Selasa, 31 Desember 2019

Menulis karena Omongan tidak Digubris



Di medsos itu gampang banget dapat predikat "cerdas" selama tulisan-tulisanmu sering di-share banyak orang. Itu yang aku takutkan dari dulu --> dianggap cerdas, mumpuni, pakar. Padahal aku nulis itu untuk menutupi kebodohanku (ojok ngomong sopo-sopo yo).
Aku cuman tahu sedikit tentang sedikit hal. Bukan orang yang tahu banyak tentang banyak hal. Kalau tulisanku di-share banyak orang itu karena  faktor X. Aku nggak pernah tahu kenapa bisa begitu. Aku selalu bingung membaca tulisanku yang dulu-dulu. Kok iso aku nulis koyok ngono iku, entah apa yang merasukiku.
Medsos itu aneh. Yang asli cerdas malah diabaikan. Aku sering membaca tulisan dari seorang yang pakar di bidang yang ditulisnya, tapi kok ndilalah nggak ada yang nge-share. Yang ngelike pun cuman keluarganya. Gak payu. Lha wong tulisane"anyep". Bahasa yang dipakai mirip dengan buku panduan ibu menyusui. Formal banget.
Tapi sebenarnya aku nulis itu karena kalau ngomong sering tidak digubris. Karena di Endonesyah tercintah ini omongan tidak didengarkan kalau dia belum jadi orang hebat. Beda dengan negara-negara mapan yang menghargai pendapat orang. Semua omongan didengarkan untuk mengetahui orang itu hebat atau tidak.
Di sini kalau bukan ahli di bidangnya nggak akan didengarkan. Pernah saat pul kumpul sesama kere elit di angkringan, aku ngomong soal tumbuhan yang bisa berinteraksi dengan sesama tumbuhan, langsung ditertawakan, "alaa raimu.."
Memang terlihat konyol kalau kita ngomong soal tumbuhan tapi kita bukan ahli botani.  Walaupun sebenarnya nggak salah, sudah ada penelitian soal itu. Bahwa tumbuhan itu bisa berinteraksi, tapi tidak bisa berekspresi seperti manusia. Dan tumbuhan akan lebih banyak berbunga atau berbuah bila sering disapa atau dielus-elus. Iki serius rek, masio rodok gendeng.
Bagaimanapun juga menyampaikan gagasan lewat tulisan itu lebih asyik. Kalau lewat omongan biasanya ada yang menyela atau interupsi. Kaet mangap wis dipotong, " koen iku gak eruh opo-opo..menengo."
Banyak orang seperti itu. Inginnya hanya omongannya yang didengar, omongan orang lain gak dianggep. Menyebalkan ngobrol bersama orang jenis ini, yang selalu berusaha mendominasi pembicaraan. Yang lain dianggap gemblung.
Tapi menulis juga tidak selalu dibaca. Nggak masalah. Yang penting puas bisa mengeluarkan unek-unek. Tidak semua orang bisa mendapatkan "kemewahan" seperti itu. Banyak orang yang ngomong nggak dianggep, mau nulis tapi gak iso nulis. Iso nulis tapi ganok sing moco. Wasyuok.
Bagiku menulis di medsos atau situs opini itu bukan soal benar atau salah. Selama tidak menyinggung sara. Kalau memang salah ya monggo dikoreksi. Lebih baik jangan komen yang meremehkan kayak "ngoceh opo se iki..", "iki opo se.." .
Nek gak bakat komen asyik mending ojok komen. Aku sudah unfriend beberapa orang yang sukanya komennya seperti itu. Dijarno-jarno kok suwe-suwe dadi langganan. Langsung unfriend. Jarno ae, teman di medsos itu kebanyakan cuman virtual, nggak benar-benar teman, gak iso diutangi. Walau ada yang jadi teman beneran sih.
Menulis itu juga seni. Dan tulisan yang indah itu tidak selalu ditulis dengan menggunakan ejaan yang disempurnakan (EYD). Pakai bahasa alay pun bisa indah. Asal bukan bahasa rumput. Tulisan yang terlalu taat EYD itu cuman membuatku ngantuk. Kayak membaca makalah zaman kuliah dulu. Tahu khan, menyebalkan.
Omong kosong soal "menulis yang benar" yang diajarkan di kampus itu masih saja membuatku neg. Aku memang nggak waras. Setidaknya aku sudah melewati masa-masa konyol itu. Bikin makalah yang hampir seratus persen nyontek dari makalah mahasiswa lama. Aku nggak bangga sama sekali.
Menulis di medsos atau situs opini memang bukan hal yang keren. Tapi setidaknya aku melakukan sesuatu yang positif. Jangan remehkan tulisan. Kurasa nggak berlebihan kalau tulisan yang inspiratif bisa saja mengubah dunia.
Aku ingat pertama kali tulisanku di-share jutaan orang ketika menulis pemikiran Cak Nun "Surga Itu Nggak Penting". Di-copy paste dimana-mana dengan nama penulis yang bukan aku. Ada yang tercerahkan, ada pula yang tersesat, dan banyak juga yang marah. Sampai-sampai judulnya kuganti.
Orang yang marah itu yang cara berpikirnya lurus-lurus saja. "Surga Nggak penting"  itu cuman ungkapan orang dengan level keikhlasannya yang tinggi. Ibadahnya hanya terfokus pada Tuhan. Surga dan neraka itu bias bagi mereka. Surganya tetap penting. Maksudnya kalau yang diinginkan hanya Tuhan dan mendapatkanNya, otomatis dapat surga.
Tulisanku yang lain yang cukup menggegerkan dunia adalah "Gantungkan Cita-citamu Setinggi PNS". Ribuan orang mengelu-ngelukan aku. Tapi sejuta lainnya  misuh berjamaah. Mereka-mereka yang tidak berjiwa besar menerima perbedaan. Aku pun kapok menulis seperti ini.
Saiki ya'opo carane nulis opini yang membuat semuanya hepi. Walau itu nggak mungkin. Hidup yang hanya sejengkal ini sayang kalau dibiarkan berlalu begitu saja. Dan aku menulis tidak untuk tujuan popularitas (fuck populer). Aku hanya mencoba mengisi hidupku seasyik mungkin. Entah itu nulis, gambar atau apa saja.  
Ya begitulah. Gagasanku memang sinting secara intelek. Tapi kalau nggak begitu itu bukan aku. Aku bukan rektor. Bukan pula kepala sekolah.
Jadi sekarang kalau omonganmu tidak dianggap penting, tuangkan saja lewat tulisan. Tunjukan pada orang-orang  kalau kamu bukan makhluk menyedihkan yang pernah diciptakan Tuhan.
-Robbi Gandamana-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar