Minggu, 29 September 2019

Terbitkan Perppu KPK atau Negara Ini Jadi Neraka



Demo tolak Rancangan KUHP dan revisi UU KPK semakin hari semakin massif. Anak STM plus pasukan bodrek pun ikut ambil bagian. Nggak tahu apakah mereka paham yang diperjuangkan  atau sekedar having fun. Atau ingin eksis instastory yang ngehit dan kekinian. Tapi lumayan, dengan adanya mereka, demo jadi lebih bernyawa, total crowd.
Ada lagi yang terbaru, menamakan dirinya Mujahid 212 . Kumpulan orang alim ini memanfaatkan betul momen yang epic ini untuk cari panggung. Bendera khilafah dikibarkan tinggi-tinggi. Subhanalloh banget. Jayalah orang alim. Gusti Alloh mboten sare. Opo se rek.

Untuk kelompok demonstran pemuja khilafah ini, saya memohon kepada aparat yang bertugas untuk menggebuk siapa saja yang berani meneriakan negara khilafah. Rontokan giginya. Sisakan taringnya saja. Sampai dia tidak bisa lagi mengeja kata "khilafah" dengan benar.
Sejak demo kemarin, sudah banyak korban yang berjatuhan. Ada yang tewas tertembus peluru tajam, ada yang retak kepala, ada yang memar mukanya kena cium tongkat aparat. Kasihan, wajah yang sudah pas-pasan itu jadi ambyar jaya. Teganya kau aparat, mereka memperjuangkan NKRI bukan demonstran penyusup yang mabuk khilafah.
Konon Jokowi mulai mumet. Dia pun shalat istikharah, " ya awoh..jarene sampeyan rahman rahim, tapi kenek opo urip kulo kok apes terus.  Wis mbangun jalan tol tetep dibenci. Gak melok ngobong hutan, kok dipisuhi wong akeh.  Terus kulo penake pripun, nopo kulo ganti profesi mawon.....come on god, answer me."
Setelah itu Jokowi tidur. Di dalam tidur doi bermimpi bertemu dengan Ki Gundus Plontol yang mungkin diutus Tuhan untuk menjawab pertanyaan Jokowi. Ki Gundus bilang, "Wi....kamu cocoknya kerja di air."  
Towengwengwengwenggggg. Guyon rek.
Gengsi harus dikesampingkan, Jokowi pun akhirnya menimbangkan langkah menerbitkan Perppu KPK. Tentu saja langkah itu ditentang oleh Bambang Pacul, Ketua PDIP Bidang Pemenangan Pemilu sebagai langkah yang merusak citra politik Jokowi.
Citra politik opo Mbang. Kalau semua elemen masyarakat sudah turun ke jalan menolak kebijakan pemimpin negara, itu pertanda lampu merah, bahaya. Kalau nuruti gengsi politik, negara ini ambyar.
Aku yakin Jokowi tidak takut pada gerakan mahasiswa apalagi anak SMA. Doi punya pasukan perang dan pendukung militan yang siap masuk neraka sekalipun. Kemanapun Jokowi pergi mereka siap mengikutinya walaupun masuk ke lubang marmut.
Menerbitkan Perppu KPK adalah langkah yang oke. Diharapkan dengan Perppu tadi bisa meredam atau mencegah terjadinya huru hara di masyarakat karena hasutan atau propaganda kelompok-kelompok yang ingin NKRI jadi negara Khilafah atau Jokowi lengser.
Kalau kita lihat akhir-akhir ini demo sudah mulai melenceng dari jalurnya. Nggak lagi murni menolak Rancangan KUHP dan revisi UU KPK. Sekarang demonya menjadi lengserkan Jokowi. Hastagnya sudah trending di twitter. Terlalu banyak penumpang gelap.
Belajarlah pada nasib Soekarno dan juga Soeharto. Mereka lengser bukan karena  demo mahasiswa (walau awalnya memang demo mahasiswa), tapi karena nggak tega hati melihat rakyatnya bertikai, turun ke jalan dan menjarah pusat-pusat perbelanjaan.
Mahasiswa jangan geer. Soeharto lengser bukan karena student power. Tapi karena nggak tega hati melihat rakyatnya menjarah dan saling tikai. Kalau mau, Soeharto dengan mudah melululantakan demonstran dengan tank dan meriam. Sekali perintah langsung musnah. Lha wong disemprot truk tangki sedot WC saja sudah morat marit.
Jadi sebelum ada kelompok gemblung yang menghembuskan api konflik antar etnis Jawa dan etnis Tionghoa, antar muslim dan non muslim, sebelum mall dan pusat perbelanjaan dibakar dan dijarah, sebelum show room motor atau mobil dibobol massa, sebelum rumah-rumah dinas dibumihanguskan, sebelum dollar semakin melangit, harga-harga membumbung tinggi, Jokowi sudah benar mau melakukan langkah menerbitkan Perppu KPK. Ayo Wi!
Sori aku bukan Jokower, aku cuman nggak ingin harga beras seharga emas. 
Wis ngene ae.
Jangan dishare, aku sendiri sudah nggak setuju dengan apa yang aku tulis di atas. Ini cuman tulisan ngawur tanpa data.
-Robbi Gandamana-

Jumat, 20 September 2019

Satrio Fucking Shit




Pemilu sudah kelar tapi ndukung mendukung masih berlanjut. Masih ada dikotomi kampret dan cebong. Kalau setuju dengan kebijakan Jokowi dikira cebong tapi kalau ngritik dicap kampret. Urip cap opo iku. Wong ngono iku perlu ditayamum karo sandal jepit. Opo wudhu karo soda api.
Manusia memang susah mencapai level brahmana. Mentoknya di level satria. Seneng banget kalau saingannya jatuh. Pendukung Prabowo bersorak bahagia kalau Jokowi kena masalah. Momen Jokowi menyetujui revisi UU KPK dimanfaatkan banget oleh Kampret untuk membully Cebong. Padahal kalau Prabowo jadi presiden, nggak mesti nggak setuju revisi UU KPK.
Tiap ada bencana yang disalahkan Jokowi. Menterinya nggak disalahkan, gubernurnya aman-aman saja. Kadang-kadang aku kasihan sama Jokowi, disalahno ae. Gak melok mbakar hutan tapi disalahno. Muduno ae Wi. Dodol kayu malah uripmu ayem. Ngurusi wedus-wedus iku tiwas awakmu legrek, rambutno mbrodol, memble jaya.
Cebong dan Kampret akur hanya saat ada pertandingan sepak bola Indonesia lawan Malaysia. Kalau lawannya Malaysia, mendadak rasa nasionalisme memuncak. Nggak ingat lagi soal Pilpres, Pilgub juga Pilkoplo. Nggak ada lagi Cebong dan Kampret. Yang ada hanya Indonesia. Makanya sering-sering saja diadakan. Soal kalah menang nggak penting. Sing penting tiket sold out.
Mendukung Jokowi atau Prabowo nggak masalah. Asal nggak membabi buta. Kalau kamu jujur pada hatimu, asline nggak kabeh kebijakan presiden pilihanmu cocok karo raimu. Soal kenaikan tarif listrik,  reklamasi, BPJS, KPK dan lainnya. Cuman awakmu pandai bersyukur dadi yo nrimo ae. Sukurrr rasakno kono.
Aku kemarin sudah nulis, kalau sama politikus jangan berharap terlalu tinggi. Politikus is politikus. Politikus jangan diharapkan jadi satrio piningit. Nggak ada politikus yang jadi satrio piningit, yang ada satrio fucking shit.
Kebijakan presiden terkadang tidak dari hati nurani, tapi karena hutang politik, karena kepentingan partai politik, dan seterusnya. Nggak bisa seratus persen dari hati dan pikiran sendiri. Lha wong sudah jadi presiden masih ngurusi (terikat) partai politik. Partai politik cuman alat untuk menuju kursi presiden. Kalau sudah jadi presiden, harusnya fokus hanya rakyat yang diurusi.
Jangan berharap banyak pada presiden, apalagi DPR. Juga jangan terlalu berharap pada KPK. Kamu akan linglung kalau suatu hari ternyata mereka gemblung. Ingat kata Ustadz, "berharaplah hanya pada Tuhan." Karena hanya Tuhan yang sanggup ndadani Indonesia.
Kalau dipikir bener-bener, negara ini semakin bingung. Sebut saja soal BPJS. BPJS itu khan sebenarnya sedekah (sedekah si sehat untuk si sakit), bukan asuransi atau pajak. Masalahnya sedekah kok pasang tarif, dipaksa dan ada sanksinya (kalau nggak ikut).
Yang sakit-sakitan pasti senang dengan program ini. Yang sehat-sehat saja tapi setor terus, yo rodok misuh-misuh. Gak iso dicairno Ndes.
Kalau BPJS itu sedekah (program sosial) harusnya nggak ada istilah defisit. Defisit itu istilah dagang. Sedekah bukan dagang. Kalau ada istilah defisit, berarti pemerintah cari laba atau nggak ikhlas menyehatkan rakyatnya.
Sudah lumayan rakyat mau ngasih sedekah. Kok masih mengeluh defisit. Harusnya negeri sekaya ini nggak perlu BPJS pun bisa menggratiskan kesehatan untuk rakyatnya.
Sing ngeluh maneh program KIS (Kartu Indonesia Sehat). Banyak yang salah sasaran. KIS ini untuk orang kere, tapi yang tergolong mampu malah dapat kartu KIS. Karena pak RT-nya "budiman", semua warganya harus dapat kartu KIS walau tergolong mampu (mobile Avanza, omahe tingkat telu, sawahe dikeramik).
Bakalan ngelu nek mbahas BPJS, JKN, KIS, KJS, Jamkesda, Jamkesmas, Jamput. Ujung-ujungnya cuman cari laba bla bla bla bla utekmu gak mungkin loading. Kesimpulane. Jangan sombongkan Jokowimu atau Prabowomu. Siapapun presidennya, sama saja. Semua soal rugi laba.
Uwis.
-Robbi Gandamana-

Selasa, 17 September 2019

Semoga KPK Cepat Bubar


Di negeri yang tandus ini, dimana keadilan tidak bersemai, jangan berharap KPK independen. Itu mustahil. Kenyataannya KPK masih di bawah Presiden, bahkan DPR.

Independen opo. Kalau KPK itu lembaga indepen, harusnya ketua KPK tidak dilantik oleh presiden. Ketuanya juga jangan dipilihkan oleh DPR. Lha wong tugasnya mengawasi presiden kok dilantik oleh presiden. Iku gak independen jenenge Doel. Indepeden ndasmu.

Independen itu berhak menentukan nasibnya sendiri. "Lho Ndes, terus bagaimana caranya KPK bisa indepeden?"  Embuh gak eruh. Aku wegah mikir. Urusanku wis akeh. Sudah ada orang yang dibayar negara untuk mikir itu.

KPK memang efektif ngurangi koruptor. Tapi kalau kinerja KPK diawasi oleh lembaga yang banyak koruptornya ya jangan berharap. Jadi jangan heran kalau KPK gampang dilemahkan (dengan undang-undang).  

Ingat, kejahatan yang paling canggih adalah undang-undang (aturan).

Katanya ada sembilan poin draf revisi yang bakal memperlemah KPK : terancamnya independensi KPK, dipersulit dan dibatasinya penyadapan, pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR, dibatasinya sumber penyelidik dan penyidik, penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung, perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria, kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas, kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan, serta dipangkasnya kewenangan KPK mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara). (sumber : detik.com).

Apa iya pasti itu poin-poin yang bakal direvisi? Belum terbukti, masih bayangan ketakutan. Kalau memang terbukti melemahkan KPK, terus koen kate lapo. Korupsi sudah jadi peradaban. Dan peradaban korup itu terus dipercanggih.  

Orang sudah nggak malu lagi nyogok masuk pegawai negeri atau yang lain. Dan malah bangga. Karena kuat mbayar ratusan juta rupiah. Sakarepmu kono. Tanggung jawabnya besar di akhirat. Suap is suap, haram is haram. Taek gak iso dipoles dadi akik. Berqurban sepuluh sapi tiap tahun pun nggak akan mensucikan itu. Tak dungakno ae mugi-mugi jembaro kubure.

Jangan berharap pada negara yang mumet ini. Ibadah ae sing mempeng. Jangan sampai kemesraanmu dengan Tuhan terpolusi oleh urusan KPK, KPAI, BPJS, pindah ibukota, dan lainnya.  Doakan saja malingnya segera insyaf, nggak ada lagi kasus korupsi di negeri ini. Sehingga KPK nggak dipakai lagi dan dibubarkan.

Jadi mari kita berdoa semoga KPK cepat bubar.

Kalau hidupmu pengin tenang , ojok melok-melok ngurusi urusan negoro. Jangan terlalu membela Jokowi, Prabowo, Anies, Anoes, Ahok, Ahong, Embuh. Karena kebijakannya nggak selalu cocok dengan apa yang kamu harapkan.  Nek kok belani terus, diluk engkas gendeng koen.

Sekarang ini banyak pembela Jokowi yang kecewa dengan keputusan Jokowi yang menyetujui revisi UU KPK. Karena berharap terlalu tinggi. Mereka mengharapkan Jokowi sebagai Satrio Paningit, sayangnya Jokowi itu cuma politikus.

-FYI, aku bukan hater maupun lover Jokowi atau Prabowo. Aku nggak ada urusan dengan itu semua-

Kalau mau protes atau demo ke Jokowi monggo saja. Sing penting gak ngisruh. Mumpung ibukotanya masih di Jakarta. Kalau ibukotanya sudah di Kalimantan, repot. Ke sana naik pesawat atau kapal dulu. Sampai sana naik perahu klotok masuk keluar hutan untuk nyampai istana presiden. Setelah di depan istana, ternyata presidennya sedang liburan ke Solo. Matio ae Ndes.

Eling pesene Simbah, jangan sampai politik atau politikus di negeri ini masuk ke dalam hati dan pikiranmu.

-Robbi Gandamana-

Rabu, 11 September 2019

Hai KPAI, Kesempitan Berpikir Lebih Berbahaya daripada Rokok


Sekarang ini banyak yang nggak paham dengan pemikiran KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). Termasuk aku. Seharusnya Djarum sebagai produk rokok dan Djarum sebagai club bulutangkis itu beda. Tapi embuh rek, orang-orang KPAI sebenarmya juga bukan kumpulan orang ndlahom. Mungkin mereka lelah.
Cara berpikir KPAI itu kayak anak yang suka musiknya Nirvana tapi mendadak benci setelah tahu Kurt Cobain matinya bunuh diri. Atau yang suka banget dengar lagu-lagunya Queen, tapi tiba-tiba jadi nggak suka setelah tahu Freddie Mercury, vokalisnya, seorang hombreng yang hobinya main dokter-dokteran dengan sesama jenis.
Banyak orang  yang berpikirnya sejengkal begitu. Bagaimana jiwanya bisa kaya kalau cara berpikirnya "kerdil". Tidak mengapresiasi karyanya tapi ngurusi kehidupan pribadi pemusiknya. Tidak mengambil sisi baiknya yang dapat memperkaya wawasan dan menginspirasi hidupnya. Menjadikannya manusia yang lebih baik.
Kurt Cobain ataupun Freddie Mercury itu cuman artis, bukan Nabi atau manusia suci. Kita nggak punya hak apapun untuk menilai kehidupan pribadinya. Iku urusane Tuhan.
Bahkan Kahlil Gibran yang tulisannya berstandar kitab suci pun di puncak popularitasnya jadi pecandu alkohol (arak). Saking depresinya menghadapi tekanan akibat terlalu populer. Soal ini jarang ditulis, mungkin takut penggemarnya tidak bisa menerima. Terutama sing sok hijrah.
Jangan-jangan kalau kamu tahu Chairil Anwar matinya kena Sipilis, kamu jadi nggak suka puisi-puisinya. Ala raimu.
Manusia memang bermacam-macam. Ono sing ndlahom, ono sing cerdas. Onok sing alim, onok sing bajingan. Aku dewe gak cerdas yo gak alim. Tapi mending daripada sok suci dan hobinya ngafir-ngafirkan orang. Kayak kaum kolot pengapling surga. Yang hobinya mencari-cari kesalahan orang lain, dikafir-kafirkan dan didoakan masuk neraka. Padahal Nabi sendiri mencari-cari kebaikan orang dan didoakan masuk surga.
Kembali ke soal KPAI..
Bangsa ini  memang sedang terkena gejala paranoid terhadap rokok. Doktrin akan bahaya rokok benar-benar menancap kuat di tiap jiwa-jiwa labil yang gampang termakan propaganda. Termasuk KPAI. Hanya karena ada brand perusahaan rokok di kaos, mereka mumet.
Aku jadi ingat saat gempa di Jogja. Banyak yang menolak sumbangan selimut, hanya karena selimutnya ada gambar salib kecil di ujungnya. Kalau aku yang dikasih pasti kuterima. Jangankan salib, ada gambar iblis pun aku terima. Lha wong cuman gambar ae lho. Apalagi selimut itu buat tidur. Pakai selimut bergambar salib nggak langsung otomatis jadi Kristen.
Jadi, tenang ae talah. Yang bahaya itu kesempitan berpikir, bukan merokok atau tidak merokok. Karena kesempitan berpikir itulah orang gampang dimakan hoaks, diprovokasi, diadudomba.
Soal sehat atau nggak sehat itu tergantung masing-masing orang. Ada yang merokok tapi tetep oke-oke saja sampai jompo, tapi ada juga yang sebaliknya. Sik umur 40an awake wis legrek, untune oglak aglik, matane rodok kero, ambekane mengkas mengkis, diluk engkas mati.
Maka kenali dirimu sebelum merokok. Yang paling paham dirimu iku raimu dewe. Karena dokter yang terbaik bagi dirimu ya raimu iku. Dokter yang di rumah sakit itu cuman asisten kesehatanmu.
Orang sekarang itu mulai nggak punya pijakan kebenaran. Di era post-truth ini opini soal kebenaran atau apa saja berceceran di dunia maya. Dan itu semua dikemas dengan sangat meyakinkan. Tanpa perpaduan antara akal dan hati, orang bisa tersesat, bisa termakan hoaks dengan mudah.
Begitu juga soal rokok. Membaca tulisan soal rokok harus dengan hati yang selesai. Lepaskan doktrin soal rokok membunuhmu. Ojok gampang percoyo. Gunakan akal dan hatimu. Bahkan dokter pun sekarang banyak yang "sadar", ternyata rokok pun bisa jadi terapi kesehatan (tanyakan pada Mbah Google).
Saking paranoid-nya pada rokok, bungkus rokok pun dikasih gambar menjijikan, gak sopan blas. Dan tiap hari kita diajari munafik. Kalau "rokok itu membunuhmu" (tertulis di bungkusnya), kenapa kok masih dijual bebas? Berarti negara membiarkan pembunuhan terhadap rakyatnya dong?
Padahal sekarang ini yang paling banyak membunuh itu gula. Penderita diabetes jauh lebih besar dibandingkan penderita paru-paru atau penyakit yang disebabkan rokok.
Perang terhadap rokok benar-benar serius, tapi pabrik rokoknya nggak diperangi. Ya'opo se Doel, anti rokok tapi mau menerima uang pajak dari rokok. Dobolll.
Tapi memang betul sih rokok memang nggak sehat......untuk yang bergaji UMR. Makanya aku nggak ngerokok, gajiku pas-pasan (pas gawe tuku omah, pas gawe munggah kaji...Aamiin). Ojok ngomong sopo-sopo.
-Robbi Gandamana-

Jumat, 06 September 2019

Belajar Kehidupan dari Tulisan Sendiri



Di jaman yang serba instan ini orang bisa jadi apa saja. Kemajuan teknologi begitu dahsyatnya. Ilmu berserakan dimana-mana. Begitu murah dan mudah di dapat. Walau butuh semacam radar untuk memilah-milah mana yang akurat dan mana yang ngawur jaya.
Banyak postingan kesehatan yang ternyata hoax. Dan orang dengan ndlahomnya percaya begitu saja. Coba saja kamu bikin postingan "daun rawe ternyata bagus untuk diabetes" dengan narasi yang meyakinkan. Pasti akan dishare dan setelah itu banyak orang yang makan daun rawe. Tapi tanggung sendiri dosanya, aku gak melok-melok. Gatelen berjamaah.
Sekarang banyak penulis bermunculan di medsos atau situs-situs opini. Jangan dikira kalau sudah nulis itu pasti pinter. Nulis soal agama bukan berarti paham agama. Nulis tentang politik bukan berarti pakar politik. Justru karena menulis itulah mereka jadi banyak membaca. Mencari referensi sebanyak-banyaknya buat amunisi.
Kalau aku nulis soal agama, bukan berarti aku alim atau paham agama. Aku podo karo raimu, ilmu agamaku pas-pasan. Aku banyak belajar soal kehidupan dari tulisanku sendiri. Kadang aku bingung pol kalau membaca tulisanku yang dulu-dulu. Kok iso yo aku nulis koyok ngono iku. Sopo sing ngangslupi aku.
Tapi lumayan, karena nulis aku jadi banyak belajar. Minimal belajar sabar menerima kritikan (pisuhan). Seperti tulisanku kemarin yang ternyata disalahpahami sebagai body shaming. Nggak dipahami secara menyeluruh. Membaca satu atau dua paragraf langsung menyimpulkan.
Membaca jangan sepenggal-sepenggal. Iso kesasar koen. Tapi sakarepmu rek. Walau aku sempat shock juga, seorang teman yang kukira koboi liar ternyata kolot, gak iso dijak guyon bla bla bla.
Makane nuliso rek, cek pinter. Ojok wedi dikiro keminter. Digawe asyik ae, minimal kamu sudah berbuat sesuatu. Persetan dengan like dan komen. Itu urusan terakhir. Walau (menurutku) tulisan yang berhasil itu yang banyak pembacanya (ditanggapi) dan memberi pengaruh positif. Tulisan esai di koran yang paling terkenal pun belum tentu banyak pembacanya.
Kalau ada temanmu yang nggak suka tulisanmu, bukan berarti tulisanmu payah. Bisa jadi dia gengsi mengakui kecerdasanmu yang selama ini dia kira otakmu nggak ada isinya. Orang seperti itu nggak akan pernah komen di tulisanmu, bahkan nge-like pun nggak akan.
Banyak kemungkinannya kenapa mereka gagal paham dengan tulisanmu. Bisa jadi mereka nggak paham sense of humor-mu, nggak satu frekuensi denganmu, atau dasarnya memang ndlahom. Banyak kemungkinannya. Golekono dewe.
Persetan dengan mereka. Terus saja nulis, jangan mundur selangkah pun. Nulis yang lebih nyelekit lagi. Pokoknya bagaimana caranya pengritikmu stress dan bunuh diri. Jarno ae.
Kahlil Gibran yang tulisannya dahsyat  saja masih ada yang ngritik. "Tulisan buruk yang merendahkan penulisnya.., " kata salah satu pengritik. Yang lain lebih parah, "Siapa bisa membayangkan orang ini. Dia itu penyair apa idiot? Tulisannya kekanakan. Tampaknya di jiwanya bersarang bakteri anti-agama." Yang lainnya lagi bilang, "kotor dan murahan.."
Dan aku merasa semua kritikan itu sangat cocok untuk tulisanku. Eh, tapi aku bukan penulis ding, cuma ilustrator. Dan aku lebih senang disebut tukang gambar daripada penulis. Dan nggak berharap pengakuan juga. 
Sakarepmu nganggep aku opo. Juga nggak terobsebsi untuk membukukannya. Boleh juga kalau dibukukan. Tapi itu lebih pada mempigura karya.  Bukan soal laku dijual atau tidak.
Nulis yo nulis ae. Menyebarkan kebaikan dan kegembiraan. Jangan menulis hanya karena ada reward-nya. Jangan rendahkan martabatmu. Reward itu efek samping, bukan yang utama.
Jangan terlalu reseh soal teknis. Iku iso dipikir karo mlaku. Pakailah bahasa yang kamu bisa. Justru tulisan yang kickass itu yang nyeleneh dan itu bisa menembus kaidah yang berlaku. Ojok percoyo karo dosen linguistikmu, redakturmu, opo maneh karo aku. Percayalah kamu lebih hebat dari mereka. Yakin tapi ojok sombong. Sepak ndasmu.
Kalau sudah punya banyak pembaca setia, kognitif itu nggak penting-penting amat. Sing penting atine nyambung. Misuh pun jadi menggembirakan. Dan itu gagal disebut misuh.
Ingat pesan Kahlil Gibran, "Jika makna yang yang kita sampaikan atau keindahan yang kita ungkapkan menuntut kita melanggar aturan, langgar saja. Jika tidak ada kata yang tepat untuk mewakili ide yang kau pikirkan, ciptakan sendiri atau ambil dari mana saja. Jika tata bahasa menghalangi penggunaan ekspresi yang efektif, jangan peduli tata bahasa."
Ada kemauan pasti ada jalan (sok bijak Ndes). Tapi perlu bakat juga sih. Nek bakate angon wedus yo rodok abot. Nek abot yo tumpakno becak. Embuh wis.
Wish ah. Asline tulisan iki untuk menyemangati diriku sendiri. Ojok ngomong sopo-sopo.
-Robbi Gandamana-