Tulisan ini mungkin akan menohok teman seiring. Babah wis, gak ngurus. Tapi kalau mereka teman yang asyik, harusnya nggak terusik.
Ngene rek. Selama aku bermedsos, kuamati jarang ada anak lulusan IKIP yang pede menuliskan "IKIP" di daftar riwayat pendidikannya. Walaupun nyata-nyata lulusan IKIP. Ada apa dengan IKIP?
Mereka lebih suka menyebut dirinya lulusan Universitas Negeri Malang (UM), Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), atau Universitas Negeri Semarang (UNNES) yang sebelumnya kampus-kampus itu bernama IKIP.
Aku juga bingung, kenapa banyak alumni IKIP yang inferior, merasa minder dengan almamaternya. Sepertinya IKIP itu kampus kacangan, ndeso, gak mbois blas. Mungkin karena lulusannya cuman jadi guru. Memangnya profesi guru itu kacangan? Tak pancal raimu nek wani ngomong profesi guru iku kacangan. Huwehehe guyon mas.
IKIP memang mencetak lulusannya jadi guru. Tapi yo gak mesti dadi guru. Yang jadi kepala sekolah juga ada. Ada juga yang jadi TU. Sing dadi wong gendeng yo onok. Semua tergantung pada pilihan hidup masing-masing dan nasib baik.
Nggak ada profesi yang kacangan. Sing penting gak maling. Mbecak pun bukan pekerjaan kacangan. Awakmu wani nggak mbecak?
Jangan pernah merasa menang di dalam kehidupan. Jangan pernah kecil hati disebut kalah. Menang dan kalah tidak begitu hakikatnya. Ojok nggaya kalau kamu sudah kaya. Kemenangan di dunia itu semu. Nggak ada manusia yang lebih unggul. Kelebihan seseorang adalah kekurangan bagi orang lainnya. Begitu juga sebaliknya.
Aku pribadi bersyukur telah dijebloskan di IKIP Malang oleh bapakku (daripada nggak kuliah). Sip pokoke, ng-Alhamdulillah banget.
Di sana kebanyakan mahasiswanya kelas menengah ke bawah. Orang-orangnya sederhana, bersahaja, baik hati dan tidak sombong. Tampil kayak apa saja diterima. Yang penting tidak melanggar norma yang ada.
Beda banget dengan kampus gengsi tengah kota yang mahasiswinya tiap hari fashion show atau berkostum yang cocok untuk konser dangdut di THR.
Karena sama-sama elit (ekonomi sulit), mahasiwa IKIP lebih cepat membaur (akrab). Kebetulan aku ambil jurusan Seni Rupa. Kumpulanku para koboi dan artis kampus, juga wong stres --- Jurusan Seni Rupa memang diadakan untuk menyatukan orang aneh---. Kalau sudah ngumpul, koyok wong mbambong rapat.
Mahasiwa IKIP dan Universitas Mentereng Bla Bla Bla itu mudah dibedakan. Dari jarak 500 meter pun kelihatan mana yang anak IKIP. Biasane sing raine rembes. Ayo ngacung!
Ojok salah, dibalik rai rembes itu ada kreatifitas yang dahsyat di dalam dirinya. Tapi nggak semua orang sadar akan kekuatan kreatifitasnya, ada yang diharus digong dulu. Nunggu kepepet.
Di kampus tempat kuliah saya (IKIP Malang) mempunyai banyak UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). Ada UKM musik, olahraga, teater sampai Menwa. Dari Sanggar Seni Rupa sampai Sanggar Pramuka. Sanggar Penjual Bakso kayaknya belum ada.
Dengan ikut UKM, mahasiswa nggak cuman mengasah bakat, menyalurkan hobby atau passion. Tapi juga agar dapat kost gratisan. Keree. Nggak masalah, sing penting gak ngisruh.
Dan dari UKM-UKM itulah lahir manusia-manusia kreatif di bidangnya. Aku sungkan menyebut namanya di sini. Takut dia semakin terkenal.
Di IKIP itu nggak cuman anak Seni Rupa yang penampilannya opo anane. Aku pernah tahu mahasiswi jurusan lain (sepertinya anak Sastra Arab, masih Fakultas dengan Seni Rupa) yang kuliah pakai seragam SMA. Tentu saja dia begitu bukan karena nyentrik, tapi memang baju yang dipunyai cuma itu.
Hebatnya dia terlihat oke-oke saja dengan itu. Sama sekali nggak minder. Jujur aku terharu. Anak cewek kuliah pakai seragam SMA. Hanya ada di IKIP. Nggak tahu juga kalau dia meneladani Nabi Muhammad yang bajunya hanya tiga : satu dipakai, satu di lemari dan satu dicuci. Sunnah Rasul sejati. Nabi memilih miskin, sedangkan kita miskin karena terpaksa.
Disamping pergaulannya asyik, kuliah di IKIP itu murah meriah. Walau sudah murah pun, buanyak mahasiswa yang babak belur dengan biaya kuliah. Seperti curhatan salah seorang temanku yang asli Blitar pinggiran, "Piye iki cuah cuah. Kok mboyar mbuayar terus to. Ngerti ra nek wong tuwoku iku mung buakul krupoek. Mumet Nda!"
Karena terbiasa sengsara, anak IKIP (terutama angkatan lama. Aku sendiri angkatan 90an) itu daya survive-nya dahsyat. The power of kepepet. Mereka bisa hidup dengan kiriman uang dari ortu yang pas-pasan. Bisa hidup bahagia di UKM atau sanggar yang jorok kayak barak pengungsian korban Tsunami. Lulusan IKIP itu memang pakar penderitaan.
Juga lulusan IKIP jadul itu tangguh. Zaman dulu belum secanggih sekarang. Apa-apa masih manual. Mengerjakan tugas ndesain pakai cat poster di atas kertas. Salah, bikin baru lagi. Nggak kayak mahasiswa sekarang yang serba digital. Ndesain logo di kompi. Kalau salah bisa diedit. Serba instan membuat mental jadi ngalem.
Jadi kenapa harus minder jadi alumni IKIP. Bukan soal kamu lulusan IKIP atau tidak. Karena yang penting itu bukan lulusan mana, tapi karyamu apa, kelakuanmu di masyarakat bagaimana? Hidupmu menginspirasi orang nggak? Menggembirakan orang nggak?
Hidup IKIP!
-Robbi Gandamana-