Kamis, 21 November 2019

Ketika Orang Alergi pada Sebutan "Budayawan"



Manusia biasa seperti kita ini nggak bisa niru (meneladani) Nabi persis plek. Bisa niru 10 % saja itu sudah dahsyat banget. Kebanyakan cuma bisa niru tongkrongannya saja. Yang sebenarnya nggak harus ditiru--> bergamis,berjenggot dan bercelana cingkrang. Cuma niru kulit luarnya saja. Nggak nyampai isi bla bla bla---silahkan berdebat , aku gak ngurus. Persetan sekte kalian---.
Miskinnya kita karena terpaksa, sedangkan Nabi malah memilih miskin. Beliau berpoligami karena alasan sosial, sedangkan kebanyakan umatnya berpoligami karena asalan biologis. Oala peli pelii.
Pokoke raimu gak mungkin iso niru lah. Bisanya cuman sebisa-bisanya atau semampu-mampunya meniru.
Ojok maneh niru Nabi, aku niru Cak Nun ae gak iso. Isone niru misuhe tok. Ngerti khan nek Cak Nun iku misuhe los. Karena itu strategi Cak Nun biar nggak ditinggikan, diulama-ulamakan, dianggap paling alim. Karena lebih baik dikira bajingan (walau bukan) daripada bergelar Ulama tapi kacau, ilmune cetek dan menyebarkan Islam dengan cara menyakiti hati manusia. Ngafir-ngafirno wong liyo.
Dan justru karena bahasa kampung itulah Cak Nun mendapat tempat di hati rakyat. Wasyik pokoke nek Cak Nun bicara di forum. Ini salah satu contohnya.
"Aku diperintah Alloh jadi orang Jawa. Aku tidak berani melanggar perintah Alloh. Aku bukan orang Arab.  Aku wong Jowo cuk!
Tuhan menciptakan keindahan yang luar biasa. Orang ini dari Bugis, ini Blora, itu Kota Gede,....dikasih kenikmatan (menjadi diri sendiri) kok malah dibuang. Kalau kita disuruh Tuhan jadi orang Jawa, ya kita jadi orang Jawa.
Ingat "lita' arafu" (agar kita saling mengenal). Terus apa yang lita' arafu kalau kita sama semua? Kalau orang Jawa harus jadi Arab, terus untuk saling mengenal apa?
Kita mengapresiasi orang Arab. Kita hormati orang Arab. Bahkan kita ini menyanyikan lagu bernada Arab itu melebihi orang Arab sendiri. Kita itu orang Jawa tapi mau mengucapkan "ya Rasulullah". Kurang apa kita?
Laulaka ya Muhammad..kalau tidak karena engkau wahai Muhammad. Aku tidak mau berbahasa Arab. Tapi karena engkau Rasulullah yang aku cintai, jangankan bahasa Arab, seribu bahasa yang tidak aku sukai menjadi aku cintai. Karena engkau ya Rasulullah...."
Mbois yo ..
Cak Nun rela menjadi manusia ruang. Mau menampung semuanya, sampai tidak ada tempat bagi dirinya sendiri. Semua eksistansinya dibuang. Silahkan mau sebut budayawan, penyair, kyai, sakarepmu wis. Sebutan itu nggak penting. Tuhan juga nggak ngurusi gelar manusia. Yang penting bermanfaat bagi orang lain.
Untung istri Cak Nun, Novia Kolopaking, punya kesabaran luar biasa. Walau nggak tega hati lihat Cak Nun tiap malam selalu bermaiyah menemani rakyat di daerah-daerah. Tapi memang sebelum menikah mereka berjanji untuk tidak akan bertengkar karena dua urusan : seks dan uang. Dua urusan itu memang penting, tapi bukan yang terpenting.
Jangan dipikir Cak Nun tiap malam berkeliling kemana-mana itu dalam rangka cari uang. Cak nun nggak perduli tarif.  Beliau nggak pernah bertransaksi. Beliau nggak tahu berapa dibayar. Memang ada manajemen yang ngurus, tapi Cak Nun minta pada manajemen agar tidak menomorsatukan jumlah uang.
Saat diundang ke luar negeri oleh pelajar atau TKI, beliau nggak mau merepotkan mereka. Pokoknya ada dananya berapa, beliau yang nambahi. Kepada jamaah di sana (pelajar maupun TKI)  beliau memposisikan diri sebagai bapak. Jadi dia nggak mau merepotkan anaknya.
Bahkan beliau malah rugi kalau menurut ilmu bisnis. Tiket pesawatnya terbatas, tapi Cak Nun bawa personel yang jauh melebihi jatah tiket. Itu pun masih ada acara penggalangan dana untuk Palestina, Cak Nun ikut nyumbang yang jumlah nominalnya nggak sedikit.
Kalau soal nggak dibayar, Cak Nun sudah biasa. Pernah jauh-jauh dari luar kota diundang para mahasiswa jadi pembicara di kampus hanya dibayar vandel kenang-kenangan. Padahal pulang pergi pakai duwit pribadi. Mahasiswa kere.
Orang sekarang sudah tidak percaya kesucian (tanpa pamrih). Melakukan kebaikan tanpa minta imbalan pasti dicurigai. Cak Nun keliling daerah ngajak rakyat shalawatan dicurigai, mereka berpikir pasti ada udang dibalik batu. Padahal beliau mendedikasikan hidupnya untuk membesarkan hati rakyat. Agar selalu optimis, bersyukur dan berprasangka baik pada Tuhan.
Karena bahagia itu soal metode jiwa. Bahagia jangan tergantung dengan apa yang ada di luar dirimu. Masio duwik pas-pasan yo iso bahagia. Makan tempe jangan membayangkan ayam goreng. Dapat uang seratus ribu jangan membayangkan satu juta. Disyukuri saja. Asal usaha tetap ditingkatkan.
Aku yo dikit-dikit niru Cak Nun. Sufi tipis-tipis. Mendedikasikan hidupku untuk membahagiakan orang. Dengan cara yang aku bisa. Nggambar atau nulis. Ya'opo carane nulis seasyik mungkin. Aku seneng, sing moco gak spaneng. Persetan reward.
Nek ono sing komentar, "koen gak kesel ta nulis dowone sak mene iki.." Itu ciri-ciri orang yang nggak percaya kesucian. Tipikal orang yang masuk pegawai negeri dengan nyogok. Nggak percaya di zaman ini ada orang yang menulis atau melakukan apa pun secara cuma-cuma, hanya untuk membahagiakan orang (semoga).
Aku wis gak tau posting hal-hal yang berpotensi membuat orang berduka. Saat anakku opname di rumah sakit tidak aku posting. Bahkan saat bapakku meninggal pun tidak aku posting. Dukaku adalah dukaku, bahagiaku semoga jadi bahagiamu.
Saat momen hepi-hepi pun tidak selalu aku posting. Karena dunia itu penuh konflik. Kita bahagia, tapi orang di luar sana ternyata ada yang iri. Wadoh.
Semakin ke sini aku semakin nggak perduli dibayar atau tidak. Gak ngurus. Dibayar Alhamdulilah, gak dibayar yo Innalillahi.
Aku sudah jarang mempromosikan gambarku, walau hampir tiap hari nggambar. Tuhan maha tanggung jawab. Selama kamu ubet, jujur dan kerjanya bener, pasti dapat uang. Makanya jangan niat cari uang. Niatnya kerja. Kalau niatnya cari uang, nggak dapat uang bisa jadi maling.
Manusia derajatnya lebih tinggi dari uang bla bla bla..wis tau tak bahas, males nulis maneh.
Semua tulisanku (status) di fesbuk kutulis ulang di Kompasiana. Karena hanya di Kompasiana aku berjaya. Nggak tahu kenapa. Pokoke asyik ae. Tapi link di Kompasiana nggak bakalan aku posting di fesbuk. Karena segmen pembacaku kaum kere yang ngirit paket data. Nggak mungkin dibukak. Alaa raimu.
Dari apa yang aku paparkan di atas, Cak Nun ini layak untuk didengar pituturnya. Layak dijadikan rujukan, bahan perenungan (lambemu). Cak Nun itu bukan Wali bahkan Nabi, hanya manusia biasa yang memberi alternatif cara hidup yang asyik. Agar hidup menjadi lebih ringan.
Ingat rumusnya : "Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk."
Cak Nun bukan ulama, tapi kwalitasnya lebih dari ulama. Aku lebih suka dan percaya dengan orang yang membuang jauh-jauh gelar-gelar agama daripada mereka yang bangga dengan gelar ulamanya. Dengan gelarnya itu, mereka mendapat akses untuk menghimpun umat yang bisa digerakan, dibaiat demi kepentingan golongan atau pribadi.
Cak Nun itu nasab keilmuannya jelas, tapi sori nggak aku bahas sekarang (aku gak apal jenenge mbah-mbahe). Tapi mau nasabnya jelas atau tidak  selama pituturnya masuk akal dan membuat hidupmu lebih baik, kenapa tidak. Jangan alergi dengan istilah "budayawan", "seniman", "penyair". Budayawan itu cuman sebutan, hakikat beliau lebih dari itu. Menurutku dia adalah sufi.
Ada anak gemblung yang komentar pekok ketika Cak Nun ceramah agama, "jangan dengarkan omongannya, dia cuman budayawan..bukan ulama."
Cak nun itu manusia yang sudah selesai dengan urusan dunia. Nggak ngurusi tarif. Nggak perduli dengan jabatan, gelar, pangkat, wedokan. Kalau mau, Cak Nun bisa berpoligami. Tapi buat apa. Istri satu saja nggak bisa tuntas. Karena waktunya tersita untuk ngurusi rakyat. Jam ngantornya jam 9 malam sampai jam 3 pagi, hampir tiap hari. Sakit pun tetap berangkat. Bagi orang seperti Cak Nun, sakit itu anugerah, sama seperti sehat. Ya'opo ngono iku.
Ada dulu ada seorang motivator yang digelari sufi oleh masyarakat hanya karena muatan bahasa yang dipakai sangat dalam dan menyentuh hati. Tapi mereka nggak sadar kalau si motivator ini tiap kali tampil selalu pasang tarif yang tinggi. Sekali nyangkem 125 juta bersih. Iku gak sufi rek, tapi bussinesman. Sufi kok pasang tarif. Sufi mblendes.
Ketoke wis kedawan rek...wis sakmene ae. Sesuk disambung maneh.
-Robbi Gandamana-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar