Saat menunggu bis trans Jogja di sebuah halte dekat lampu merah, diam-diam aku mengamati pedagang asongan yang menjajakan tisu. Lebih tepatnya sebuah keluarga yang menjajakan tisu. Ada bapak, ibu dan dua anak perempuan yang masih kecil. Satu anaknya yang masih balita digendong di punggung bapaknya.
Karena cuaca panas, asap knalpot dan debu yang beterbangan di jalan membuat mereka terlihat dekil. Tapi kedekilan itu tidak sebanding lurus dengan wajah mereka yang ceria. Itu yang membuat aku heran. Mereka asyik-asyik saja menjajakan dagangan. Terutama anaknya yang perempuan. Ketika dagangannya terbeli, dia melonjak kegirangan memberikan uang ke ibunya.
Aku yakin kalau yang beli dagangan mereka karena empati, bukan karena bener-bener butuh. Mereka jualan beneran, bukan kayak orang yang bawa sulak dan tiba-tiba membersihkan kaca mobil yang berhenti di lampu merah. Sing ngongkon nyulaki iku sopo. Lagian kaca mobil sudah kinclong banget.
Di samping keluarga penjual tisu, ada beberapa pedagang asongan lain di lampu merah tadi. Salah satunya seorang pria yang menjajakan makanan. Dia menuju halte dan duduk di sebelahku, menghitung uang hasil dagangan. Dia tersenyum menyapaku, berbasa-basi dan menawariku rokok. Swemproel, orang ini supel banget, pikirku. Seperti bertemu teman lama.
Aku langsung terharu. Serasa dikaplok arek cilik tapi gak iso mbales. Dia yang kerja keras, berpanas-panasan demi mendapatkan uang untuk beli rokok, rela menawarkan rokok padaku yang kerja nyantai di ruangan AC. Swemproel. Tapi tentu saja aku menolak dengan halus. Aku tidak merokok. Bukan karena anti rokok, tapi lidahku tidak bisa menikmati asap.
Itu salah satu kehebatan orang Endonesyah. Mereka punya teknologi jiwa yang luar biasa. Hidupnya tertindas tapi masih bisa tersenyum bahagia. Menawarkan rokok pada orang yang jauh lebih mampu beli rokok. Iku koyok wong kere nraktir wong sugih. Sing sugih pingine urunan, sama rata. Padahal uang dua puluh ribunya si kaya itu beda dengan dua puluh ribunya si miskin. Bagi si miskin itu buanyak banget, bagi si kaya itu sedikit.
Kemiskinan itu memang masalah. Tapi sebenarnya tidak masalah bagi mereka yang bisa mengatasinya (bisa bahagia dengan keadaan itu). Karena kekayaan sejati itu ada pada hati yang puas (bahagia). ----Tapi kalau bisa jangan miskin. Mana bisa sedekah kalau miskin. Walau sedekahnya si miskin itu nilainya (di mata Tuhan) sangat istimewa dibanding si kaya----
Katakanlah ada seorang pria yang punya istri cerewet. Itu masalah kalau si pria tidak bisa mengatasi kecerewetan istrinya. Tapi itu bukan masalah kalau dia bisa mengatasi kecerewetan itu. Jadi, masalah itu bukan terletak pada istri cerewet atau tidak cerewet. Selama kamu bisa mengatasinya, itu bukan masalah.
Orang endonesyah itu tangguh luar biasa. Mereka ubet dengan perekonomian sendiri. Sayangnya negara malah suka merepotkan rakyatnya. Bener gak se (semoga hoax) bila tidak terdaftar jadi peserta BPJS tidak akan mendapatkan pelayanan pembuatan IMB, SIM, STNK hingga paspor.
Senengane kok mekso.
Negara ini super kaya. Cuman nggak iso ngolahe (apalagi banyak pejabat maling), akhire diakali negoro-negoro bule. Kesehatan dan pendidikan gratis itu harusnya hal kecil bagi negeri sempalan surga ini. Berkacalah pada negara-negara luar yang sebenarnya pas-pasan tapi bisa ngasih kesehatan dan pendidikan gratis buat rakyatnya.
BPJS itu bantuan setengah hati. Kalau benar-benar membantu ya gratis sekalian. Oke, berkat BPJS, kamu senang karena mendapat pengobatan gratis . Tapi ingat, dibalik gratisan itu ada seseorang di luar sana yang babak belur membayar tagihan BPJS. Mereka yang punya anak banyak (semua ikut BPJS) yang gajinya cuma UMR, atau seperti keluarga penjual tisu di atas.
Nggak heran kalau warga Kalimantan di perbatasan lebih suka berobat ke Malaysia. Konon di sana pelayanannya dan fasilitasnya oke dan mbayarnya bisa dicicil. Kalau di sini nggak akan dapat fasilitas oke kalau ternyata bayarnya mengandalkan BPJS.
Bagus kalau kamu menjadi peserta BPJS, tapi juga nggak masalah kalau tidak. BPJS itu subsidi silang, sedekah si sehat untuk si sakit yang nggak mampu membiayai sakitnya. Itu bagus. Tapi sedekah nggak bisa dipaksa. Iya kalau yang bersedekah itu orang kaya. Lha kalau yang penghasilanya pas-pasan? Itu khan otoriter namanya.
Aku sendiri jadi peserta BPJS bukan kemauanku sendiri. Sing ngurus yo guduk aku. Aku anti formalitas. Aku memang bajingan sejak doeloe kala. Aku nggak tahan berhadapan dengan birokrat-birokrat gembrot yang sukanya mempersulit. Kudu tak pancal raine.
Aku yakin kalau hidupku sehat-sehat saja. Bukan karena sombong atau apa. Tapi ketakutan akan sakit itu sama saja mengundang sakit. Ingat kata dr. Paulus Adrian dari Jogja, bahwa mengatakan, memikirkan dan meyakini itu sama saja dengan mengundang. Kalau kamu takut sakit, yakin akan sakit, memikirkan atau mengatakan akan sakit, maka kamu akan sakit beneran.
Contohnya saat kamu telat makan, dan kamu takut kalau telat makanmu tadi akan menyebabkan asam lambungmu naik, maka jangan kaget kalau asam lambungmu benar-benar naik. Rasakno koen.
Ingat juga kata dr. H. Agus Ali Fauzi, penyebab sakit itu 80% karena pikiran, yang 20% karena makanan. Maka nggak heran kalau penjual asongan yang tiap hari kepanasan bisa lebih tahan sakit daripada birokrat gembrot yang kerjanya di ruangan AC dan maemnya makanan bergizi teyus. Ciyus.
- Robbi Gandamana-