Minggu, 19 Maret 2017

Antara Poligami dan Ustadz Ngacengan

Inilah Zaman Kalatida, zaman yang serba membingungkan. Orang jahat dan orang baik sulit ditebak. Ada orang yang tampangnya medeni bocah, mulutnya kasar tapi baik hati. Ada yang kelihatan alim, sopan bertutur, ngajinya fasih, tapi diam-diam mencuri rantang.
Kemarin ada berita seorang Ustadz yang top sering masuk tipi, wajahnya innocent tapi ternyata poligami diam-diam (selingkuh). Oala, ternyata ngacengan juga. Subhanalloh.
Kok ya berani menggadaikan agama dan nama baiknya demi sekerat empal gondrong. Karena Secara tidak langsung dia telah mencopot gelar Ustadz dari dirinya. Itu hukuman moral yang pantas dan harus diterima.
Kalau seorang Profesor melakukan tindakan cabul, dia tetap bergelar profesor. Karena gelar akademis tidak ada hubungannya dengan moral (walau sebenarnya ada, tapi tidak linear). Tapi kalau Ulama, Ustadz atau Kyai berbuat cabul, mereka harus menanggalkan gelarnya. Karena mereka adalah contoh teladan bagi umat.
Maka aneh, kalau ada Ustadz yang terbukti berbuat cabul tapi masih tetap eksis bertausyiah dan jamaahnya tetap setia mengikutinya. Ustadznya yang tak tahu diri atau umatnya yang cinta buta.
Dakwah yang sebenarnya itu tindakan nyata. Ngasih teladan yang baik, nggak cuman ceramah doang. Saya menghormati pilihan seorang Ustadz atau siapa pun untuk berpoligami. Itu urusan mereka dengan keyakinannya. Ini soal madzhab. Tapi cara berpoligaminya itu yang nggak fair. Poligami kok menyakiti hati istrinya (wanita).
Bicara soal poligami memang membuat perdebatan panjang tanpa ujung. Selalu ada yang pro dan kontra. Karena itu soal keyakinan, madzhab. Saya sendiri tidak pro poligami. Siji ae wis ampun-ampun, cukuuupp Mbrot.
Semua lelaki normal pasti lah ingin memiliki lebih dari satu wanita. Karena jantan memang dikodratkan tidak cukup satu betina. Tapi sayangnya kita ini manusia, bukan hewan. Hewan tidak pakai hukum atau aturan. Nggak masalah jika sang jantan kawin dengan seratus betina.
Kamu bukan wedus khan Mbrot?
Fungsi agama itu mengendalikan, tidak melampiaskan. Itulah kenapa orang beragama menyebut dunia adalah penjara. Oke, merdeka dan berdaulat itu harus. Tapi merdeka itu adalah jalan untuk mencari batasan. Kalau manusia tidak tahu batasannya, maka ia menjadi binatang.
Semua ada hukum dan atau aturannya. Begitu juga dengan poligami. Ayat yang dipakai adalah surat Annisa ayat 3 : "Nikahilah wanita-wanita yang kalian senangi, dua atau tiga atau empat. Bila kalian takut tidak bisa berbuat adil, maka nikahilah satu wanita saja."
Tapi ayat tersebut di atas bukanlah ayat hukum ----Tidak semua ayat di Al Qur'an adalah bahasa hukum----. Kalau bahasa hukum itu tegas, bunyinya akan seperti ini, "Seorang pria dibolehkan menikah lebih dari satu wanita atau maksimal empat wanita."
Jadi surat Annisa ayat 3 itu sebenarnya mengajak kita berpikir, benarkah manusia bisa adil? Tidak Mbrot, manusia bisanya berbuat adil sebisa-bisanya. Allah berfirman : "Sesungguhnya manusia tidak akan pernah bisa berbuat adil."
Jadi sebenarnya ayat soal poligami tadi menganjurkan untuk bermonogami, cukup satu istri saja. Poligami berat, jika tidak mendesak betul sebaiknya tidak dilakukan. Karena sebenarnya manusia tidak bisa adil. Tuhan sendiri yang bilang kalau manusia tidak bisa berbuat adil. Tuhan tidak plin plan!
Kalau ada manusia yang berpoligami tanpa alasan yang mendesak, sesungguhnya dia sombong pada Tuhan, "Tenang Tuhan, aku bisa adil kok."
Ojok nggaya koen, merasa kalau poligamimu itu dalam rangka mengikuti jejak Rasul. Jangan salah, Rasullullah berpoligami karena alasan yang mendesak, alasan sosial, menyelamatkan para janda sahabat beliau yang gugur dalam pertempuran, agar tidak dijadikan tawanan (budak seks) oleh pihak musuh dan membantu memelihara anak-anaknya.
Poligami Rasulullah juga bertujuan menyatukan (merukunkan) kabilah-kabilah yang sering bertikai. Dan masih ada alasan lain yang memang mendesak. Yang jelas Rasul berpoligami tidak untuk tujuan biologis, tidak untuk memuaskan hawa nafsu.
Rasulullah adalah pria yang setia. Menikah saat berumur 25 tahun dengan janda Siti Khadijah yang berumur 40 tahun. Di zaman itu (sampai sekarang) mempunyai banyak istri merupakan kebanggaan bagi lelaki Arab, tapi Nabi tidak melakukan hal tersebut. Dia tetap setia mendampingi Khadijah selama 25 tahun ( Khadijah wafat umur 65 tahun) dan sempat menduda selama 4 tahun.
Jelaslah bahwa Nabi berpoligami karena alasan sosial. Sedangkan banyak Ustadz sekarang yang berpoligami urusannya biologis, ngacengan. Nabi berpoligami karena perintah Tuhan, sedang mereka berpoligami karena perintah hawa nafsu.
Jadi kalau mau poligami, carilah janda-janda yang beranak banyak. Hidupi mereka. Konyol kalau poligami, berdalih mengikuti Rasulullah tapi yang dijadikan istri kedua itu gadis muda kinyis-kinyis, sexy, susune gede..wadawww, nek ngono aku yo gelem rekkk.
Oalaa, ampun bossss.
Ya begitulah nggedabrus saya kali ini, saya cukupkan segini saja. Membahas poligami bakalan bisa jadi berjilid-jilid buku, menghabiskan berember-ember kopi. Ingat, saya tidak anti atau benci orang yang berpoligami. Cuman kalau memang ngacengan, berpoligamilah yang fair. Jangan pernah menyakiti hati wanita. Wanita bukan ungkal yang hanya dipakai saat mengasah pedangmu.
Sebagai penutup, saya ceritakan kisah nyata yang lumayan bisa jadi bahan renungan. Cerita tentang Tuan Guru (kyai) di Bima yang istrinya sakit-sakitan. Si istri rela dan mempersilahkan Tuan Guru untuk mencari istri baru karena dia sudah tak sanggup memenuhi kewajibannya sebagai istri. Dengan serius Tuan Guru menolak berpoligami yang ditawarkan istrinya, "Aku mau membuktikan bahwa kamu tidak salah memilih aku jadi suamimu..."
(C) Robbi Gandamana, 18 Maret 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar