Assalamualaikum...
Gambarku di atas sebenarnya oret-oretan lawas (2002) di buku sketku saat masih jadi seniman (gagal). Yang baru cuma warnanya (22 April kemarin).
Style-nya sangat jauh dari karyaku yang sekarang, karya lukis digital receh. Nggak papa, sekali-kali nggambar bergaya seniman rek. Biasane arek-arek sing pingin diakui sebagai seniman gambare yo koyok ngono iku : ruwet.
Seniman mblendesss.
Gambar tersebut bercerita soal hubungan cinta yang beda agama. Alhamdulillah puji Tuhan berakhir ambyar di tengah jalan, nggak sampai ke level yang serius. Subhanalloh banget.
---Duh..aku merasa wagu mbahas soal cintah. Tapi babah wis---
Aku salut sama pasangan kekasih (atau suami istri) yang beda agama tapi bisa terus bersama dan langgeng sampai jompo. Luar biasa. Kok yo iso.
Nglakoni urip bareng tapi bedo agama iku kudu total sabar. Karena harus sering mengalah. Apalagi kalau sudah punya anak. Bingung, anaknya diikutkan agama ibunya atau bapaknya. Akhire anake nyembah Naruto.
Baguslah kalau sebelum menikah, calon istri ikut agama suami atau sebaliknya. Kalau nggak, bakal mumet ndase. Ada seorang suami (agama Budha) yang sebelum meninggal ikut agama istrinya (Islam). Bukan karena hidayah atau apa, tapi karena biaya pemakamannya lebih murah. #%!??? towengwengwengggg.
Banyak pasangan beda agama yang di awal pernikahan sesumbar bakal langgeng tapi akhirnya ambyar juga. Jamal Mirdad dan Lydia Kandou yang 27 tahun menikah pun akhirnya kandas. Bahkan Katon Gagapswara yang menggembor-gemborkan "cinta datang menolak perbedaan" pun akhirnya juga cerai sama Ira Wibowo. Oala Ton Tonnn.
Ada seorang yang kukenal setelah pulang Umroh langsung menggugat cerai suaminya yang agamanya beda. Mereka sudah puluhan tahun menikah. Sebagai teman sesama muslim, bingung mau ngomong apa, mengucapkan "selamat" atau "ikut berduka". Karena menikah dengan pasangan lain agama memang nggak sah. Kentune nggak sah, sembarange nggak sah.
Nek gak percoyo takoko ustadzmu.
Cinta memang soal hati. Siapa pun bisa atau pasti pernah jatuh cinta. Cinta tidak memandang tua, muda atau pun strata sosial. Nggak perduli kamu kere atau parlente. Nggak ngaruh kamu masih bocah atau sudah tua. Nggak ada urusan kamu pengangguran atau juragan. Nggak perduli untumu krowak kabeh atau merongos.
Tapi bagiku, agama harusnya diletakan di atas cinta. Karena aku tidak beragama cinta, tapi agamaku mengagungkan cinta kasih. Cinta itu alat. Bisa sangat mendamaikan atau bisa juga jadi petaka, karena salah menempatkan.
Jangankan nikah beda agama, beda madzhab saja susah. Aku belum menemukan perkawinan antara pemuda NU dengan perempuan LDII atau sebaliknya. Pasti rame, tiap hari perang dalil.
Dalam konteks percintaan antara dua manusia, aku tidak meyakini isapan jempol "cinta datang menolak perbedaan". Cinta kita pada manusia harusnya di dalam cinta kita pada Tuhan. Cinta itu suci dan menolak ketentuan yang digariskan agama akan mencemari kesuciannya. (Kemeruh yo?)
Kalau seorang sekuler atau ateis sih nggak perduli, gak ngurus. Mereka oke saja menikah dengan yang beda agama, sesama jenis, bahkan dengan binatang dengan mengatasnamakan Hak Asasi Manusia, bukan atas nama Tuhan.
So, HAM is my ass!
Manusia tidak punya hak, manusia hanya punya kewajiban. Hanya Tuhan yang punya hak. Jadi Hak Asasi Manusia itu salah, yang betul Wajib Asasi Manusia.
Satu-satunya hak manusia cuma memilih pemimpin (itupun ternyata dipilihkan oleh partai politik). Seandainya manusia punya hak, itu karena punya saham : bayar pajak, bayar iuran, punya kontribusi di masyarakat. Golput pun boleh menuntut hak selama dia berkontribusi pada negara.
Makanya kalau tidak mau bayar pajak, males bayar iuran, tidak pernah berkontribusi apa pun pada negara, jangan menuntut hakmu. Hak opo, hak ndasmu.
Kembali ke soal cinta..
Kita mengabdi pada Tuhan, tidak mengabdi pada cinta. Walau cinta adalah hal pertama yang ditawarkan Tuhan pada hambaNya. Tapi monggo saja, sakarepmu, sing penting rukun.....aku guduk bapakmu.
****
Tulisan yang aneh...tahu apa aku soal cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar