Dari jaman Neolitikum sampai Millenium, di negeri ini belum punya konsep yang pas bagaimana baiknya konten buku pendidikan seks untuk anak.
Buku "Aku Berani Tidur Sendiri" yang baru saja diluncurkan oleh penerbit TS pun kandas di tengah jalan. Padahal dalam proses pembuatannya sudah konsultasi pada dokter dan psikolog. Tapi tetap saja, masyarakat masih ndlahom bin plonga plongo pola pikirnya.
Dulu di tahun 1989 juga ada buku pendidikan seks untuk anak judulnya"Adik Baru". Buku ini nasibnya nggak jauh beda dengan "Aku Berani Tidur Sendiri" (ABTS), sama-sama lengser keprabon.
Buku ABTS seolah-olah porno karena dibaca sepenggal. Penggalan tadi di blow up di medsos. Gegerlah dunia perkentuan. Apalagi pola pikir masyarakat kita masih kolot, sempit, kagetan, nggak paham konteks dan sering keseleo otak alias berpikir tidak pada koordinat yang pas. Walhasil buku ABTS pun harus balik kucing, ditarik dari peredaran.
Membaca buku pendidikan seks itu harus dibaca dari awal sampai akhir. Jangan kayak nonton film bokep, dilihat hanya pas adegan tumpak-tumpakan tok.
Buku pendidikan seks beda dengan majalah porno. Namanya juga pendidikan seks, yang dibahas pastilah seputar kelamin, perilaku seksual, pengendalian diri dan resiko dari perilaku seksual yang menyimpang. Tentu saja diksi disesuaikan dengan segment pembacanya. Jika cuman bicara seks dan mengeksploitasi bodi wanita atau pria telanjang, itu majalah porno.
Ibarat seorang Ustadz, nggak cuma bercerita soal indahnya surga, tapi juga ngerinya siksa neraka. Sebaliknya jangan cuma ngajak berbuat baik, tapi kasih tahu nikmat dan manfaatnya berbuat baik.
Bagiku konyol kalau buku itu dilarang, mengingat buku itu sudah dikonsultasikan ke dokter dan psikolog, pihak yang berkompeten di bidangnya. Pelajaran Agama dan Biologi memang ada bahasan soal seks. Tapi tidak semua dibahas oleh guru, karena keterbatasan waktu dan keterbatasan ilmu si guru. Ada beberapa aspek yang tidak mampu dibahas oleh guru-guru tadi.
Susah kalau berhadapan dengan manusia kolot plus nggak paham konteks. Dulu Ibnu Sina (seorang pakar kedokteran muslim) dimusyrik-musyrikan ketika mempelajari anatomi wanita. Beliau dianggap mengeksploitasi tubuh wanita yang bukan muhrimnya.
Towengwengwengggg.
Ya'opo se rek, mempelajari ilmu kedokteran ya memang begitu, wajib tahu detail anatomi manusia. Konyolnya, mereka memusyrik-musyrikan Ibnu Sina, tapi ngamuk saat ilmunya diklaim oleh ilmuwan Barat. Sudah kolot, goblok pula.
Di zaman sekarang pun kebodohan seperti itu masih banyak terjadi. Ketika seorang wanita hamil, suaminya tidak mau kalau dokter yang memeriksa kandungan atau membantu kelahiran istrinya seorang pria. Dipikire doktere ngaceng nonton 'gua garba' bojone. Padahal banyak wanita yang saat akan melahirkan belum sempat mandi. Howeeek, ambune, gilo rek!
Kalau nggak bermental baja, dokter kandungan bisa stress karena tekanan batin. Saking seringnya nonton vagina wanita, bisa jadi membuatnya kurang greng saat lihat punya istrinya.
Sekarang dunia kedokteran sudah sangat modern. Nggak cuma pria yang jadi dokter, wanita pun banyak. Jadi jangan heran kalau ada dokter wanita (berjilbab pula) yang mengautopsi mayat. Nggak cuman mengautopsi mayat wanita, tapi juga pria. Tentu saja mayat yang diautopsi telanjang bulat, ketok peline gondal gandul.
Buku panduan menyusui bagi ibu muda pun digambarkan dengan vulgar, gambar susu beserta pentilnya. Dan itu bukan pornografi. Kalau menurutmu porno, itu karena pikiranmu tidak pada koordinat yang pas.
Seorang mahasiswa senirupa jurusan nggambar pun dituntut tahu anatomi luar manusia. Karena untuk menggambar gesture tubuh, harus paham dulu anatomi. Maka jangan kaget kalau mahasiswa seni rupa murni modelnya wanita telanjang saat kuliah gambar. Dan itu bukan urusan seks. Pikiranmu kentu tok ae.
Jadi, Jangan gegabah menilai dulu sebelum jelas persoalannya. Sebelum menvonis vulgar atau porno, dipahami, ditelusuri dulu, untuk kepentingan apa suatu produk dibuat. Karena untuk tujuan ilmu pengetahuan, mempelajari seks atau organ tubuh manusia bukanlah pornografi. Dan itu bukan sekulerisme.
Jadi ingat Tuan Guru (Kyai) di Bima yang memperbolehkan santrinya berinternet di jam-jam tertentu, agar santrinya mengenal dunia luas. Banyak kalangan (kolot) yang memprotesnya, mereka takut santrinya akan mengakses situs porno.
Tentu saja Tuan Guru tidak menanggapi pemikiran kolot itu, beliau cuma bilang, "Kalau anda berpikir seperti itu, berarti anda juga begitu!" Artinya, omongan seseorang itu menunjukan dirinya. Jadi mereka yang nggak setuju santri berinternet itu sebenarnya mengakses situs porno saat berinternet.
Itu lah yang terjadi pada kebanyakan kita, lebih takut dampaknya daripada manfaatnya. Lebih fokus pada kemungkinan terburuk daripada berprasangka baik. Akhirnya awet goblok (koyok aku).
Kalau cara berpikir kita masih keseleo dan sukanya berprasangka buruk, nanti jadi kayak cerita Abu Nawas di bawah ini.
Suatu hari Abu Nawas ditangkap dan selanjutnya diadili. Di persidangan Abu Nawas bingung, karena merasa tidak melakukan tindakan kriminal.
Abu Nawas : "Pak Hakim, kenapa saya ditangkap?"
Hakim : "Karena kamu bawa parang kemana-mana, dikuatirkan bisa membunuh orang."
Abu Nawas : "Kalau begitu bapak Hakim juga saya tangkap!"
Hakim : "Memangnya saya salah apa??"
Abu Nawas : "Karena pak Hakim bawa kemaluan kemana-mana, dikhawatirkan bisa memperkosa wanita."
Hakim : "Cangkemmu!!!"
****
Masyarakat kita memang suka nggaya, seolah-olah alim. Buku pendidikan seks dikatain cabul, padahal kalau internetan diam-diam mampir ke situs porno. Bergaya malaikat tapi diam-diam jadi iblis.
Buku Pendidikan Seks Untuk Anak bisa penting bisa tidak. Itu tergantung pada kecerdasan masing-masing orang. Tapi yang jelas, nggak ada orang tua yang bisa jujur menjawab pertanyaan anak seputar seks. Saat anak bertanya asal asul dirinya, jawaban ortu pasti ngawur, "Mbiyen awakmu metu tekan kene lho le..(sambil menunjuk ketiak)."
Dan buku ABTS dibuat untuk mengatasi kesulitan menjawab pertanyaan semacam itu. Disamping juga mengajarkan anak untuk berani tidur sendiri, menjelaskan kepada anak tentang pentingnya melindungi diri dari orang yang berniat jahat. Membekali anak bagaimana cara melindungi diri dari ancaman penyakit dan kejahatan seksual.
Sayangnya masyarakat kita lebih menangkap aspek pornonya daripada aspek pendidikannya.
Tapi, tiap keluarga punya cara yang berbeda dalam menangani hal semacam itu dan tiap anak mempunyai karakter dan masalah yang berbeda pula. Kalau anda tidak membutuhkan buku itu atau kalau menurut anda itu porno, ya jangan beli bukunya. Apalagi sampai memposting sepenggal dan memprovokasi orang lain untuk ikutan nge-judge porno. Malah ketok ndesomu.
Gitu aja kok repot!
Jadi kesimpulannya, bukan buku pendidikan seksnya yang porno tapi cara anda memperlakukan buku tersebutlah yang membuat buku itu jadi porno. Juga jangan membaca informasi hanya sepenggal, harus utuh. Dan yang penting buka pikiran, luaskan pergaulan, biar nggak kolot, ndeso! Bagiku itu cuman masalah sepele yang dibesar-besarkan, paling juga soal persaingan dagang, wis tauuu.
(c) Robbi Gandamana, 28 Februari 2017
*Sori saya tidak dibayar untuk menulis ini dan saya tidak ada hubungan apa pun dengan penerbit TS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar