Minggu, 30 Desember 2018

Antara Pedagang Asongan, BPJS dan Birokrat Gembrot



Saat menunggu bis trans Jogja di sebuah halte dekat lampu merah, diam-diam aku mengamati pedagang asongan yang menjajakan tisu. Lebih tepatnya sebuah keluarga yang menjajakan tisu.  Ada bapak, ibu dan dua anak perempuan yang masih kecil. Satu anaknya yang masih balita digendong di punggung bapaknya.

Karena cuaca panas, asap knalpot dan debu yang beterbangan di jalan membuat mereka terlihat dekil. Tapi kedekilan itu tidak sebanding lurus dengan wajah mereka yang ceria. Itu yang membuat aku heran. Mereka asyik-asyik saja menjajakan dagangan. Terutama anaknya yang perempuan. Ketika dagangannya terbeli, dia melonjak kegirangan memberikan uang ke ibunya. 

Aku yakin kalau yang beli dagangan mereka karena empati, bukan karena bener-bener butuh. Mereka jualan beneran, bukan kayak orang yang bawa sulak dan tiba-tiba membersihkan kaca mobil yang berhenti di lampu merah. Sing ngongkon nyulaki iku sopo. Lagian kaca mobil sudah kinclong banget. 

Di samping keluarga penjual tisu, ada beberapa pedagang asongan lain di lampu merah tadi. Salah satunya seorang pria yang menjajakan makanan. Dia menuju halte dan duduk di sebelahku, menghitung uang hasil dagangan. Dia tersenyum menyapaku, berbasa-basi dan menawariku rokok. Swemproel, orang ini supel banget, pikirku. Seperti bertemu teman lama.

Aku langsung terharu. Serasa dikaplok arek cilik tapi gak iso mbales. Dia yang kerja keras, berpanas-panasan demi mendapatkan uang untuk beli rokok, rela menawarkan rokok padaku yang kerja nyantai di ruangan AC. Swemproel. Tapi tentu saja aku menolak dengan halus. Aku tidak merokok. Bukan karena anti rokok, tapi lidahku tidak bisa menikmati asap. 

Itu salah satu kehebatan orang Endonesyah. Mereka punya teknologi jiwa yang luar biasa. Hidupnya tertindas tapi masih bisa tersenyum bahagia. Menawarkan rokok pada orang yang jauh lebih mampu beli rokok. Iku koyok wong kere nraktir wong sugih. Sing sugih pingine urunan, sama rata. Padahal uang dua puluh ribunya si kaya itu beda dengan dua puluh ribunya si miskin. Bagi si miskin itu buanyak banget, bagi si kaya itu sedikit. 

Kemiskinan itu memang masalah. Tapi sebenarnya tidak masalah bagi mereka yang bisa mengatasinya (bisa bahagia dengan keadaan itu). Karena kekayaan sejati itu ada pada hati yang puas (bahagia). ----Tapi kalau bisa jangan miskin. Mana bisa sedekah kalau miskin. Walau sedekahnya si miskin itu nilainya (di mata Tuhan) sangat istimewa dibanding si kaya----

Katakanlah ada seorang pria yang  punya istri cerewet. Itu masalah kalau si pria tidak bisa mengatasi kecerewetan istrinya. Tapi itu bukan masalah kalau dia bisa mengatasi kecerewetan itu. Jadi, masalah itu bukan terletak pada istri cerewet atau tidak cerewet. Selama kamu bisa mengatasinya, itu bukan masalah.

Orang endonesyah itu tangguh luar biasa. Mereka ubet dengan perekonomian sendiri. Sayangnya negara malah suka merepotkan rakyatnya. Bener gak se (semoga hoax) bila tidak terdaftar jadi peserta BPJS tidak akan mendapatkan pelayanan pembuatan IMB, SIM, STNK hingga paspor. 

Senengane kok mekso. 

Negara ini super kaya. Cuman nggak iso ngolahe (apalagi banyak pejabat maling), akhire diakali negoro-negoro bule. Kesehatan dan pendidikan gratis itu harusnya hal kecil bagi negeri sempalan surga ini. Berkacalah pada negara-negara luar yang sebenarnya pas-pasan tapi bisa ngasih kesehatan dan pendidikan gratis buat rakyatnya. 

BPJS itu bantuan setengah hati. Kalau benar-benar membantu ya gratis sekalian. Oke, berkat BPJS, kamu senang karena mendapat pengobatan gratis . Tapi ingat, dibalik gratisan itu ada seseorang di luar sana yang babak belur membayar tagihan BPJS. Mereka yang punya anak banyak (semua ikut BPJS) yang gajinya cuma UMR, atau seperti keluarga penjual tisu di atas. 

Nggak heran kalau warga Kalimantan di perbatasan lebih suka berobat ke Malaysia. Konon di sana pelayanannya dan fasilitasnya oke dan mbayarnya bisa dicicil. Kalau di sini nggak akan dapat fasilitas oke kalau ternyata bayarnya mengandalkan BPJS. 

Bagus kalau kamu menjadi peserta BPJS, tapi juga nggak masalah kalau tidak. BPJS itu subsidi silang, sedekah si sehat untuk si sakit yang nggak mampu membiayai sakitnya. Itu bagus. Tapi sedekah nggak bisa dipaksa. Iya kalau yang bersedekah itu orang kaya. Lha kalau yang penghasilanya pas-pasan? Itu khan otoriter namanya.

Aku sendiri jadi peserta BPJS bukan kemauanku sendiri. Sing ngurus yo guduk aku. Aku anti formalitas. Aku memang bajingan sejak doeloe kala. Aku nggak tahan berhadapan dengan birokrat-birokrat gembrot yang sukanya mempersulit. Kudu tak pancal raine. 

Aku yakin kalau hidupku sehat-sehat saja. Bukan karena sombong atau apa. Tapi ketakutan akan sakit itu sama saja mengundang sakit. Ingat kata dr. Paulus Adrian dari Jogja, bahwa mengatakan, memikirkan dan meyakini itu sama saja dengan mengundang. Kalau kamu takut sakit, yakin akan sakit, memikirkan atau mengatakan akan sakit, maka kamu akan sakit beneran. 

Contohnya saat kamu telat makan, dan kamu takut kalau telat makanmu tadi akan menyebabkan asam lambungmu naik, maka jangan kaget kalau asam lambungmu benar-benar naik. Rasakno koen. 

Ingat juga kata dr. H. Agus Ali Fauzi, penyebab sakit itu 80% karena pikiran, yang 20% karena makanan. Maka nggak heran kalau penjual asongan yang tiap hari kepanasan bisa lebih tahan sakit daripada birokrat gembrot yang kerjanya di ruangan AC dan maemnya makanan bergizi teyus. Ciyus

- Robbi Gandamana-

Jumat, 30 November 2018

Kere Ayem (Balada Warung Murah Pinggiran Kota)


Hidup di pinggiran kota Solo memang wasyik. Sandang pangan murah meriah. Lha ya'opo, mangan sego jangan lauk telor dadar  minumnya teh anget cuman enam ribu rupiah.  Tapi yo ngono, pengunjungnya uyel-uyelan saat jam makan.
No problem bagi masyarakat kelas buruh. Kalau cuman makan siang dengan waktu yang mepet, nggak perlu suasana yang romantis. Romantis opo, mangan gak utang ae wis ngAlhamdulillah.
Harga memang murah tapi rasa nggak mengecewakan. Prasaku masakan Jawa itu dimana-mana rasanya sama. Gak nang Solo,  Malang, Surabaya atau Pulau Sempu, rasane jangan lodeh yo ngono iku. Mungkin karena aku nggak rewelan kalau soal makan. Sing penting segone akeh, beres.
Aku nggak pilih-pilih warung, yang penting tempatnya bersih (eh, iku pilih-pilih yo?). Ada dulu saat jaman kuliah, di kampus ada warung dengan format yang aneh, warung merangkap suaka margasatwa.
Si pemilik warung memelihara kucing, burung, ayam, mentok dan kalkun. Jadi ojok kaget nek pas mangan onok pitik angrem ndik isor mejo. Koprosss.
Makanan itu sejatinya adalah bahan bakar bagi tubuh manusia. Ada kelas-kelasnya. Ada yang kelas premium, pertalite atau pertamax. Kalau kelas buruh dikasih premium atau pertalite ae wis cukup sip.
Beda kalau kelas priyayi, mereka harus makan yang berkelas. Kayak burung berkicau yang mahal itu, salah pakane iso mati.
Nggak heran kalau Sandiaga Uno saat datang ke Solo dulu dia kaget berat  saat makan soto seporsi yang harganya cuman lima ribu rupiah.  Dia belum tahu, jangankan lima ribu, sepiring soto yang harganya tiga ribu rupiah masih ada.
Tapi kalau nanti rasanya agak fals, wetengmu senep, ngising gak mandek-mandek, yo ojok protes. Telungewu njaluk sehat.
Saat mudik ke Malang aku banyak menemukan warung portable (jualan pakai mobil pick up) di pinggir jalan. Ada penjual nasi pecel dengan spanduk kecil dengan tulisan besar dan tebal : Nasi Pecel Rp. 8000.
Dipikirnya delapan ribu itu sudah murah banget. Padahal di Solo, nasi pecel yang lima ribu rupiah masih buanyak. Rupanya Malang sudah jadi kota semi metropolis, opo-opo larang. Kota rekreasi yang tidak cocok untuk kere yang suka aksi. 
Warung-warung murah di Solo biasanya banyak bertebaran di sekitar pabrik atau kampus. Tapi di dalam kampung yang jauh dari pabrik atau kampus juga ada. Para buruh pabrik dan mahasiswa sangat diuntungkan dengan keberadaan warung-warung sederhana itu.
Juga para mamah-mamah muda yang males masak. Tiap pagi selalu ada antrian panjang berjubel mamah-mamah muda beli sayur dan lauk doang.
Banyak pemilik warung sekitar pabrik membuka warung tujuan utamanya adalah rasa kemanusiaan, martabat dan atau juga status sosial. Uang adalah hal terakhir yang mereka perhitungkan.
Laba sedikit nggak papa sing penting ajeg. Dan mereka malah lebih laris dari warung-warung bergengsi di tengah kota yang sangat cermat perhitungan labanya. Kapok.
Semakin modern orang semakin nggak kenal manusia dan akhirnya nggak percaya pada manusia. Ada banyak kantin-kantin di kampus yang belum makan sudah bayar duluan.
Ambil makan antri berbaris menuju kasir dan bayar. Kalau di warung sederhana khan mangan sak kuate setelah itu baru totalan. Sama sekali tidak diawasi, ngambil tempe berapa, ngambil kerupuk berapa.
Fakta warung nggak cuman ekonomi, tapi juga ada fakta budaya, fakta kepercayaan, fakta kemanusiaan dan banyak lagi. Seandainya ditipu, pemilik warung mengembalikan urusan itu ke Tuhan. Dia masih punya keyakinan yang disebut kualat, ngunduh wohing pakarti, karma.
Bagi orang modern jualan adalah ekonomi, ekonomi adalah uang, uang adalah laba. Bahkan nggak rugi pun disebut rugi--> "Rugi aku nemu duit di jalan tidak aku ambil.." Rugi opo? Sing ilang duwike sopo?
***
Bakalan susah nasib para buruh pabrik atau mahasiswa kalau nggak ada warung sederhana.  Nggak semua karyawan bisa 'tabah' bawa bekal makan dari rumah. Aku sendiri merasa 'konyol' kalau bawa kotak bekal makan siang ke kantor.
Bukan soal manja atau apa. Bayangkan saja kalau ada anak metal, rambut gondrong,  tampang sangar, bawa kotak bekal makan siang bergambar Doraemon. Nggak mecing man. Itu pembunuhan karakter.
Dan aku merasa asyik makan di warung. Pertama karena pergantian suasana, bosen seharian ngendon di kantor, maka butuh refreshing keluar sebentar.
Kedua, makan di warung bisa jadi interaksi sosial yang wasyik antar sesama karyawan sehingga terjalin keakraban dan mengikat tali batin. Kadang ide-ide berlian muncul dari sana. Ketiga, menghidupkan ekonomi rakyat kecil, karena ikut melariskan dagangan mereka. Keempat...banyak lah, golekono dewe.
Apakah makan di warung itu boros? Boros atau tidak boros itu relatif. Semua tergantung pada kekuatan finansial masing-masing.
Seorang pengusaha yang tiap hari makan di KFC itu sesuatu yang biasa, nggak boros. Kalau kita buruh pabrik tiap hari makan di KFC, gaji sebulan habis dalam seminggu. Tapi nek mangan mek nemewu ae lho mosok boros se rek.
Bawa bekal makan siang itu bagus. Di samping sehat juga ngirit jaya. Tapi jangan konyol  melakukan itu karena berkiblat pada Jepang. Gak usah kakean alasan, ngomong ae nek ngirit.
Di Jepang nggak ada warung sederhana atau warteg. Yang ada hanya cafe dan restoran. Kalau buruh pabrik tiap hari makan siang di cafe yo pecah ndase.
Sudah itu saja. Zuukkk, madang Mboel!!

Minggu, 11 November 2018

Karena Agama Tidak Perlu Diperlihat-lihatkan

Muslim kagetan se-Endonesyah Rayah pada ngamuk. Gara -gara ada yang membakar bendera milik Ormas pengkhianat bangsa, Anti-Pancasila. Yang kebetulan di bendera tersebut ada tulisan Arab yang kata Ustadz Prayit itu kalimat tauhid.

Jadi sekarang kalau kamu mau jadi pembunuh sadis, perampok besar atau bajingan yang paling kakap perlu mentato tubuhmu dengan kalimat tauhid. Ditulis di jidat. Jika nanti tertangkap basah, massa atau aparat tidak bisa menghajarmu, apalagi sampai membunuh dan membakarmu. Sip wis, ijin share Ndes.

Bagiku, tindakan seseorang yang membakar bendera Ormas yang apa namanya itu adalah refleksi kemarahan pada pengkhianat negara. Disebut pengkianat karena Ormas yang apa namanya itu akan memberangus Pancasila dan menggantinya dengan sistem khilafah (khilafah menurut pemahaman mereka).

Jadi kesimpulan sementara (besok bisa berubah) yang dibakar itu bendera pengkhianat, bukan kalimat tauhid. Kalimat tauhid di bendera tersebut batal. Karena pengkhianat adalah racun (sampah) yang harus diberangus dari bumi NKRI. Kalimat tauhid tidak bisa disandingkan dengan sampah. Sori.

Seandainya Pancasila itu ditulis dalam bahasa Arab, bisa jadi Ormas yang apa namanya itu akan sadar bahwa Pancasila itu sangat khilafah. Sila pertama sama substansinya dengan ayat "Katakan, Tuhan itu satu..". Sila kedua sampai terakhir juga begitu, adat ayatnya di Al Qur'an (golekono dewe, golek enake tok ae kon iku) . Karena Pancasila sumbernya dari Al Qur'an juga.
Pancasila itu sangat islami (walau NKRI bukan negara Islam), jadi bagaimana mungkin mereka bisa Anti-Pancasila. Itu aneh bin khattab.
Menurut Mbah Nun khilafah itu bukan barang jadi, khilafah itu benih. Ada yang ditanam jadi kerajaan, ada yang disemai jadi republik. Di negeri ini dikembangbiakan menjadi NKRI. Jadi NKRI itu sudah termasuk negara khilafah. Tapi bukan Negara Khilafah Republik Indonesia.
Untung saja Ormas yang apa namanya itu tidak berkoar-koar "Pancasila itu thogut!" di zaman Orba. Kemungkinan besar Soeharto akan perintahken anak buahnya : "Kill 'em all!"
Jangan salah, aku bukan pengagum Soeharto. Itu cuma secuil sisi positif rezim Orba. But still Orba is my ass! Aman, tapi terbelenggu. Serba murah tapi tak terbeli. Rezim dimana para priyayi berjaya, kere awet merana. Taek.
Jadi ngAlhamdulillah cuman dibubarkan, nggak dibantai habis kayak PKI di tahun 60'an. Ormas dibubarkan itu wajar kalau tidak sejalan dengan pemerintah, yang penting Islam tidak dibubarkan. Ormas itu cuman alat, tujuannya untuk berIslam yang lebih baik. Biasa ae pakde. Ormas dibubarkan saja mewek, sampeyan iku membela Ormas atau membela Islam?
Salah sendiri merencanakan makar kok terang-terangan, deklarasi Anti-Pancasila di stadion, wilayah publik. Seharusnya gerakan bawah tanah. Bergerak diam-diam, semua bidang sisusupi. Seperti metode yang diterapkan PKI dulu. Tapi percuma juga. Pancasila terbukti sakti, hanya Tuhan yang bisa menghancurkannya. Pengalaman sudah membuktikan.
Sekarang yang asyik itu jadi orang Islam yang merdeka, nggak pakai Ormas-Ormasan, nggak pakai atribut dan simbol-simbolan. Juga nggak pakai 'makelar'. Karena aku nggak mau difatwa 'makelar' untuk memilih Capres ini atau itu. Kalau soal politik sikapku tegas : I don't trust in no one but myself!
Aku lebih suka pada orang yang bisa menyembunyikan Islamnya. Bukan karena minder. Karena agama tidak perlu diperlihat-lihatkan, yang penting sebisa mungkin bermanfaat bagi orang lain dan menyebarkan kebaikan dengan cara yang mereka bisa. Islam itu soal tabiat bukan soal tongkrongan, atribut, bendera, ­­lambang, atau simbol.
Baguslah kalau kamu bersarung, berkopyah, bergamis, kalau itu menjadikanmu lebih mencintai Islam, bangga terhadapnya dan memperkuat imanmu. Tapi kalau itu menjadikanmu merasa lebih tinggi dari orang lain, lebih baik pakai pakaian berbahan karung tepung terigu cap Segitiga Biru.
Bagiku yang asyik itu melakukan kebaikan atas nama manusia, bukan atas nama agama. Makanya aku lebih suka lihat sukarelawan di daerah bencana yang mengatasnamakan organisasi sosial atau personal, nggak pakai bendera atau atribut agama. Pokoknya menolong saja tanpa perlu orang tahu agamanya.
Karena ada sebuah Ormas yang hobi ngurusi moral umat dengan cara yang brutal, pentung sana pentung sini, tapi ketika caranya yang radikal itu dikecam, mereka menunjuk-nunjukan rekaman kebaikannya, "Ini lho kami menolong korban bencana bla bla bla.." Asli menyebalkan.
Makane talah, ojok sok Islam. Bendera ditulisi kalimat tauhid. Saat demo, hidung meler, benderanya buat ngusap umbel. Orang kalau Islamnya sudah di level cinta nggak perlu menulis kalimat tauhid di bendera, di kaos, di topi, di sempak..karena sudah tertato di hatinya. Tiap kali takjub dengan kebesaranNya, secara reflek akan terucap kalimat tauhid.
Wis rek, embuh. Tolong jangan di-share apalagi di-copy paste. Juga dilarang keras di-screenshot, diedit dan disebarkan. Nek tetep nekad, iso kualat---> ngising gak mandek-mandek.
Oret-oretan ini hanya khusus untuk mereka yang berpikiran luas dan merdeka, gak gampang "masuk angin" dan nggak gampang digiring koyok kebo, dijak demo ngalor ngidul dibayar sego boengkoes iwak kont..eh tongkol. Sing kolot ojok moco. Dan dilarang keras berdebat!
Uwis.
--Robbi Gandamana--

Jumat, 21 September 2018

Kampanye Keparat


Wacana Pemilu tanpa kampanye yang dilontarkan Cak Nun saat pengajian Sinau Bareng Bersama Cak Nun di Baturan, Solo (Selasa, 11 September 2018) kemarin sungguh revolusioner. Pokoknya umumkan calon pemimpinnya. Setelah itu silakan cari dan pelajari rekam jejaknya. Beres.
Tanpa pasang gambar dimana-mana. Tanpa baliho, spanduk, pamflet, cap-capan alias stiker dan semacamnya. Tanpa arak-arakan motor yang suara knalpotnya sungguh jahanam.
Karena kampanye itu pasti bohong, omong kosong, mengumbar janji-janji palsu, menjelek-jelekan yang baik dan membaik-baikan yang jelek. Kampanye itu kayak iklan, pasti lah berbohong.  Nggak ada kecap nomer dua. Pasti ngakunya nomer satu, paling oke, yang lain ke laut aje.
Apalagi kampanyenya calon pemimpin yang mengajukan diri jadi pemimpin, bukan orang didorong-dorong pantatnya oleh rakyat untuk dijadikan pemimpin. Pasti lebih banyak nggedabrusnya.  Nggak ada pemimpin yang benar-benar menepati janjinya. Pastilah syarat dan ketentuan berlaku.
Kampanye yang terjadi di Endonesyah itu konyol. Kampanye di depan kadernya sendiri yang sepaham, sudah tahu visi dan misi partai dan calon yang diusung. Harusnya PKS kampanye di depan kader PDIP atau sebaliknya. Kalau partai  politik kampanye di depan kadernya sendiri,  itu sama saja dengan onani.
Kalaupun memang harus ada kampanye, kampanyenya harus di Masjid atau tempat ibadah. Tapi yang kampanye hanya  para kandidatnya saja. Menjelaskan visi dan misinya. Sebelum kampanye ada istighosah, shalawatan, sumpah pocong dan sejenisnya. Kalau kampanyenya bohong langsung stroke, lambene mletot, ngising gak mandek-mandek. Rasakno.
Tentu saja bukan kampanye kayak kemarin. Khotbah Jum'at tapi orasi politik. Pengajian di masjid tapi ternyata deklarasi ganti presiden. Bukan yang seperti itu. Itu malah mencemari kesucian masjid.
Kalau aku sih nggak cuman pemilu tanpa kampanye, tapi juga dilarang kampanye. Asas Luber benar-benar diterapkan. Pilihanmu adalah urusan pribadimu. Nggak usah terang-terangan diumbar di publik. Nggak usah debat, nggak usah perang opini. Karena memang nggak perlu berlomba dalam hal kebenaran, mending berlomba dalam hal kebaikan.
Buat apa berlomba-lomba benar-benaran, mending berlomba siapa yang paling bermanfaat. Untuk menjadi bermanfaat itu nggak harus kaya, pinter, fasih bahasa enggres. Jangan andalkan pintermu, gelar sarjanamu, kecerdasanmu dan kekayaanmu.  Itu semua percuma kalau kamu tidak bermanfaat bagi orang lain.
Percuma mempertandingkan kebenaran. Kebenaran itu relatif, berdebat cuma menguras energi dan waktu. Teman berkurang, musuh semakin banyak. Ingat, seribu teman terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak.
Aku yang termasuk orang yang nggak berani terang-terangan beropini soal politik. Pertama, aku nggak paham politik dan nggak percaya dengan berita politik. Berita politik yang beredar itu adalah versi kebencian. Kebencian antara kelompok A dan Kelompok B. Ruwet.
----Apalagi orang sekarang itu gampang menyimpulkan. Misalnya, dia melihat kebanyakan pensiunan tentara itu jadi Satpam. Akhirnya dia menyimpulkan bahwa pangkat tertinggi tentara itu adalah Satpam. T:T----
Alasan kedua aku males nulis soal politik, karena orang sekarang itu sensitif, tidak tega hati untuk berbeda. Jadi kalau kita ketahuan beda pilihan, langsung unfriend dan blokir. Jangankan mbahas politik, tiap kali aku nyetatus di fesbuk, selalu  ada yang unfriend.
Negeri ini jauh lebih besar, lebih luas, lebih dalam daripada urusan Capres. Siapapun pilihan Capresmu itu tergantung pada doamu pada Tuhan. Nggak mungkin semua orang pilih Jokowi, dan  juga mustahil semua orang pilih Prabowo.
Selama ini memang kampanye lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Apalagi kalau pakai 'serangan fajar', politik uang. Kalau uang sudah bicara, tidak ada lagi kesucian. Taek kabeh.
Andai saja wacana tadi terwujud. Bayangkan lingkungan bersih dari  pamflet, spanduk, umbul-umbul dan alat kampanye lainnya. Jalan-jalan tidak terpolusi suara knalpot motor arak-arakan pasukan bodrek. Dan semua isapan jempol soal kampanye keparat itu.
- Robbi Gandamana-

Rabu, 29 Agustus 2018

Antara Kentut dan Suara Adzan



Apes bener Meiliana, seorang warga Tanjung Balai, Medan, Sumatera Utara. Protes volume suara adzan saja dibui 1,5 tahun. Bagaimana kalau yang diprotes itu adzannya.  Bisa digantung dan diarak keliling kota. Ya'opo Endonesyah iki rek.
Adzan dan volume adzan itu dua hal yang berbeda. Sebagaimana silit dan entut. Silahkan saja kamu kentut, lha wong iku silit-silitmu dewe. Tapi usahakan jangan sampai bau kentutmu mengganggu orang lain.
Tentu saja aku nggak bilang adzan itu silit. Juga nggak bilang kalau adzan itu kentut. Guoblok kalau kamu mengartikannya seperti itu. Makanya belajar sastra Ndes, biar paham kata. Sastra itu puenting asline. Aku bukan orang sastra, tapi yo gak goblok-goblok nemen lah.
Aku sebagai orang Islam saja kadang mumet (kalau pas bad mood) mendengar suara adzan yang sound-nya cempreng koyok gembreng diseret.  Lha ya'opo, satu kampung ada 3 masjid yang berdekatan. Adzannya berbarengan. Apalagi kalau yang adzan anak kecil. Sudah nggak fasih, fals, kenceng, sound speaker-nya jelek lagi : Awohuwakbar! Awohuwakbarrrrr!!!
Kemarin saat gerhana bulan, jam 3 pagi masjid-masjid di kampung mengajak warga muslim melaksanakan shalat gerhana yang diumumkan pakai speaker. Sambil menunggu jamaah, ada salah satu masjid yang shalawatan (dengan tetap pakai speaker, jam 3 pagi!). Tentu saja suaranya  yang keras terdengar sampai jauh. Untung aku Islam, aku nggak protes. Bagaimana dengan non muslim yang terpaksa terbangun. Opo nggak mumet ndase, "misuh!"
Pahamilah bahwa tidak semua warga beragama Islam. Dan yang Islam pun juga nggak alim semua. Nggak bisa kita memaksa orang untuk alim. Apalagi Shalat Gerhana itu nggak wajib. Fanatisme kadang membuat kita lupa pada budaya tepo seliro. Shalawatan itu baik, tapi mengganggu orang yang beragama lain istirahat (tidur) itu nggak asyik.  
Malesnya  kalau aku nulis seperti ini diartikan membela non muslim dan menyudutkan Islam. Ndes, ini bukan soal membela Islam atau Kristen, ini soal presisi berpikir. Orang protes volume suara bukan berarti benci dengan asal suaranya. Aku suka musik metal gedabukan, tapi kalau volume-nya  terlalu keras yo malah mumet ndasku, tonggo-tonggoku semaput.
Orang Islam itu mengagungkan adzan, bukan suara Toa, Polytron, Sharp atau Sony. Alat-alat itu cuman menghantarkan adzan, bukan adzan itu sendiri. Dan orang yang protes volume suara adzan itu belum tentu benci dengan adzan. Azas praduga tidak bersalah.
Ada banyak kemungkinan penyebab kenapa orang protes volume suara adzan. Pertama, karena memang setting volume-nya terlalu besar. Kedua, jumlah masjid di satu kampung terlalu banyak, sehingga saat waktu shalat, adzannya barengan, ramai man.  Ketiga, karena produk dari pengeras suaranya yang nggak asyik, murahan.  Keempat, karena soundman-nya nggak canggih, suaranya cempreng jaya. Kelima, bla bla bla ..buanyak lah.
Oke, kembali ke soal Meiliana..
Bisa jadi hakim memutuskan hukuman 1.5 tahun itu dalam rangka menyelamatkan diri dan instansinya. Pikiran masyarakat di sana sudah terbentuk, bahwa kasus Meiliana adalah soal penistaan agama. Apalagi Meiliana itu keturunan Tionghoa, non muslim lagi. Perfect. Kalau Meiliana dibebaskan, pengadilan bakalan babak belur menghadapi masyarakat yang marah. Mana berani hakim menghadapi masyarakat. Mending cari aman. Ajur Jum.
Ada yang nggak beres dengan Pasal Penistaan Agama ini. Tapi sori, aku nggak akan membahasnya. Aku bukan pakar hukum. Tanyakan saja ke ahlinya. Zuukk mariii.
-Robbi Gandamana-

Selasa, 31 Juli 2018

Bau Badan dan Kejujuran


Salah satu kehebatan (bisa juga disebut kelemahan) manusia Jawa adalah menjaga ucapan. Artinya mereka tidak bisa benar-benar jujur, terbuka, blak-blakan membicarakan kelemahan, keburukan atau kekurangan orang lain walaupun itu bisa sangat mengganggu hubungan di lingkungan sosial.
Pernah aku kost sekamar dengan seorang penderita bau keringat akut luar biasa. Bau keringatnya bisa tercium dalam radius 100 meter. Apalagi dia orang lapangan yang tiap hari kepanasan, mobilitas tinggi, banyak mengeluarkan keringat. Kalau pulang kerja baunya nggak ketulungan. Jadilah dia kayak terasi berjalan.
Punya teman sekamar yang bermasalah dengan bau keringat memang bikin mati gaya. Selama berbulan-bulan lamanya bisaku hanya tahan nafas. Baru bisa ngomong terang-terangan ke doi saat sudah akrab banget : "Aku seneng koncoan karo awakmu Ndes, cuman sayange keringetmu mambu." Dan besoknya dia beli parfum. Walau itu pun nggak terlalu ngefek.
Sebenarnya kasihan sama penderita seperti itu. Kalau diomongkan gimana kalau nggak diomongkan juga gimana. Bingung, ya'opo enake. Kita nggak bisa terang-terangan ngasih tahu ke orangnya. Nggak mungkin kita pasang poster di kantor :
"Berikut ini yang keringatnya sangat bau : Maisaroh, Cempluk, Gendon, Sueb, Atim....Diharapkan dengan sangat untuk memakai wangi-wangian sebelum masuk kantor. Agar tercipta suasana harmonis dan konduksif di kantor."
Pernah aku di warung saat maksi bersebelahan dengan anak produksi yang kerjanya memang okol banget. Keringat bercucuran dimana-mana dan baunya sungguh jahanam, merusak selera makanku. Aku sebagai orang Jawa tentu nggak bisa blak-blakan. Aku tepuk pundaknya, "Alhamdulillah yo arek produksi nek lembur sampek bengi dike'i susu (milk)--Saat itu banyak orderan dari KPU, nyetak Surat Suara--. Tapi sayange gak onok Tunjangan Parfum."
Orang yang keringatnya bau juga nggak sadar kalau keringatnya bau. Dia rileks saja nimbrung ke sana kemari tanpa sadar kalau orang lain perutnya pada mules karena baunya. Dia juga nanya, "Opo'o kok wetengmu mules, kakean mangan sambel yo!?" Sambel Ndasmu.
Saat keluar dari toilet pun bau keringatnya tertinggal di sana. Swemprul jaya. Baru bisa hilang setelah pintu dibuka dan dikibas-kibaskan selama beberapa menit. Aku nggak paham kenapa bisa sampai seperti itu. Aku males dan nggak layak membahas itu. Tanyakan saja pada para SPG sebuah produk Deodoran.
Ada Muslimah yang sadar kalau keringatnya bau tapi karena takut dengan hadits yang menyatakan wanita yang berjalan memakai wangi-wangian tidak akan mencium bau surga, akhirnya nggak pakai parfum. Ini konyol, aturan itu kondisional. Kalau keringatmu bau, mengganggu kehidupan sosialmu, menurutku sebaiknya menyamarkan bau itu dengan parfum.
Bau keringat memang bisa merusak suasana, bad mood, bahkan bisa merusak persahabatan. Kita sebagai teman seorang pengidap bau badan stadium lanjut yang dibutuhkan hanya keberanian untuk jujur mengatakan, "Ndes, keringetmu mambu." Dan semuanya akan baik-baik saja (atau malah berantakan). Coba saja.
Eh, jangan-jangan keringetku mambu badek pisan..
-Robbi Gandamana-

Menempatkan Gengsi dengan Benar


Dulu ketika ada Bantuan Langsung Tunai (BLT), yang kaya ikutan antri. Waktu ada Pasar Murah, yang mborong juga banyak yang kaya. Saat ada Perumahan Murah yang kaya juga nggak mau kalah. Dan sekarang banyak orang yang ngaku miskin agar anaknya bisa lolos ke Sekolah Negeri idaman.
Orang kaya bermental miskin mewabah di Endonesyah. Kasihan para kere profesional (kere tulen). Haknya dicaplok oleh para begundal borju rai gedek (sori, karena ini termasuk perbuatan kriminal).
Banyak orang yang salah dalam menempatkan gengsi. Malu kalau punya gadget jadul, tapi nggak malu kalau ngurus Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Hidupnya makmur, badan sehat wal afiat gembrotful tapi ikut antri ambil BLT. Sudah punya rumah gedong pinggir embong tapi beli rumah murah khusus rakyat miskin.
Ngono iku kok gak isin blas. Harusnya ada semacam hukuman moral pada orang kaya bermental miskin seperti di atas. Misalnya nama-nama plus foto orang tua para pengurus Surat Miskin dicatat di papan pengumuman sekolah. Pasti gayeng."Oh iki ta dapurane sing ngaku kere...kere ni yeee."
Rakyat Endonesyah memang pakar dalam hal tipu-tipu. Slip gaji (tinggi) di-mark up (dijadikan rendah/sesuai syarat ketentuan) agar bisa di-ACC, beli rumah murah---karena yang bergaji besar dilarang beli--.  Dan belinya nggak cukup satu. Beli dua unit sekalian. "investasi Ndes," katanya. Taek.
Bisa jadi orang kaya bermental miskin itu pernah sangat miskin di masa lalunya. Orang yang terlalu lama kere punya semacam ketakutan (trauma) kembali ke titik itu lagi. Mereka jadi lupa kalau sebenarnya sudah kaya (makmur). Saat ada pasar murah, perumahan murah, lonte murah, mereka ikutan beli, karena merasa masih miskin. T:T
Btw, pemerintah sekarang sudah agak cerdas bikin istilah, nggak pakai kata 'miskin' lagi. Dulu istilahnya Gakin (Warga Miskin) sekarang jadi Surat Keterangan Tidak Mampu.  Karena kata 'miskin' itu merendahkan, nggak sopan, ngenyek banget. Makanya istilah Raskin (Beras Miskin) itu menyakitkan sebenarnya. Nggak ada lonte yang mau dipanggil : "Hai lonte !".
Tapi sakarepmu rek, itu urusan pribadimu, aku guduk bapakmu. Silakan saja ngaku miskin untuk mendapatkan belas kasihan dari pemerintah. Na'udzubillahimindzalik. Aku bajingan pol, bukan orang suci, tapi sebisa-bisa mungkin menjaga kesucian. Orang kaya yang ngurus SKTM itu nggak suci. Kalau asu jangan ngaku wedus.
Yang jelas, selalu ada karma di setiap perbuatan. Jangan kaget kalau di suatu masa dijadikan miskin beneran dan nangis gulung-gulung minta bantuan karena orang nggak percaya kalau dia miskin, "Aku kere tenan ndes! Sumpah demi awohhh!"
Oke-oke saja mengaku miskin untuk tujuan merendah, bukan untuk sebuah kecurangan. Menurutku nggak elok bila sengaja menunjuk-nunjukan kemiskinan diri agar mendapat belas kasihan orang. Tapi nggak masalah menutupi kemiskinan diri dengan tujuan agar tidak jadi beban orang lain. Asal tidak sok kaya. Kalau aku dari dulu--> biar kere asal gagah.
- Robbi Gandamana-

Rabu, 27 Juni 2018

Antara "Awesome" dan "Dead"

clipartmag.com ---edited
Nonton di youtube, Pasar Maeklong di Thailand yang pedagangnya jualan di atas rel kereta api yang masih aktif, aku heran. Bukan heran pada kenekatan pedagangnya, tapi heran pada suguhan wisata yang seperti itu kok ya bisa laku.
Yang membuat para turis tertarik ke pasar Maeklong tentu saja karena para pedagangnya yang bercanda dengan maut. Tapi kalau cuman seperti itu, kita harusnya nggak heran. Di sini nggak cuman jualan, tapi juga menjemur kasur, baju, karak di atas rel kereta api yang masih aktif.
Itu menunjukan Thailand memang beneran, serius dalam mengolah pariwisata. (Gayaku koyok pakar pariwisata ae. Padahal jarang piknik). Hal biasa jadi luar biasa. Mungkin turisnya juga nggumunan, terbiasa dengan aturan yang sangat tertib di negaranya.
Di sana hal jelek pun jadi suguhan istimewa. Para banci di sana disulap jadi tontonan mbois. Ada sebuah pertunjukan cabaret yang dimainkan oleh para banci, mereka cuantik-cantik dan sueksi luar biasa. Tapi lebih baik Indonesia nggak usah niru yang ini.
Di sini, hal yang baik pun jadi jelek. Dapat hidayah, pakai jilbab tapi mengejek yang masih belum berjilbab. Ada kelompok alim, tapi ketika masjidnya dipakai shalat oleh kelompok lain, bekas shalatnya dipel. Hal yang baik pun jadi biang pemecah belah antar umat. Ribut terus.
Di Indonesia itu banyak bahan yang bisa jadi obyek wisata jempolan, banyak peninggalan sejarah yang jauh lebih dahsyat dari Thailand. Tapi di sini ketika ada orang atau kelompok yang diserahi proyek, yang dipikirkan nomer satu adalah --> "Aku dapat apa? Dapat berapa? Laba berapa?"
Pokoknya yang utama adalah mencari keuntungan pribadi (atau kelompok) sebanyak-banyaknya. Dana di-mark up, spesifikasi bangunan dikurangi. Yang paling apes, banyak orang yang minta upeti, dari oknum aparat, pejabat, wartawan bodrek sampai preman. Kontraktornya pun mrongos jaya.
Oke, kembali ke pasar Maeklong...
Dengan lakunya dinasti wisata pasar Maeklong, hal itu menunjukan manusia menyukai (penasaran) perbuatan yang menantang maut. Mereka pikir itu 'awesome' alias jos gandos.
Di Barat, prestasi itu ada urutannya : 'good''great' dan 'awesome'. Tapi jika gagal 'awesome' bisa jadi 'dead' alias modar. Banyak orang Barat yang mengejar 'awesome' akhirnya malah jadi 'dead'.
Pernah aku melihat tontonan di tipi, seorang motocrosser yang berambisi tercatat di Guinness Book of Record. Dia melakukan sebuah lompatan atau menyeberangi sebuah rintangan yang sangat berbahaya. Tapi sayang gagal total. Untungnya dia masih dikasih hidup, cuman cacat, tulangnya patah morat-marit nggak karu-karuan. Memble total.
Salah satu yang membuat manusia terpuruk adalah keinginan yang amat sangat. Itu membuat orang terobsesi. Bagus kalau keinginannya tercapai. Kalau tidak, bisa menghalalkan segala cara untuk bisa mencapainya. Ada orang yang terobsesi jadi PNS. Sudah jutaan kali iku tes, tetep saja nggak lolos. Akhirnya nyogok pakai uang ratusan juta. Dia bangga dengan itu, "aku mbayar 200 juta Ndes."
Ingat dulu aku pernah nulis : Suap is suap, haram is haram, taek gak iso dipoles dadi akik. Tapi yo wis lah, itu urusan pribadi orang. Sakarepe.
Orang yang suka 'pamer kesaktian' harusnya belajar dari Wo Yungning, seorang penakluk gedung pencakar langit asal Tiongkok. Dia dengan rileksnya mendaki, jumpalitan di gedung tinggi tanpa satu pun alat pengaman hanya untuk melakukan rooftopping (berfoto atau bikin video di tepian gedung tinggi). Tapi dia akhirnya jatuh juga (dari ketinggian 62 lantai). Mampus.
Pepatah 'sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga' ternyata sahih juga.
Banyak orang lupa bahwa di dunia ini tidak ada pencapaian. Pencapaian di dunia itu pencapaian semu. Pencapaian sejati itu di akhirat. Dunia isinya cuman ujian, lulus atau tidak itu penentuannya di akhirat. Dan kalah atau menang di dunia itu godaan. Menang jadi sombong, kalau kalah putus asa, mengasihani diri sendiri, mewek.
Nggak usah nggaya kalau kamu kebetulan jadi kaya atau juara. Raimu iku juara opo se, bagus kalau pencapaian itu bermanfaat bagi orang banyak. Sebut saja Michael Faraday yang menemukan listrik. Bayangkan saja kalau kita hidup tanpa listrik, bakal hlolak hlolok jaya. Harusnya kita kirim Al Fatihah ke para penemu seperti dia. Nggak malah mengkafir-kafirkan mereka (non muslim).
Embuh wis, cukup sekian nggedabrus kali ini. Percoyo karepmu, gak percoyo urusanmu.
-Robbi Gandamana-

Selasa, 26 Juni 2018

Ini Alasan Kenapa Halal Bihalal itu "Puenting Bingit di Zaman Now"


Salah satu yang membuat Islam di Endonesyah itu wasyik adalah tradisi Halal Bihalal atau Syawalan. Di Arab sana nggak ada. Dan ngAlhamdulillah sampai saat ini Syawalan masih belum dibid'ahkan oleh aliran sempit kaku mekengkeng.
Orang modern sudah kehilangan minat untuk berbasa-basi. Apalagi yang introvert. Mereka sungkan memulai (mengajak) salaman dan atau mendatangi rumah para tetangga. Beraninya cuman ngirim ucapan maaf lewat WA, fesbuk dan lainnya. Termasuk aku, jujur ae. Maka Halal Bihalal adalah solusi yang sip.
Orang sekarang itu begitu malasnya berbasa-basi, sampai menyapa tetangganya saat berkendara di jalan pun diwakilkan klakson. Jadi yang menyapa itu klaksonnya, tapi wajahnya tetep dingin tanpa ekspresi.
Tapi itu nggak masalah, ngggak penting. Aku sendiri kalau di jalan raya, mataku nggak awas. Sering disapa, tapi nggak tahu siapa yang nyapa. Apalagi yang wajahnya diuntel-untel kain dan kaca helmnya yang gelap nutupi wajah. Steril banget, seolah-olah ada reaktor nuklir yang bocor.
Kembali ke soal Halal Bihalal.
Dengan Halal Bihalal, orang dimudahkan untuk saling bersalaman, bermaaf-maafan di satu tempat. Gendon yang biasanya plungkar plungker malu kalau  berkunjung ke rumah tetangga pun pasti hadir saat Halal Bihalal. Juga cewek-cewek cantik yang jarang keluar rumah karena menghindari sinar ultra violet, biasanya akan muncul di acara tersebut.
Saya sebagai orang modern yang mulai terjangkiti penyakit apatis dan skeptis, sangat setuju ada Halal Bihalal. Karena praktis, ekonomis dan mbois. Nggak perlu keliling berkunjung dari satu rumah ke rumah yang lain. Dan Halal Bihalal bisa dioplos dengan acara reuni.
Tapi yang jelas, Halal Bihalal merupakan kegiatan yang cocok untuk membantu memudahkan para anti-sosial, kuper, introvert, pemalu, pendiam, apatis, epilepsi, down syndrome, ndlahom bersatu menjalankan ritual maaf-maafan.
Aku heran dengan organisasi atau paguyuban yang lebih mengutamakan acara Bukber daripada Halal Bihalal. Padahal momen Halal Bihalal itu jauh lebih istimewa dari Bukber. Organisasi kalau sudah bikin acara Bukber biasanya males mengadakan Syawalan. Sudah nggak mood lagi bikin kegiatan. Akhirnya Syawalannya insindental, sak onone uwong.
Kalau lokasinya nggak di masjid atau dekat rumah, acara Bukber bisa merusak kekhusyu'an puasa. Biasanya yang bukber di cafe, restoran atau tempat yang jauh dari rumah, nggak sempat shalat terawih. Karena waktunya mepet.  (Tentu saja yang ini cara berpikir orang alim, dan saya nggak alim sama sekali.)
Nggak heran sebelum acara Bukber kelar, banyak yang kedandapan langsung cabut untuk mengejar shalat terawih. Salut, mereka menghargai bulan Ramadhan. Karena tahu, tahun depan nggak pasti dipertemukan dengan Ramadhan lagi. Mugi-mugi jembaro kubure.
Jujur saja, aku sendiri nggak suka acara Bukber. Seandainya aku datang, itu karena solidaritas pertemanan dan penghargaan pada panitia yang sudah capek-capek bikin acara. Seasyik-asyiknya bukber di restoran mewah, lebih mewah berbuka puasa dengan anak istri di rumah walau lauknya cuman tahu tempe.
Tapi sebenarnya tanpa ngomong dan salaman pun hati sudah bicara (memaafkan). Cuman rasanya kok nggak afdol kalau belum bicara dan bertatap wajah. Walau ada sebagian muslim yang menolak salaman dengan lawan jenis. Itu oke saja. Aku sendiri nggak masalah salaman dengan cewek. Yang penting niatnya, asal hati bertapa, nggak ada muatan syahwat. Tapi nek wedi ngaceng, mending ojok salaman.
Ya gitu dwech.
- Robbi Gandamana -

Selasa, 15 Mei 2018

Terorisme dan Rancangan Besar "The New World Order"


Iki serius. Sementara ojok pringisan disik. Indonesia sedang berduka.
Sebenarnya hebat kalau ada orang yang berani mati demi ideologi yang dia yakini. Itu level iman yang luar biasa. Sayangnya dalam menjalankan misinya itu menyakiti orang lain yang kontradiksi dengan apa yang diajarkan agamanya. Memerangi orang yang salah, di tempat yang salah. Akhirnya jadi gagal hebat. Malah mencoreng nama baik agamanya.
Oke, para teroris itu beragama Islam, tapi muslim gagal. Islam itu berarti selamat, damai. Pemeluknya disebut muslim yang artinya orang menyelamatkan sesama muslim maupun non muslim. Jadi muslim harusnya menjamin keselamatan orang di lingkungannya. Keselamatan di tiga wilayah : nyawanya, hartanya dan martabatnya. Bagaimana hartanya nggak kecurian, nyawanya tidak terancam dan martabatnya tidak dilecehkan.
Teroris ini terbentuk akarnya karena dendam lama. Salah satunya adalah penaklukan Spanyol (Andalusia) oleh Tentara Kristen saat Perang Salib. Saat itu (1 April 1487 (April Mop)) ribuan umat muslim dibantai (pembersihan etnik) oleh penguasa Kristen bla bla bla bla.
Disamping dendam lama, juga karena solidaritas yang melampaui batas. Bagus kalau sesama muslim tidak terima akan perlakuan semena-mena negara adikuasa pada warga muslim lainnya di seluruh dunia. Tapi salah kalau membalasnya dengan membabibuta, ngebom tempat ibadah dan membunuh warga sipil yang tak tahu apa-apa.
Ketidakadilan sudah berlangsung lama. Bagaimana sikap Amrik saat terjadi pembantaian muslim Bosnia. Juga ketika muslim Rohingya dibantai Aktivis Budha Radikal, Amrik tidak bergeming. Karena di sana tidak ada minyaknya. Tapi ketika Ukraina akan diusik Rusia, Amrik dan sekutunya mengancam balik. Karena di Ukraina banyak ladang minyak.
Jadi, teroris (Islam ekstrim) juga tumbuh karena ketidakadilan dan kesewenang-wenangan Amrik dan sekutunya dalam memerangi Islam yang mereka anggap agama teroris di negara-negara Islam (Arab). "War On Terror" yang dilancarkan oleh Amrik dan sekutunya itu sebenarnya "War On Islam" yang tujuannya menghancurkan negara Islam sekaligus mencitrakan Islam sebagai agama teroris.
Perang yang terjadi di Timur Tengah sekarang adalah hasil dari fitnah dan adu domba yang dibuat oleh mereka. Suriah yang dulunya negeri swejuk, sekarang jadi neraka. Hilarry Clinton sendiri bilang bahwa Amrik memanfaatkan (mendanai) ISIS untuk memuluskan misi tersebut.
Dengan mengkadali negara-negara Timur Tengah itulah Amrik bisa kaya. Kerja mereka adalah mengadu domba. Setelah terjadi perang, mereka datang berdalih sebagai penengah padahal ngincer minyaknya. Dan Indonesia adalah target berikutnya. Karena negara kita adalah the promised land. Negara dengan kekayaan alam luar biasa.
Bisa jadi kasus teroris yang terjadi sekarang adalah bagian dari grand design mereka. Fitnah dan adu domba tanpa henti. Muslim dengan muslim, muslim dengan kristen, dan seterusnya.
Kalau kita benci dan Anti-Amrik, itu bukan berarti anti bangsa Amrik, tapi anti pada sistem pemerintahannya. Belajarlah pada Jerry D Gray, mantan tentara Amrik yang mualaf ini paham trik busuk Amrik.
Menurut Jerry, tidak ada demokrasi di Amrik. Orang Amrik sebenarnya menolak perang Irak, karena itu cuman akal-akalan Amrik untuk menguasai minyak. Jerry tidak mau pulang lagi ke Amrik (resmi menjadi warga Indonesia) dan dia menolak membayar pajak. Karena pajak yang dibayarkan larinya ke Israel yang mencanangkan "The New World Order" (dunia dengan satu agama dan satu pemerintahan dengan Israel sebagai pusat pemerintahannya).
Mas Yudi sudah menguasai Amrik. Di pemerintah, parlemen, pasar saham dan banyak lagi. Bangsa Amrik sendiri sebenarnya adalah korban utama konspirasi yang dilancarkan Mas Yudi. Tapi ojok ngomong sopo-sopo, akun fesbukku bisa di-banned.
'Teroris', 'radikal' itu istilah kita, sebenarnya mereka adalah Jihadis. Disebut teroris karena menyerang orang yang salah di tempat yang salah dengan cara yang salah. Jangan dipikir teroris cuman hanya ada di Islam. Semua agama punya sejarah teroris. Bacalah sejarah. Suatu agama yang 'ditindas' terlalu lama oleh penguasa yang sentimen pada agama tertentu akan melahirkan bibit teroris.
Selama Amrik dan sekutunya terus ngobrak-ngabrik (semena-mena) negara-negara Islam, teroris tetap akan ada. Waspadalah. Banser atau aparat lebih digiatkan lagi menjaga gereja. Nggak cuman sesaat setelah dibom dijaga ketat oleh aparat bersenjata lengkap. Itu konyol. Yang dijaga aparat harusnya gereja yang belum dibom. Gereja yang sudah dibom nggak akan dibom lagi untuk waktu yang lama.
Rodok wedi aku nulis iki, takut dikira pro teroris. Tentu saja aku Anti-Teroris. Islam bukan agama pendendam dan tidak mengajarkan pembunuhan pada orang sipil yang lemah. Kalau mau berperang, berperanglah dengan jantan di medan perang. Atau lakukan dengan se-fair mungkin.
Bagiku, berani mati itu hebat, tapi lebih hebat lagi kalau berani hidup. Menghidupi anak istri dengan cara yang halal. Tapi yang terpenting sekarang adalah jangan percaya begitu saja tulisan ini!
- Robbi Gandamana -