Lumayan rek, dapat kiriman buku dari penerbit Noura (group Mizan). Karena kebetulan aku yang nggambar sampulnya...cie ciee.
Buku ini cukup oke. Walau pemikiran KH. Hasyim Muzadi tidak se"radikal" dan serevoluisoner Cak Nun, tapi buku ini sangat layak dibaca (dibeli kalau mampu).
Aku tertarik dengan uraian soal penyebaran Islam yang disebarkan dengan budaya bukan dengan kekuasaan. Sepertinya aktual dengan apa yang terjadi di negeri lucu ini.
Para pembawa Islam di Indonesia itu mengajarkan Islam tidak melalui kekuasaan tetapi melalui budaya. Juga melalui kesejahteraan masyarakat, perdagangan, serta melalui ilmu dan pemikiran.
Sehingga, meskipun kekuasaan silih berganti, umat Islam di akar rumput tidak guncang karena pergantian itu.
Beda dengan Islam di Andalusia yang masuk melalui proses perang. Ketika kekuasaan dipegang umat Islam, Islam woles-woles saja. Tapi ketika kekuasaan berganti, ambyar kabeh.
Menurut KH Hasyim Muzadi, Islam harusnya dikaitkan pada ilmu, pada kesejahteraan rakyat dan pada kebudayaan. Jangan dikaitkan pada Pilpres atau Pilkada. Sebab kalau menang bisa jadi congkak, kalau kalah bisa jadi galak (dan sebar hoax).
Sebab agama itu soal hidup mati. Dan Pilpres sama sekali bukan soal hidup mati. Ada hal yang jauh lebih penting daripada urusan Pilpres.
Para pembawa ajaran Islam itu mempunyai daya tarik yang sangat tinggi karena kesufiannya. Mereka tidak menginginkan apa-apa untuk diri mereka, tetapi diri merekalah yang didedikasikan untuk umat dan Allah. Proses ini melalui proses tasawuf. Berjuang untuk perjuangan, bukan berjuang untuk dirinya sendiri.
Maka berjuanglah di jalan Allah dengan menggunakan hartamu dan dirimu. Di dalam diri kita ada pikiran, ada tekad, ada keberanian, ada persatuan. Setelah kelengkapan diri tadi oke, berjuanglah dengan hartamu.
Yang terjadi sekarang malah terbalik, bukan berjihad di jalan Allah dengan hartanya, tapi berjihad di jalan-Nya untuk mendapatkan harta. Jadi mereka berjuang untuk cari harta, bukan dengan mengorbankan harta.
Ya itulah manusia zaman sekarang. Agama diperlakukan secara ekonomi. Beragama tapi dengan cara pikir yang materialistis.
Dadi rek, kesimpulanku setelah membaca uraian di atas ---> Pilpres iku bukan memilih siapa pemimpin yang lebih Islam. Hanya Tuhan yang pasti tahu keIslaman seseorang. Manusia hanya bisa mengira-ngira.
Jangan dikira yang jidatnya gosong itu lebih Islam dari yang jidatnya mengkilap. Tetanggaku yang shalat lima waktunya selalu berjamaah di masjid (karena dia yang punya masjid), jidatnya normal-normal saja. Sama sekali nggak ada bekas gesekan karpet atau tegel.
Wis talah ojok kecele. Pilihlah yang paling ahli ngurusi negara. Yang dibutuhkan negara ini adalah seseorang yang ahli ndadani kapal yang bernama Indonesia. Bukan yang cuman bisa ngaji. Bagus kalau dia bisa ngaji juga. Itu bonus.
Pilpres itu bukan Perang Salib. Pilpres itu memilih siapa yang paling cakap ngurusi negara. Pelajari track recordnya, seberapa besar prestasi dan totalitasnya pada negara.
Siapa yang terpilih itu tergantung doamu. Dan kalau Capres yang kamu pilih ternyata kalah, itu bukan berarti doamu nggak dikabulkan. Tenang ae talah, siapa presidennya awakmu yo tetep kere. Ala raimu.
Aku kalau ke bengkel motor cari yang pinter soal motor dan punya pengalaman ndadani mesin. Bisa tahu kalau si mekanik pinter karena dapat rekomendasi seseorang yang paham mesin motor juga karena pengalaman pribadi. Nggak nyari mekanik yang paling Islam atau alim.
Mesin motor yang ambrol jaya nggak bakalan iso waras kalau cuman dibacakan Surah Yasin.
Dipikirnya kalau sudah baca Yasin semuanya akan baik-baik saja. Ndasmu. Allah bingung karo wong sing gak kerjo tapi tiap hari kerjanya cuman membaca ayat tertentu ribuan kali, "Enake diapakno yo arek iki.."
Akeh sing salah paham dengan istilah "amalan". Wingi wis tak tulis. Tak ulangi maneh yo. Amalan itu nggak cuman membaca, tapi perbuatan nyata. Bendino moco Yasin ping rongatus sampek lambe njedir iku percuma nek gak diimbangi karo kerjo, usaha.
Kecuali kamu Wali atau Nabi. Maqam mereka beda. Gak koyok raimu. Untuk mencapai maqam seperti mereka itu nggak gampang. Mereka dikasih karamah karena mencapai derajat iman yang dahsyat. Sudah pasca dari hal-hal yang orang awam amalkan.
Para Wali itu mendedikasikan hidupnya untuk umat. Nggak perduli dibayar atau nggak. Tapi malah terpaksa kaya. Mereka nggak mengejar uang tapi malah dikejar uang. Karena memang derajat manusia itu lebih tinggi dari uang. Makane ojok sampek dikalahno duwik.
Duh aku ngomong opo se rek. Malah mblakrak nang endi-endi.
Mbuhlah. Trims buat penerbit Noura. Ditunggu kiriman buku pemikiran Cak Nun dan atau Gus Nadirsyah. Ayee. Kalau dikasih bukunya pasti aku review. Lumayan khan promosi gratis.
- Robbi gandamana -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar