Aku salut sama orang-orang yang menargetkan sehari satu tulisan, satu hari satu karya, sehari satu hadits (beserta penjelasan lengkap), dan seterusnya. Aku masih belum berani begitu. Uripku gak selonggar dan sealim mereka. Mungkin nanti kalau aku sudah pensiun (tapi Tukang Gambar tidak pensiun), sudah nggak berjuang lagi nguripi anak bojo.
Aku jenis manusia moody, melakukan sesuatu berdasar mood, kecuali hal yang sifatnya wajib. Aku nggak hobi merepotkan diri. Lha lapo. Rai cepet boros. Umur 35 wis koyok umur 50 taon. Burek jaya.
Target harianku simpel : sehari satu kebaikan atau sehari satu ilmu. Jadi nggak spesifik. Ilmu dan kebaikan itu luas. Ngasih senyuman pada temanmu itu sudah termasuk kebaikan.
Walaupun Tukang Gambar, aku nggak berani menargetkan sehari satu gambar (karya). Nggak mood nggambar, yo gak nggambar. Kecuali kerjaan kantor.
Gambar kerjaan kantor nggak kuanggap karya. Sangat jarang aku ngaplot kerjaan ilustrasi dari kantor. Bakalan tiap hari kalau diaplot. Awakmu iso mutah-mutah. Mblenger jaya. Kalau terpaksa ngaplot, itu karena kepentingan promosi (di Page).
Berdasar pengamatanku, orang yang menargetkan satu hari satu tulisan itu biasanya nggak nyampai 3 bulan atau paling hebat setahun (ternyata dia wartawan, bendino nulis). Setelah itu kembali seperti sedia kala, mblendes jaya, bahkan malah kehabisan ide nulis. Jadinya malah nggak nulis lagi. Kentekan ilmu.
Karena idenya kering, akhire bendino cuman tenguk-tenguk karo nyekeli manuk. Uangnya habis untuk nyemir rambut. Karena stress akibat otak diperkosa, uban pun menguasai kepala. Salahe, urip kok digawe abot se Ndes Ndess.
Kupikir orang itu harusnya bisa mengukur diri, paham kapasitasnya. Nek uripmu longgar nggak masalah kalau bisa sehari satu tulisan. Itu bagus. Atau kalau kamu suka tantangan, harusnya sehari satu skripsi. Biar sekalian cepet mati, kena tipes akut. Kapok...huwehehehe guyon mas.
Ada juga yang masih gelagepan mbaca Qur'an tapi menargetkan sehari membaca Shalawat duaratus kali. Karena ada Ustadz yang ngiming-ngimingi hidup bakalan tentram kalau dia melakukan amalan tadi. Bagus sih, kalau itu tidak menganggu pekerjaan atau uripmu longgar.
Kalau seorang ulama, santri atau pengangguran bisa dengan mudah melakukan amalan tadi. Tapi kalau cuman buruh pabrik, tentara, pejabat, opo maneh Presiden yang agak repot.
Aku yakin Rasul lebih senang kita kerja serius mengabdikan diri pada keluarga, masyarakat, atau negara daripada memaksa diri membaca Shalawat duaratus kali. Saat kerja ya kerja, saatnya ngaji ya ngaji. Ojok kerjo disambi ngaji. Nggak fokus Ndes.
Buat apa membaca sampai dua ratus kali kalau nggak khusyu. Nggak sampai seratus kali sudah lupa, "Iki maeng wis ping piro yo?" Membaca sekali pun bisa lebih baik kalau hati bersungguh-sungguh. Rasul itu mengandalkan cintamu, ketulusanmu. Jadi tidak selalu soal jumlah.
Banyak orang yang salah kaprah memahami kata "amalan". Yang di maksud amalan itu melakukan perbuatan nyata, nggak cuman membaca tok. Membaca Yasin seribu kali kalau tidak diimbangi dengan kerja ya sama saja, awet kere. Bahkan yang jarang membaca Yasin pun bisa sangat kaya raya karena kerja keras dengan benar.
Jadi ingat cerita Cak Nun yang bertengkar sama Gus Mik saat menangani "pasien" bersama. Cak Nun memprotes Gus Mik yang menyuruh si pasien membaca Yasin 333 kali kalau ingin "penyakitnya" hilang. Lha wong baca Yasin sekali saja belum pernah apalagi 333 kali. Abot Jum.
Cak Nun lebih suka ngasih ayat pendek yang mudah dihafalkan. Dibaca berapa kali tergantung intensitas hatimu. Tuhan yang menentukan. Bisa jadi belum membaca pun sudah dikabulkan karena Tuhan terharu dengan niat dan kesungguhanmu.
Disembuhkan atau tidak itu semua tergantung cintamu pada kehidupan, cintamu pada Allah. Juga tergantung kepercayaanmu pada kehendak dan kasih sayangNya. Allah Maha Dermawan, Maha kasih sayang. Jadi tidak tergantung jumlah.
Wistalah, urip pisan ojok digawe repot. Sak madyo ae Ndes. Tuhan saja tidak menagih di luar batas kemampuan hambaNya, lha kok awakmu malah nggolek perkoro. Akhire opname kenek tipes. Zukk marii.
-Robbi Gandamana-