Senin, 30 Maret 2020

Mobilisasi Umum adalah Solusi Pandemi?

foto : Republika.co.id/Edi Yusuf


Kelemahanku (apa kelebihan ya) adalah menyikapi apapun dengan humor. Karena memang hidup tidak jauh dari soal sendau gurau. Hidup adalah permainan. Maka bermainlah dengan benar. Bersenang-senanglah tapi jangan kebablasan. Serius jangan keseringan. Raimu boros.
Itulah kenapa aku bisa menangkap sisi humor dari kejadian apa pun. Semua bisa dihumorkan. Masalahnya adalah tega atau nggak tega melakukan itu. Itu yang kutakutkan. Aku bisa saja cekaka'an saat ada musibah. Itu jelas kurang ajar, nggak sopan.
Seperti saat ada musibah seorang karyawan yang dua jarinya putus tertimpa mesin potong. Ketika doa bersama, salah satu doa yang disebut oleh yang mimpin doa "Ya Tuhan segera pulihkan kembali kesehatannya". Tapi yang ada di kepalaku adalah "Ya Tuhan tumbuhkan kembali jarinya.."
Harry Rusli pernah cerita di acara doa bersama antar umat beragama saat ramai-ramainya demo mahasiswa menuntut Soeharto turun. Saat jadi mahasiswa, dia juga sering ikut demo. Pernah tertangkap, diinterogasi, dipukuli dan dikencingi oleh polisi. Tentu saja semua ngeri mendengarnya. Tapi aku malah ngakak sendiri. Karena aku membayangkan yang ngencingi dia itu Polwan.
Begitu juga saat pandemi Corona sekarang ini. Aku ngekek nyawang wong-wong podo mbebeki, panik luar biasa. Kon iku lapo se Mbloeng. Kere kok nuntut lockdown. Wis siap keluwen ta. Lha wong artine lockdown ae gak geruh (ngertine smackdown) kok nuntut ae.
Saking paniknya, hand sanitizer buat cuci muka. Biar mukanya bebas dari bakteri kali ya.
Aura kepanikan terasa dimana-mana. Terutama di medsos. Buanyak sekali yang minta segera lockdown. Taek rek, mbok nek panik iku ojok diketokno opo'o. Nulari liyane. Aku wegah panik. Wis elek panik, rai rembes tambah dadi koyok bedes.
Banyak yang bilang Lockdown harga mati. Opo ae se rek, nggak ada harga mati. Harga mati itu urusan tauhid. Hidup begitu luas dimensinya kok harga mati. Tenang ae ta lah, ojok panik. Jalankan saja prosedur pengamanan yang sudah sering dishare di WA. Yang diulang-ulang terus sampek wetengku neq, kudu mutah. Overdosis.
Bisa jadi mereka-mereka yang panik itulah yang bakalan jadi pasien Corona berikutnya. Karena salah satu pintu utama masuknya penyakit ke dalam tubuh adalah panik. Makanya tutup pintu itu dengan berpikir positif. Tetap tenang walau rasa takut masih saja ada. Itu manusiawi.
Lockdown untuk kasus di Indonesia itu keputusan paling terakhir. Aku percaya pemerintah sudah kerja keras dan tidak akan mengorbankan rakyatnya. Justru kalau lockdown malah mengorbankan rakyat miskin. Pemerintah nggak bakalan sanggup merinci jumlah rakyat miskin yang akan disubsidi sembako. Jumlahe puluhan juta ewu eket. Dan dananya juga terbatas.
Aparat juga pasti angkat tangan kalau menghadapi kebrutalan rakyat yang lapar. Penjarahan akan terjadi dimana-mana. Penjarahan tidak pada toko atau swalayan tapi pada kalian-kalian, orang kaya yang punya persediaan sembako banyak. Karena sembako di toko atau swalayan stoknya sudah habis atau untuk dipakai sendiri.
Kalau mau lockdown, Lockdown saja sendiri. Tutup pintu dan jendela rapat-rapat. Jangan menerima tamu. Jangan berhubungan dengan dunia luar. Setelah sebulan, pintu kau buka. Kau lihat sekelilingmu, ternyata semua telah mati kena Corona. Kamu pun kesepian. Kamu jadi sedih luar biasa, stres berat dan tak lama kemudian mati. Tamat.
Aku memang awam atau nggak paham soal pandemi dan penanganannya. Tapi menurutku daripada lockdown mending pemerintah menerapkan kebijakan semacam mobilisasi umum. Mengerahkan segala  potensi yang ada untuk memerangi virus Covid 19.  
This is war man!
Mewajibkan mahasiswa (akhir atau yang memenuhi syarat) Jurusan Kedokteran, Akademi Perawat, Akademi Gizi, apapun jurusan yang berhubungan dengan dunia kesehatan dan medis untuk diperbantukan menangani pandemi. Jadikan itu semacam KKN (Kuliah Kerja Nyata). Selama sebulan atau lebih. Terserah teknisnya ya'opo aku gak eruh.
Tapi pemerintah harus menyediakan semacam mess atau penginapan sementara berupa tenda bongkar pasang yang layak. Karena berdasar pengalaman kemarin ada perawat atau tenaga medis  yang diusir dari kosnya. Penghuni kos lainnya takut virusnya nyantol di baju si perawat.
Menunjuk pabrik-pabrik plastik atau sejenisnya untuk mengalihkan produksinya membuat APD dan sarana untuk kepentingan medis. Alat-alat itu akan dibeli pemerintah dengan harga miring. Yang penting negara mendapatkan apa yang dibutuhkan dan pabriknya nggak rugi. Podo asyikelah.
Usaha konveksi skala besar, perusahan farmasi, perusahaan minuman yang memproduksi vitamin C atau yang lain dihimbau untuk berkontribusi memerangi pandemi. Memasok vitamin untuk tenaga medis.
Saatnya buktikan baktimu untuk negara. Seperti Kata Jhon F. Kennedy, "Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu. Tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negaramu."
Sanksi tegas buat penimbun atau pedagang yang menjual dengan harga bajingan. Di saat seperti ini para penimbun atau pedagang yang mengambil keuntungan besar bisa dikategorikan sebagai penjahat perang. Kalau masih ngeyel, tutup usahanya, cabut ijinnya. Atau dihukum menginap sekamar dengan pasien Corona.  
Kalau bisa pihak pengurus Masjid, Gereja atau tempat ibadah yang lain, mengalokasikan uang hasil sedekah jamaah disalurkan untuk keperluan APD atau apapun yang berhubungan dengan pandemi. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk berhias-hias atau mempercantik tempat ibadah. Buat apa masjid megah tapi jamaah sepi pada mati kena Corona.
Atau aksi lainnya terserahlah. Yang penting tepat sasaran dan jangan sok. Kalau sudah melakukan aksi jangan mengejek orang yang hanya bisa bernarasi. Kadang narasi bisa lebih dahsyat dari aksi.
Hai orang kaya. Jangan sombong kau. Sudah seharusnya kau melakukan aksi. Duwikmu ojok dikimpet eh dikempit ae. Kalau enggak beraksi di saat krisis begini, termasuk orang kaya mbokneancuk kon iku.
Menenangkan jutaan orang yang panik itu jauh lebih dahsyat dari aksi yang jangkauannya terbatas. Seperti Bung Tomo yang mengobarkan semangat juang pada arek-arek Suroboyo lewat radio. Tapi dia sendiri nggak turun ke lapangan.
Jadi hati-hati bicara, karena saat ini orang gampang emosi. Jangan bikin statement yang berpotensi chaos. Kalau ingin Corona berlalu, rakyat harus bersatu. Lupakan dendam Pilpres. Nggak ada lagi Cebong, Kampret, Bani Daster, Bani Taplak. Yang ada hanya Indonesia. Jadi mari kita berdiri menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Lho kok jadi serius ya? padahal niatku maeng guyon lho rek. Maaf.
Wis ah...bla bla bla bla ojok ngomong sopo-sopo nek aku keminter yo.
- Robbi Gandamana -

Jumat, 27 Maret 2020

Belajar Sombong



Bisa jadi Indonesia akan babak belur oleh Corona. Rupiah akan terpuruk. Harga-harga melambung. Banyak perusahaan yang sakaratul maut. Pabrik-pabrik besar kukut. Segala bisnis mawut. Para bos pada stres sampek raine koyok marmut.
Tapi itu tidak akan terjadi pada rakyat jelata. Mereka ubet dengan perekonomiannya sendiri. Dan merekalah yang akan membangkitkan perekonomian negeri ini. Seperti yang terjadi saat krismon dulu dan bencana sejenis yang pernah melanda negeri. Rakyat Indonesia nggak ada matinya. Koyoke mati tapi kok sik obah. Medeni.
Walau sudah gepeng diinjak-injak, rakyat Indonesia akan tetap bisa bangkit lagi. Karena mereka punya daya survive yang luar biasa. Yang sanggup mengubah nasi basi menjadi karak kwalitas ekspor.
Mereka nggak malu jadi apa saja. Sudah tahu bisu tapi nekat ngamen di bis. Penumpangnya bingung luar biasa, mau tertawa atau nangis terharu.
Mereka bisa hidup hanya dengan berbekal sulak di lampu merah. Kaca mobil yang sudah kinclong masih saja disulaki. Sekalian muka sopirnya yang rembes belum mandi.
Ada yang bisa hidup hanya dengan mengandalkan barang rongsokan. Dimanapun berada nggak masalah, selama ada rongsokan yang bisa di jual. Golongan jenis ini mempunyai daya penciuman yang tajam pada rongsokan. Bisa mencium aroma besi rongsokan sejauh radius satu kilometer.
Apakah mereka sejenis luwak  tanpa bulu? Nggak juga. Mereka jadi tangguh luar biasa karena terlalu lama gak diurus pemerintah dan tidak dilindungi oleh aparat hukum. Pemerintah terlalu asyik dengan pelinya sendiri. Sedang aparatnya banyak yang sibuk menimbun upeti.
Mereka bisa jualan jangkrik (untuk makanan burung) tanpa beternak jangkrik. Dagang ikan lele tanpa punya tambak lele. Sanggup menjual radio kuno pada orang kaya yang tuli.
Rakyat Indonesia itu kreatif luar biasa. Motor ndeso yang harusnya sudah dibesituakan tapi masih diakali dan bisa hidup. Dan malah larinya lebih kenceng dari motor baru.
Segala jenis jajanan aneh ada di sini. Jajanan impor pun sudah banyak yang dimodif menyesuaikan selera pribumi. Sampai-sampai di negeri asalnya sendiri nggak dikenali. "Is this Fried Chicken or Fried People?"
Rakyat Indonesia itu gampang bahagia. Walaupun kere tapi banyak tertawa. Mereka bisa cepat melupakan kesedihan dan bisa beradaptasi dengan segala keadaan dengan mudah. Ketika harga rokok naik tinggi, mereka marah luar biasa. Tapi seminggu kemudian sudah lupa dan cengengesan. Ngerokok terus sampek lambene ireng koyok silite petek.
Rakyat Indonesia itu sebenarnya nggak takut pada apapun. Jangankan Corona, Tuhan aja nggak ditakuti (lupa kalau punya Tuhan). Mereka takut karena dibikin takut. Terutama oleh media yang memberitakan bencana dengan hebohnya. Seolah-olah kiamat akan terjadi beberapa menit lagi. Semua demi rating bajingan.
Lewat Corona Tuhan sedang ngasih pelajaran tentang banyak hal. Dari soal kebersihan, kebersamaan, kepedulian, empati,  kerja sama, apresiasi, dan banyak lagi. Lumayan. Setelah ini berlalu bisa jadi kita akan jadi mantri kesehatan, motivator, enterpreneur, anggota Green Peace. Atau jadi raja tega (mereka yang menjual masker dan hand sanitizer dengan harga bajingan).
Rakyat kita adalah rakyat yang  menjunjung tinggi budaya gotong royong, srawung dan kekeluargaan. Dan sekarang Corona memaksa kita untuk belajar jadi orang sombong. Harus jaga jarak dengan orang lain, kerja di rumah, ibadah di rumah, nggak boleh keluyuran, nggak boleh pul kumpul. Kuper jaya.
Bagi mereka yang hidup di kota-kota besar metropolitan, nggak masalah dengan hal itu. Sombong adalah makanan sehari-hari. Tapi yang hidup di kota-kota kecil dengan tradisi budaya yang masih kuat akan terasa nggak nyaman. Kayak nonton film China tanpa subtitle Indonesia. Yang nonton tersinggung berat, karena nggak paham dialoqnya. Ojok-ojok ngrasani aku iki.
Wis ah. Pokoke Corona ojok digawe panik. Kere kok panik, gak pantes blas. Semua musibah ada masanya. Tetap stay cool dan stay health (opo ae kon iku..sok enggres). Badut pasti berlalu.
Mari kita belajar sombong!
-Robbi Gandamana-

Latihan Kiamat


wartaekonomi.co.id

Dengan banyaknya kaum tua yang meninggal karena Corona, bisa jadi ini pertanda bumi sedang melakukan seleksi alam. Atau pergantian pemain kalau pakai istilah sepak bola. Yang kuat bertahan, yang sakit-sakitan pamitan.

Atau bisa jadi ini adalah latihan kiamat. Latihan di sini bukan seperti warming up sebelum olah raga biar otot nggak kaget. Tapi pandemi Corona ini peringatan bahwa kiamat beneran akan segera hadir. Atau bisa ini semacam iklan Tuhan untuk mengabarkan kiamat.

Jadi bersiaplah. Nantikan penayangan kiamat di bioskop-bioskop kehidupan.

Atau jangan-jangan Corona ini perwujudan Ya'juj Ma'juj. Tahu khan, makhluk yang diceritakan para ustadz yang menimbulkan kerusakan di akhir zaman. Persis Corona yang sukses membuat kegaduhan luar biasa. Mengacaukan segala lini kehidupan. (Lambemu, koyok pengamat ekonomi ae).

Korban baru segelintir orang tapi sudah menimbulkan kepanikan dimana-mana. Apalagi simpang siur berita soal Corona cukup bikin pecah kepala.  Ditambah dengan banyak sekali fesbuker yang mendadak jadi mantri kesehatan. Si Ndlahom menjelma jadi ahli gizi. Padahal dia sendiri gizinya sangat mengkhawatirkan.

Pemerintah juga mumet ndase. Bingung antara memutuskan lockdown atau tidak. Kayak makan buah simalakama. Akhire Sijitibeh, mati siji mati kabeh.

Ojok ngomong sopo-sopo yo. Yang positif sebenarnya jauh lebih banyak dari yang diberitakan. Dan itu sulit dilacak. Pemerintah hanya melaporkan yang terlacak. Pemerintah tidak berbohong tapi lebih pada me-manage berita. Ya semacam 'white lies'. Karena kepanikan bisa sama bahayanya dengan penyakit itu sendiri. Bla bla bla bla...

Pokoknya kere jangan panik! (baca tulisanku kemarin).

Jadi benarkah Ya'juj Ma'juj itu Corona? Aku gak eruh. Itu cuman asumsiku yang naif--jujur aku sebenarnya sungkan nulis beginian, karena jadi merasa kayak ustadz tolol jebolan pesantren Al Musta'mal Pulau Sempu.

Istilah di kitab suci kadang bersifat konotatif atau kiasan. Bisa jadi istilah Dajjal juga kiasan. Bukan wujud makhluk atau monster mengerikan koyok buto bermata satu.

Dulu sekali pernah ada isu Dajjal telah lahir. Tapi sampai sekarang belum terlihat batang hidungnya. Harusnya sekarang doi sudah abege dong. Makanya sekarang banyak orang bertanya-tanya, "Nandi ae kon iku Jal, ndang metuwo. Dienteni wong akeh!"

"Aku nang kene ae le, " jawab Dajjal dengan bahasa isyarat.

Dan ternyata Dajjal memang tidak berwujud makhluk. Perwujudan Dajjal yang paling masuk menurut instingku adalah Bani Israil. Kenapa? Karena merekalah yang sekarang menguasai dunia. Yang telah sukses merusak pikiran manusia.

Apa yang selama ini kita kira surga, ternyata neraka. Begitu juga sebaliknya. Melalui 5 F: Food (makanan), Fantasy (Hiburan), Fashion (Pakaian), Film, dan Fly (minuman keras dan narkoba).

Sekarang ini nggak ada yang  bisa lepas dari cengkeraman mereka. Terutama di bidang teknologi. Fesbuk sudah memborong WA dan Instagram. Sebentar lagi bisa jadi Mbah Gugel dibeli. Sampai akhirnya kita tergantung pada mereka. Kalau tidak begitu, kita sakaw.

Negara yang tandus jadi subur kalau ditangani Bani Israil. Berkat Bani Godek ini, Ethiopia yang dulu kelaparan sekarang jadi negara mapan.  Di bidang pertanian, Ethiopia jauh mengalahkan Indonesia. Padahal kita negara agraris. Pokoknya apa pun yang dipegang oleh Bani Israil pasti beres. Sebaliknya yang menolak akan rembes.

Jadi sekarang kita tinggal menunggu kedatangan Imam Mahdi dan juga Nabi Isa. Itu kalau Dajjal seperti yang aku asumsikan di atas. Kalau asumsiku salah, bisa jadi yang datang Wak Di sama Isa bakul Bak Pao.

Wak Di   : "Lho lapo kon rene Sa!?"
Isa          : "Dienteni arek-arek.."
Wak Di   : "Onok opo..?"
Isa          : "Onok sing rasa strawbery, coklat, kacang.."
Wak Di   : "Raimu Sa..!"

Seribu pertanyaan di kepala jika Nabi Isa benar-benar datang di saat pandemi Corona yang semakin ganas. Apakah dia datang dengan membawa vaksin Corona? atau bagi-bagi sembako bagi para kere yang terdampak lockdown? Apa rambutnya tetap gondrong kayak di poster-poster itu? Kemungkinan masih gondrong. Karena di akhirat nggak ada tukang cukur.

Mari kita songsong kedatangan mereka. Siapkan spanduk dan baliho.

****
Ya itu tadi asumsi awur-awuran dari saya. OJOK PERCOYO! Percayalah pada MUI.

Aku menulis ini cuman ingin mengajak kalian menertawakan dunia daripada menangisi penderitaan. Hidup itu humor (aku akan nulis soal ini). Alloh yang membuat Dajjal dan Dia pula yang  bikin Imam Mahdi juga Nabi Isa. Dan Alloh juga yang memutuskan siapa yang menang. Makanya orang tasawuf itu selalu ngakak pada dunia.

Tapi yang paling utama adalah menunjukan pada kalian bahwa tulisan itu juga karya seni. Bisa indah kayak lukisan, bisa garing koyok lambemu. Makane ojok copy paste sak enak udelmu, tanpa mencantumkan nama penulis.

-Robbi Gandamana-

Senin, 16 Maret 2020

Kere Jangan Panik



Akhirnya Solo berstatus KLB (Kejadian Luar Biasa) virus Corona setelah ada satu pasien Corona meninggal.  Akibatnya  banyak kegiatan pul kumpul ditiadakan sampai KLB dicabut.
Sekolah pun libur dua minggu. Wasyik, untuk sementara tidak mengantarkan anak ke sekolah. Bebas dari kehidupan pagi di jalan raya yang ambyar jaya.
Aku pribadi nggak masalah ditetapkan KLB atau tidak. Karena tiap hari sudah dicekoki berita soal Corona baik di media sosial maupun situs berita terpercaya. Lengkap dari soal pemahaman virusnya, penanganan, pencegahan, sampai data terbaru pasiennya. Sampek neg aku.
Jadi sebenarnya tidak ada alasan untuk panik. Tapi jenenge menungso yo tetep ae panik. Ya'opo se rek. Iku sing salah opone.
Bisa jadi karena media mainstream yang berlebihan memberitakan Corona.  Selama ini berita-berita soal Corona yang beredar di dumay memang lebay.
Ada berita dengan judul "Pasien Suspect Corona meninggal dunia", ternyata pasien suspect itu orang tua yang memang sudah sakit komplikasi hipertensi, jantung, paru-paru dan lainnya. Ya wajar kalau demam, batuk, dan nafasnya senin kemis.
Kasus suspect corona yang meninggal ternyata memang sudah punya penyakit gawat sejak awal. Jadi tanpa kena Corona pun, sudah saatnya mati. 
Yang meninggal di Solo kemarin itu punya riwayat diabetes (ini yang disembuyikan media). Masuk rumah sakit awalnya karena kecapekan 4 hari seminar di Bogor. Iku seminar opo kemping yo.
Yang masih belum jelas sekarang itu para anggota seminar yang lain. Nasibnya gimana. Seminar biasanya diikuti banyak peserta. Apalagi kalau seminar itu tentang bagaimana caranya cepat kaya. Atau soal poligami. Bakal diserbu ngacenger.
Berita media memang terkesan heboh. Padahal yo biasa ae. Media memang kadang bajingan. Demi rating tinggi, rakyat panik nggak perduli.
Kasus Corona di Indonesia nggak seheboh yang kalian baca di media berita. Media itu cuman jualan. Kalau judulnya bombastis, itu karena untuk menarik banyak pembaca. Jadi jangan jadi korban media. 
Yang reseh banget itu WHO, Amrik dan sekutunya. Minta pemerintah RI agar lebih serius menangani Corona. Begitu tidak percayanya pada bangsa ini. Hai bule bulak, jangan samakan ketahanan bangsa kami dengan kalian. Kaum mangkak memang kadang menyebalkan.
Bule itu gen lemah, wabah flu saja banyak yang mati. Kalau kita kena flu, cukup makan sambel sing pedes, penyakite stres dan minggat. Itu salah satu contoh sugesti.
Kalau kamu muslim, harusnya yakin dengan kekuatan wudhu (the power of wudhu). Air yang didoakan bisa lebih dahsyat dari hand sanitizer merk paling top markotop. Cukup dengan 'Bismillah', semuanya akan baik-baik saja. Sori buat penganut agama lain, tapi begitulah apa yang kami yakini.
Orang modern itu banyak nggak benar-benar yakin dengan kekuatan sugesti atau doa. Segala sesuatunya harus ilmiah. Padahal yang nggak ilmiah itu yang kadang bisa menyelamatkan manusia. Tergantung kamu mengimani atau tidak. Kalau tidak yo matio kono.
Nggak heran kalau Menkes Terawan dulu dianggap naif saat ngasih alasan kenapa Indonesia belum ada kasus Corona. Dia bilang manusia Indonesia itu kebal Corona karena kekuatan doa. Dan itu yang membuat Jokowi "malu", dia pun mengangkat Achmad Yurianto jadi juru bicara Corona.
Dan yang terakhir Jokowi juga dicemooh Media Internasional karena menganjurkan rakyatnya minum jamu. Nggak masalah biarkan saja mereka reseh. Kita punya keyakinan, ketahanan dan cara yang beda dengan mereka. Kita bangsa garuda, mereka bangsa anjing. Anjing menggonggong, garuda tetap berlalu.
Sori, jangan pernah tertawakan bangsa kami men.
Hand sanitizer, masker, jahe merah, empon-empon, suket alang-alang dan segala macam itu cuman benda, alat untuk ikhtiar. Kamu terjangkit Corona atau tidak itu 100% tergantung dengan sang pembuat virus Corona--> Tuhan. Makane ojok panik Ndes. Redakan kepanikanmu dengan sugesti dan doa. Bisa saja itu jadi penangkal yang jitu. 
Tenang ae talah, sampai saat ini Corona umumnya lebih menyerang kaum menengah ke atas. Corona minder pada kaum kere. Koen iku wis kere, panik ae. Antisipasi oke, panik jangan.
-Robbi Gandamana-

#corona #indonesiadilawan #sugesti #wudhu

Kamis, 12 Maret 2020

India Perlu Belajar "ngalah" ala Orang Jawa

sumber foto : idntimes.com

Iya. Memang nggak ada salahnya kalau ada petinggi negeri ini yang bilang, semestinya India belajar toleransi dari Indonesia. Karena bangsa ini punya kearifan lokal yang bernama ngalah. Di negeri manapun nggak ada istilah ngalah atau mengalah.
Ngalah itu terjemahan Inggrisnya bukan "relent". Gak cocok Doel. Di dunia modern nggak ada orang yang mau ngalah. Dalam hal apa pun harus sama-sama menguntungkan. Ngalah itu ikhlas dirugikan. Kalau pun kalah, itu karena terpaksa.
Sejak kecil selalu didoktrin "you'll be number one". Pokoknya harus menang. Ngalah itu nggak cool. Akhirnya nggak heran kalau di dunia Barat ada istilah "nice guy finish last". Curang sedikit nggak papa yang penting menang.
Dalam soal ngalah, kita pemenangnya. Walau saat ini mulai luntur, sejak aliran kaku dari negeri onta merebak. Yang dikit-dikit bid'ah, dikit-dikit kafir. Bahkan sesama Islam disesat-sesatkan. 
Mereka-mereka yang tercerabut dari akar budayanya sendiri. Tongkrongannya Arab abis. Ngajinya lebih fasih dari orang Arab. Cuma irunge pesek. Arab maklum lah.
Kalau di suatu wilayah ada banyak aliran seperti itu, biasanya saat agama lain mendirikan tempat ibadah bakal dipersulit. Bahkan melakukan peribadatan di rumah sendiri pun diprotes. Rupanya mereka belum tahu (atau lupa) kisah kearifan Sunan Kudus.
Contoh toleransi (ngalah) yang dahsyat dicontohkan oleh Sunan Kudus yang menghimbau umatnya untuk tidak makan daging sapi. Diganti daging kerbau saja. Karena saat itu banyak penganut Hindu yang mensakralkan sapi persis kayak di India. Sapi dianggap sebagai ibu pertiwi yang memberi kesejahteraan.
Maka nggak heran kalau di sana sapi dielus-elus, dicurhati, "Buk utangku akeh bla bla bla...tulung salamno nang Dewo yo..Dewo 19." Woeee, iku band le.
Orang Jawa kalau sama sesepuh atau orang yang dituakan itu manut. Nggak heran kalau sampai sekarang di Kudus masih ada yang nggak berani makan daging sapi. Takut kualat. Mangan daging sapi langsung raine koyok sapi, metu buntute.
Padahal anjuran Sunan Kudus hanya berlaku saat itu -itulah kenapa ada dalil yang sifatnya kontekstual, sesuai zamannya-. Lagian daging sapi dan kerbau itu rasanya hampir sama. Sing penting ojo lali moco "Bismillah..kolu ra kolu untalll.."
Seandainya Sunan Kudus nggak ngajak umatnya ngalah, bisa jadi akan terjadi konflik kayak di India. Kerusuhan yang dioplos dengan penjarahan oleh para kere hore yang memanfaatkan situasi.
Tapi konflik di India nggak cuman soal ritual ibadah yang crash. Penyebab lainnya adalah penyebaran Islam di India itu melalui jalan penaklukan. Menyebarkan agama kok ngancam pakai pedang, "Islam atau mati!"
Cara seperti itu jelas "nggak aman", menimbulkan dendam abadi. Kayak penyebaran Islam di Spanyol di zaman Khalifah Al Walid yang dipimpin Thariq bin Ziyad.
Nggak heran saat Islam kalah di Spanyol dalam Perang Salib, Muslim di sana dibantai habis. Pembalasan lebih kejam men. Salahe sopo.
Berangkat dari "dendam lama" itulah akhirnya Perdana Menteri Narendra Modi menerbitkan Undang Undang Amandemen Warga Negara yang anti Islam. 
Undang-undang yang memudahkan imigran Afghanistan, Pakistan dan Bangladesh mendapat kewarganegaraan India kecuali yang Muslim. Muslim dipersempit ruang geraknya agar tidak jadi mayoritas.
Beda jauh dengan penyebaran Islam di Nusantara yang disebarkan dengan cara yang penuh hikmah, damai, tanpa kekerasan. Cangkrukan karo ngopi-ngopi. Memanfaatkan seni dan budaya. Cerita wayang disusupi dalil. Wayang kulit aliran Sunan Kalijaga itu kontennya beda dengan wayang kulit yang asli.
Walisongo mengajarkan Islam tidak langsung ndalil. Zaman dulu orang Jawa masih kesulitan ngomong Arab. Akhirnya bahasa Arab pun di-Jawa-kan. Syahadatain jadi sekaten, kalimat syahadat jadi kalimasada, ghafura jadi gapura, dan banyak lagi. Dengan begitu ketika orang Jawa jadi Muslim, mereka tidak kehilangan kesadaran dan jati diri sebagai Jawa.
Nggak cuman lewat wayang kulit, dalil atau ilmu-ilmu kehidupan juga disisipkan atau dijadikan lagu anak-anak oleh Sunan Kalijaga. Ini brilian, karena lagu anak-anak itu abadi. Sekilas lagunya seperti tembang dolanan anak-anak pada umumnya, padahal makna liriknya dalam sekali.
Kalau kamu pengangguran kelas berat, simak saja lirik lagu "Lir Ilir" atau "Gundhul Pacul". Kalau tetap nggak bisa menemukan makna yang terkandung di dalam lagu "Gundhul Pacul", bisa jadi gundhulmu perlu dipacul.
Wis ah.
-Robbi Gandamana-

Kamis, 05 Maret 2020

Antara Corona dan Sempak Ukuran S

sumber gambar : minews.id


Sesaat setelah Corona dinyatakan masuk Indonesia (2 positif di Depok) sejumlah warga langsung panik. Tapi kebanyakan yang panik itu kalangan menengah ke atas. Kalau rakyat jelata nggak ada urusan. Panik opo. Panik itu kalau nggak ada uang buat beli beras.
Rakyat jelata jangan ditakut-takuti Corona. Ojok maneh Corona, lha wong lokalisasi kelas teri dimana resiko terkena sipilis sangat besar, banyak yang jajan di situ. Gak wedi nek pucuke peli iso cuwil.
Corona ini khan ponakannya SARS dan MERS. Penyakit jurusan saluran pernafasan. Cuma lebih keras dari flu. Jadi nggak usah panik. Jauh dari peli.
Kalau kita mundur ke belakang dimana dulu SARS dan MERS mewabah, rakyat Indonesia terbukti lebih kedot dibanding bangsa lain. Korbannya lebih sedikit. Ketahanan tubuh bangsa kita itu beda. Bukan karena gizinya terjamin. Mereka tangguh karena terbiasa hidup sengsara dan juga karena punya kekuatan dahsyat yang bernama sugesti.
Kalau ada ulama yang meminta umat perbanyak doa Qunut untuk menangkal Corona, lakukan saja. Bukan karena doa Qunut atau doa yang lain yang membuatmu terhindar dari Corona, tapi karena sugesti dan kesungguhannmu mencintaiNya. Tuhan jadi terharu. Corona pun sungkan mendekatimu.
Kalau nggak bisa baca doa Qunut ya gak papa, yang penting jaga kebersihan. Kalau muslim ya menjaga wudhu, kalau agama lain aku gak eruh. Tanpa merapal doa pun Tuhan tahu isi hatimu. Kamu bikin doa sendiri pun nggak masalah. Sak mampumu. "..wis pokoke podo ngertine ya Alloh.." Iyo le.
Corona sudah nyampai Eropa. Padahal jauh dari pusat wabah. Sedangkan Indonesia yang dekat dengan Tiongkok malah baru dua orang yang positif. Pejabat tinggi negara-negara bule tadi perutnya mules nggak percaya dengan fakta itu. Kesan mereka, pemerintah kita nyantai dalam menangani Corona. Nggak nyantai, cuman alat tesnya mahal, nggak mampu beli. Kere.
Orang bule itu gizinya oke, olahraganya teratur, tapi di pikiran mereka tertanam ketakutan yang sangat pada sakit dan kematian. Rasa takut berlebihan itulah yang mengundang penyakit. Kans untuk sakit lebih besar. Beda dengan kita yang nrimo ing pandum, menghadapi hidup dengan asyik. Maka penyakit jadi minder, males mampir.
Nek pikiran wis beres, urip gak bakalan rembes. Hidup memang selalu ada masalah tapi bagaimana caranya kamu harus lebih besar dari masalah. Masalah itu bukan masalah kalau kita tahu solusinya. Istri cerewet bukan masalah kalau bisa ngatasinya. Disebut masalah kalau nggak bisa ngatasi. Matio kono.
Yang nggak asyik di sini itu selalu saja ada orang yang memanfaatkan situasi. Musibah jadi lahan bisnis. Saat orang butuh masker, masker hilang di pasaran karena diborong pedagang mbokneancuk alias motherfucker.
Yang asyik itu Bu Risma yang sengaja menimbun masker agar tidak keduluan pedagang. Saat nanti benar-benar dibutuhkan akan dibagikan gratis ke warga. Dan itu cukup membunuh pasar para  penimbun masker. Kalau ada yang gratis, kenapa harus beli. Rasakno koen.
Tapi silakan saja kau pedagang bajingan borong semua masker dan hand sanitizer. Jual lagi dan naikan harganya sepuluh kali lipat.  Hanya orang kaya tolol yang membelinya. Rakyat jelata nggak perduli. Masih ada taplak.
Bagi rakyat jelata, uang 75 ribu itu sayang kalau dibelikan masker. Mending buat ngopi rame-rame. Atau beli paket data. Lumayan buat ngeksis di medsos sak ndlosore. Jadi ini pesanku pada pedagang bajingan : "Peli you all!"
Sementara di negara-negara bule ketar-ketir dengan virus Corona, di sini enggak. Yang heboh itu media atau kumpulan orang kaya manja. Sebelum ada virus Corona pun, mereka kemana-mana pakai masker. Bahkan di dalam kereta api eksekutif yang  ber-AC pun dipakai. Itu sok steril apa anti sosial?
Negara bule itu kadang alay, terlalu defensif pada rakyatnya. Untung Scorpions dan Whitesnake konser di Jogja kemarin belum ada kasus pasien positif Corona. Kalau sudah ada sebelum hari H, kemungkinan besar mereka membatalkan konsernya. Personile wis tuwek-tuwek. Nek watuk untune katut metu.
Dulu saat Bali dibom oleh teroris, negara-negara bule langsung mengeluarkan travel warning ke Indonesia. Konyol. Memangnya Indonesia itu cuman Bali. Lagian teroris yang sudah ngebom itu nggak akan ngebom lagi setelah 3 bulan bahkan 5 tahun ke depan. Karena setelah dibom, keamanan pasti diperketat.
Semua orang takut mati, tapi ojok nemen-nemen talah. Begitu ketatnya perlindungan negara-negara mapan pada rakyatnya koyok sempak anyar ukuran S.
Wis ah.
-Robbi Gandamana-