Saya nggak bilang rakyat Indonesia goblok lho ya, mereka hanya sedang goblok. Di negeri ini, nyaris tidak ada orang goblok. Rata-rata orangnya cerdik. Kelihatannya goblok tapi pinter ngakali. Apa saja bisa diakali. Apa sih yang nggak diakali di negeri ini?
Begini pakde bude,
Sejak Pilpres 2014 sampai Pilkada sekarang, banyak orang jadi ndlahom karena mabuk politik dan atau mabuk agama. Analisa ngawur, statement ngawur, berita (posting) ngawur penuh hate speech bertebaran di dunia maya. Tapi setelah terbukti postingannya ngawur, cepat-cepat dihapus atau mewek- mewek minta maaf saat analisa ngawurnya disomasi.
Orang begitu nyantai dan rileks menyebarkan berita (kebencian) yang tidak jelas juntrungannya. Berita yang menyudutkan seorang Cagub yang dibencinya. Padahal berita itu hoax (fitnah). Berita tersebut menyebar cepat bagai air kencing di got yang sulit dilacak karena bercampur air comberan yang warna, wujud dan baunya sama.
Memang, medsos adalah comberan. Banyak jenis 'sampah' dibuang ke sana. Fitnah, tipu-tipu, kampanye hitam, campur aduk dengan kalimat motivasi paklek Maryono. Para penjahat politik menggunakan medsos sebagai perpanjangan congor untuk mencuci otak manusia lugu bin ndlahom seperti saya.
Ketika manusia terobsesi pada kekuasaan, maka segala cara pun dilakukan. Yang sebenarnya lawan, jadi kawan. Kemarin musuh, sekarang bersatu. Ayam memaksakan diri jadi wedus. Jadinya ayam berbulu wedus. Termasuk suku bangsa apa itu?
Subhanalloh.
Karena fanatisme buta pada partai dan atau agama, banyak orang kehilangan kejernihan dalam berpikir . Mereka rela menggadaikan hidupnya untuk kepentingan partai politik atau Paslon Cagub pilihannya. Mereka lupa, ada yang lebih puenting dari semua itu. Penting mana sih DKI Jakarta hancur atau keluargamu, nama baikmu, hubungan persaudaraanmu yang hancur????
Perjuangan memang butuh pengorbanan. Tapi ingat skala prioritas. Orang yang kamu bela tidak akan bisa menyambungkan lagi hubungan persaudaraanmu yang rusak atau mengembalikan nama baikmu atau keluargamu yang remuk jaya. Jadi, berhati-hatilah menyikapi Pilkada, Pilgub atau Pilpres. Ojok ngawur!
Salah satu contoh ngawur lagi adalah ocehan seorang kader Partai Dakwah yang memakai istilah Pahlawan Kafir untuk menyebut pahlawan non muslim. Ya'opo se rek, pahlawan kok kafir. Pahlawan ya pahlawan, kafir ya kafir. Pahlawan adalah orang yang berani berkorban membela kebenaran. Sedang kafir adalah orang yang menutupi kebenaran.
Menurutku Pahlawan Kafir hanya cocok disematkan pada orang seperti Abu Jahal, Abu Lahab yang membela kaum kafir Qurais memerangi Rasulullah dan pengikutnya.
Istilah 'Pahlawan Kafir' jelas melecehkan Pahlawan Nasional. Karena mereka (pahlawan yang beragama non muslim) telah berjuang mengorbankan jiwa raga untuk negeri ini, tidak hanya untuk muslim saja. Jadi jangan pernah sekali-sekali menyebut mereka Pahlawan Kafir.
Pengertian kata 'kafir' dan siapa saja yang disebut kafir itu memang ada ayatnya di Al Qur'an. Tapi itu untuk pemahaman dan bekal kita dalam beragama. Tidak untuk dituding-tudingkan ke orang lain. Karena itu menyakitkan hati manusia. Kata ada 'aurat'nya juga. Kita tidak boleh sembarangan menggunakannya di sembarang orang dan tempat.
Itu lah yang banyak terjadi pada Orang Alim Baru, fanatisme yang wagu. Berkembang pesat di segi syariat teknisnya saja, tapi logikanya payah. Semakin banyak orang jilbaban, masjid banyak dibangun, pengajian ada dimana-mana, teknologi semakin maju, pengetahuan agama mudah diakses di internet, tapi kelakuan umatnya tidak berbanding lurus dengan segala riuh kegiatan keagamaan tadi.
Gara-gara pilihan Cagupnya beda, dicap munafik. Padahal ada madzhab yang membolehkan memilih Cagub non muslim. Karena memang cuma memilih gubernur (petinggi administrasi wilyah propinsi) nggak milih imam agama. Jadi kalau ada yang menuding munafik, itu berarti dia sombong dengan madzhabnya atau sektenya.
Konyolnya lagi, yang milih Cagub non muslim diancam tidak akan disholati jenazahnya. Sopo ustadz sing ngajari ngono iku rek. Itu pasti ajaran ustadz yang ilmunya hanya dari Al Qur'an terjemahan Depag.
Ada benarnya kalau Gus Mus ingin Al Qur'an tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Mungkin Gus Mus ngasih shock terapy saja, agar orang tidak sembarangan mengajarkan Al Qur'an. Karena banyak orang yang ngaku-ngaku ustadz padahal modalnya cuman hapal terjemahan Al Qur'an versi Depag.
Bahasa Arab dan Indonesia itu tulangnya berbeda. Al Qur'an penuh dengan bahasa sastra yang tinggi. Hanya orang yang paham bahasa, sastra dan sejarah Arab, yang bisa memahami Al Qur'an. Ada banyak ayat yang tidak boleh dipahami apa adanya. Ada latar belakang sejarah, alasan dibalik turunnya ayat yang tidak dijabarkan secara lengkap di terjemahan Depag. Dan yang pasti tidak semua ayat di Al Qur'an itu bahasa Hukum.
Kembali ke soal goblok.
Ada lagi kemarin yang termasuk ngawur--> seorang hater mengungkit-ngungkit cerita masa lalu salah satu Cagub saat masih kuliah dulu. Ya'opo se rek, aib masa lalu (kelakuan buruk) saat masih kuliah kok dibukak-bukak.
Track record seorang pemimpin memang penting untuk dijadikan parameter seorang pemimpin yang oke. Publik juga boleh dan berhak men-screening calon pemimpinnya. Tapi ya nggak lebay, aib zaman kuliah kok diurusi. Rentang waktunya terlalu jauh. Baru sipss kalau mempermasalahkan kelakuan buruk atau segala sesuatu yang berhubungan dengan indisipliner Cagub saat masih menjabat jadi pejabat negara.Tapi yang jelas Panwaslu tentunya nggak goblok dalam menentukan layak tidaknya seseorang jadi Cagub.
Oalaaa.
Zaman dulu Nabi mencari kebaikan pada diri seseorang dan didoakan masuk surga, eh zaman sekarang orang yang sudah baik dicari-cari keburukannya. Keburukan tersebut dibuka-buka di muka umum dan didoakan masuk neraka. Benjuuttt.
Well, sebenarnya masih buanyak kegoblokan-kegoblokan lain, efek dari Pilkada paling stress dalam sejarah negeri ini. Tapi cukup segini saja, karena kalian pasti capek bacanya. Dan aku juga males nulisnya. Presisikan otak anda, pasti bakal banyak menemukan kegoblokan yang lain.
Jadi kesimpulane, biasa ae rek. Silahkan berpolitik, membela, memperjuangkan pilihan politikmu. Tapi Jangan lebay, terobsesi. Karena itu bisa bikin otak nggak jernih, ngawur, guoblok, ndas pecah. Saat pilihan Cagubmu kalah, kamu bakalan nggak bisa move on. Tiap hari isinya uring-uringan. Apa pun yang diperbuat oleh Gubernur (yang bukan pilihanmu) dan segala kebijakannya selalu salah di matamu! Ndeso boleh, goblok jangan.
Wis ah, anda boleh tersinggung.
(c) Robbi Gandamana, 11 Maret 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar