Kedewasaan seseorang itu bisa dilihat dari sikapnya saat menghadapi orang yang nggak asyik. Misalnya bagaimana dia menjawab komen reseh, misuh, atau apa pun komen yang nylekit di medsos.
Komen di medsos kok diseriusi, kalau berani ya ketemuan di dunia nyata. Kalau sudah kebablasan (nyinggung sara) ya tinggal di-screenshot, viralkan, biar dicyduk aparat.
Debat di medsos itu mubazir. Tiwas ndasmu pecah. Aku gak melok-melok. Apalagi dengan debater tipe kuntilanak (suka tertawa) : "..hahaha...lha kamu nganu hahaha... makanya pakai anumu hahahaha.."
Asli menyebalkan. Padahal di dunia nyata sama sekali nggak tertawa. Malah sebaliknya, ngamuk pol, mukanya merah menyala iso gawe nyumet rokok.
Dia memang sengaja tertawa untuk mendongkrak emosi lawan debatnya. Makane ojok diladeni. Pernah sekali aku ngeladeni orang seperti itu. Akibatnya, seharian aku jadi bad mood, males nggambar. Wasyu ok.
Aku nulis begini nggak ada maksud sok dewasa. Gak rek, aku durung iso dewasa. Sik seneng misuh-misuh. Konon lelaki itu nggak bisa benar-benar dewasa. Tapi minimal berusaha dewasa. Belajar berendah hati dengan perbedaan. Nggak golek menange dewe.
Pesene Simbah, jangan pernah merasa menang di dalam kehidupan. Jangan pernah kecil hati disebut kalah. Menang dan kalah tidak begitu hakikatnya. Kemenangan di dunia itu semu. Dan dalam konteks kehidupan, manusia diciptakan tidak untuk mengalahkan manusia lainnya.
Tentu saja dalam olahraga atau yang lain memang harus ada yang kalah dan menang. Kalau kalah sportif, kalau menang tidak merendahkan. Optimis oke saja, tapi jangan merasa paling hebat. Juga tidak rendah diri. Sak madyo ae.
Debat itu nggak ada yang kalah. Yang ada ngalah. Kalaupun (seolah-olah) menang itu karena kuat ngotot. Nggak ada yang betul-betul benar. Kebenaran itu relatif dan dinamis. Semua tergantung sikon dan kesepakatan. Kebenaran nggak kayak matematika, dua ditambah dua pasti empat. Nggak mungkin lima.
Makane nek mbelani Capres ojok nemen-nemen. Lha wong kebenaran agama saja relatif apalagi politik. Tiwas awakmu mbelani Prabowo sampek kelangan konco karo dulur, ternyata gabung dengan Jokowi. Padahal sudah terlanjur berkoar-koar dimana-mana kalau anti Jokowi. Taek.
Jangan terlalu membela Jokowi, Prabowo atau tokoh yang lain. Orang yang terlalu membela itu sebenarnya sakit secara psikis. Mereka itu bisa dikatakan sudah mati dalam hidupnya. Lha gendeng kok, sudah nggak bisa obyektif lagi. Jagoannya dibela terus, apa pun kelakuannya pasti dijempol.
Mumpung durung kasep, silakan periksakan diri kalian ke psikiater terdekat. Mumpung masih bisa dicover BPJS. Besok-besok mungkin dihapus karena BPJS terancam bangkrut ---Program sedekah kok bangkrut. Iki negoro opo perusahaan---.
Aku mengagumi Cak Nun, tapi ya nggak seratus persen yakin dengan pemikirannya. Cak Nun itu cuman manusia biasa yang bisa salah. Aku nggak mau samina wa attona pada siapa pun kecuali Nabi Muhammad.
Pernah dulu dia guyon saat acara maiyah Kenduri Cinta, "Arek Malang iku malah seneng nyebut dirinya bedes (monyet)." Karena anak Malang bangga menyebut dirinya kera Ngalam, kebalikan dari arek Malang.
Untung videonya nggak diframing dengan judul "Cak Nun Menghina Arek Malang". Arema yang sumbu pendek bisa mencak-mencak. Tapi aku percaya Arema nggak gampang terpancing. Kalau ada yang terpancing iku mesti Arema sing ndlahom.
Padahal kata 'kera' di situ pengucapan huruf 'e'nya sama kayak kata 'kepo'. Jadi bukan kera monyet. Ya'opo se cak.
Wass embuh rek. Ya'opo carane menghindari adu kebenaran. Gak usah eker-ekeran. Urip digawe hepi ae. Nek jarene Freddy Mercury, "Aibon to break free..."
-Robbi Gandamana-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar