Jumat, 30 November 2018

Kere Ayem (Balada Warung Murah Pinggiran Kota)


Hidup di pinggiran kota Solo memang wasyik. Sandang pangan murah meriah. Lha ya'opo, mangan sego jangan lauk telor dadar  minumnya teh anget cuman enam ribu rupiah.  Tapi yo ngono, pengunjungnya uyel-uyelan saat jam makan.
No problem bagi masyarakat kelas buruh. Kalau cuman makan siang dengan waktu yang mepet, nggak perlu suasana yang romantis. Romantis opo, mangan gak utang ae wis ngAlhamdulillah.
Harga memang murah tapi rasa nggak mengecewakan. Prasaku masakan Jawa itu dimana-mana rasanya sama. Gak nang Solo,  Malang, Surabaya atau Pulau Sempu, rasane jangan lodeh yo ngono iku. Mungkin karena aku nggak rewelan kalau soal makan. Sing penting segone akeh, beres.
Aku nggak pilih-pilih warung, yang penting tempatnya bersih (eh, iku pilih-pilih yo?). Ada dulu saat jaman kuliah, di kampus ada warung dengan format yang aneh, warung merangkap suaka margasatwa.
Si pemilik warung memelihara kucing, burung, ayam, mentok dan kalkun. Jadi ojok kaget nek pas mangan onok pitik angrem ndik isor mejo. Koprosss.
Makanan itu sejatinya adalah bahan bakar bagi tubuh manusia. Ada kelas-kelasnya. Ada yang kelas premium, pertalite atau pertamax. Kalau kelas buruh dikasih premium atau pertalite ae wis cukup sip.
Beda kalau kelas priyayi, mereka harus makan yang berkelas. Kayak burung berkicau yang mahal itu, salah pakane iso mati.
Nggak heran kalau Sandiaga Uno saat datang ke Solo dulu dia kaget berat  saat makan soto seporsi yang harganya cuman lima ribu rupiah.  Dia belum tahu, jangankan lima ribu, sepiring soto yang harganya tiga ribu rupiah masih ada.
Tapi kalau nanti rasanya agak fals, wetengmu senep, ngising gak mandek-mandek, yo ojok protes. Telungewu njaluk sehat.
Saat mudik ke Malang aku banyak menemukan warung portable (jualan pakai mobil pick up) di pinggir jalan. Ada penjual nasi pecel dengan spanduk kecil dengan tulisan besar dan tebal : Nasi Pecel Rp. 8000.
Dipikirnya delapan ribu itu sudah murah banget. Padahal di Solo, nasi pecel yang lima ribu rupiah masih buanyak. Rupanya Malang sudah jadi kota semi metropolis, opo-opo larang. Kota rekreasi yang tidak cocok untuk kere yang suka aksi. 
Warung-warung murah di Solo biasanya banyak bertebaran di sekitar pabrik atau kampus. Tapi di dalam kampung yang jauh dari pabrik atau kampus juga ada. Para buruh pabrik dan mahasiswa sangat diuntungkan dengan keberadaan warung-warung sederhana itu.
Juga para mamah-mamah muda yang males masak. Tiap pagi selalu ada antrian panjang berjubel mamah-mamah muda beli sayur dan lauk doang.
Banyak pemilik warung sekitar pabrik membuka warung tujuan utamanya adalah rasa kemanusiaan, martabat dan atau juga status sosial. Uang adalah hal terakhir yang mereka perhitungkan.
Laba sedikit nggak papa sing penting ajeg. Dan mereka malah lebih laris dari warung-warung bergengsi di tengah kota yang sangat cermat perhitungan labanya. Kapok.
Semakin modern orang semakin nggak kenal manusia dan akhirnya nggak percaya pada manusia. Ada banyak kantin-kantin di kampus yang belum makan sudah bayar duluan.
Ambil makan antri berbaris menuju kasir dan bayar. Kalau di warung sederhana khan mangan sak kuate setelah itu baru totalan. Sama sekali tidak diawasi, ngambil tempe berapa, ngambil kerupuk berapa.
Fakta warung nggak cuman ekonomi, tapi juga ada fakta budaya, fakta kepercayaan, fakta kemanusiaan dan banyak lagi. Seandainya ditipu, pemilik warung mengembalikan urusan itu ke Tuhan. Dia masih punya keyakinan yang disebut kualat, ngunduh wohing pakarti, karma.
Bagi orang modern jualan adalah ekonomi, ekonomi adalah uang, uang adalah laba. Bahkan nggak rugi pun disebut rugi--> "Rugi aku nemu duit di jalan tidak aku ambil.." Rugi opo? Sing ilang duwike sopo?
***
Bakalan susah nasib para buruh pabrik atau mahasiswa kalau nggak ada warung sederhana.  Nggak semua karyawan bisa 'tabah' bawa bekal makan dari rumah. Aku sendiri merasa 'konyol' kalau bawa kotak bekal makan siang ke kantor.
Bukan soal manja atau apa. Bayangkan saja kalau ada anak metal, rambut gondrong,  tampang sangar, bawa kotak bekal makan siang bergambar Doraemon. Nggak mecing man. Itu pembunuhan karakter.
Dan aku merasa asyik makan di warung. Pertama karena pergantian suasana, bosen seharian ngendon di kantor, maka butuh refreshing keluar sebentar.
Kedua, makan di warung bisa jadi interaksi sosial yang wasyik antar sesama karyawan sehingga terjalin keakraban dan mengikat tali batin. Kadang ide-ide berlian muncul dari sana. Ketiga, menghidupkan ekonomi rakyat kecil, karena ikut melariskan dagangan mereka. Keempat...banyak lah, golekono dewe.
Apakah makan di warung itu boros? Boros atau tidak boros itu relatif. Semua tergantung pada kekuatan finansial masing-masing.
Seorang pengusaha yang tiap hari makan di KFC itu sesuatu yang biasa, nggak boros. Kalau kita buruh pabrik tiap hari makan di KFC, gaji sebulan habis dalam seminggu. Tapi nek mangan mek nemewu ae lho mosok boros se rek.
Bawa bekal makan siang itu bagus. Di samping sehat juga ngirit jaya. Tapi jangan konyol  melakukan itu karena berkiblat pada Jepang. Gak usah kakean alasan, ngomong ae nek ngirit.
Di Jepang nggak ada warung sederhana atau warteg. Yang ada hanya cafe dan restoran. Kalau buruh pabrik tiap hari makan siang di cafe yo pecah ndase.
Sudah itu saja. Zuukkk, madang Mboel!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar