Kapitalisme sudah mengglobal. Solo yang dikenal sebagai kota budaya dengan masyarakatnya yang santun dan budi pekerti yang luhur pun sudah terpolusi kapitalisme.
Di Solo ada beberapa gedung atau pabrik tua milik negara yang disulap jadi wahana wisata. Itu bagus dan aku asyik-asyik saja dengan itu. Tapi sayang, tiket masuknya nggak pro rakyat jelata.
Sebut saja Pabrik Gula (PG) Colomadu. Dulu sempat gratis saat awal buka. Tapi sekarang tiket masuknya dua puluh lima ribu rupiah. Itu nggak masalah bagi rakyat menengah ke atas, pecinta benda kuno atau orang yang paham barang antik.
Tapi bagi rakyat jelata yang awam soal seni, itu harga tiket yang nggak bersahabat. Kulihat banyak pengunjung kecele. Dikira masuknya gratis. Setelah tahu harga tiketnya, mereka misuh-misuh dalam hati, "Asu ndeladuk tenan! Nonton rongsokan wesi ae mbayar rong puluh ewu!".
Banyak dari mereka yang akhirnya harus puas hanya duduk-duduk di taman yang lumayan luas. Setelah itu pulang dengan rasa kecewa. Jika hati dongkol maka pikiran pun jadi kotor. Bisa jadi spanduk kecil di dinding gedung bertuliskan "BUMN Hadir Untuk Negeri" seolah-olah jadi "BUMN Hadir Untuk Peli". Bahkan tulisan besar "De Tjolomadoe" di taman pun jadi terbaca "De Nglocomadoe".
Parahhh. Tapi kapitalisme memang asshole!
Yang trenyuh itu cerita dari seorang teman, ada rombongan anak SD yang datang berdarmawisata ke situ. Ketika tahu masuknya bayar (dan mahal), mereka pun urung masuk. T:T
Aku sepakat kalau bangunan heritage harus dirawat atau dipugar. Tapi ketika itu berorientasi bisnis (apalagi pangsa pasarnya kelas menengah ke atas), aku nggak sepakat.
Mungkin ketakutan pengelola museum kalau tiketnya murah adalah pengunjung jadi berjubel. Akibatnya sampah di mana-mana, rumput diinjak-injak, toilet kotor dan seribu satu kelakuan negatif rakyat jelata lainnya. Ketakutan yang wajar.
Tapi museum bersih atau kotor itu nggak selalu salah pengunjungnya. Seandainya pengelolanya tegas dan proaktif. Aku yakin museum atau tempat rekreasi yang paling murah sekalipun bisa bersih. Jangan bandingkan museum dengan hotel. Kalau ingin selalu bersih ya ke masjid saja.
Bagiku, museum (milik negara) yang keren itu yang harga tiketnya pro rakyat jelata. Museum sejarah dibangun untuk mengedukasi rakyat agar mengenal sejarah bangsanya tempo doeloe. Tapi bagaimana tujuan itu bisa tercapai kalau rakyatnya nggak mampu beli tiket.
Tiket seharga dua puluh lima ribu untuk satu orang mungkin nggak terasa berat. Akan terasa kalau satu keluarga dengan dua atau tiga anak. Uang seratus ribu bagi rakyat jelata itu sangat berarti. Bisa buat jajan sak ndlosore di warung nasi kucing.
Seandainya aku orang Madura (pengusaha rongsokan), aku akan beli semua mesin-mesin rongsokan penggiling tebu tadi. Akan kulebur kujadikan pulpen atau apa. Daripada cuman ngiming-ngimingi kaum kere. Jarno ae.
Nggak cuman PG Colomadu, ada juga PG Gembongan. Di PG Gembongan ini tiket masuknya tiga puluh lima ribu rupiah. Tapi sedikit lebih mbois dibandingkan PG Colomadu, karena menampilkan mobil-mobil kuno dan tontonan wong kutho lainnya. Mungkin terinspirasi oleh Museum Angkot di Malang.
Tapi tetap saja aku nggak setuju bangunan heritage milik negara dijadikan alat kapitalisme. Bangunan bersejarah dicampuradukan dengan tontonan modern ala pasar malam. Merusak esensi sebuah museum. Pengunjung lebih sibuk bersenang-senang dengan suguhan yang sifatnya kekinian, tapi tidak tahu cerita (sejarah) yang terjadi di bangunan heritage tadi.
Tapi sakarepmu se. Who cares.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar