Senin, 24 Februari 2020

Negeri yang Meremehkan Safety


Berita tragedi susur sungai Sempor di Sleman memang bikin emosi. Anak SMP kok di suruh menyusuri sungai tanpa peralatan dan pemandu yang memadai. Apalagi pas musim hujan. Iku nekat sak pole. Opo yo nggak mikir kemungkinan terburuk. Mungkin kedepannya diganti susur got saja.
Rambo yang pinter renang pun kalau diterjang banjir nggak mesti selamat, apalagi ini anak abege. Ketika air mulai naik, mereka sudah panik duluan, nangis. Padahal salah satu kesalahan fatal ketika bencana datang adalah panik. Kalau sudah panik, berpikirnya nggak jernih, dan itu mengundang malaikat maut.
Baru kali ini aku dengar ada kegiatan susur sungai untuk anak SMP. Ekstrakurikuler kok koyok tes masuk Satpam. Dan ternyata kegiatan itu nggak konfirmasi Kepala Sekolah. Mungkin Kepala Sekolahnya belum nge-add (memangnya fesbuk).
Indonesia memang negara yang nggak perduli dengan urusan safety. Sukanya meremehkan keselamatan, susah kalau diajak safety. Tapi juga karena terpaksa. Banyak jembatan yang sudah rusak parah, bolong di sana-sini tetap dilewati. Tiap hari kontes uji nyali.
Kadang juga karena salah kostum. Kerja di pabrik material berat nggak pakai sepatu kulit yang safety  tapi malah pakai sepatu kets. Tapi giliran rekreasi ke pantai pakai sepatu kulit, atau bahkan sepatu pantofel. Situ ke pantai atau kondangan?
Pakai helm atau safety belt bukan karena urusan safety, tapi karena takut polisi. Ketika kena tilang di sebuah razia, ditanya polisi kenapa nggak pakai helm, yang ditanya menjawab, "Saya tahu kalau naik motor harus pakai helm, tapi saya nggak tahu kalau ada razia."
"Ya sudah, besok-besok kalau ada razia saya WA. Sekarang limapuluh ribu saja, " kata si polisi yang ternyata polisi cepek. Kere.
Aku sendiri bukan orang yang safety-safety amat. Dulu aku pernah nyablon saat masih ngampus. Kalau nyablon nggak pakai masker, padahal uap cairan untuk nyablon itu keras sekali. Untung usahanya bangkrut kena efek krismon. Kalau sekarang masih nyablon, mungkin aku sudah kayak Wewe Gombel. Paru-paru bocor.
Banyak tukang sablon yang kalau nyablon nggak pakai masker. Makane tukang sablon iku raine ganok sing fresh. Roto-roto rembes. Hampir tiap hari menghirup uap cairan sablon. Umur telungpuluh tahun koyok sangangpuluh tahun. Tapi itu semua demi untuk  sablonminanas dan sablonminalloh. ???
Di negeri ini kesadaran untuk safety memang rendah. Kita terbiasa mengandalkan nasib baik. Tiap pagi sering terlihat tukang sayur zig zag dengan motor yang pakai bronjong penuh sayur. Padahal jalanan pagi itu ruwetnya luar biasa. Semua jenis kendaraan tumplek blek di jalan. Tronton, truk, mobil, motor, odong-odong, becak, ontel, semua berpacu dalam melodi eh waktu.
Aku nggak pernah bisa sabar kalau sudah berada di tengah-tengah kemacetan. Apalagi kalau ada yang main klakson. Sudah tahu macet kok ngeklakson. Aku pun misuh, "budek cok!"
Astagfirulloh, betapa kagetnya aku ketika noleh ke belakang, ternyata yang ngelakson seorang kakek dengan rambut yang ubanfull. "Mbah, nek isuk-isuk ojok rekreasi nang dalan gede. Macet Mbah." Untung Mbahnya budek. Sori yo Mbah.
Karena meremehkan safety juga, banyak orang yang mati tersengat listrik. Mereka-mereka yang bergaya Gundala. Sudah tahu nggak ahli listrik, tapi nekat ditangani sendiri. Tanpa pengaman dan pengalaman yang memadai. Gosong jadinya.
Bahkan orang PLN yang sudah paham prosedur dan penanganan listrik pun juga ada yang kesetrum kok. Makanya kalau listrik mati jangan misuhi PLN. Mereka sudah mempertaruhkan nyawa untuk ngurusi listrik. Jadi jangan misuhi mereka : "Bajingan! listrik mati kok gak ngabari. Peli Listrik Negara!"
Walau sebenarnya konsumen itu raja. Yang penting sudah bayar, nggak mau tahu urusan dibalik layar. Tapi tetap jangan misuhi PLN. Kalau terpaksa misuh, misuhlah dalam hati.
Di dunia kerja, masih banyak pabrik yang kondisi mesinnya sudah uzur tapi tetap dipakai. Kalau nggak hati-hati jari tangan bisa mrotoli. Kondisinya parah, banyak bagian yang sudah diakali karena spare part-nya sudah nggak diproduksi. Sudah layak masuk museum. Sudah diprospek berkali-kali oleh pengusaha rongsokan besi Madura. Kali aja mau dijual kiloan.
Wis ah.
-Robbi Gandamana-

Nggak Cuman Sehat, Sakit pun Rezeki


Alhamdulillah dapat kiriman buku dari penerbit Noura, group Mizan. Kebetulan aku yang nggambar covernya (ciee cieee). Thanks mbak Noura (eh iki lak bojone bosku mbiyen).
Sebenarnya aku sungkan nulis soal Cak Nun. Karena sudah jutaan kali aku nulis pemikiran Cak Nun. Bahkan di tulisan yang tidak membahas Cak Nun pun diam-diam aku selalu sisipkan quotes beliau. Ojok ngomong sopo-sopo yo.
Buku ini seperti dua buku pemikiran Cak Nun sebelumnya yang diterbitkan Noura ("Hidup Itu Harus Pintar Ngegas dan Ngerem",  dan "Allah Tidak Cerewet Seperti Kita"), lebih gampang dicerna otakku yang tumpul. Karena tidak ditulis langsung oleh Cak Nun sendiri. Pasti bahannya didapat dari rekaman video pengajian Maiyah. Ayo ngaku saja.
Salah satu ciri khas Cak Nun adalah mengajak kita untuk selalu bersyukur. Karena agama itu kabar gembira. Makanya kalau pengajian harusnya mengajak jamaah bahagia. Ojok metutut ae. Iku pengajian opo latihan tentara.
Orang sekarang itu untuk bahagia saja harus tergantung dengan apa yang ada di luar dirinya. Harus dapat uang banyak dulu baru bisa gembira. Ndase mumet saat uangnya pas-pasan. Misuh-misuh saat dagangan nggak laku. Padahal nggak laku itu juga salah satu bentuk rezeki. Pikiren dewe.
Jangan dipikir miskin itu bukan rezeki. Kalau kamu sudah berusaha keras tapi masih saja miskin, bisa jadi Tuhan sedang melindungimu. Karena kalau kamu kaya sedikit saja langsung lupa Tuhan. Tiap hari berburu kuliner, ngoleksi selingkuhan, foya-foya terus sampai mampus.
Kaya itu bagus kalau semakin mendekatkanmu dengan Tuhan. Tapi kalau itu membuatmu jadi bajingan, mending kamu jadi gelandangan.
Bahkan sakit pun sebenarnya rezeki. Karena sakit adalah penyembuhan rohani. Setelah sakit orang jadi punya kesadaran dan kesabaran. Jadi ingat Tuhan. Makanya kalau sakit bersyukur saja. Syukurrrrr.
Itulah kenapa kebanyakan orang yang akan mati dikasih sakit dulu. Rohaninya disembuhkan, dosanya dikurangi. Tapi nek iso yo ojok gering. Ngrepoti wong akeh. Apalagi sekarang nggak semua dicover BPJS. Pemerintahe kere, nggolek bati ae.
Makanya bergembiralah. Masio gak duwe duwik tetep hepi, tetep bersyukur. Karena kegembiraan yang sejati itu adalah rasa syukur. Jangan dipikir keuntungan itu laba yang berupa uang, atau materi yang lain. Keuntungan terbesar di dunia adalah bersyukur.
Rasa syukur itulah yang menerbitkan kegembiraan murni yang sejati. Kalau gembiramu karena uang, itu belum kebahagiaan yang sesungguhnya. Uang habis langsung raine burek. Jangan sampai uang menghalangimu untuk gembira. Maka carilah hal yang membuatmu bersyukur.
Cak Nun itu tidak berharap, tapi selalu bersyukur dan bersungguh-sungguh dalam berbuat kebaikan.
Standar hidupnya rendah, tidak berharap terlalu tinggi. Melihat orang cuman shalat sekali dalam sehari pun beliau sudah bersyukur. Lumayanlah masih ingat Tuhan.
Beda dengan anak-anak alay di medsos yang baru hijrah (tobat ; istilah muslim kagetan). Begitu usilnya ngurusi keyakinan orang. Mengukur-ukur pahala dan dosa orang lain. Selalu ada komen tolol di medsos, "Mbaknya baik sekali...tapi sayang nggak pakai jilbab...nggak bisa masuk surga.." Taek.
Yang berhak ngasih rapor kehidupan itu Tuhan, guduk raimu. Manusia tidak berhak ngasih rapor. Jadi fokuslah pada kebaikannya, jangan pada orangnya. Berjilbab atau tidak, biarlah itu jadi urusan pribadi dia dengan Tuhannya. Carilah kebaikannya dan doakan masuk surga. Jangan mencari-cari kesalahannya dan dineraka-nerakakan.
Sementara ini saja. Aku nek mulai mbahas muslim alay, dadi pingin misuh ae. Wingi ae sempat misuh pas moco komen di YouTube "Kalau pakai logika, belajarlah matematika!"  di sebuah postingan agama. Dia menanggapi seorang yang yang berpendapat memahami ayat agama harus menggunakan logika.
Tolol sekali orang yang memutuskan memilih suatu agama tapi sama sekali tidak pakai logika.
Wis ah. Yang jelas buku ini recomended sekali. Yang kujabarkan ini adalah hasil pengembangan 2 paragraf  yang kuanggap menarik. Aku sendiri belum membacanya sampai tuntas. Masih bab 1. Masih beratus-ratus pemikiran Cak Nun yang membuka pori-pori kecerdasan di buku ini. Yang perlu dibaca agar tidak terjerumus ke dalam aliran alay.
-Robbi Gandamana-
*Sori aku lebih banyak menggunakan kata "Tuhan" daripada "Allah". Biar universal, bisa diterima oleh semua agama. Oke Ndes.

Selasa, 18 Februari 2020

Masih Berbisakah Sengatan Scorpions dan Gigitan Whitesnake?



Insya Alloh kalau nggak ada halangan, tanggal 1 Maret 2020, Scorpions dan Whitesnake akan nggenjreng di stadion Kridosono Jogjakarta di event JogjaROCKarta Festival #4. Semoga acara yang diprakarsai oleh Rajawali Indonesia ini berlancar, sukses, dan barokah. Dukunnya bisa ngatasi hujan yang kemungkinan masih deras di bulan itu.
Siapkan BPKB motor atau mobil untuk utang di bank. Karcisnya mahal men. Yang paling murah Rp 517.500 dan paling mahal Rp 6.900.000. Iku ijol botol oleh nggak yo. Gila. Tapi selalu ada fan die hard yang berani menggadaikan  barang  berharganya termasuk sertifikat pegawai negeri sekalipun untuk nonton konser band kesayangan.  
Dua band jompo ini sudah eksis sejak tahun 70an. Scorpions sendiri dibentuk tahun 1965. Jadi jangan heran kalau  umur musisinya ada yang sudah kepala tujuh. Klaus Meine, si seksi cuap-cuap  band Scorpions ini sudah 71 tahun. Nggak tahu apa pas konser nanti kalau nyanyi dibantu mesin kompresor apa tidak.
Di jagad musik rock/metal, Scorpions adalah legenda. Salah satu band rock Jerman yang sukses besar  menjual jutaan copy albumnya ke seluruh dunia. Penggemarnya lintas genre. Nggak cuman rocker yang mengenal lagu-lagu Scorpions, embok-embok bakul di pasar pun tahu.
Dangduter pun pasti suka lagu "Still Loving You", "Always Somewhere", atau "Wind of Change". Lagu-lagu ballad yang sangat sukses secara komersil.
Aku sendiri awal kenal musik rock  dari lagu Scorpions "Holiday" (piknik). Saat itu masih kelas 3 SD. Dan saat SMP belajar main gitar dengan lagu "Always Somewhere" (blusukan?).
Scorpions memang super terkenal. Saking terkenalnya, para rocker jadi gengsi kalau ketahuan ngefan Scorpions. Karena kalau sudah terlalu mainstream itu nggak keren. Yang keren itu anti-mainstream atau beda dari kebanyakan orang.
Scorpions itu band legend yang sudah meng-influence banyak band rock/metal dunia. Mungkin itu yang membuat musisi rock pengagum Scorpions gampang sakit influensa. ??? Iki ngomong opo se.
Jadi jelas Scorpions bukan band cemen. Band ini pernah disinggahi dua gitaris dahsyat di jamannya : Michael Schenker dan Uli Roth. Michael Schenker adalah adiknya Rudolf Schenker, rthym gitarnya Scorpions (mungkin masih ada hubungan saudara dengan Wage Rudolf Supratman).
Permainan riff dan melodi gitar Uli Roth yang ciamik di album Taken By Force (1977)  sangat menginspirasi gitaris-gitaris rock/metal generasi selanjutnya. Melodi solo bergaya shredding  di lagu "The Sails of Charon"  mempengaruhi permainan Yngwie Malmsteen yang hobi bermain gitar dengan cara patas itu. Yngwie pun meng-cover lagu itu di album "Inspiration" (1996).
Nomor-nomor di album Taken By Force memang agak beda di album-album awal yang masih kental Hard Rock-nya. Di album ini ada tiga lagu yang sangat heavy di zamannya. Sebut saja "Steamrock Fever", "He's a Woman -- She's a Man", dan "The Sails of Charon".

Lagu "The Sails of Charon" itu karya masterpiece, tapi justru nggak pernah dimasukan ke album kompilasi the best. Bisa jadi nggak cocok dengan esensial musik Scorpions. Tapi memang lagu "The Sails..." terlalu cerdas untuk musik Scorpions.
Kekuatan Scorpions itu justru pada musiknya yang easy listening dengan karakter vokal tenor Klaus Meine yang unik. Mirip vokalnya Saleem vokalisnya band Iklim dari Malaysia. Simak saja lagu "Suci Dalam Debu" (tayamum?). Bisa jadi Saleem meng-copy cengkok vokalnya Klaus Meine. Atau sebaliknya? O_O
Musik Scorpions sendiri adalah transisi Hard Rock ke Heavy Metal. Hard Rock tapi dengan semangat Heavy Metal. Di awal kariernya musiknya masih Hard Rock tapi semakin lama semakin heavy. Walau selalu ada lagu ballad yang khas Scorpions, cemen.
Apalagi sekarang drumernya Mikky Dee. Drumer metal militan yang pernah jadi personelnya King Diamond, Don Dokken, Motorhead, dan pernah bermain untuk Helloween di album Rabbit Don't Come Easy (2003). Pastinya lagu-lagu Scorpions yang heavy akan terasa lebih metal.
Di sini Scorpions dikenal luas karena power ballad-nya. Lagu-lagu kerasnya kurang dikenal. Aku sendiri suka yang tengah-tengah seperti lagu "Coming Home" di album Love At First Sting (1985). Slow di awal, selanjutnya gedabukan. Walau diam-diam juga suka lagu kalemnya : "Born To Touch Your Feeling", "Believe In Love", "Evening Wind", dan banyak lagi.
Bisa jadi lagu "Coming Home" itu ditulis khusus untuk geng motor. Simak liriknya "..Day after day out on the road/There's no place too far that we wouldn't go/We go wherever you like/To rock'n roll.."
Scorpions saat ini digawangi oleh Rudolf Schenker pada rhythm dan lead guitar, backing vocals, Klaus Meine pada lead vocals dan additional guitar, Matthias Jabs pada lead dan rhythm guitar, backing vocals, Pawe Mciwoda pada bass, backing vocals, dan drumernya adalah Mikkey Dee.
Well, itu sedikit ulasan soal Scorpions yang aku tahu. Sori, kalau ingin tahu banyak  baca sendiri di situs resminya atau Wikipedia.
Lain Scorpions, lain pula Whitesnake. Bagiku Whitesnake adalah proyek solo kariernya David Coverdale. Dialah frontman yang menulis hampir semua lagu-lagu Whitesnake. Nggak ada David, nggak ada Whitesnake. Nggak ada pengajian, nggak ada snack.
David Coverdale adalah mantan tukang nyusul penonton eh tukang tarik suara di band Deep Purple. Doilah yang nyanyi lagu "Soldier Of Fortune"nya Deep Purple sambil mewek bombay di salah satu konsernya. Nggak tahu, nangisnya karena teringat kenangan masa lalu atau menangisi cicilan mobilnya yang nunggak 9 bulan 10 hari.
Lagu-lagu Whitesnake kebanyakan bertema syahwat. Cowok ketemu cewek, bercinta,  eker-ekeran dan berpisah. Dan tema itu masih tetap jadi materi lagunya sampai sekarang. Tobat pakde.
Album Whitesnake yang paling terkenal di sini adalah album self title, Whitesnake (1987). Dimana lagu "Still of the Night" jadi lagu andalannya. Lagu yang formatnya mirip lagu "Black Dog" dari Led Zeppelin yang monumental itu. Juga ada lagu hits "Here I Go Again"  dan "Is This Love" yang sound dan liriknya standar. Jadi istimewa karena David Coverdale yang nyanyi.

Sejujurnya aku nggak terlalu kenal Whitesnake. Aku suka karakter vokal David Coverdale dan perfomance-nya di panggung.  Tapi aku nggak terlalu ngefan Whitesnake. Aku lebih suka ngemil snack. Ndasmu.
Negeri ini hampir selalu jadi persinggahan terakhir buat band-band rock legend. Dulu saat masih segar bugar kemana saja. Sekarang sudah hampir jompo baru konser di sini. David Coverdale sudah berumur 68 tahun. Sedangkan Klaus Meine 71 tahun. Apakah suaranya masih senyaring saat masih muda? Apakah act perfomance-nya masih lincah? 
Ini mungkin event yang besar, tapi jangan terlalu berekspektasi yang muluk-muluk. Jangankan menjerit, meludah saja sudah berkurang jauh powernya. Mereka sudah embah-embah. Maunya meludah, tapi malah ngiler. Aku nyimak konsernya Scorpions di Brasil dalam event Rock In Rio 2019 (tentu saja di youTube), ya ampun men, vokal Klaus Meine sudah nggak mampu menjangkau nada tinggi.
Ojok ngomong sopo-sopo yo. Sekarang ini, sebenarnya mereka dihormati, ditepuktangani karena nama besar, bukan semata-mata karena perfomance-nya hebat atau vokalnya dahsyat. Masa-masa itu sudah berlalu. Jangan berharap.
Ah sudahlah. Selamat menonton.
-Robbi Gandamana-

Selasa, 04 Februari 2020

Belajar Ilmu Kehidupan dari Mereka yang Putus Sekolah

sumber gambar : idntimes,co

Tulisan ini sepertinya hanya cocok untuk menyemangati diriku sendiri. Mungkin nggak cocok buat anda-anda sekalian . Jadi nggak usah repot-repot membacanya.
Jadi begini, hidup itu tidak hitam putih. Banyak orang yang kuliah tinggi-tinggi tapi hanya jadi sales panci. Yang kuliahnya males-malesan, lulus malah jadi pegawai negeri.  Dan itu bener-benar terjadi.
Sekolah yang tinggi memang tidak menjamin seseorang jadi cerdas dan sukses secara materi. Nggak sedikit orang yang hanya lulusan SMA, tapi kecerdasan otaknya mengalahkan profesor kampus ternama. Sebut saja Cak Nun, Gus Dur, Susi Pudjiastuti, Bob Sadino, dan banyak lagi.
Betul omongane Cak Nun bahwa kuliah itu tujuan utamanya untuk membahagiakan orang tua. Maka kalau kuliah, cepetlah lulus dan dapat gelar. Gelar di belakang nama itulah yang membuat orang tua bahagia karena merasa berhasil telah membesarkan anak. Lumayan bisa dibangga-banggakan ke orang lain.
Cak Nun sempat kuliah di UGM ngambil jurusan ekonomi. Tapi hanya sampai semester satu. Karena jurusan ekonomi sebenarnya bukan minatnya. Dan beliau kuliah juga karena dipanas-panasi teman-temannya, "Gak mungkin Ainun iso ketrimo kuliah nang UGM."
Tujuan sekolah itu membimbing anak didik untuk menemukan dirinya. Guru itu membimbing, bukan membentuk. Itulah alasan utama Cak Nun selalu gagal dalam bersekolah. Karena beliau selalu berontak, keingintahuannya begitu besar  dalam menemukan dirinya.
Bahkan pendidikan sekarang bagi Cak Nun malah menutupi diri sejati anak didik. Burung dipaksa jadi ikan. Seharusnya terbang malah berenang. Apalagi setelah lulus, semakin tertutup gelar insinyur, sarjana, magister, dan banyak lagi.
Dalam soal sekolah, kelakuan Cak Nun dan Gus Dur hampir sama. Gus Dur sempat kuliah di Al Azhar, Mesir. Tapi jadi ogah-ogahan kuliah karena pelajarannya sama dengan apa yang dipelajari saat di pesantren. Baginya mempelajari apa yang sudah dipelajari itu sama saja dengan buang-buang umur. Walhasil Gus Dur pun nggak lulus.
Waktu awal masuk kampus Al Azhar, Gus Dur bertemu dan kenalan dengan Gus Mus. Saat Gus Dur bertanya pada Gus Mus, jurusan apa yang diambil. Gus Dur pun dengan santainya memutuskan begitu saja ngambil jurusan yang sama dengan jurusan yang diambil Gus Mus.
Gus Dur memang terkenal nggak mau ruwet. Ketika Gus Dur mengeluarkan dekrit (23 Juli 2001), Cak Nun tanya kenapa kok mengeluarkan dekrit. Dijawab dengan enteng oleh Gus Dur, "Lha wis suwe ganok dekrit hare cak."
Walau lulusan Al Azhar, Gus Mus sebenarnya juga punya riwayat kacau dalam urusan sekolah. Beliau nggak lulus SMA. Bisa kuliah di Al Azhar, Mesir, karena iseng-iseng ngisi form tes masuk di kampus tersebut. Eh lha kok ndilalah diterima.
Sama dengan Gus Mus, Susi Pudjiastuti juga nggak lulus SMA. Beliau menjual perhiasannya untuk  dijadikan modal sebagai pengepul ikan. Kerja kerasnya tidak sia-sia, beliau berhasil mendirikan pabrik pengolahan ikan yang hasilnya dipasarkan ke Jakarta dan Jepang. Tahun 2014 diangkat Jokowi jadi Menteri Kelautan dan Perikanan. Gak lulus SMA dadi menteri.
Tapi asyik saat Susi jadi menteri, para pencuri ikan negeri seberang pada keder. Ketahuan maling ikan, kapal langsung ditenggelamkan. Pulang pakai pelampung.
Lain Susi Pudjiastuti  lain Bob Sadino. Orang ini lebih nyentrik lagi.
Bagi Bob Sadino, sekolah itu membelenggu pikiran. Orang terus terusan menunda bikin usaha karena terbelenggu oleh ilmu yang diajarkan di kampus. Bahwa berwirausaha yang berdasar ilmu manajemen itu harus ini, harus itu. Bob Sadino tidak mau ruwet dengan hal seperti itu. Pokoknya lakukan saja, just do it! Tanpa rencana, tujuan dan harapan. Kayak orang linglung.
Bob Sadino berkeyakinan kalau kuliah itu cuman mengisi otak dengan sampah. Dan kampus cuma mencetak tenaga industri atau karyawan kantoran.
Dia berdalih, dalam perkuliahan mahasiswa dikasih informasi yang sudah basi (sudah terjadi). Sedangkan Bob selalu berusaha mendapatkan informasi fresh yang bisa didapat dari mana saja.
Bob Sadino belajar soal ayam dari majalah peternakan dan pertanian keluaran Belanda. Dia memutuskan berlangganan majalah tersebut untuk menunjang pengetahuannya soal ayam broiler yang sedang digelutinya saat itu. Kebetulan beliau fasih bahasa Belanda. Pernah 2 tahun di Amsterdam kerja di bidang pelayaran. Memutuskan keluar karena nggak cocok dengan atasannya.
Ilmu tidak hanya didapat disekolah. Ilmu di luar sekolah jauh lebih banyak. Jadi, kuliah tidak hanya di kampus, kerja di kantor atau dimana pun itu juga kuliah. Kalau bisanya masih jadi karyawan, anggap saja kantor itu kampus. Belajar tapi dibayar.
Bob Sadino nggak lulus kuliah, tapi malah sering jadi dosen undangan di IPB Bogor. Orang-orang kampus terheran-heran dengan pengetahuan Bob Sadino yang bisa tahu dengan detail soal ayam broiler. Hanya dengan langganan majalah peternakan terbitan Belanda tadi.
Bob Sadino memulai usaha dengan berjualan keliling kampung. Menjajakan telur ayam negeri (layer) dan juga daging ayam negeri (broiler). Ayam asli Belanda yang dikirim temannya dari negeri kincir angin itu.
Ceritanya temannya nggak tega dengan nasib Bob Sadino yang saat itu terpaksa jadi kuli bangunan untuk survive karena mobil taksi satu-satunya (hasil dari kerja di Belanda) rusak berat karena tabrakan. Dan Bob Sadino nggak ada biaya untuk memperbaikinya.
Karena terbebas dari "belenggu", Bob Sadino bisa terus exis dengan usahanya. Dan semakin hari semakin berjaya. Walau usahanya sudah jadi raksasa, dieskpor kemana-mana. Tapi anehnya Bob Sadino nggak mau buka cabang. Sak madyo ae. Nggak kayak Indunmart atau Kipermart yang ada dimana-mana.
Bagi kita uang adalah modal utama dalam memulai usaha. Tapi tidak bagi Bob Sadino. Modal utama itu kemauan kuat, tahan banting, nggak cengeng dan selalu bersyukur. Kalau tidak punya modal intangible (modal nggak berwujud) tadi, buat apa bikin usaha. Rugi 15 juta langsung nyerah, berhenti usaha. Dan itu kisah nyata. You know who you are.
Jadi menurut Bob Sadino, uang itu cuman pelengkap dari modal utama. Bagiku Bob Sadino itu semacam sufi di bidang usaha. Nggak takut gagal, nothing to lose, yang penting usaha keras dan selalu bersyukur dengan apa pun yang terjadi. Dan malah terpaksa sukses.
Pemikiran Bob Sadino mirip Cak Nun. Intinya, nggak usah bercita-cita. Apa hebatnya bercita-cita terus kesampaian. Yang hebat itu tidak bercita-cita, tapi diam-diam Tuhan ngasih. Pokoknya lakukan saja passion-mu dengan sungguh-sungguh, tulus ikhlas dan benar. Nanti akan panen, menjadi expert atau master dari passion-mu itu. Dan kesuksesan akan mengejarmu.
Gila men, aku sendiri belum berani (masih terbelenggu) meniru Bob Sadino atau yang lain. Karena selalu ada faktor X. Maksudku nggak semua orang dikaruniai kehebatan, kecerdasan, nasib baik seperti mereka. Jadi jangan pernah menjadikan kisah mereka menjadi semacam rumus obyektif dengan tidak melanjutkan kuliah, niru mereka. Itu konyol. Tetep kuliah Ndes!
-Robbi Gandamana-

Minggu, 02 Februari 2020

Srimulat Never Die!



sumber: facebook.com/pg/srimulatism

Membaca buku "Srimulatism" karya Thrio Haryanto inim pikiran jadi melayang jauh ke era 80an, era kejayaan Srimulat. Dimana saat itu Srimulat jadi tontonan favorit di teve. 
Acara lawak Srimulat selalu ditunggu. Ketika jam tayangnya tiba, orang berlarian masuk rumah nonton teve. Di rumah sendiri, nunut nonton di rumah tetangga, atau nonton di teve depan etalase toko barang elektronik.

Buku ini mengajak kita bernostalgia sekaligus mengenang grup lawak yang pernah sangat jaya di zamannya. Kalau Warkop DKI sukses merajai panggung layar lebar. Sedangkan Srimulat merajai layar kaca dan panggung-panggung hiburan rakyat. Di masa jayanya, tiket pertunjukan selalu sold out.

Andai saja pertunjukan Srimulat  diadakan di stadion, mungkin pohon-pohon besar di pinggiran stadion penuh dengan penonton yang kehabisan tiket atau yang cari gratisan. Zaman dulu tembok stadion itu  rendah, jadi kalau mau gratisan nonton bola, naik pohon saja.

Buku ini lumayan, daripada nggak ada bacaan. Maksudku, dengan membaca buku ini kita jadi tahu kisah Srimulat di balik layar. Dan memang grup lawak legend wajib dibukukan. Bagaimanapun juga Srimulat adalah inspirator bagi pelawak generasi selanjutnya.

Srimulat ngetop karena banyolan-banyolannya khas dan para pelawaknya juga ikonik. Sebut saja Gepeng, Tessy, Bambang Gentolet, Gogon, Mamiek, Timbul, dan banyak lagi.

Srimulat jadi hebat karena mereka pandai menertawakan dan mengolok-olok diri sendiri. Melawak tapi tetap menghormati akar budaya (Jawa), Tidak menyentuh kepala orang, saling ngasih kesempatan antar pelawak untuk melawak (tidak memotong lawakan orang), menghormati wanita, dan tidak menyinggung SARA.

Saking ngetopnya, di masa itu anak TK pun tahu Srimulat. Anak sekolah lebih tahu anggota Srimulat daripada pahlawan bangsanya sendiri.

Dan itu benar-benar terjadi. Ada seorang teman SD dulu yang membaca soal  ujian :  "Sebutkan pahlawan yang berasal dari Surabaya?" Dia tulis di lembar jawaban : "Tessy, Bambang Gentolet, Asmuni.."

Parah.

****
Awalnya Srimulat adalah kelompok musik keroncong. Dalam setiap pentas mereka menyelipkan grup lawak saat jeda istirahat agar penonton tidak bosan. Bisa jadi karena musik keroncong bikin ngantuk, beda jauh dengan musik metal. Jadi sebelum mereka pulas ketiduran maka harus dikasih lawakan.

Nama Srimulat sendiri diambil dari Sri Mulat, seorang seniman serba bisa yang menyanyi dan menari sama bagusnya. Di era 50-60an, namanya berkibar kencang di negeri ini. Suara merdunya dalam menyanyi keroncong menghiasi panggung-panggung rakyat seantero Jawa.

Sri Mulat adalah seorang perempuan ningrat dari kawedanan Bekonang, Sukoharjo, Solo. Dia minggat dari "istana" karena nggak tahan selalu dikekang  oleh orang tuanya yang kolot.

Dia dilarang ibu tirinya melanjutkan sekolah. Tidak boleh belajar menari atau seni tradisional yang lain. Bagi ibunya, buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau nantinya berakhir di dapur. Pokoknya seorang perempuan Jawa itu harus manut, nunut dan katut.

Disamping itu, Sri Mulat juga kecewa melihat bapaknya yang seorang wedana itu suka ngoleksi selir. Seorang ayah yang sebelumnya sangat dia banggakan dan segani ternyata hobi main dokter-dokteran dengan gadis-gadis muda.

Jiwa feminis Sri Mulat berontak, dia nggak mau dikekang dan nggak tahan melihat perempuan-perempuan diperlakukan layaknya piala bergilir oleh bapaknya.  Dia pun memutuskan lari dari rumah. Sri minggat.

Sri Mulat rela menanggalkan gelar ningratnya.  Buat apa jadi bangsawan kalau hidup selalu tertekan. Buat apa kemewahan kalau tidak ada kemerdekaan.  Dia lebih memilih jadi perempuan merdeka dan berdaulat---> seniman tradisional.

Untungnya selalu saja ada orang baik yang mau menampung dan membimbing bakat seni Sri Mulat. Bakal lain ceritanya kalau yang minggat Sanusi, anake tukang patri. Itulah untungnya jadi anak turunan ningrat (di masa itu).

Waktu terus berjalan, kemampuan olah vokal Sri Mulat dalam menyanyikan lagu keroncong semakin yahud. Kariernya meroket. Undangan menyanyi pun berdatangan. Sri pun mengembara dari panggung ke panggung di Jawa maupun luar pulau Jawa.

Di zaman itu kebanyakan konser Sri Mulat diadakan di pasar malam yang dicukongi oleh orang Tionghoa. Jangan bayangkan panggungnya kayak panggung konser Java Jazz, Hellfest, apalagi Rock In Rio  yang lighting dan soundnya  berkapasitas raksasa.

Asal tahu saja, pasar malam  adalah pusat hiburan favorit rakyat di masa itu. Tidak ada televisi. Gedung bioskop juga sangat terbatas jumlahnya. Makanya penonton pasti membludak. Panggung ketoprak, wayang orang, wayang kulit, ludruk selalu ramai. Rakyat sangat haus hiburan. Panggung-panggung rakyat sepi setelah digempur TV swasta.

Singkat cerita, di suatu pertunjukan Sri Mulat sepanggung dengan seorang gitaris keroncong keturunan Tionghoa yang bernama Kho Tjien Tiong  alias Teguh Slamet Rahardjo. Ndilalah kersaningallah Teguh jatuh hati dengan keajaiban olah vokal Sri Mulat dalam membawakan lagu-lagu keroncong. Teguh pun klepek-klepek.

Setelah berkenalan, Sri dan Teguh pun sepakat ber "bussiness of love" alias pacaran. Agar terhindar dari perbuatan tak senonoh antar lawan jenis, mereka berdua pun menikah. Saat itu umur Teguh terpaut 18 tahun lebih muda dari Sri Mulat. Kok yo gelem.

Mereka berdua pun membentuk semacam wadah pertunjukan seni yang bernama Gema Malam Srimulat. Mereka melanglang buana dari kota ke kota di Jawa. Sampai suatu hari  Teguh punya gagasan membentuk grup lawak untuk mengisi jeda pertunjukan, agar penonton tidak bosan.

Setelah mengalami pasang surut, ganti personel, dan berganti nama menjadi Srimulat saja. Srimulat dibubarkan Teguh di tahun 1989. Penonton sudah berpaling ke teve swasta yang secara massif dan tersruktur menawarkan hiburan yang sangat fresh di kala itu. Sebelumnya selama puluhan tahun nonton teve pemerintah isinya cuman propaganda Orba. Fak yu.

Gogon berinisiatif membuat reuni di tahun 1995. Dan ndilalah reuninya sukses besar! Srimulat berjaya kembali. Indosiar pun mengontrak mereka (1995-2003). Setelah itu vakum beberapa tahun.  Tahun 2006 dikontrak lagi sampai pelawaknya dipanggil satu-satu oleh Tuhan. Syukurlah yang telinganya budek, tidak mendengar saat dipanggil Tuhan.

Selama vakum, banyak dari anggotanya yang dulu pelawak profesional ganti profesi jadi pecandu profesional. Tapi itu sudah berlalu (semoga), karena beberapa diantaranya sekarang malah jadi aktivis GPAN (Generasi Peduli Anti Narkoba).

Begitulah cerita singkat tentang Srimulat yang berkontribusi menjadi pelipur lara bangsa dengan tawa.  Namanya akan selalu dikenang oleh para penikmat dan pendekar tawa berikutnya. Srimulat nggak cuman sebuah grup lawak tapi sudah jadi sebuah genre atau aliran, Srimulatism.

-Robbi Gandamana-