Rabu, 11 Desember 2019

Simbol Agama Itu Beban

sumber gambar | pepnews.com


Bangga dengan agama yang dianut itu sip. Ke mana-mana menunjukan simbol agamanya. Misalnya memakai kaos atau topi bertuliskan kalimat tauhid. Tapi bagiku pakai simbol agama itu beban. Karena harus menjaga nama baik simbol yang kamu pakai.
Banyak di medsos yang foto profilnya pakai topi bertuliskan "Lailahaillallah" atau simbol sejenis, tapi komennya nyelekit dan menyakitkan hati saat menanggapi postingan orang yang nggak sepaham. Gak mecing blas.
Jangankan pakai simbol agama, aku pakai kaos bergambar Cak Nun saja beban kok. Pernah saat di dalam kereta api yang penumpangnya berjubel-jubel. Di depanku ada seorang ibu berdiri menggendong bayinya karena nggak dapat tempat duduk. Aku bak Ksatria Baja Ringan langsung ngasih tempat dudukku ke dia, "Monggo bulik."
Saat itu aku jadi kayak pemeran protagonis di sinetron "Kere yang Tertukar". Swemprul.
Tapi itu kulakukan bukan karena aku baik, tapi karena aku pakai kaos Cak Nun. Nama baik Cak Nun dipertaruhkan. Juga nama maiyah. Kalau aku nggak ngasih tempat duduk, takutnya ada yang kecewa, "Anak buahe Cak Nun nggateli, onok wong meteng kok meneng ae. Maiyah cap peli."
Aku masih punya satu kaos Cak Nun (sing takok sopo). Gambarnya karyaku sendiri (cie ciee). Dulu sering kupakai kemana-mana, disamping kaos warna hitam favorit. Tapi sekarang sudah nggak lagi. Bukan karena sudah rusak, tapi karena beban. Cak Nun wong alim, sedangkan aku bajingan. Gak mecing, distorsi sekali. Akhire tak simpen ae. Cukup untuk koleksi saja.
Untung Nabi Muhammad nggak ada fotonya. Kalau ada, bisa-bisa dijadikan kaos. Dijual berdampingan dengan kaos Bob Marley. Ke mana-mana pakai kaos tersebut. Bahkan pas ngeden nang toilet. Wadoh.
Btw, dulu sempat booming kaos bergambar Cak Nun. Embuh saiki sik payu opo ora. Gambarku sempat dibajak distro-distro kere yang awam soal hak cipta. Ada yang dengan rileksnya posting (promosi) kaos bergambar karyaku di fesbuk. Padahal aku ada di daftar pertemanan dia. Walhasil aku jadi tahu. Dasar pembajak ndlahom.
Ketika kutegur dianya nggak nanggepi, eh malah ngilang. Embuh sik urip opo ora areke. Mugi-mugi jembaro kubure. Aku se ikhlas ae, sing uwis yo uwis. Tapi ojok dibaleni maneh. Sepak ndasmu..huwehehehe guyon mas.
Kembali ke soal simbol agama.
Aku menjauhi simbol-simbol agama bukan karena minder dengan agamaku. Tapi karena tahu diri.
Cak Nun pernah cerita saat di Suriname, negara yang banyak dari warganya keturunan Jawa.  Ceritanya Cak Nun tanya pada salah seorang dari mereka, "Opo kowe isih Islam? " Yang ditanya pun menjawab serius, "Ojo! Islam kuwi apik, aku ojo Islam. "
Maksudnya dia nggak Islam karena nggak mau merusak citra baik agama Islam karena dia merasa masih belum benar tabiatnya.
Dia adalah contoh orang yang biso rumongso. Bisa jadi dia adalah muslim, hanya saja dia nggak ingin keIslamannya mendapat pengakuan dari orang lain. Cukup Tuhan saja yang tahu.
Kira-kira aku ingin seperti itu. Cukup Tuhan saja yang tahu dengan pasti aku Islam atau tidak. Biarlah agama jadi urusan dapur, nggak perlu dipajang di ruang tamu. Yang penting saat ada tamu datang disambut dengan baik.
Simbol Islam itu banyak jenisnya. Bisa jadi jilbab masuk kategori sebagai simbol Islam. Berani berjilbab, harusnya berani menjaga nama baik jilbab. Kalau mau berbuat hal yang tak senonoh selalu ingat jilbabnya. "Wadoh iyo, aku jilbaban. Gak sido maling rantang wis.. "
Makanya aku nggak pernah memaksa anak istriku berjilbab kalau belum mantep hatinya. Aku hanya tegas kalau soal shalat dan rukun Islam yang lain. Kalau soal jilbab, aku cocok dengan pehamamannya Quraisy Shihab, Gus Dur atau Cak Nun. Beliau-beliau ini tidak pernah memaksa anaknya berjilbab. Soal kenapanya, tanya angsung ke orangnya. Nek aku sing jelasno engkok malah keliru. Pendangkalan aqidah.
Berjilbab harusnya karena Allah, bukan karena disuruh bapaknya atau sungkan dengan lainnya yang pada berjilbab.  Apalagi tugasnya manusia itu cuman mengajak atau mengingatkan, tidak memaksa atau memerintah. Hidayah seratus persen kuasa Allah.
Dan Tuhan bingung kalau kamu berjilbab karena sungkan sama bapakmu, "Karepe opo arek iki..luwih sungkan karo bapake timbangane aku. Asem."
Soal jilbab itu hukumnya wajib atau embuh, aku gak eruh. Kalau tahu pun aku juga nggak akan membahasnya. Bukan kapasitasku membahas soal itu. Tanyakan pada ustadzmu masing-masing. Nggolek enake tok ae koen iku. Kesel nulise Ndes.
Kesimpulannya, bangga itu harusnya pada akhlakmu, bukan karena simbol agamamu. Catet.
-Robbi Gandamana-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar