Senin, 03 Mei 2021

Heidi, Kisah Inspiratif yang mengajarkan Kemewahan Sejati

 

Sumber foto : filmmovementplus.com

Zaman sekarang ini susah mencari film Barat yang bersih dari adegan tidak senonoh. Apa itu french kiss atau adegan  ranjang. Bukannya sok alim, tapi ini bulan puasa Mblo. Ndelok koyok ngono iku langsung kepingin pratikum.

Tapi selalu ada film yang bersih dari adegan pemacu gairah. Salah satunya adalah film Heidi (2015). Film yang bergenre family ini diadopsi dari  novel klasik berjudul sama karya Johanna Spyri, terbit tahun 1881 (zaman sepur lempung). Recomended untuk ditonton bersama keluarga.

Film ini berkisah tentang anak yatim piatu pecinta alam bebas.  Seorang gadis kecil yang lebih bahagia hidup di pelosok pegunungan daripada di rumah mewah tapi penuh dengan aturan kaku layaknya pegawai negeri eh, bangsawan. Semua tersedia tapi terpenjara ya apa asyiknya.

Kisah berawal ketika Heidi dibawa bibinya, Dete, untuk dititipkan ke kakeknya, Alpohi namanya, yang rumahnya di pelosok pegunungan Alpen, mungkin masuk wilayah kecamatan Ndibal. Dete yang sejak kecil merawat Heidi terpaksa melakukan itu karena dapat kerjaan di luar kota. Mungkin jadi pramusaji di warung seafood Lamongan.

---Pemeran Kakek Alpohi adalah Bruno Ganz yang sempat memerankan Hitler di film Downfall atau judul aslinya Der Untergang (2004). Dia sudah almarhum, meninggal 16 Februari 2019---

Kakek Alpohi yang hobi menyendiri itu awalnya menolak keras. Dia ngamuk dan mengusir Heidi yang ditinggal paksa oleh Dete.  Sempat satu malam Heidi tidur di kandang kambing karena si kakek menutup pintu rumahnya. Tapi akhirnya si kakek kasihan juga dan membukakan pintu rumahnya untuk Heidi. Sambil menggerutu dalam hati, "Misuh!".

Heidi sangat bahagia hidup bersama kakeknya walau tidur di kasur beralas jerami. Dibandingkan hidup di rumah Bibi Dete yang melewati hari hanya dengan duduk-duduk di rumah tanpa melakukan apa-apa koyok tonggoku mbiyen sing kenek stroke. Plonga plongo gak iso opo-opo. Kepingin nguyuh tinggal currr.

Di gunung, tiap hari Heidi bermain sambil menggembalakan kambing bersama Peter, panglima penggembala kambing setempat yang jadi sahabatnya. Seorang anak lelaki ndlahom yang hanya tahu soal kambing bin wedus.

Suatu kali saat di kelas, gurunya tanya cita-cita. Satu persatu murid di kelas berdiri mengutarakan cita-citanya. Ada yang ingin jadi petani, pandai besi, penjahit, dan banyak lagi. Ketika giliran Peter, dia menjawab dengan lantang, "Aku ingin jadi pengembala kambing!" Kwakwakwakwak, semua temannya tertawa.

Cita-cita kok angon wedus. Adza adza ajza dwech ach.

Btw, yang casting memang hebat. Quirin Agrippi sangat cocok menggambarkan karakter Peter di film ini yang ndlahom, mbeling dan rakus. Ya Peter itu rakus.  Tiap hari dia makan separuh jatah makan Heidi disamping makan jatahnya sendiri. Bahkan roti jatah neneknya yang giginya ompong pun disikat.

Lanjut..

Suatu hari Bibi Dete datang. Dia meminta Kakek Alpohi agar Heidi ikut bersamanya ke kota. Kakeknya yang sudah akrab dengan Heidi tentu saja melarang keras. Sampai-sampai Dete diusir, diancam pakai pemotong rumput. Dete pun ngibrit.

Dete tidak menyerah, dia mendatangi tempat di mana Heidi menggembala kambing. Dengan bujuk rayu dan tipu daya, akhirnya dia berhasil membawa Heidi minggat hanya dengan memakai baju dan celana lusuh seragam angon wedus, tanpa alas kaki.

Rupanya di kota Heidi disewakan oleh Bibi Dete untuk menemani Klara, anak seorang aristokrat cacat (tidak bisa berjalan) dan kesepian. Bapaknya Klara adalah bangsawan sibuk yang jarang di rumah. Sedangkan ibunya sudah almarhum. Keseharian Klara hanya digunakan untuk belajar pada guru privat.  Dari soal baca tulis sampai tata krama.

Sumber foto : noreruns.net

Klara tentu saja senang punya teman baru yang bisa dicurhati kapan saja. Tapi tidak dengan Heidi, dia nggak tahan diatur-atur sampai mendetail. Bagaimana caranya duduk, megang sendok, memotong roti, dan cara-cara yang lain khas bangsawan. Celana menutupi mata kaki dibakar di neraka. Ohmaigot.

Heidi ingin secepatnya kembali ke gunung bersama kakeknya dan kembali bermain dengan Peter si pekok.

Setelah seringnya Heidi berjalan sambil tidur di tengah malam dan membuka gerbang (karena rindu rumah kakeknya). Dokter pribadi Klara menyimpulkan bahwa Heidi nggak bisa terus hidup bersama Klara, dia harus dipulangkan. Kalau tidak dia akan mengong, stress berat.

Bagian inti film ini sepertinya saat Heidi hidup bersama keluarga Tuan Takur. Semua tersedia, tapi hidup terkekang. Sama kayak burung peliharaanmu. Kamu kasih makan enak tiap hari, tapi nggak boleh kemana-mana. Kasihan. Jadi lepaskan sekarang juga. Demi hak asasi hewan yang kalian perjuangan.

Kemewahan sejati adalah hidup serumah bersama saudara sendiri yang saling mengasihi.

Akhirnya Heidi pun kembali pulang ke rumah kakek Hitler eh, Alpohi. Dan dia kembali bermain di gunung bersama Peter dan pasukan kambingnya. Sampai akhirnya Klara datang menjenguk Heidi yang membuat Peter cemburu karena merasa dicampakan Heidi. Heidi hanya sibuk bermain dengan Klara.

Karena terbawa emosi, di pagi hari saat semua masih terlelap, Peter diam-diam mendorong kursi roda Klara ke jurang hingga hancur berantakan. Ini salah satu bukti kebodohan Peter. Kenapa nggak dijual ke tukang rongsok saja sih!? Tolol, khan bisa jadi uang.

Terus bagaimana nasib Klara yang telah kehilangan kursi roda. Apakah dia akan pulang mberangkang menuju rumahnya? Atau turun ke jurang mengambil kepingan kursi roda yang hancur untuk dijual ke pengusaha jual beli besi tua milik orang Madura?

Tonton sendiri filmnya. Nggolek enake tok ae kon iku. Kesel nulise rek.

****

Detail Film :

Judul                 : Heidi
Tanggal rilis : 10 Desember 2015 (Jerman)
Pemeran         : Anuk Steffen (Heidi), Bruno Ganz (kakek Heidi), Quirin Agrippi (Peter), Isabelle Ottmann (Klara Sesemann), Katharina Schttler (Frulein Rottenmeier, pengasuh Klara), Hannelore Hoger (nenek Klara), Maxim Mehmet (Herr Sesemann, ayah Klara), Anna Schinz (Dete, bibi Heidi)
Sutradara       : Alain Gsponer
Ditulis oleh   : Petra Biondina Volpe
Diadaptasi dari buku : Heidi
Cerita oleh    : Johanna Spyri
Musik digubah oleh : Niki Reiser
Distributor   : StudioCanal
Negara            : Swiss/Jerman
Genre              : Family
Skor                 : 7,5 / 10

Tips Menulis Esai yang Kickass

Sumber foto : gettyimages

Ketika semua teori soal tulis-menulis sudah kamu kuasai, tapi tetap saja tulisanmu sepi peminat, di situlah kadang kamu merasa  sedih. Dan kamu juga merasa telah ditipu guru bahasamu. Jarene ngono, lah kok ngene.

Kebenaran itu relatif. Nggak ada yang betul-betul benar (kecuali ilmu eksak). Jadi gurumu nggak salah (ya mungkin sedikit). Dia cuman mengajarkan ilmu yang telah disepakati oleh para pakar bahasa berdasar penelitian dan atau pengalaman yang panjang.

Ilmu pengetahuan itu dinamis. Teori yang sekarang diakui kebenarannya bisa nggak berlaku di masa mendatang. Beda masa beda cara. Beda tempat beda tabiat. Iki internet Jum.

Melihat banyaknya Netizen yang galau karena tulisannya suepi nggak ada sambutan, hatiku jadi terketuk untuk menuliskan beberapa tips menulis esai yang kickass.

Tips menulis esai yang akan aku tulis ini juga nggak mutlak benar. Tapi tentu saja ini semua berdasar pengalamanku menulis esai di jagat medsos. Semacam hipotesis elek-elekan ngono lah.

Nggak ada maksud sombong, jelek-jelek begini tulisanku umumnya mendapat sambutan yang lumayan oke, terbukti dengan banyaknya like, komen, juga share. Kalau nggak percaya coba cek akun fesbukku di sini.

Well, tulisanku di Kompasiana memang kurang mendapat sambutan. Kenapa?

Berdasarkan pengamatanku, di Kompasiana itu untuk meraih pembaca yang banyak, kamu harus sering ngasih vote ke Kompasianer lain. Semakin banyak kamu nge-vote, semakin banyak pula yang ngasih vote kamu. Dengan begitu tulisanmu masuk kanal Nilai Tertinggi. Selanjutnya jumlah viewer pun melejit. Salah khan?

Begitulah, aku jarang berkunjung ke sesama Kompasianer dan ngasih vote. Hanya yang benar-benar menarik perhatianku saja --maklum, seorang Ilustrator itu kerjaannya dikejar-kejar detlain--. Jadi ya aku harus menerima kalau jumlah viewer-ku payah.

Itu di Kompasiana, di medsos (atau mungkin di situs opini yang lain) nggak bisa seperti itu. Untuk mendapat banyak sambutan dahsyat, tulisanmu harus benar-benar kickass. Bukan didongkrak oleh vote sesama Komunitas Balas Budi .

Jadi bagaimana caranya tulisan esaimu bisa mendapat banyak sambutan, bukan banjir caci maki karena sensasi.

Begini..

Yang jelas kamu harus punya bakat menulis (tentu saja). Nggak cukup hanya tekad, harus bakat. Tanpa bakat, tulisan kering tak bernyawa. Kayak makalah atau skripsi. Terlalu baku dan kaku. Sangat melelahkan untuk dibaca. Membaca tulisan seperti itu hanya bikin aku pingsan.

Jangan membangun tembok antara kamu (penulis) dan pembacamu. Itu karena kamu menulis dengan sangat sopan dan resmi. Pembacamu jadi sungkan 'say hello'.

Itulah alasan kenapa tulisanku bergaya 'aku' bukan 'saya'. Bagi sebagian orang mungkin terkesan 'sok yes', angkuh, bahkan sombong. Tapi dengan bergaya 'aku', aku jadi dikira anak muda. Pembacaku jadi nggak sungkan komen. Suasana jadi cair. Padahal aku ini sudah berumur. Anakku telu wis gede-gede (ojok ngomong sopo-sopo yo).

Bagus kalau kamu ingin memperjuangkan bahasa Indonesia yang baik dan benar, salut. Tapi ingat ini internet, medsos. Bukan kampus, instansi, atau markas polisi. Cobalah sekali-kali tulisanmu kamu sisipi bahasa gaul atau bahasa daerahmu, tapi harus tetap elegan. Jangan terlalu 'cemungudh ya cyn'.  

Sentilan-sentilan atau joke-joke ringan nggak masalah pakai bahasa daerah, asal jangan yang pokok-pokok tulisan.

Jangan terobsesi jadi penulis. Nulis ya nulis saja, nggak usah bercita-cita. Kalau memang kamu beneran dengan passion-mu, kamu bakalan panen pada saatnya nanti.

Ketika seseorang menulis karena terobsesi tulisannya dibukukan, disitulah imajinasinya tercemar. Nulisnya jadi hati-hati, nggak rileks. Nulis status fesbuk saja jadi kayak nulis tugas mengarang "Pergi ke Rumah Nenek".

Yang terakhir, banyak-banyaklah membaca dan mendengar ceramah apa pun yang bisa memperkaya wawasan. Bagaimana kamu bisa menulis kalau malas membaca dan memperluas wawasan. Jelas ndlahom wis.

Walaupun banyak orang yang menulis tidak perduli dengan jumlah pembacanya, tapi tetap saja jumlah pembaca bisa jadi tolok ukur kwalitas tulisanmu. Sudah sampai mana keberhasilanmu dalam nggedabrus eh, tulis menulis.

Sekali tulisanmu meledak (bukan karena sensasi murahan), selanjutnya pembacamu akan menanti karya tulismu. Walau tanpa judul sekalipun, mereka akan datang berduyun-duyun dari segala penjuru untuk membacanya. Padahal menurut pakar bahasa, judul itu komponen penting sebuah karya tulis.

Mungkin itu saja tips terpenting dari saya eh, aku. Itu semua akan sempurna kalau ditambah dengan kecerdasan estetik, wawasan luas, percaya diri, semangat, nothing to lose, dan diniatkan untuk kebaikan.

Tapi tetap saja selalu ada faktor X, kenapa tiap orang berbeda sambutan atau jumlah pembacanya padahal cara dan gaya nulisnya sama. Kalau soal itu maaf, saya kurang tahu. Saya orang baru.