Berita tragedi susur sungai Sempor di Sleman memang bikin emosi. Anak SMP kok di suruh menyusuri sungai tanpa peralatan dan pemandu yang memadai. Apalagi pas musim hujan. Iku nekat sak pole. Opo yo nggak mikir kemungkinan terburuk. Mungkin kedepannya diganti susur got saja.
Rambo yang pinter renang pun kalau diterjang banjir nggak mesti selamat, apalagi ini anak abege. Ketika air mulai naik, mereka sudah panik duluan, nangis. Padahal salah satu kesalahan fatal ketika bencana datang adalah panik. Kalau sudah panik, berpikirnya nggak jernih, dan itu mengundang malaikat maut.
Baru kali ini aku dengar ada kegiatan susur sungai untuk anak SMP. Ekstrakurikuler kok koyok tes masuk Satpam. Dan ternyata kegiatan itu nggak konfirmasi Kepala Sekolah. Mungkin Kepala Sekolahnya belum nge-add (memangnya fesbuk).
Indonesia memang negara yang nggak perduli dengan urusan safety. Sukanya meremehkan keselamatan, susah kalau diajak safety. Tapi juga karena terpaksa. Banyak jembatan yang sudah rusak parah, bolong di sana-sini tetap dilewati. Tiap hari kontes uji nyali.
Kadang juga karena salah kostum. Kerja di pabrik material berat nggak pakai sepatu kulit yang safety tapi malah pakai sepatu kets. Tapi giliran rekreasi ke pantai pakai sepatu kulit, atau bahkan sepatu pantofel. Situ ke pantai atau kondangan?
Pakai helm atau safety belt bukan karena urusan safety, tapi karena takut polisi. Ketika kena tilang di sebuah razia, ditanya polisi kenapa nggak pakai helm, yang ditanya menjawab, "Saya tahu kalau naik motor harus pakai helm, tapi saya nggak tahu kalau ada razia."
"Ya sudah, besok-besok kalau ada razia saya WA. Sekarang limapuluh ribu saja, " kata si polisi yang ternyata polisi cepek. Kere.
Aku sendiri bukan orang yang safety-safety amat. Dulu aku pernah nyablon saat masih ngampus. Kalau nyablon nggak pakai masker, padahal uap cairan untuk nyablon itu keras sekali. Untung usahanya bangkrut kena efek krismon. Kalau sekarang masih nyablon, mungkin aku sudah kayak Wewe Gombel. Paru-paru bocor.
Banyak tukang sablon yang kalau nyablon nggak pakai masker. Makane tukang sablon iku raine ganok sing fresh. Roto-roto rembes. Hampir tiap hari menghirup uap cairan sablon. Umur telungpuluh tahun koyok sangangpuluh tahun. Tapi itu semua demi untuk sablonminanas dan sablonminalloh. ???
Di negeri ini kesadaran untuk safety memang rendah. Kita terbiasa mengandalkan nasib baik. Tiap pagi sering terlihat tukang sayur zig zag dengan motor yang pakai bronjong penuh sayur. Padahal jalanan pagi itu ruwetnya luar biasa. Semua jenis kendaraan tumplek blek di jalan. Tronton, truk, mobil, motor, odong-odong, becak, ontel, semua berpacu dalam melodi eh waktu.
Aku nggak pernah bisa sabar kalau sudah berada di tengah-tengah kemacetan. Apalagi kalau ada yang main klakson. Sudah tahu macet kok ngeklakson. Aku pun misuh, "budek cok!"
Astagfirulloh, betapa kagetnya aku ketika noleh ke belakang, ternyata yang ngelakson seorang kakek dengan rambut yang ubanfull. "Mbah, nek isuk-isuk ojok rekreasi nang dalan gede. Macet Mbah." Untung Mbahnya budek. Sori yo Mbah.
Karena meremehkan safety juga, banyak orang yang mati tersengat listrik. Mereka-mereka yang bergaya Gundala. Sudah tahu nggak ahli listrik, tapi nekat ditangani sendiri. Tanpa pengaman dan pengalaman yang memadai. Gosong jadinya.
Bahkan orang PLN yang sudah paham prosedur dan penanganan listrik pun juga ada yang kesetrum kok. Makanya kalau listrik mati jangan misuhi PLN. Mereka sudah mempertaruhkan nyawa untuk ngurusi listrik. Jadi jangan misuhi mereka : "Bajingan! listrik mati kok gak ngabari. Peli Listrik Negara!"
Walau sebenarnya konsumen itu raja. Yang penting sudah bayar, nggak mau tahu urusan dibalik layar. Tapi tetap jangan misuhi PLN. Kalau terpaksa misuh, misuhlah dalam hati.
Di dunia kerja, masih banyak pabrik yang kondisi mesinnya sudah uzur tapi tetap dipakai. Kalau nggak hati-hati jari tangan bisa mrotoli. Kondisinya parah, banyak bagian yang sudah diakali karena spare part-nya sudah nggak diproduksi. Sudah layak masuk museum. Sudah diprospek berkali-kali oleh pengusaha rongsokan besi Madura. Kali aja mau dijual kiloan.
Wis ah.
-Robbi Gandamana-