Minggu, 01 Desember 2019

Merindukan Zaman di Mana Kaki dan Tangan Digunakan Secara Orisinil



Kemajuan teknologi memang membuat orang manja. Ada orang yang ngamuk saat pesawatnya delay setengah jam, padahal dulu dia naik kapal laut yang bisa sehari semalam sampai ke tempat tujuan. Dan saat sampai di tempatnya langsung lemes. Karena mabuk laut parah.
Zaman dulu saat aku kuliah seni rupa, bikin pamflet  itu nggambarnya pakai kuas, spidol, dan cat poster di atas keras. Kalau nggak di-acc dosen, nggambar lagi diulang dari awal. Swemprul banget. Beda jauh di zaman milenial yang semuanya dikerjakan pakai komputer. Kalau salah tinggal edit.
Teknologi itu sebenarnya angker banget kalau dipikir secara manual (lugu). Kita nulis di henpon dan kita kirim ke orang lain yang jauh di luar kota. Dalam hitungan detik tulisan itu kok bisa nyampai ke orang yang kita tuju. Iku sopo sing ngirim. Kok yo gelem. Terus tulisan iku mlayune liwat endi. Kok bisa nyampai dengan cepat. Seolah-olah henpon itu ada jinnya.
Dulu cuman "say hello" ke teman yang di luar kota saja pakai surat yang tiga hari baru nyampai. Setelah nyampai, menunggu balasannya selama tiga hari lagi. Sabar pol. Hidup dengan cara yang sangat lambat.
Masio metalhead aku yo tau surat-suratan Mblung. Tapi aku nyesel melakukan itu. Bukan karena suratnya tapi karena yang dikirimi surat (cewek) nggak bisa nahan cangkem, cerita kemana-mana. Apalagi suratnya konyol, bukan surat cinta tapi suratnya banyak gambar tengkorak khas anak metal. Akhire aku diisin-isin karo arek-arek. Cok.
Bagi dia mungkin itu hal yang biasa. Tapi bagiku cukup bikin mati gaya. Tiap orang punya standar malu yang berbeda. Orang Eropa bertelanjang dada di pantai itu biasa. Bagi orang Timur itu malu luar biasa.
Tapi aku dapat pelajaran penting dari kejadian itu--> jangan pernah membully teman. Salah satu hal yang tidak mudah dilupakan adalah saat dipermalukan. Seumur hidup akan ingat terus. Walaupun sudah memaafkan, sing uwis yo uwis, tapi nek eling yo tetep misuh. Cok maneh. Ya'opo iki. Ampuni hambamu ya Alloh.
Yo wis lah, off the record. Ojok ngomong sopo-sopo.
Ngomong soal teknologi, generasi lawas iku tangguh sekaligus melas. Tangguh kerena serba manual. Melas karena terbatas.
Dulu saat awal-awal henpon baru keluar, harga pulsa cukup bajingan, mahal sekali. Tapi anehnya, laris manis. Kalau telpon ngomongnya super singkat, tanpa basa basi karena ngirit pulsa, "Halo..wasweswuswosss..nganu yo..weswuswos..sip (langsung matikan telpon)." Nggak cuman buruh yang begitu, bossnya juga sama. Ngirit kabeh.
Harga nomer perdana seharga emas. Bersyukurlah kalau sekarang pulsa murah, wifi gratisan ada dimana-mana. Sebentar lagi pulsa akan gratis.
Sekarang ini kebanyakan orang tidak menggunakan tangan dan kakinya secara orisinil seperti burung yang menggunakan sayapnya untuk terbang. Semua pakai mesin. Mau apa-apa tinggal pencet. Kemana-mana tinggal ngegas dan ngerem.
Makanya sekarang  banyak orang yang kena serangan jantung atau stroke. Karena kurang gerak dan nggak hobi olahraga. Olahraganya dalam bentuk game di henpon atau kompi.
Walau dimanjakan teknologi, kadang-kadang kita rindu melakukan sesuatu yang tradisional. Sekali waktu kita ingin merasakan jalan kaki atau naik sepeda ontel ke tempat yang agak jauh. Atau hal lain yang bisa dibilang kuno.
Kalau soal jalan kaki, aku wis qatam. Dulu saat masih sekolah, 90% kemana-mana jalan kaki. Anehnya, aku bisa bahagia dengan itu. Sekarang jalan kaki dari stasiun Tugu ke pasar Beringharjo Jogja saja sudah meratapi nasib. Mengutuk pemerintah. Menyalahkan Jokowi. Wadoh :)
Konon orang yang sering jalan kaki itu jiwanya lebih kaya. Karena dalam jalan kaki ada proses menghayati, mendalami, merenungi. Kalau naik kendaraan tidak bisa seperti itu. Harus fokus menjalankan mesin. Kalau merenung sedikit bisa nubruk bak truk.
Konon juga pejalan kaki itu perasaane landep, rasa sosialnya tinggi. Karena terbiasa sengsara dan sering melihat (merasakan) kesengsaraan hidup orang miskin dengan dekat. Kalau naik kendaraan melihatnya sambil lalu.
Dulu beberapa kali di jalan dipertemukan dengan para musafir kere yang kehabisan uang.  Mereka curhat sambil mewek minta kemurahan hati (uang). Ketika uangku habis kuberikan, gantian aku sing mewek. Ya Alloh, kok yo dipertemukan karo aku sing duwike pas-pasan. Ngerti nek aku gak isoan. Woalaa kere ketemu kere = kere bersatu.
Eh sik sik..iki sakjane mbahas opo se?
Embuh wis gak ngurus. Ini cuman contoh tulisan Nggedabrus. Jenis prosa baru dari generasi medsos.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar