ya fak yu. Aku nggak mau disuruh-suruh. I'm a rocker man. Nek dadi santri iso gak kenal rokenrol.
Pendidikan santri di pondok pesantren lebih ditekankan pada akhlak atau moralnya. Karena mereka dicetak untuk jadi kyai dan sejenisnya. Beda dengan pelajar. Yang penting nilai ulangan bagus, lulus dan dapat gelar. Makanya gelar sarjana nggak ada hubungannya dengan moral. Kalau ketahuan korupsi gelar sarjananya tidak dicopot. Beda dengan kyai atau ustadz.
Endonesa iku pancen kakean hari peringatan. Hari Ibu, Hari Ayah, Hari Anak, dan seterusnya. Besok-besok mungkin ada Hari Om atau Hari Ponakan. Mbok wis gak usah kakean hari peringatan, dilakoni ae lah.
Hari Santri itu mengenang resolusi jihad yang difatwakan KH Hasyim Asyari pada tanggal 22 oktober 1945. Sebuah seruan kepada semua santri NU untuk berperang melawan Belanda yang membonceng sekutu yang akan kembali menjajah Indonesia. Yang saat itu mendarat di Surabaya.
Para pahlawan yang gugur di pertempuran 10 November 1945 iku kebanyakan kyai-kyai NU dan santri-santrinya. Bung Tomo cuman cuap-cuap di radio, gak melok perang. Dan di zaman itu Indonesia belum punya tentara resmi yang solid. Isinya kebanyakan milisi. Senjatanya seadanya, sak ketemune. Nemune pring, yo wis iku dilincipi digawe senjata.
Kalau ingin tahu isi dari Resolusi Jihad, silakan simak di sini
Resolusi Jihad sendiri tidak ditulis di buku sejarah Indonesia. Aku dewe yo tas ngerti (ojok ngomong sopo-sopo yo). Dulu tidak pernah disinggung atau diajarkan oleh guru sejarah di sekolah. Lha wong di buku sejarah tidak ditulis. Ah iku soal politik, kapan-kapan dibahas.
Hari Santri ditetapkan oleh Jokowi di masjid Istiqlal tanggal 22 Oktober 2015 itu untuk mengenang atau penghormatan pada para santri yang telah berjuang melawan sekutu. Guduk gawe raimu. Ojok geer koen.
Menurutku nama yang cocok itu bukan Hari Santri tapi Hari Peringatan Resolusi Jihad.  Kalau Hari Santri, santri yang dimaksud di hari itu adalah santri NU, santri-santrinya KH Hasyim Asyari. Bukan santri secara umum. Tapi ojok ngomong sopo-sopo, serius iki.
Mbuh wis sakarepe presidene. Cuman sing nggarai gelo, tanggale kok gak abang se. Gak prei Ndes.
-Robbi Gandamana-

Sekilas tentang Tanto Mendut sang Pendekar Lima Gunung




Hanya orang tertentu yang tahu atau mengenal Pak Tanto Mendut. Yang tahu kebanyakan anak Maiyah atau  mereka yang  aktif di ranah budaya dan kesenian rakyat. Beliau ini sangat jarang diberitakan. Gak tahu melbu tivi. Mungkin tidak marketable untuk diberitakan. Nggak mecing men.
Padahal beliau adalah pendiri sekaligus pemimpin Komunitas Lima Gunung yang sering menggelar perhelatan seni-budaya berskala internasional. Gila men. Perhelatannya jarang disiarkan di tivi nasional. Saya sendiri juga kurang tahu. Maaf saya orang baru.
Pembawaannya yang rileks, cengar cengir dan apa adanya membuat orang mengira Tanto Mendut ini orang ndeso yang nggak lulus esde. Tapi ketika beliau mulai bicara, audiensnya terpana plus ngiler dengan celoteh dan gagasannya yang dahsyat sekaligus menghibur. Omongannya ngawur tapi benar. Masuk di akal alias logis.
Model potongane gak update blas. Koyok wak carik di pelosok desa yang tidak tersentuh gadget. Wagu. Tapi kedalaman pikirnya sebanding dengan profesor paling top lulusan Amrik.
Ketajaman dan kejernihan dalam menangkap makna yang tersirat dalam kehidupan sosial budaya patut dijadikan rujukan. Sepertinya beliau sudah qatam bab kesunyian. Hatinya sudah selesai. Sayangnya dia bukan lulusan pesantren. Jadi nggak pinter ndalil. Nggak paham bahasa Arab. Arab Maklum.
Beliau adalah sarjana utama lulusan akademi musik di jalan Suryodiningratan Jogja (sekarang kampus Program Pasca Sarjana ISI Jogja dan beliau juga dosen tamu di kampus tersebut). Pernah menerima penghargaan dari Yayasan Sains Estetika dan Teknologi atas kegigihannya memberdayakan masyarakat melalui kehidupan sosiokultural.
Lahir di Magelang, Jawa Tengah, 5 Februari 1954 dengan nama Sutanto. Nama 'Mendut' di belakang nama Sutanto adalah nama tempat di sekitar Candi Mendut, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Dia memilih nama itu untuk mengekspresikan cara dia berkesenian. Katanya sih.
Beliau seringkali diminta jadi nara sumber di acara Mocopat Syafaat (lingkar maiyah Jogja) mendampingi Cak Nun. Gagasan-gagasannya selalu aneh tapi mencerahkan. Apalagi dibumbui dengan humor-humor segar yang tidak ada duanya. Ngekek sak ngompole. Bagiku Tanto Mendut nggak cuman budayawan, tapi juga seorang master stand up comedy.
Yang kutahu hanya sekali beliau tidak mbanyol. Ketika acara Maiyahan di Ngluwar , Magelang. Ceritanya saat kelompok Kiai Kanjeng main musik, ada seorang penonton yang naik panggung dan berjoget liar. Pakai seragam tentara tapi topinya polisi, (semacam seragam operasi gabungan Polri dan TNI begitulah), berkaca mata hitam dengan helm nyantol di pinggang.
Orang aneh yang ternyata bernama Nuriadi ini memang nyentrik total. Sekilas memang koyok wong gendeng. Panitia sempat akan mengamankan dia dengan mengusirnya dari atas panggung. Tapi Cak Nun mencegahnya.
Ketika ditanya oleh Cak Nun jawabannya sopan, cerdas dan ternyata paham agama (dengan mengutip ayat-ayat Al Qur'an), walau dengan gayanya yang konyol.  Apalagi ternyata dia juga hafal lagu "Syi`ir Tanpo Waton", lagu favoritnya Gus Dur. Dan ketika ditanya pekerjaannya, Nuriadi menjawab, " Apa yang kukerjakan hari itu, itulah pekerjaanku."
Tanto Mendut yang diberi kesempatan ngasih sambutan, langsung terharu mewek. Sama sekali nggak lucu blas.  Beliau begitu terkesan dengan Nuriadi. Orang yang dianggap aneh, antik, dan nggak waras, ternyata berilmu, cerdas dan sangat waras.
Soal Nuriadi ini Cak Nun berpesan, "Karena kebodohan dan ketidaktahuan kita, Jangan pernah merendahkan siapapun di muka bumi ini. Karena setiap makhluk Allah memiliki kelebihan masing-masing  atas fadilah dariNya. "

Cerita soal Tanto Mendut memang seru. Gayanya nggak lazim, karena dia seorang pencari. Jadi jangan memakai standar budaya yang berlaku pada orang kebanyakan. Beliau sudah pasca dari semua itu. Sama dengan Cak Nun, Sujiwo Tejo, Umbu Landu Paranggi atau yang lebih ekstrim lagi : Weldo, seorang seniman yang bermukim di Bali.
Orang-orang seperti itu harusnya dilindungi negara. Karena hampir punah. Sayangnya di negeri ini yang disuaka cuman satwa, suaka margasatwa.
Wis cukup sak mene ae. Sing paham soal Pak Tanto Mendut lebih detail, tulung diterusno. Lagi males nulis.
-Robbi Gandamana-

Jumat, 11 Oktober 2019

Bangsa Hebat yang Tidak Tahu Kehebatannya

Bangsa Indonesia itu sepertinya bangsa hibrida. Orangnya multi talenta. Banyak yang profesinya  tidak sesuai dengan jurusan yang kita ambil saat kuliah dulu. Kuliah jurasan hukum tapi jadi juragan rongsokan besi, lulusan pertanian jadi desainer grafis, lulusan politik tapi jadi penggiat MLM air mineral (iki multi talenta opo kepekso yo?).
Bangsa kita bukan bangsa yang remeh temeh. Cebol tapi cerdik. Baru sebulan otak atik henpon setelah itu berani buka jasa service henpon. Nggak pernah kursus elektronik tapi buka jasa service barang-barang elektronik. Sparepart motor yang sudah nggak layak pun diotak-atik jadi layak lagi. Kabeh iso diakali. Total kreatif. Cuman untu merongos sing gak iso diakali.
Pelajar Indonesia sering banget menjuarai olimpiade sains dan fisika internasional. Coba cek di yohanessurya.com. Yohanes Surya berhasil membuat anak Papua pedalaman yang awalnya membaca saja sulit, nggak bisa berhitung, malah menjadi juara lomba sains.
Anak pelosok paling tertinggal pun bisa jadi hebat kalau ditangani oleh guru yang hebat. Bodoh bukan berarti goblok. Mereka cuman belum menemukan guru yang cocok, atau kurikulume sing bosok. Dalam dunia pendidikan juga ada semacam perjodohan.
Tapi sayangnya prestasi mereka kebanyakan hanya sampai masa sekolah. Setelah lulus pikirannya terpecah atau bahasa kasarnya dirusak oleh keadaan, lingkungan, bahkan ortunya. Dalam pikirannya tertanam atau ditanamkan : bagaimana caranya jadi orang kaya. Sekolah tinggi-tinggi tujuannya satu--> jadi orang kaya.
Karena masyarakat kita masih memegang paradigma lama. Bahwa orang akan jadi terhormat ketika jadi orang kaya. Sehebat apapun bakatmu nggak akan dihargai orang kalau kamu tidak kaya. Omonganmu nggak akan didengar. Makanya di sini motivator harus kaya dulu sebelum jadi motivator. Padahal motivasi itu soal vitamin jiwa, bukan soal kamu jadi kaya atau enggak.
Kalau cuman ingin kaya, nggak usah sekolah juga bisa. Apapun usaha (dagang) kalau dirintis sejak masih anak-anak akan menghasilkan saat dewasa. Nek sik cilik wis istiqomah dodolan pentol, gedene iso dadi juragan pentol.
Aku ingat seorang temannya temanku yang dipaksa masuk jurusan ekonomi padahal dia sangat berbakat di bidang seni terutama ngelukis. "lha lapo kuliah ngelukis, nang Bali wis akeh (pelukis), " jare bapake. Yo wis lah sip, gak popo. Iku urusan pribadi, aku gak ngurus.
Banyak orang tua yang mengingkari bakat besar anaknya seperti itu. Anak dipaksa tidak menjadi dirinya. Bayangkan saja kalau Michael Jackson orang Indonesia. Doi bakalan nggak jadi penyanyi. Pasti sudah dipaksa bapaknya jadi pegawai negeri.
Tapi di negeri ini memang bakat besar tidak diurusi negara. Upah kerja rendah dan tidak dijamin hidup layak. Rakyat ubet dengan ekonominya sendiri dan kerjaan negara merepotkan rakyatnya. Makanya banyak yang lari ke Malaysia, Korea, atau Arab.
Aku melihat di YouTube, banyak talenta muda luar biasa  di sana. Sangat membanggakan Indonesia. Arek cilik-cilik gitarane dahsyat jaya, sekelas gitaris dunia. Iki serius rek. Coba cek akun Ayu Gusfanz, Abim Finger, Meliani Siti Sumartini dan Alip Ba Ta si master fingerstyle. Youtuber luar negeri yang juga jago main gitar mengakui kedahsyatan mereka.
Ayu Gusfans itu masih anak-anak, tapi cabikan gitarnya gila men. Nomor-nomor milik Yngwie Malmsteen, Jason Becker, Andy James, dan gitaris legend lainnya dimainkan dengan sangat ciamik. Nggak cuman cepat, soul-nya juga oke. Lagu dengan komposisi yang mbulet jadi terlihat gampang di tangan dia. Untung aku sudah nggak main gitar lagi. Kalau tidak, bisa stress aku kalah sama anak kecil.
Bahkan di umur 10 tahun Ayu Gusfans sudah qatam permainan gitar lagu "Through the Fire and Flames" dari Dragon Force. Melodi di lagu ini benar-benar rumit tapi dimainkan oleh Ayu dengan sangat rileksnya bla bla bla percuma dijabarno, paling awakmu yo gak paham.
Harusnya negara berburu anak-anak hebat itu. Negara yang butuh orang hebat, bukan sebaliknya. Selamatkan mereka, sebelum dipaksa bapaknya jadi pegawai negeri.
Sori aku tidak sedang mendiskreditkan pegawai negeri. Bukan itu poinnya. Ini soal menghargai bakat, anugerah pemberian Tuhan. Karena tidak semua orang punya anugerah seperti itu. Sayang kalau bakat besar harus dimatikan hanya karena takut nggak jadi orang kaya.
Wajar kalau ingin kaya, aku juga ingin kaya. Tapi apa asyiknya kaya kalau mengingkari anugerah. Karena puncak kesuksesan manusia sejatinya adalah bahagia.
Kita adalah bangsa hebat yang tidak tahu kehebatannya sendiri.  Karena bibit -bibit kehebatan itu tidak bersemai. Negara telah membunuh potensi bangsanya dengan kebijakan yang tidak menguntungkan rakyat dan menenggelamkan bakat manusia.
Sistem outsourcing, upah rendah dan segala macamnya itu telah membuyarkan mimpi-mimpi indah. Saking fokusnya kerja keras cari makan sampai tidak kenal dirinya. Lupa dengan talenta yang dia punya. Dan rakyat  pun cari selamat, berduyun-duyun meraih mimpi Indonesia --> jadi  pegawai negeri. Bagaimana caranya kerja nggak keluar keringat tapi hari tua terjamin. Beres.
-Robbi Gandamana-

Minggu, 06 Oktober 2019

Jangan Paksa Rakyat Kere Menerapkan Hukum Ala Bule



Asline rakyat nggak peduli-peduli amat dengan rancangan undang-undang yang kontroversial itu. Yang peduli itu masyarakat terpelajar kalangan menengah ke atas. 
Kalau rakyat jelata nggak ngurus. Diterapkan silakan, nggak diterapkan persetan. Mereka tetap nguli, mbakul di pasar, ke perempatan lampu merah bawa sulak. Lha lapo mikir negoro.
Rakyat jelata nggak kenal istilah marital rape. Panganan opo iku. Kalau terjadi masalah soal hubungan seks antar suami istri solusinya satu: cerai. Tamat.
Undang-undang soal marital rape ini bagus, peduli dengan nasib perempuan. Tapi sepertinya hanya cocok diterapkan di masyarakat kosmopolitan yang pikirannya maju dan terbuka dalam hal apa pun. Kalau masyarakat di kota-kota kecil agak susah diterapkan. Masih ada budaya sungkan, pekiwuh, sawangane.
Masalah seks antar suami istri itu aib bagi sebagian besar masyarakat. Jangan sampai tetangga kanan kiri tahu. 
Kalau sampai tahu, bisa jadi bahan gosipan para bude dan mbokde seantero kampung, "Eh ternyata Zubaidah selama ini diperkosa oleh suaminya sendiri. Dadi anake sing lahir wingi iku hasil diperkosa bojone. Termasuk anak haram opo ora iku yo?"
Undang-undang soal ayam peliharaan yang masuk pekarangan orang itu juga oke sebenarnya. Menjunjung tinggi privasi orang. Ayam yang bebas keluyuran memang bajingan. 
Aku ngalami dewe. Tanaman hias rusak akibat ayam tetangga yang dibiarkan solo karier mencari makan sendiri. Tapi aku wong jowo, urusan seperti itu nggak mungkin jadi urusan polisi.
Gendeng ta, mosok gara-gara pitik, seduluran dadi rusak. Wong Jowo iku gak isoan. Saiki mangkel, sesuke diteri jenang, mangkele ilang. Urusan ayam kok dipikir pusing. Nggak usah pusing kalau ayamnya masih saja membandel. Kita pakai cara Endonesyah. Potas murah.
Kita hidup di masyarakat tradisional yang masih ada budaya srawung, gotong royong, ronda, pul kumpul dan seterusnya. Kebanyakan hukumnya masih pakai hukuman moral. 
Urusan ayam masuk pekarangan orang nggak perlu pakai pasal. Kalau semua urusan moral umat dipasalkan, aparatnya kerepotan. Butuh dana besar dan rumah tahanan bakal overload.
Undang-undang tadi kebanyakan diadopsi dari negara-negara mapan. Seperti Korsel, Amrik, Belanda, Jerman dan negara-negara Eropa lainnya. Masyarakat kotanya individualis. Nggoreng ikan asin atau terasi bisa dilaporkan polisi kalau tetangga kanan kiri terganggu, nggak suka baunya. Fak yu tenan.
Hidup di negara yang hukumnya sangat tertib itu melelahkan. Menebang pohon depan rumah saja harus izin otoritas setempat. 
Sepertinya aturan menyalakan lampu motor di siang hari itu juga adopsi dari luar. Negara tropis yang siang harinya terang benderang ini lampu motor harus dinyalakan. Menyebalkan.
Aku percaya seratus persen wakil rakyat itu orang cerdas. Iwan Fals bilang wakil rakyat itu kumpulan orang hebat, bukan kumpulan teman-teman dekat. 
Makanya kebijakannya atau rancangan undang-undangnya terlalu cerdas, sangat jauh melampaui zamannya. Mungkin studi bandingnya ke luar negeri. Kuliahnya juga di sana. Jadi pakai ukuran orang bule. Rakyat kere dipaksa menerapkan hukum ala bule.
Nggak heran kalau mahasiswanya pada demo. Mungkin kecerdasan para mahasiswa di bawah jauh wakil rakyatnya. Yo wis lah gak popo. Aku mendukung demo, tapi tidak mendukung anarkisme. Anarkis sepak ndase.
Yang nggak demo juga jangan baperan. Poster lucu-lucuan kok dikomentari serius. Mbok dirasakan auranya. Mana yang serius, mana yang enggak. Ketahuan kalau mabuk Pilpres. Mereka itu menyelam sambil buang air. Demo sekalian refreshing, bosen dari rutinitas perkuliahan.
Aku nggak masalah anak STM demo, asal nggak anarkis dan bukan demonstran bayaran. Tugas pelajar memang belajar, tapi demo itu sebenarnya proses belajar. Jangan diartikan sempit, belajar nggak hanya di kelas. Tapi ojok ngomong sopo-sopo yo. Wis gak usah dibahas.
Aku juga suka mahasiswa menolak diajak presiden berdialog di istana. Mereka hanya mau berdialog di depan publik, tempat terbuka. 
Kalau berdialog di istana (tempat tertutup) sambil makan-makan, bahaya! Karena satu keajaiban Jokowi adalah punya semacam pengasihan yang membuat orang jadi lulut dan manut. Tanyakan pada paranormal.
Para mahasiswa ini instingnya lumayan juga, punya semacam sidik paningal. Karena buanyak orang yang setelah diajak makan-makan di istana setelah itu jadi cinta mati Jokowi.
Dulu saat masih di Solo, para pedagang klitikan (barang rombeng) bisa dengan mudah mau pindah ke tempat yang sangat jauh dan relatif sepi pembeli. Tanpa perlawanan, padahal aku tahu sendiri para pedagangnya sangar dan susah diatur. Itu setelah diajak makan-makan. Kok iso yo? 
...Kapan-kapan dibahas.
Ah, embuh rek..ojok percoyo tulisan iki. Jokowi orang jujur.
-Robbi Gandamana-