Minggu, 12 Februari 2017

Hanya Tuhan yang Pantas Memberi Gelar 'Kafir' pada Manusia


Tulisannya ini masih ada hubungan dengan tulisan saya yang kemarin, lihat di sini. Tapi kalau anda males baca tulisan sebelumnya, no problem, nggak penting kok. Langsung yang ini saja...
****
'Kafir' adalah kata yang populer akhir-akhir ini. Begitu entengnya kata itu terucap dari cangkem yang mengaku muslim, bahkan ngeklaim sebagai pembela Islam. Siapa pun yang tidak sejalan ideologi atau dengan pilihan Cagubnya akan diteriaki "Kafir!", "Munafik!"
Muslim itu menentramkan, kalau membuat sakit hati orang, berarti dia gagal jadi seorang muslim, muslim gagal.
Pembela Islam itu juga aneh, seolah-olah Islam itu lemah sehingga butuh dibela. Kalau kamu menjadi muslim, beragama Islam, maka Allah lah yang akan menyelamatkanmu, bukan kamu yang menyelamatkan Islam. Jadi, jangan ge er kamu membela Islam.
Seringnya kata 'kafir' dipakai untuk sebutan bagi non muslim. Sekarang, banyak anak kecil yang memahami kafir itu adalah non muslim. Parahnya ada meyakini kalau non muslim itu halal darahnya (boleh dibunuh), karena dianggap kafir. Gemblung!
Kalau non muslim itu kafir, berarti semua umat manusia sebelum Nabi Muhammad adalah kafir dong??
Agama Islam sendiri lahir setelah Nabi Muhammad diangkat sebagai Rasul (umur 40 tahun). Jadi sebelum itu semua manusia tidak ada yang beragama Islam. Bahkan Orang tua Rasul pun otomatis tidak beragama Islam (Rasulullah yatim piatu sejak kecil). Terus apakah ortunya Rasulullah kafir? Tentu saja tidak.
Kemarin sempat ada yang tidak terima karena saya menyebut ortunya Rasulullah tidak beragama Islam (muslim). Lha wong jelas agama Islam itu ada setelah Nabi Muhammad diangkat jadi Rasul kok. Sebelum itu belum ada agama Islam. Ya'opo se rek, logika sederhana seperti itu saja nggak mampu.
Rasul sendiri diperintah untuk mengajak pada kebaikan, tidak melaknat keburukan. Karena beliau menyadari bahwa kejahatan memang dihakikatkan ada. Harus ada negatif sebagai penyeimbang positif. Kalau kehidupan ini isinya orang berbuat baik saja, Tuhan tidak bisa menjalankan sifat yang disandangnya : Maha Pengampun.
Maka, Tuhan menciptakan Iblis.
Iblis adalah mantan malaikat senior yang paling cerdas. Dia ditugaskan jadi sparing partner-nya manusia dalam melatih iman. Dengan bantuan iblis, Tuhan bisa tahu mana manusia yang imannya joss gandoss dan mana yang ancur minah.
Karena memang cerdas, perkataan Iblis sudah terbukti kebenarannya : manusia itu kerjaannya merusak bumi dan bunuh membunuh antar manusia.
Hanya iblis yang mau dijadikan tokoh antagonis. Jadi sebenarnya Iblis mahkluk yang 'taqwa'. Dia rela jadi ikon keburukan dan rela dikutuk-kutuk oleh manusia. Jadi penyeimbang kehidupan, karena sebelum ada iblis kehidupan ini isinya cuman positif. Maka harus ada negartif.
Iblis bukan musuhnya Tuhan, tapi musuhnya manusia. Iblis tidak punya pilihan, pilihannya hanya berbuat buruk, lucu kalau Iblis tobat jadi alim.
Jadi sebenarnnya tidak bisa orang bilang, "Si Anu tuntas tass memberantas pelacuran." Woiiii. sampai kiamat pun perlontean tidak akan pernah tuntasss. Lokalisasi memang sudah lenyap, tapi PSK-nya terus bergerilya di bawah tanah atau lewat dunia maya. Selalu ada cara dan jalan, nggak akan pernah tuntas. (pernah baca buku "Jakarta Under Cover" nggak?").
Perangi saja kemaskyiatan sekuat dan semampumu, masalah tuntas atau tidak nggak masalah. Yang penting kita sudah berusaha. Yang dinilai Tuhan itu usahanya, bukan hasilnya. Kalau belum bisa memerangi kemaksyiatan, minimal tidak ikut menambah kemungkaran. Dan yang terpenting jangan pernah bermain sebagai Tuhan, menuding orang sebagai kafir.
Sekarang malah nggak cukup 'Kafir' saja, tapi ada tambahan 'PKI'nya, "PKI kafir!". Dipikirnya kalau PKI itu pasti kafir. Padahal komunis bukan berarti ateis. Ateis pun tidak berarti kafir. Ateis tidak mengakui Tuhan, kafir mengakui Tuhan tapi diingkari.
Jangan kaget kalau ada petinggi PKI yang jebolan pondok pesantren, bahkan anak Kyai. Karena komunisme (awalnya Sosialisme) datang untuk melawan kapitalisme. Melawan kaum borjuis, pemodal, pengusaha (kapitalis) yang menindas kaum buruh.
--Komunisme : paham yang menolak kepemilikan pribadi, semua milik bersama.---
Jadi sebenarnya Islam itu lebih dekat dengan komunisme daripada kapitalisme. Maka no problem kalau komunisme jadi ideologi pribadi. Yang dilarang itu partai politik yang berideologi komunisme (PKI), bukan komunisme-nya. Tapi saya yakin PKI tidak akan bangkit lagi, karena Pancasila sudah terbukti sakti!
Kalau ada yang mengatakan bahwa PKI bakal bangkit lagi itu ilusi, Paranoid! Ideologi ini sudah nggak laku lagi dijual.
Setiap gerakan yang menggulingkan pemerintah pasti lah akan membunuh jika dihalangi. Begitu pula dengan PKI, DI/TII atau yang lain. Jadi bukan karena komunismenya. Karena sebenarnya semua ideologi itu damai. Yang jelas PKI dan DI/TII itu sama-sama bahayanya.
Kembali ke soal kafir.
Kata 'kafir' jadi sangat populer sejak Pilpres kemarin, dimana Jokowi yang nyapres terpaksa menyerahkan jabatannya pada walikota non muslim, FX Rudy di Solo dan gubernur Basuki di Jakarta. Akibatnya kaum pengapling surga murka karena menolak pemimpin non muslim. Akhirnya menuduh Jokowi anteknya kafir dan sempat diisukan keturunan PKI.
Kata 'kafir' bagi saya itu kasar banget, dua puluh kali lipat lebih kasar dari 'jancok'. Karena kafir itu serendah-rendahnya manusia. Yang membuat 'jancok' lebih kasar itu karena doktrin orang tua yang tertanam di pikiran kita sejak kecil dan kesepakatan moral yang ada di lingkungan kita.
Sekarang para pengapling surga dan simpatisannya berusaha mati-matian untuk menjegal Basuki dengan segala cara, Basuki harus ditendang! Hanya karena bukan seorang muslim.
Padahal jelas Pilkada itu memilih gubernur bukan imam atau pemimpin agama. Ibarat sebuah bengkel motor, Jakarta butuh mekanik bukan tukang ngaji. Maka pilihlah yang mampu, cakap membenahi bukan cuma cakap menghafal ayat dan dalil ayat suci.
Jadi, mari kita dewasakan diri. Hargai perbedaan (pilihan). Jangan pernah melaknat orang lain dengan sebutan kafir, munafik, dajjal, laknatulloh, jahannam, karena itu menyakiti hati manusia. Biar Tuhan saja yang memberi gelar-gelar itu.
Wis ah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar