Jumat, 30 Agustus 2019

Ketika Manusia Lari dari Dirinya

sumber : deviantart.com

Bergaya itu oke-oke saja. Tapi ya lihat-lihat sikon. Nek gak pantes ojok dipekso pantes. Ono koncoku sing bodine lemu pol, kulite ireng, ndase diuntel-untel kain (udeng) yang sudah kumal. Maksudnya  tampil keren tapi malah koyok gentong ditutup gombal.
Ada juga yang korban trend. Kalau punya bokong dan kaki besar kayak kaki gajah bengkak, jangan nekad pakai celana strit. Kalau nongkrong bersandar di pojokan, kayak Singa Laut terdampar.
Itulah kebanyakan manusia, tampil gaul dan trendy karena takut nggak diterima di pergaulan sosial. Mengesampingkan soal cocok atau tidak buat dirinya.
Dulu saat booming rebonding, banyak kaum Sukri (suku bangsa keriting) yang ramai-ramai meluruskan rambutnya. Ada yang pantes, tapi banyak juga yang mbuwak byuk.  
Untung Ahmad Albar nggak ikut-ikutan. Godbless bisa jadi Gondess. Ahmad Albar nek rambute direbonding ya'opo yo. Gak iso mbayangno aku. Lucu nek wong Arab rambute lurus. Sama kayak orang Cina yang berambut kribo.
Harusnya orang itu paham atau sadar dengan keadaan dirinya. Raimu iku sopo. Yang paling ngerti awakmu iku yo raimu dewe. Tuhan menciptakan kamu itu istimewa, tidak ada duanya. Tiap manusia punya keunikannya sendiri. Dan kita diperintah menjadi diri kita. Kalau kamu terlahir Jawa, jangan jadi Korea. Kalau cabe jangan jadi bawang bombay.
Di zaman modern ini banyak orang yang lari dari dirinya. Nggak bisa selesai dengan dirinya. Merasa kurang terus. Disamping karena terseret arus trend juga karena korban iklan. Ada iklan pemutih langsung terpancing. Wajah nggak jadi putih tapi malah mangkak, putih tua. Raine putih, tapi tangane ireng mbesisik. Kakean adus nang kali.
Hidup kalau tidak jadi diri sendiri itu melelahkan. Harus tampil berdasarkan maunya trend. Tidak datang dari hati. Sakit.
Ganti henpon bukan karena sudah rusak, tapi karena ingin yang paling canggih. Kalau kaya, oke saja. Kalau kere, mumet jaya. Akhire ngirit total. Demi untuk beli henpon canggih. Makan siang di kantor direwangi mbontot. Bawa kotak makan bergambar Sponge Bob.
Buruh pabrik memaksakan diri berhenpon canggih. Dipikirnya lambang kesuksesan itu henpon canggih. Padahal puncak kesuksesan manusia itu sejatinya adalah hati yang puas. Henpon canggih mungkin memuaskanmu. Tapi tidak lama. Karena sebentar lagi keluar yang lebih canggih. Nek dituruti iso pecah ndasmu.
Begitu juga soal jilbab. Banyak perempuan yang berjilbab bukan karena keinginan hati, tapi karena sungkan pada lingkungan sosialnya (perempuannya pada berjilbab). Kalau menghadiri acara kumpul-kumpul resmi di kampung, atau dimanapun, mereka berjilbab. Tapi saat nongkrong di buk depan rumah sambil ndulang mangan anake cuman pakai daster yang tipissss.  Oughh O_O.
Trend nggak cuma soal fashion, tapi juga kuliner. Di tiap sudut kota ada saja warung atau cafe baru menawarkan hidangan yang unik. Nggak di kantor, nggak di rumah sama saja, badokan ae. Semua orang bernafsu ingin jualan makanan.  Dimana-mana "perang" branding. Warung-warung aneh bermunculan :  "Tungkak Bakar Mbok Su", "Nasi Godok Ijo", dan  lain-lain.
Tapi memang rekreasi (pelipur lara) paling murah adalah badokan. Nongkrong di wedangan mangan sego kucing sudah lupa segalanya. Persetan iuran BPJS naik. Persetan Pertamax, Pertalite, Pertelek naik..gak ngurus. Fak yu.
Ngomong soal badokan memang nggak ada habisnya. Dan gara-gara badokan, ekonomi rakyat jadi hidup. Jadi mari kita bangun negeri ini dengan badokan.
Iki tulisan opo se rek. Embuh gak eruh...
Intinya jadilah diri sendiri. Bahagia dengan apa yang ada di dirimu. Come as you are. Biar miskin asal sombong. Kata Kurt Cobain, "They laugh at me because I'm different; I laugh at them because they're all the same." Jangan memaksakan sama dengan yang lainnya, justru karena kamu beda dari lainnya itulah kamu jadi keren. So, fuck trend.
- Robbi Gandamana-

Jumat, 23 Agustus 2019

Antara Ustadz Somad dan Cak Nun


Kalau semua pemuka agama ceramahnya divideokan (video amatir) bakalan banyak yang senasib dengan Ustadz Abdul Somad (UAS). Selalu ada satu dua kata yang keceplosan menyindir tokoh atau agama orang lain. Apa itu ustadz, kyai, pastur, pendeta, dan seterusnya. 
Pasturnya ngrasani ulama yang hobi poligami, ulamanya juga nyindir pastur yang nggak menikah, "Hidup sekali nggak menikah. Nggak tahu enaknya sihhhh.."
Dalam berdakwah, banyak tukang dakwah yang memakai "jalan pintas" untuk menunjukan kebenaran agamanya dengan "menjelek-jelekan" agama lain. Dan mereka tidak merasa menghina, biasa ae. Karena bagi mereka itu jalan untuk lebih meneguhkan iman. Karena ceramahnya tertutup untuk kaumnya saja.
Asline ngono iku rek. Hidup kalau tidak membicarakan orang lain iku nggak rame. Kerjaannya Tukang Dakwah yo ngono iku, kalau nggak ngrasani keyakinan orang lain, yo ngrasani pemerintah.
Ceramah-ceramah shalat jum'at banyak yang begitu. Menjelek-menjelekan budaya Jawa, "Nyadran itu bid'ah!  Larung sesaji itu syirik! Musyrik!" Padahal jamaahnya banyak orang tua yang masih mempraktekan tradisi budaya Jawa. Gak sopan blas. 
Itu biasanya ceramahnya Ustadz milenial yang nggak paham blas konsep budaya Jawa. Mereka-mereka yang tercerabut dari akar budayanya sendiri dan malah lebih Arab dari orang Arab.
Jadi menurutku nggak usah main lapor-laporan. Karena fanatismelah yang membuat masalah sepele seolah-olah besar dan gawat. Kayak kasus Ahok kemarin. Bagiku itu soal sepele, bukan penistaan. Penistaan opo. 
Penistaan agama itu kayak Salman Rushdie dengan bukunya "Satanic Verses" yang menghina Nabi Muhammad.  Atau kartun Nabi Muhammad di majalah Charlie Hebdo.
Tapi kalau mau dilaporkan ya monggo saja. Iku urusanmu karo UAS, aku gak ngurus. Dia nggak mau minta maaf nggak masalah, kalau minta maaf itu mulia.  Tapi orang biasanya gengsi untuk minta maaf dan nggak tertarik untuk jadi mulia, "Gak mulyo-mulyoan! Gak ngurus!"
Sori, aku nggak ngefan UAS. Walau ceramahnya lumayan, doi punya wawasan yang oke soal sejarah Islam.
Begitulah, tukang dakwah kalau ceramah kadang kala "terpeleset" lidah. Jangankan UAS, Cak Nun pun beberapa kali begitu. Tapi Cak Nun lebih pada ngrasani pemerintah, belum pernah aku mendengar Cak Nun menjelekan keyakinan agama lain.
Kalau kamu amati ceramah-ceramahnya Cak Nun, di situ pasti ada satu dua kata yang ngrasani pemerintah. Dan itu kadang nylekit banget. Kalau diframing bakalan banyak orang yang mencak-mencak.
Aku sampai sekarang juga penasaran, progresnya sampai mana orang-orang yang melaporkan Cak Nun dulu. Asline aku yo kepingin pol Cak Nun dipenjara rek. Pasti akan jadi epic moment of the year. Konyol jaya.
Nggak cuman jamaah Maiyah, bahkan Jin, malaikat, genderuwo pun pasti nggak percaya, "What the fuck!? Cak Nun dipenjara!???"
Manusia level pawang seperti Cak Nun susah untuk dipolisikan. Aparatnya sungkan nangani. Percoyo ae lah. Jasanya pada negeri ini terlalu buesarr kalau dibandingkan dengan kesalahannya yang  sepele (yang katanya menghina presiden itu).
Nggak cuman polisi atau aparat hukum yang segan, bahkan penjaranya pun bakalan sungkan menampung Cak Nun. Sipirnya juga bakalan mati gaya. Segan Ndes. Dan beliau lebih sangat dibutuhkan di masyarakat daripada di penjara.
Aku tahu Cak Nun itu bukan Nabi, bukan orang sakti, cuman manusia biasa. Dalam hidupnya nggak ada dikotomi berani dan takut. Melakukan sesuatu itu bukan karena takut atau berani. 
Ayam berkokok di pagi hari itu bukan karena berani, tapi memang ayam yang seperti itu. Matahari terbit di pagi hari juga bukan karena berani. Ya begitulah matahari. Takut hanya pada Tuhan.
Tapi iku Cak Nun rek, nek aku sik durung wani koyok ngono. Aku tipe manusia mediocrity, paham teorinya tapi nggak sungguh-sungguh mempraktekannya. Bahkan akeh gak iso nglakonine. Harap maklum, aku wong awam.
Wis talah percuma capek-capek memperkarakan Cak Nun. Beliau itu sesepuh, orang yang dimintai pendapatnya oleh para petinggi negeri. Kalau Kapolrinya saja curhat mesra sama Cak Nun, terus bagaimana bawahannya bisa mengamankan Cak Nun.
Nggak cuman dituakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia, bahkan di dunia jin pun beliau disungkani. Tiap kali anak Kyai Kanjeng (kelompok musik yang mengiringi Cak Nun) menghadapi anak kesurupan karena kemasukan jin, Jinnya langsung keluar dari raga yang kesurupan, "Waduh! Anak buahe Cak Nun maneh, yo wis aku tak metu..." (aku pernah nulis soal ini dulu).
Gun Jack pernah minta perlindungan Cak Nun karena akan dijadikan kambing hitam atas kematian Udin, si wartawan Bernas itu. Gun Jack yang mantan preman tersohor Jogja  itu akhirnya lolos dari aparat yang akan menangkapnya    
Kesimpulane : ojok fanatik. Fanatik itu yang membutakan pandangan, mengerdilkan pikiran, dan sumbu pendek. Gampang digiring, diprovokasi, gampang mati.
Jangan dikira aku fanatik pada Cak Nun. Seandainya Cak Nun akan dibunuh orang pun, aku nggak akan repot-repot membelanya. Karena membunuh Cak Nun urusannya langsung dengan yang membuat Cak Nun, Tuhan. Dia lah yang akan membelanya.
Wis ah..
*Tulisan yang aneh, sebenarnya ini mbahas UAS apa Cak Nun?
-Robbi Gandamana-

Selasa, 13 Agustus 2019

"Ustadz WA" Kemaruk Amal Jariyah



Aku paling neg kalau ada postingan di WA  yang memuat tulisan seperti ini --> "Tolong sebarkan wa ini ke 20 muslim, insya Allah dalam waktu 10 hari kamu akan dapat rizki besar, dan bila tidak disebarkan maka kamu akan menemukan kesulitan yang tidak henti-hentinya (demi Allah terbukti)....."
Semproel..
Kok berani-beraninya ngomong, "Demi Allah (nasib kita akan buruk kalau tidak ngeshare)". Woala, baik buruk nasib manusia tidak ditentukan oleh postinganmu Doel.
Sekarang ini banyak orang yang kemaruk amal jariyah seperti itu. Sampai berani bergaya layaknya keponakannya Tuhan, menakut-nakuti orang lain : kalau nggak ngeshare postingannya akan dapat celaka. Asli menyebalkan.
Nabi pun nggak berani meramal nasib seseorang seperti itu. Nabi cuman mengajak atau mengajarkan kebaikan.  Soal ajaran itu diterima, disebarkan lagi atau tidak, dia nggak punya kuasa untuk itu. Hidayah 100% kuasa Allah.
Makanya betul kata Simbah, bahwa Amar Ma'ruf itu bukan tugasnya Ulama, bahkan Nabi. Amar Ma'ruf itu tugasnya Presiden (penguasa terpilih)--> memerintahkan (amar) untuk menaati, menjalankan hukum negara yang sudah diarifi (ma'ruf) dengan beserta aparat hukumnya.
Tugas Ulama hanya mengajak, mengingatkan dan menyebarkan kebaikan (dakwah khair). Tidak memerintah, tidak memaksa. Mau ikut silakan, nggak mau monggo. Dalam soal beragama, jangan mau diperintah-perintah oleh siapapun. Beragama harus berdaulat. Juga jangan mau dibaiat oleh aliran apapun atau siapapun.
Yang mempertanggungjawabkan hidupmu adalah dirimu sendiri. Bukan Ulama. Ulama saja masih harus minta pertolongan Nabi, lha kok kamu minta pertolongan Ulama dan memasrahkan hidupmu 100% padanya. Ulama bukan Nabi. Oke, Ulama harus dihormati, tapi jangan dengarkan omongan mereka kayak mendengarkan Nabi ngomong. Jangan kayak keranjang sampah.
Kemarin Habib Novel Alaydrus menghapus akun Instagramnya karena kesal tiap kali posting sesuatu yang menyangkut Habib Rizieq selalu dihapus pihak Instagram. Konyolnya para jamaahnya tanpa pikir panjang langsung ikut-ikutan menghapus akun Instagramnya. Padahal menurutku Habib Novel cuman curhat, tidak mengajak, apalagi memerintahkan untuk menghapus akun.
Aku juga pengagum Habib Novel, dakwahnya asyik dan masuk akal, tapi kalau ikutan menghapus akun Instagram ya nanti dulu. Sori Ndes. Aku menggunakan Instagram untuk cari uang, walau nggak 100% bisnis. Tidak untuk majang raiku sing pas-pasan iki.
Sosmed itu cuman alat. Bagus kalau dipakai untuk kebaikan, terserah kalau mau dipakai maksiat. Dan Instagram punya hak 100% untuk menghapus, men-suspended (atau apapun istilahnya) akun atau postingan yang menurutnya membahayakan atau tidak menguntungkan pihak Instagram. Kita cuman nunut.
Perintah (agama) hanya datang dari Allah, bukan dari Nabi bahkan Ulama sekelas Imam Hanafi, Hambali, Ghazali dan lainnya. Nabi hanya ditugaskan menyebarkan perintahNya. Bukan memerintahkan umatnya menjalankan perintahNya. Bahkan Allah pun membebaskan hambanya memilih, mau taat silakan, mau kafir juga sumonggo. Milih surgo monggo, milih neroko matio kono.
Jadi sekarang, jangan mau hubungan kemesraanmu dengan Allah terganggu oleh "Ustadz WA" nggak jelas. Jangan mau diperintah ngeshare postingan orang. Ngeshare oke, nggak ngeshare juga boleh. Bebas.
Merdeka!!
-Robbi Gandamana-

Minggu, 11 Agustus 2019

Salut Buat Ibrahim yang Tega Menyembelih Ismail



Sumber: islam.ru
Nabi Ibrahim memang top markotop. Bayangkan saja, bagaimana dia bisa menjalankan perintah Allah menyembelih Ismail, anaknya sendiri. Gila men. Nek aku jelas gak gelem, "Ya Alloh batalno kenabianku ae wis. Gak sanggup aku..angkat tangan...mosok aku kudu mbeleh anakku dewe, sampeyan iku serius ta?"
Makanya Idul Adha nilainya jauh lebih besar dibandingkan Idul Fitri. Karena hari Idul Adha  kita belajar keikhlasan, kesabaran, ketaqwaan yang luar biasa dari Nabi Ibrahim juga Ismail. Ketika tahu bapaknya mau menyembelih, Ismail mempersilahkan dengan rileksnya.
Andai aku Ismail, tanggapannya bakalan seperti ini, "Sampeyan iku gendeng ta!? Gak mungkin Tuhan ngongkon ngono iku. Iku mesti setan. Mikiro talah. Bapak gak cerdas.."
Nggak cuman ikhlas kehilangan anaknya di tangannya sendiri. Nabi Ibrahim harus ikhlas menjadi satu-satunya Nabi yang dikenal sebagai "pembunuh" anak kandungnya. Manusia biasa mana kuat menanggung beban seperti itu. Kadang perintah Allah pada para Nabinya itu neko-neko. Tapi Tuhan memang Maha Neko-Neko.
Nabi Ibrahim diperintah mengorbankan anaknya, sedangkan kita cuma disuruh mengorbankan kambing saja sulitnya naudzubillah. Onok ae alasane. Sing jarene anake melbu kuliah, butuh duwik akeh. Sing jarene gawe ndadani omah, kayune keropos ate ambruk. Sing jarene ganti henpon, sing wingi wis ketinggalan jaman, gengsi Ndes. Tapi memang ada yang benar-benar bokek.
Tapi iku wajar, manusia itu memang tempatnya kikir, medit, pelit, ngirit. Termasuk aku. Nggak yakin-yakin amat kalau Allah itu Maha Pemberi Rezeki. Cara berpikirnya masih manual, bahwa memberi adalah mengurangi. Padahal memberi itu menanam benih. Yang akan tumbuh dan panen pada saatnya nanti. Makanya orang yang rezekinya terjamin itu yang banyak memberi.
Idul Fitri memang hari istimewa, tapi kalau dibandingkan dengan Idul Adha ya jauh. Kebanyakan kita merayakan Idul Fitri dengan meriah karena hari itu kita terbebas dari lapar. Makanya Idul Fitri itu bagi orang awam adalah hari balas dendam, mangan sak ndelosore.
Pantesan ora Madura mudiknya pas hari Idul Adha bukan Idul Fitri. Beda dengan kita yang mudik dan merayakan dengan besar-besaran hari Idul Fitri dibandingkan dengan Idul Adha. Dalam hal ini orang Madura lebih cerdas dari kita. Salut Cong.
Kalau soal agama, orang Madura memang terkenal punya keteguhan yang kuat. Omahe gedek tapi ternyata wis munggah kaji. Beda dengan kebanyakan kita yang membangun rumah dulu sampai tuntas tas, baru setelah itu ingat haji (masih ingat, belum diniati). Pokoknya agama itu nomer satu. Sekolah formal kacau nggak masalah asal pinter ngaji.
Kembali ke Ibrahim..
Kalau mbahas soal perjuangan Nabi Ibrahim bakalan bisa jadi berjilid-jilid buku. Makanya nggak perlu dijabarkan lagi. Bukan soal capek nulisnya, tapi aku nggak ngerti sejarah soal Nabi Ibrahim. Pengetahuanku soal Nabi-Nabi terbatas (woww ndasmu).
Nggak masalah nggak begitu tahu soal sejarah Nabi. Yang penting tahu garis besarnya dan bisa mengambil pelajaran dan paham makna dari apa yang terjadi  di kehidupan Nabi. Kita nggak wajib tahu semuanya sampai mendetail. Pokoke tau krungu. Ngono ae wis lumayan.
Yang jelas semua perintah Tuhan pasti ada alasan yang masuk akal. Seperti apa yang dilakukan Nabi Ibrahim pada Ismail, anaknya. Kenapa Nabi Ibrahim harus menyembelih Ismail????? Aku gak eruh..memange aku Ustadz!
Makanya di dalam Maiyah yang paling penting itu Tadabbur, bukan Tafsir. Tafsir itu berat, pakai perangkat ilmu yang hanya orang tertentu yang sanggup. Sedangkan orang awam seperti kita bisanya hanya tadabbur, mencari manfaat dari pergaulan kita membaca Qur'an atau Hadits.
Taddabur itu kayak kamu beli mobil. Kamu nggak perlu tahu siapa pembuatnya, di mana pabriknya. Yang penting kamu tahu manfaat dari mobil tersebut.
Pada kasus (bukan kriminal) Ibrahim  menyembelih anaknya (yang ternyata diselamatkan Allah dan diganti dengan embek). Kita mungkin nggak paham kenapa Allah ngasih perintah semacam itu. Tapi setidaknya kita jadi  belajar banyak soal keikhlasan. Sebuah keikhlasan tanpa tanding. Raimu gak mungkin iso.
Lha wong kita ditinggal mati marmut kesayangannya saja sudah semaput gak tangi-tangi. Apalagi ini anak sendiri, yang disembelih sendiri. Ujian hidup yang perfect. Keikhlasan plus kesabaran dioplos dengan ketaqwaan. Nggak cuman umat manusia, para malaikat pun pasti segan sama Nabi Ibrahim, "Salut buatmu Him!"
-Robbi Gandamana-