Jumat, 18 Januari 2019

Aku Lulusan IKIP dan Aku Bangga!



Tulisan ini mungkin akan menohok teman seiring. Babah wis, gak ngurus. Tapi kalau mereka teman yang asyik, harusnya nggak terusik.
Ngene rek. Selama aku bermedsos, kuamati jarang ada anak lulusan IKIP yang pede menuliskan "IKIP" di daftar riwayat pendidikannya. Walaupun nyata-nyata lulusan IKIP. Ada apa dengan IKIP?
Mereka lebih suka menyebut dirinya lulusan Universitas Negeri Malang (UM), Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), atau Universitas Negeri Semarang (UNNES) yang sebelumnya kampus-kampus itu bernama IKIP.
Aku juga bingung, kenapa banyak alumni IKIP yang inferior, merasa minder dengan almamaternya. Sepertinya IKIP  itu kampus kacangan, ndeso, gak mbois blas. Mungkin karena lulusannya cuman jadi guru. Memangnya profesi guru itu kacangan? Tak pancal raimu nek wani ngomong profesi guru iku kacangan. Huwehehe guyon mas.
IKIP memang mencetak lulusannya jadi guru. Tapi yo gak mesti dadi guru. Yang jadi kepala sekolah juga ada. Ada juga yang jadi TU. Sing dadi wong gendeng yo onok. Semua tergantung pada pilihan hidup masing-masing dan nasib baik.
Nggak ada profesi yang kacangan. Sing penting gak maling. Mbecak pun bukan pekerjaan kacangan. Awakmu wani nggak mbecak?
Jangan pernah merasa menang di dalam kehidupan. Jangan pernah kecil hati disebut kalah. Menang dan kalah tidak begitu hakikatnya. Ojok nggaya kalau kamu sudah kaya. Kemenangan di dunia itu semu. Nggak ada manusia yang lebih unggul. Kelebihan seseorang  adalah kekurangan bagi orang lainnya. Begitu juga sebaliknya.
Aku pribadi bersyukur telah dijebloskan di IKIP Malang oleh bapakku (daripada nggak kuliah). Sip pokoke, ng-Alhamdulillah banget.
Di sana kebanyakan mahasiswanya kelas menengah ke bawah. Orang-orangnya sederhana, bersahaja, baik hati dan tidak sombong. Tampil kayak apa saja diterima. Yang penting tidak melanggar norma yang ada.
Beda banget dengan kampus gengsi tengah kota yang  mahasiswinya tiap hari fashion show atau berkostum yang cocok untuk konser dangdut di THR.
Karena sama-sama elit (ekonomi sulit), mahasiwa IKIP lebih cepat membaur (akrab).  Kebetulan aku ambil jurusan Seni Rupa. Kumpulanku para koboi dan artis kampus, juga wong stres --- Jurusan Seni Rupa memang diadakan untuk menyatukan orang aneh---. Kalau sudah ngumpul, koyok wong mbambong rapat.
Mahasiwa IKIP dan Universitas Mentereng Bla Bla Bla itu mudah dibedakan. Dari jarak 500 meter pun kelihatan mana yang anak IKIP. Biasane sing raine rembes. Ayo ngacung!
Ojok salah, dibalik rai rembes itu ada kreatifitas yang dahsyat di dalam dirinya. Tapi nggak semua orang sadar akan kekuatan kreatifitasnya, ada yang diharus digong dulu. Nunggu kepepet.
Di kampus tempat kuliah saya (IKIP Malang) mempunyai banyak UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). Ada UKM musik, olahraga, teater sampai Menwa. Dari Sanggar Seni Rupa sampai Sanggar Pramuka. Sanggar Penjual Bakso kayaknya belum ada. 
Dengan ikut UKM, mahasiswa nggak cuman mengasah bakat, menyalurkan hobby atau passion. Tapi juga agar dapat kost gratisan. Keree. Nggak masalah, sing penting gak ngisruh. 
Dan dari UKM-UKM itulah lahir manusia-manusia kreatif di bidangnya. Aku sungkan menyebut namanya di sini. Takut dia semakin terkenal. 
Di IKIP itu nggak cuman anak Seni Rupa yang penampilannya opo anane. Aku pernah tahu mahasiswi jurusan lain (sepertinya anak Sastra Arab, masih Fakultas dengan Seni Rupa) yang kuliah pakai seragam SMA. Tentu saja dia begitu bukan karena nyentrik, tapi memang baju yang dipunyai cuma itu.
Hebatnya dia terlihat oke-oke saja dengan itu. Sama sekali nggak minder. Jujur aku terharu. Anak cewek kuliah pakai seragam SMA. Hanya ada di IKIP. Nggak tahu juga kalau dia meneladani Nabi Muhammad yang bajunya hanya tiga : satu dipakai, satu di lemari dan satu dicuci. Sunnah Rasul sejati. Nabi memilih miskin, sedangkan kita miskin karena terpaksa.
Disamping pergaulannya asyik, kuliah di IKIP itu murah meriah. Walau sudah murah pun, buanyak mahasiswa yang babak belur dengan biaya kuliah. Seperti curhatan salah seorang temanku yang asli Blitar pinggiran, "Piye iki cuah cuah. Kok mboyar mbuayar terus to. Ngerti ra nek wong tuwoku iku mung buakul krupoek. Mumet Nda!"

Karena terbiasa sengsara, anak IKIP (terutama angkatan lama. Aku sendiri angkatan 90an) itu daya survive-nya dahsyat. The power of kepepet. Mereka bisa hidup dengan kiriman uang dari ortu yang pas-pasan. Bisa hidup bahagia di UKM atau sanggar yang jorok kayak barak pengungsian korban Tsunami. Lulusan IKIP itu memang pakar penderitaan.
Juga lulusan IKIP jadul itu tangguh. Zaman dulu belum secanggih sekarang. Apa-apa masih manual. Mengerjakan tugas ndesain pakai cat poster di atas kertas. Salah, bikin baru lagi. Nggak kayak mahasiswa sekarang yang serba digital. Ndesain logo di kompi. Kalau salah bisa diedit. Serba instan membuat mental jadi ngalem.
Jadi kenapa harus minder jadi alumni IKIP. Bukan soal kamu lulusan IKIP atau tidak. Karena yang penting itu bukan lulusan mana, tapi karyamu apa, kelakuanmu di masyarakat bagaimana? Hidupmu menginspirasi orang nggak? Menggembirakan orang nggak?
Hidup IKIP!
-Robbi Gandamana-

Mengenang Tony Koeswoyo, Sang Patriot Bangsa



Tony Koeswoyo bernama asli Koestono Koeswoyo.  Lahir di Tuban 19 Januari 1936 dan meninggal di Jakarta, 27 Maret 1987 (umur 51 tahun). Tonny Koeswoyo adalah anak keempat dari sembilan bersaudara anak dari pasangan R. Koeswoyo dan Rr. Atmini asal Tuban Jawa Timur. Generasi ke 7 keturunan Sunan Muria di Tuban.
Tony Koeswoyo dikenal konsisten dalam bermusik. Totalitas bermusiknya luar biasa. Musisi yang pendidikan terakhirnya di IKIP Jakarta ini memang dahsyat (hidup IKIP!). Dalam keadaan sakit keras, opname di rumah sakit (mengidap kanker usus), beliau masih sempat mengarang beberapa lagu sebelum akhirnya meninggal.
Sebagai pimpinan band Koes Plus, beliau sangat tegas. Ketika ada yang sering bolos latihan musik karena sibuk kerja, Tony ngasih ultimatum : pilih kerjaan atau fokus di band. Mumet ndase. Seperti yang menimpa Nomo Koeswoyo, adiknya, yang akhirnya hengkang dari Koes Plus.
Tony Koeswoyo juga punya daya cipta yang mumpuni. Di bawah kepemimpinannya, Koes Plus dikenal sebagai band yang sangat produktif. Sebulan bisa menghasilkan dua  album. Sebagian besar karya Tony Koeswoyo. Itu album beneran, bukan album foto.
Koes Plus berhasil merilis lebih dari 100 album berbagai jenis aliran musik seperti Pop, Dangdut, Melayu, Keroncong, Jawa, Folksong, Rock, Bosanova, Qasidah, Rohani Natal, Pop Anak-anak, dan banyak lagi. Sebagian besar lagu-lagu Koes Plus melegenda dan abadi. Nggak ada band di dunia ini yang sekreatif dan seproduktif Koes Plus. Jos gandos!
Tapi sayang, kepopuleran Koes Plus dan larisnya penjualan album-albumnya, tidak menjadikan Tony Koeswoyo hidup bergelimang harta. Saat sakit kanker usus dan harus opname di rumah sakit, biayanya ditanggung oleh Nomo Koeswoyo dan patungan beberapa sahabat sesama artis.
Dari dulu nasib seniman besar di negeri ini selalu berakhir ngenes di hari tuanya. Mangkane cita-citaku pingin dadi polisi.
Koes Plus menyampaikan pesan kehidupan melalui musiknya. Tapi pesan itu dibalut romantisme anak muda. Jadi kita nggak mengira kalau lagu itu punya pesan yang mendalam soal kehidupan.
Lagu "Andai Kau Datang" itu lagu yang mempunyai pesan akan kematian. Tapi selama ini kita mengira kalau lagu itu soal roman picisan cewek ketemu cowok, menikah, meteng, beranak pinak, selingkuh, cerai, dan buyar kabeh.
Lirik "Andaikan kau datang kemari, jawaban mana yang kan kuberi.." itu ketakutan Tony Koeswoyo soal hidupnya yang merasa jauh dari agama. Seandainya dipanggil Tuhan nanti,  bagaimana mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Lirik "Setelah aku jauh berjalan dan kau kutinggalkan.." Itu yang ditinggalkan adalah jasadnya. Lagu "Andaikan Kau Datang kembali" itu sebenarnya sama maknanya dengan "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un".
Jadi lagu "Andaikan kau datang" itu termasuk lagu religi  (walau sebenarnya nggak ada lagu religi, lagu ateis, lagu iblis, dst) karena berpesan tentang kematian. Ingat, nasehat yang paling baik itu kematian.


Orang yang bikin lagu agar didengarkan banyak orang  dan abadi itu ada dua macam cara. Pertama dengan menggunakan lirik yang sederhana. Agar mudah dipahami. Kedua, lagu itu dititipkan ke anak-anak, agar pesannya abadi. Seperti lagu "Gundul-Gundul Pacul" karangan Sunan Kalijaga yang selama ini kita kira lagu dolanan anak-anak, ternyata memuat pesan kepemimpinan politik.  
Koes Plus juga begitu. Lagu ciptaan Tony Koeswoyo punya pesan yang filosofis karena beliau suka filsafat. Semua lagunya  bersumber dari Al Qur'an, Injil, Gitanjali, Bhagawad Gita, Vivekananda, dan lain sebagainya.
Ketika Koes Bersaudra ditangkap dan dijebloskan ke penjara (3 bulan),  itu adalah proyek politik untuk Koes Bersaudara dari pemerintah Indonesia rezim Soekarno. Aslinya Soekarno sama sekali tidak membenci Koes Bersaudara. Itu semua cuman akting. Agar seluruh dunia (terutama Malaysia) mengira Koes Bersaudara sudah di-persona non grata-kan (orang yang tidak diinginkan) oleh Indonesia.
Saat itu Indonesia sedang berkonfrontasi dengan Malaysia, rebutan Kalimantan Utara. Koes Bersaudara akan dijadikan intelijen tandingan (counter intelligence) di Malaysia.  Untuk itulah semua personel Koes Bersaudara di penjara, setelah itu diam-diam keluar dan eksodus ke Malaysia.
Di Malaysia  Tony Koeswoyo bersaudara akan berkiprah dan jadi tokoh di sana, tapi juga diam-diam memata-matai Malaysia. Namun sayang itu semua gagal, karena keburu ada pemberontakan G30S PKI dan Soekarno dilengserkan.
Harusnya Tony Koeswoyo dan adik-adiknya dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional. Mereka mau jadi patriot Indonesia. Demi negara, mereka rela mengorbankan kariernya, mau dipenjara dan dijelek-jelekan nama baiknya oleh Soekarno. Jarang ada band anak muda yang rela diperlakukan seperti itu. Kalau itu terjadi, mereka langsung lapor ke Polsek. Somasi.
Koes Bersaudara pula yang jadi band pelopor mencipta dan merekam lagu berbahasa Indonesia, walau pada awalnya berkiblat musik barat (sebagai referensi). Tradisi membawakan lagu ciptaan sendiri adalah tradisi yang diciptakan Koes Bersuadara dan diteruskan oleh Koes Plus. Zaman dulu sampai sekarang sepertinya bangsa Indonesia itu inferior, minder dengan bahasanya sendiri.
Al Fatihah buat beliau.
-Robbi Gandamana -
(Disarikan dari berbagai sumber)

Selasa, 08 Januari 2019

Nonton Rongsokan Besi Bayar 25 Ribu Rupiah di PG Colomadu



Kapitalisme sudah mengglobal. Solo yang dikenal sebagai kota budaya dengan masyarakatnya yang santun dan budi pekerti yang luhur pun sudah terpolusi kapitalisme.
Di Solo ada beberapa gedung atau pabrik tua milik negara yang disulap jadi wahana wisata. Itu bagus dan aku asyik-asyik saja dengan itu. Tapi sayang, tiket masuknya nggak pro rakyat jelata.
Sebut saja Pabrik Gula (PG) Colomadu. Dulu sempat gratis saat awal buka. Tapi sekarang tiket masuknya dua puluh lima ribu rupiah. Itu nggak masalah bagi rakyat menengah ke atas, pecinta benda kuno atau orang yang paham barang antik.
Tapi bagi rakyat jelata yang awam soal seni, itu harga tiket yang nggak bersahabat.  Kulihat banyak pengunjung kecele. Dikira masuknya gratis. Setelah tahu harga tiketnya, mereka misuh-misuh dalam hati, "Asu ndeladuk tenan! Nonton rongsokan wesi ae mbayar rong puluh ewu!".
Banyak dari mereka yang akhirnya harus puas hanya duduk-duduk di taman yang lumayan luas. Setelah itu pulang dengan rasa kecewa. Jika hati dongkol maka pikiran pun jadi kotor. Bisa jadi spanduk kecil di dinding gedung bertuliskan "BUMN Hadir Untuk Negeri" seolah-olah jadi "BUMN Hadir Untuk Peli".  Bahkan tulisan besar "De Tjolomadoe" di taman pun jadi terbaca "De Nglocomadoe".
Parahhh. Tapi kapitalisme memang asshole!
Yang trenyuh itu cerita dari seorang teman, ada rombongan anak SD yang datang berdarmawisata ke situ. Ketika tahu masuknya bayar (dan mahal), mereka pun urung masuk. T:T
Aku sepakat kalau bangunan heritage harus dirawat atau dipugar. Tapi ketika itu berorientasi bisnis (apalagi pangsa pasarnya kelas menengah ke atas), aku nggak sepakat.
Mungkin ketakutan pengelola  museum kalau tiketnya murah adalah pengunjung jadi berjubel. Akibatnya sampah di mana-mana, rumput diinjak-injak, toilet kotor dan seribu satu kelakuan negatif rakyat jelata lainnya. Ketakutan yang wajar.
Tapi museum bersih atau kotor itu nggak selalu salah pengunjungnya. Seandainya pengelolanya tegas dan proaktif. Aku yakin museum atau tempat rekreasi yang paling murah sekalipun bisa bersih. Jangan bandingkan museum dengan hotel. Kalau ingin selalu bersih ya ke masjid saja.
Bagiku, museum (milik negara) yang keren itu yang harga tiketnya pro rakyat jelata. Museum sejarah dibangun untuk mengedukasi rakyat agar mengenal sejarah bangsanya tempo doeloe. Tapi bagaimana tujuan itu bisa tercapai kalau rakyatnya nggak mampu beli tiket.
Tiket seharga dua puluh lima ribu untuk satu orang mungkin nggak terasa berat. Akan terasa kalau satu keluarga dengan dua atau tiga anak. Uang seratus ribu bagi rakyat jelata itu sangat berarti. Bisa buat jajan sak ndlosore di warung nasi kucing.
Seandainya aku orang Madura (pengusaha rongsokan), aku akan beli semua mesin-mesin rongsokan penggiling tebu tadi. Akan kulebur kujadikan pulpen atau apa. Daripada cuman ngiming-ngimingi kaum kere. Jarno ae.
Nggak cuman PG Colomadu,  ada juga PG Gembongan. Di PG Gembongan ini tiket masuknya tiga puluh lima ribu rupiah. Tapi sedikit lebih mbois dibandingkan PG Colomadu, karena menampilkan mobil-mobil kuno dan tontonan wong kutho  lainnya. Mungkin terinspirasi oleh Museum Angkot di Malang.
Tapi tetap saja aku nggak setuju bangunan heritage milik negara dijadikan alat kapitalisme. Bangunan bersejarah dicampuradukan dengan tontonan modern ala pasar malam. Merusak esensi sebuah museum. Pengunjung lebih sibuk bersenang-senang dengan suguhan yang sifatnya kekinian, tapi tidak tahu cerita (sejarah) yang terjadi di bangunan heritage tadi.
Tapi sakarepmu se. Who cares.

Selasa, 01 Januari 2019

Tahun Baru Tanpa Resolusi? Why Not!



Tulisan ini lebih cocok untuk diriku sendiri. Tapi nek awakmu gelem moco yo apik.
Pernah dulu, menjelang tahun baru, aku berdoa (bikin status di medsos) : "Semoga tahun ini aku jadi milyuner". Dan ndilalah banyak yang meng-Amin-i. Tentu saja aku seneng banyak yang bilang Amin. Tapi setelah itu aku menyesal total. Swemproel.
Doaku itu kayak doanya anak sekolahan yang nilai rapornya merah semua tapi minta dibelikan sepeda motor. Saat itu mungkin para malaikat mengejekku, "Raimu iku sopo! Milyuner ndasmu, iso nyangoni duwik anakmu bendino ae iku wis apik pol Ndes!"
Ternyata dalam berdoa pun manusia harus paham dosisnya. Wedus kok kepingin iso miber. Bisa jadi Tuhan sangat bisa mewujudkannya, itu kecil bagiNya. Tapi sebagai hamba, kita harus tahu diri.
Makanya sekarang aku nggak pakai resolusi-resolusian. Gak taek-taekan rek. Ingat kata Simbah, yang penting  sebisa mungkin terus-menerus melakukan kebaikan dengan sungguh-sungguh apa yang menjadi passion-mu selama ini. Jalani itu semua dengan proses yang sabar dan istiqomah. Suatu hari akan panen.
Kalau seandainya pun nanti nggak panen, itu bukan urusan manusia. Karena manusia tidak diwajibkan panen. Manusia hanya diwajibkan menanam. Soal nanti panen atau enggak, biar Tuhan yang menentukan. Tuhan memberikan yang terbaik sesuai dengan kepantasan hamba-Nya.
Jadi, nggak masalah khan tahun baru tanpa resolusi? Kenapa enggak! Memangnya wajib beresolusi? Ya enggak lah.
Resolusi yang terlalu tinggi itu kadang malah membebani. Bikin pikiran nggak fresh. Kalau nggak tercapai bisa bikin stres. Raimu rembes. Koyok wong mbambes.
Hati-hati dengan terminologi "Gantungkan cita-citamu setinggi langit". Memangnya di langit ada gantungannya? Terlalu tinggi berharap kalau nggak kesampaian jatuhnya ngeri, tubuh remuk mreteli gak karuan-karuan. Maka pahami dosismu.
Apa asyiknya beresolusi terus kesampaian. Yang asyik itu tidak beresolusi tapi diam-diam Tuhan ngasih. Itu baru hebat.
Masalahnya orang Endonesyah itu kebanyakan multi talenta. Lulusan Fakultas Dakwah tapi pinter ndandani henpon. Lulusan Fakultas Pertanian tapi pinter ndesain grafis. Lulusan Seni Rupa tapi dadi maling yo onok.
Nggak fokus pada satu profesi. Ketika trend tanaman hias, ikutan bisnis tanaman. Ketika trend batu akik, ganti profesi jadi penjual akik. Begitu juga saat trend ikan lohan atau burung Love Bird. Memang ada yang sukses, tapi banyak juga yang terjun bebas. Sapi diijolno kembang, tapi ternyata regone kembang anjlok pol. Kapok.
Pesene Simbah, pokoke saiki fokuslah pada bidangmu masing-masing. Sing iso nggambar, nggambaro terus sampek gak iso nggambar maneh. Tetep semangat walau negeri ini lahan yang tandus buat Tukang Gambar. Bla bla bla.
Kembali ke soal doa di atas.
Kesimpulan dari tulisan ini adalah, hidup nggak cuman soal salah dan benar, tapi juga pantas atau tidak pantas. Nggak masalah kamu berdoa, beresolusi atau bercinta-cita tinggi, asal pahami dirimu, kenali dirimu. Kalau nggak begitu, kamu bisa kayak wedus yang mengejar ekornya sendiri. Munyer-munyer gak karu-karuan.
Embuh rek.

Selamat merayakan Tahun Baru buat yang merayakan. Semoga esok lebih baik. Aamiin.
-Robbi Gandamana-