Senin, 16 Desember 2019

Antara Nadiem dan Anak Kampung

sumber gambar : strategi.id

Aku bukan Jokower (juga Prabower), tapi harus kuakui bahwa menteri pilihan Jokowi memang cadas. Dulu ada Susi Pudjiastuti yang terkenal dengan jargon "tenggelamkan!" Sekarang ada Erick Thohir yang mengosek bersih BUMN dan memasang Ahok sebagai komisaris utama Pertamina. Sip wis, apik Hir!
Para pejabat bedebah nggak bisa tidur tenang lagi. Perlahan tapi pasti akan ketahuan bajingannya. Mungkin akan bernasib sama kayak Ari Askhara, dirut Garuda yang lengser keprabon setelah ketahuan ngutil motor Harley Davidson dan pit onthel Brompton.
Di dunia pendidikan ada Nadiem Makarim yang merombak total sistem pendidikan yang sudah usang dengan kebijakan yang diistilahkan dengan "merdeka belajar". Bagaimana caranya proses belajar bisa membahagiakan guru dan siswa. Sesuai dengan konsep Taman Siswa yang dicanangkan oleh Ki Hadjar Dewantara, mbahe arek-arek.
Belajar itu harus bahagia. Yak opo carane kudu bahagia. Jadi kalau kamu belajar di sekolah tapi tidak membuatmu bahagia, yo muliho ae. Tapi merdeka belajar itu bukan kayak anak yang males belajar di sekolah, akhirnya belajar di mall. Yo gak ngono. Pokoke ojok sampek budal seger mulih rembes.
Yang pasti prestasi seseorang tidak lagi diukur dari nilai ujian nasional. Karena ujian nasional memang tidak menyentuh nilai karakter dan kemampuan kognitif siswa. Negeri ini nggak butuh siswa yang pinter menghafal.
Ojok salah paham. Ujian tetap ada, tapi bukan ujian nasional. Namanya orang belajar harus melewati ujian. Kalau mau hebat yang harus mau diuji. Untuk lebih jelasnya tanyakan ke Nadiem, aku gak eruh.
Tapi aku nggak ngurus rek. Monggo saja menggunakan kurikulum atau sistem apa saja. Sakarepmu Diem. Kurikulum atau sistem apapun tidak mesti bagus atau jelek. Semua tergantung pada orang-orangnya juga.
Kalau aku sih inginnya kurikulum yang membuat siswa bangga jadi masyarakat negara agraris. Bukan kurikulum yang melanggengkan hedonisme. Bukan kurikulum yang ingin menjadikan kita kayak negara China, Singapura, Jerman, Korsel, dan negara mapan lainnya.
Kita adalah kita, bukan mereka. Kita adalah negara agraris, bukan negara industri. Apesnya kita lebih bangga jadi masyarakat industri daripada masyarakat agraris. Profesi petani sudah nggak laku. Petani bukan profesi yang keren dan membanggakan. Semua ingin jadi pengusaha dan atau pegawai negeri.
Virus industrialisasi telah meracuni kota-kota rasa desa atau desa yang sok kota. Banyak sawah yang dijadikan destinasi wisata. Dibangun wahana hiburan. Ladang yang harusnya ditanami tanaman produktif malah ditanami bunga-bunga dari plastik. Dijadikan tempat selfie (eco park) yang istagramable.
Tanah Jawa yang sangat subur ini mulai berkurang lahan tanamnya. Karena orang lebih suka membangun wahana wisata, ruko, perumahan, hotel atau mall. Tidak ada regenerasi petani. Karena jadi petani nggak keren dan labanya kecil. Petani itu rembes, kotor dan mambu. Nggak kiyut kayak bintang pilem Korea.
Teringat pitutur Mbah KH Maimun Zubar yang bilang kalau salah satu tanda-tanda kiamat adalah jika petani nggak mau bertani karena untungnya kecil. Dan itu sedang terjadi sekarang. Persiapan kiamat rek.
Sekarang ini banyak orang yang sok kota dan malu disebut anak kampung. Seolah-olah kampung adalah tempat orang rendahan. Ledekan "kampungan!" jadi ledekan yang merendahkan.
Di negeri ini petani tidak diapresiasi sebagaimana mestinya. Tidak dianggap pahlawan sebagaimana orang menganggap guru sebagai pahlawan tanpa tanda terima. Hari Tani Nasional pun tidak semeriah Hari Guru. Padahal kontribusi petani pada negara juga nggak kalah sama guru. Nggak ada petani, gak mbadok koen Ndes.
Pokoknya aku ingin sebuah kurikulum yang membuat kita bangga pada negeri ini, tidak lupa asal-usul atau siapa kita. Aku nggak tahu bentuk kurikulumnya kayak apa. Aku nggak mau mikir, karena sudah ada yang dibayar negara untuk mikir itu.
Aku memang lulusan IKIP, tapi saat mengikuti mata kuliah soal silabus, kurikulum dan tetek bengek dunia pendidikan perutku langsung mules. Aku anak Seni Rupa, aku hanya ingin nggambar saja.
Well, kita memang payah dalam hal antri, kebersihan, dan banyak lagi. Tapi itu semua karena negara gagal ngasih kesejahteraan pada rakyatnya. Makanya pikiran orang Indonesia itu simpel, nggak berpikir jauh ke depan, pokoknya bagaimana caranya besok bisa makan.
Mereka sangat tahu kalau menebang pohon itu menyebabkan longsor dan bencana yang lain. Tapi perut lapar nggak bisa diajak kompromi.
Di sini orang ngerampok karena memang miskin. Beda dengan perampok di negara-negara besar yang nganggur saja digaji. Di sana membunuh karena ingin eksis atau psikopat. Di sini membunuh karena survive (kere) atau harga diri.
Jadi jangan berpikir linear, kalau negara-negara di luar sana makmur, banyak mall, gedung mentereng, terus kita ikut-ikutan atau mengcopy-paste sistem mereka. Kita punya gaya dan cara sendiri. Kita bukan Amrik, kita bukan Jerman, kita bukan Yunani, kita Indonesia.
Di Barat anak yang semasa kecilnya dididik dengan keras akan jadi psikopat atau pembunuh berantai. Di sini enggak. Tanyakan pada orang-orang tua yang sudah jadi "orang". Bagaimana masa kecil mereka dididik keras, digebuk sabuk, dipukul pakai gagang sapu. Itu tidak membuat mereka trauma, bahkan malah tambah hormat pada orang tua.
Jadi jangan percaya begitu saja dengan ilmu psikologi dari Barat. Kita punya ketahanan dan gen yang berbeda dengan mereka.
Jangan percaya kalau negara kita nggak maju. Maju opo rek. Memangnya ukuran maju itu dilihat dari banyaknya gedung mentereng. Sejak dulu di negeri kita pembangunanya lebih pada membangun manusianya daripada membangun materi dunia. Asline peradaban kita lebih tua dan maju. Mereka junior kita. Ojok kuwalik. Kita merasa tertinggal karena terjangkit virus materialisme.
Embuh wis, panjang kalau diteruskan.
Hidup Petani!
-Robbi Gandamana-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar