Di jaman yang serba instan ini orang bisa jadi apa saja. Kemajuan teknologi begitu dahsyatnya. Ilmu berserakan dimana-mana. Begitu murah dan mudah di dapat. Walau butuh semacam radar untuk memilah-milah mana yang akurat dan mana yang ngawur jaya.
Banyak postingan kesehatan yang ternyata hoax. Dan orang dengan ndlahomnya percaya begitu saja. Coba saja kamu bikin postingan "daun rawe ternyata bagus untuk diabetes" dengan narasi yang meyakinkan. Pasti akan dishare dan setelah itu banyak orang yang makan daun rawe. Tapi tanggung sendiri dosanya, aku gak melok-melok. Gatelen berjamaah.
Sekarang banyak penulis bermunculan di medsos atau situs-situs opini. Jangan dikira kalau sudah nulis itu pasti pinter. Nulis soal agama bukan berarti paham agama. Nulis tentang politik bukan berarti pakar politik. Justru karena menulis itulah mereka jadi banyak membaca. Mencari referensi sebanyak-banyaknya buat amunisi.
Kalau aku nulis soal agama, bukan berarti aku alim atau paham agama. Aku podo karo raimu, ilmu agamaku pas-pasan. Aku banyak belajar soal kehidupan dari tulisanku sendiri. Kadang aku bingung pol kalau membaca tulisanku yang dulu-dulu. Kok iso yo aku nulis koyok ngono iku. Sopo sing ngangslupi aku.
Tapi lumayan, karena nulis aku jadi banyak belajar. Minimal belajar sabar menerima kritikan (pisuhan). Seperti tulisanku kemarin yang ternyata disalahpahami sebagai body shaming. Nggak dipahami secara menyeluruh. Membaca satu atau dua paragraf langsung menyimpulkan.
Membaca jangan sepenggal-sepenggal. Iso kesasar koen. Tapi sakarepmu rek. Walau aku sempat shock juga, seorang teman yang kukira koboi liar ternyata kolot, gak iso dijak guyon bla bla bla.
Makane nuliso rek, cek pinter. Ojok wedi dikiro keminter. Digawe asyik ae, minimal kamu sudah berbuat sesuatu. Persetan dengan like dan komen. Itu urusan terakhir. Walau (menurutku) tulisan yang berhasil itu yang banyak pembacanya (ditanggapi) dan memberi pengaruh positif. Tulisan esai di koran yang paling terkenal pun belum tentu banyak pembacanya.
Kalau ada temanmu yang nggak suka tulisanmu, bukan berarti tulisanmu payah. Bisa jadi dia gengsi mengakui kecerdasanmu yang selama ini dia kira otakmu nggak ada isinya. Orang seperti itu nggak akan pernah komen di tulisanmu, bahkan nge-like pun nggak akan.
Banyak kemungkinannya kenapa mereka gagal paham dengan tulisanmu. Bisa jadi mereka nggak paham sense of humor-mu, nggak satu frekuensi denganmu, atau dasarnya memang ndlahom. Banyak kemungkinannya. Golekono dewe.
Persetan dengan mereka. Terus saja nulis, jangan mundur selangkah pun. Nulis yang lebih nyelekit lagi. Pokoknya bagaimana caranya pengritikmu stress dan bunuh diri. Jarno ae.
Kahlil Gibran yang tulisannya dahsyat saja masih ada yang ngritik. "Tulisan buruk yang merendahkan penulisnya.., " kata salah satu pengritik. Yang lain lebih parah, "Siapa bisa membayangkan orang ini. Dia itu penyair apa idiot? Tulisannya kekanakan. Tampaknya di jiwanya bersarang bakteri anti-agama." Yang lainnya lagi bilang, "kotor dan murahan.."
Dan aku merasa semua kritikan itu sangat cocok untuk tulisanku. Eh, tapi aku bukan penulis ding, cuma ilustrator. Dan aku lebih senang disebut tukang gambar daripada penulis. Dan nggak berharap pengakuan juga.
Sakarepmu nganggep aku opo. Juga nggak terobsebsi untuk membukukannya. Boleh juga kalau dibukukan. Tapi itu lebih pada mempigura karya. Bukan soal laku dijual atau tidak.
Nulis yo nulis ae. Menyebarkan kebaikan dan kegembiraan. Jangan menulis hanya karena ada reward-nya. Jangan rendahkan martabatmu. Reward itu efek samping, bukan yang utama.
Jangan terlalu reseh soal teknis. Iku iso dipikir karo mlaku. Pakailah bahasa yang kamu bisa. Justru tulisan yang kickass itu yang nyeleneh dan itu bisa menembus kaidah yang berlaku. Ojok percoyo karo dosen linguistikmu, redakturmu, opo maneh karo aku. Percayalah kamu lebih hebat dari mereka. Yakin tapi ojok sombong. Sepak ndasmu.
Kalau sudah punya banyak pembaca setia, kognitif itu nggak penting-penting amat. Sing penting atine nyambung. Misuh pun jadi menggembirakan. Dan itu gagal disebut misuh.
Ingat pesan Kahlil Gibran, "Jika makna yang yang kita sampaikan atau keindahan yang kita ungkapkan menuntut kita melanggar aturan, langgar saja. Jika tidak ada kata yang tepat untuk mewakili ide yang kau pikirkan, ciptakan sendiri atau ambil dari mana saja. Jika tata bahasa menghalangi penggunaan ekspresi yang efektif, jangan peduli tata bahasa."
Ada kemauan pasti ada jalan (sok bijak Ndes). Tapi perlu bakat juga sih. Nek bakate angon wedus yo rodok abot. Nek abot yo tumpakno becak. Embuh wis.
Wish ah. Asline tulisan iki untuk menyemangati diriku sendiri. Ojok ngomong sopo-sopo.
-Robbi Gandamana-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar