Jumat, 11 Oktober 2019

Bangsa Hebat yang Tidak Tahu Kehebatannya

Bangsa Indonesia itu sepertinya bangsa hibrida. Orangnya multi talenta. Banyak yang profesinya  tidak sesuai dengan jurusan yang kita ambil saat kuliah dulu. Kuliah jurasan hukum tapi jadi juragan rongsokan besi, lulusan pertanian jadi desainer grafis, lulusan politik tapi jadi penggiat MLM air mineral (iki multi talenta opo kepekso yo?).
Bangsa kita bukan bangsa yang remeh temeh. Cebol tapi cerdik. Baru sebulan otak atik henpon setelah itu berani buka jasa service henpon. Nggak pernah kursus elektronik tapi buka jasa service barang-barang elektronik. Sparepart motor yang sudah nggak layak pun diotak-atik jadi layak lagi. Kabeh iso diakali. Total kreatif. Cuman untu merongos sing gak iso diakali.
Pelajar Indonesia sering banget menjuarai olimpiade sains dan fisika internasional. Coba cek di yohanessurya.com. Yohanes Surya berhasil membuat anak Papua pedalaman yang awalnya membaca saja sulit, nggak bisa berhitung, malah menjadi juara lomba sains.
Anak pelosok paling tertinggal pun bisa jadi hebat kalau ditangani oleh guru yang hebat. Bodoh bukan berarti goblok. Mereka cuman belum menemukan guru yang cocok, atau kurikulume sing bosok. Dalam dunia pendidikan juga ada semacam perjodohan.
Tapi sayangnya prestasi mereka kebanyakan hanya sampai masa sekolah. Setelah lulus pikirannya terpecah atau bahasa kasarnya dirusak oleh keadaan, lingkungan, bahkan ortunya. Dalam pikirannya tertanam atau ditanamkan : bagaimana caranya jadi orang kaya. Sekolah tinggi-tinggi tujuannya satu--> jadi orang kaya.
Karena masyarakat kita masih memegang paradigma lama. Bahwa orang akan jadi terhormat ketika jadi orang kaya. Sehebat apapun bakatmu nggak akan dihargai orang kalau kamu tidak kaya. Omonganmu nggak akan didengar. Makanya di sini motivator harus kaya dulu sebelum jadi motivator. Padahal motivasi itu soal vitamin jiwa, bukan soal kamu jadi kaya atau enggak.
Kalau cuman ingin kaya, nggak usah sekolah juga bisa. Apapun usaha (dagang) kalau dirintis sejak masih anak-anak akan menghasilkan saat dewasa. Nek sik cilik wis istiqomah dodolan pentol, gedene iso dadi juragan pentol.
Aku ingat seorang temannya temanku yang dipaksa masuk jurusan ekonomi padahal dia sangat berbakat di bidang seni terutama ngelukis. "lha lapo kuliah ngelukis, nang Bali wis akeh (pelukis), " jare bapake. Yo wis lah sip, gak popo. Iku urusan pribadi, aku gak ngurus.
Banyak orang tua yang mengingkari bakat besar anaknya seperti itu. Anak dipaksa tidak menjadi dirinya. Bayangkan saja kalau Michael Jackson orang Indonesia. Doi bakalan nggak jadi penyanyi. Pasti sudah dipaksa bapaknya jadi pegawai negeri.
Tapi di negeri ini memang bakat besar tidak diurusi negara. Upah kerja rendah dan tidak dijamin hidup layak. Rakyat ubet dengan ekonominya sendiri dan kerjaan negara merepotkan rakyatnya. Makanya banyak yang lari ke Malaysia, Korea, atau Arab.
Aku melihat di YouTube, banyak talenta muda luar biasa  di sana. Sangat membanggakan Indonesia. Arek cilik-cilik gitarane dahsyat jaya, sekelas gitaris dunia. Iki serius rek. Coba cek akun Ayu Gusfanz, Abim Finger, Meliani Siti Sumartini dan Alip Ba Ta si master fingerstyle. Youtuber luar negeri yang juga jago main gitar mengakui kedahsyatan mereka.
Ayu Gusfans itu masih anak-anak, tapi cabikan gitarnya gila men. Nomor-nomor milik Yngwie Malmsteen, Jason Becker, Andy James, dan gitaris legend lainnya dimainkan dengan sangat ciamik. Nggak cuman cepat, soul-nya juga oke. Lagu dengan komposisi yang mbulet jadi terlihat gampang di tangan dia. Untung aku sudah nggak main gitar lagi. Kalau tidak, bisa stress aku kalah sama anak kecil.
Bahkan di umur 10 tahun Ayu Gusfans sudah qatam permainan gitar lagu "Through the Fire and Flames" dari Dragon Force. Melodi di lagu ini benar-benar rumit tapi dimainkan oleh Ayu dengan sangat rileksnya bla bla bla percuma dijabarno, paling awakmu yo gak paham.
Harusnya negara berburu anak-anak hebat itu. Negara yang butuh orang hebat, bukan sebaliknya. Selamatkan mereka, sebelum dipaksa bapaknya jadi pegawai negeri.
Sori aku tidak sedang mendiskreditkan pegawai negeri. Bukan itu poinnya. Ini soal menghargai bakat, anugerah pemberian Tuhan. Karena tidak semua orang punya anugerah seperti itu. Sayang kalau bakat besar harus dimatikan hanya karena takut nggak jadi orang kaya.
Wajar kalau ingin kaya, aku juga ingin kaya. Tapi apa asyiknya kaya kalau mengingkari anugerah. Karena puncak kesuksesan manusia sejatinya adalah bahagia.
Kita adalah bangsa hebat yang tidak tahu kehebatannya sendiri.  Karena bibit -bibit kehebatan itu tidak bersemai. Negara telah membunuh potensi bangsanya dengan kebijakan yang tidak menguntungkan rakyat dan menenggelamkan bakat manusia.
Sistem outsourcing, upah rendah dan segala macamnya itu telah membuyarkan mimpi-mimpi indah. Saking fokusnya kerja keras cari makan sampai tidak kenal dirinya. Lupa dengan talenta yang dia punya. Dan rakyat  pun cari selamat, berduyun-duyun meraih mimpi Indonesia --> jadi  pegawai negeri. Bagaimana caranya kerja nggak keluar keringat tapi hari tua terjamin. Beres.
-Robbi Gandamana-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar