Jumat, 24 Februari 2017

Arab Masuk Desa


Ada sebuah status nggak cerdas di wall temannya teman saya---> "Nggak apa-apa aku terlihat keArab-Araban, daripada terlihat keliberal-liberalan....#Islam asli."
Oalaa, dipikirnya Islam yang asli itu yang bergamis, berserban dan bercingkrang, pokoknya busana Arab lah. Padahal sebelum Muhammad SAW diangkat jadi Rasul, orang Arab ya seperti itu.
Islam asli itu tidak di penampilannya, tapi di akhlaknya. Bahasa Arab bukan Islam yang sebenarnya. Bahasa itu cuman alat untuk menghantarkan Islam, bukan Islam itu sendiri. Karena kebetulan Islam diturunkan di Arab, maka Al Qur'an pakai bahasa Arab. Kalau diturunkan di Jawa, pasti pakai bahasa Jawa.
Jadi, jangan percaya kalau bahasa Arab adalah bahasa surga. Tuhan tidak rasis!
Nabi diturunkan di Arab bukan karena bangsa Arab lebih hebat dari bangsa lain, tapi karena saat itu akhlak bangsa Arab benjut jaya, jahiliyah parah. Karena sejatinya Nabi diturunkan untuk meluruskan akhlak manusia.
Seseorang disebut liberal tidak serta merta bisa dilihat dari bajunya. Islam itu bisa liberal (membebaskan) pada saat tertentu, bisa juga kolot di saat tertentu juga. Yang tidak boleh itu liberalisme.
Islam itu suatu tujuan yang menyelamatkan, bukan institusi, bukan kasunyatan, bukan identitas, bukan soal kostum. Islam diturunkan di Arab, bukan diturunkan oleh orang Arab. Jadi bukan produk Arab. Islam itu bukan Muhammadisme (ajaran Muhammad), tapi ajaran Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW.
Rasulullah bergamis karena menghormati dan menghargai budaya Arab. Beliau orang Arab, lahir dan besar di Arab. Kalau Nabi diturunkan di Jawa, beliau pasti pakai jarik plus blangkon.
No problem kalau bergamis karena kecintaannya pada Rasul. Jadi, ingin tongkrongannya kayak Rasul. Yang jadi masalah ketika itu dijadikan syariat wajib dan sinis pada siapa pun yang tak sepaham dengan itu.
Masih banyak pesantren yang mengajarkan pada santrinya, bahwa Islam yang kaffah (total) itu yang bergamis, beserban, bercingkrang dan berjenggot. Jadi jangan kaget kalau di pelosok desa, anda temui ada orang yang meng-Arab-kan diri, padahal dia pribumi asli. Dulu ada istilah ABRI Masuk Desa, kalau sekarang Arab Masuk Desa.
"Celana di bawah mata kaki dibakar di neraka" itu hadist yang bicara soal kesombongan. Idiom bagi orang sombong di Arab di zaman itu. Saat itu kain mahal, jadi harus ngirit kain. Kalau sampai celana menutupi mata kaki itu boros dan sombong bagi orang Arab di zaman itu. Jadi ayat itu sebenarnya berbunyi : "Orang sombong dibakar di neraka."
Dan yang pasti, Tuhan tidak perduli dengan model celana. Silakan pakai celana cutbray, begi atau yang lain. Kostum itu budaya, syariatnya menutupi aurat. Pantas atau tidak pantas suatu pakaian itu tergantung kesepakatan (lingkungan), trend dan selera si pemakai.
Celana orang Nusantara jadul juga cingkrang. Disamping karena saat itu kain mahal, juga praktis dipakai untuk ke sawah, ngarit, angon wedus dan menggarap ladang. Jadi bagi saya celana cingkrang itu mubah. Karena itu bukan syariat. Syariatnya menutupi aurat dan bersih dari najis.
Ayat suci jangan cuman dibaca dan dihapal. Pahami dimana, bagaimana dan alasan ayat itu turun. Jangan berhenti pada teks, tapi carilah ada apa dibalik teks.
Busana atau kain itu tidak ada agamanya. Terserah pakai pakaian model apa, asal sesuai syariat, melindungi badan, nyaman dipakai, bersih (suci dari najis) dan pantas dipandang .
Jadi, konyol kalau busana jins dianggap busana kafir. Padahal jins Itu fashion abad masa kini, sedangkan gamis itu fashion abad 7 masehi. Hidup tidak berjalan mundur. Teknologi terus berkembang. Jangan terjebak masa lalu. Tidak ada larangannya menggunakan produk non muslim (kafir, kata mereka) selama itu baik dan bermanfaat.
Kalau alasan penolakan jins karena itu menyerupai suatu kaum (kafir), lalu bagaimana dengan kostum Rasul yang sama dengan Abu Lahab (kafir). Mereka juga sama-sama berjenggot. Kulitnya pun sama-sama putih kemerah-merahan. Cuman gamis Abu Lahab lebih kinclong dibandingkan punya Rasul dan Abu Lahab suka nuding-nuding orang serta main fitnah.
---Berarti yang gamisnya lebih kinclong dan suka menuding-nuding orang, itu lebih mirip siapa????---
Jadi nggak usah gegabah menyimpulkan, berpikir sempit dan sepenggal. Harus dipahami sejarahnya, konteksnya, asal-usul turunnya ayat, dan banyak lagi, mumet! Itu urusannya ahli tafsir. Bisa kita cuman mencari manfaat dari pergaulan kita dengan kitab suci. Yang penting setelah membaca kitab suci, kita jadi lebih beriman, lebih baik jadi manusia. Soal paham atau enggak, itu urusan ke sekian.
Rajin membaca kitab suci tapi malah jadi suka memusuhi dan menuding-nuding "kafir!" orang lain, berarti gagal dalam memahami agama.
****
Banyak orang yang lari dari dirinya, nggak menerima diri apa adanya, inferior, merasa nggak yakin dengan dirinya. Ingin jadi seperti bintang Korea, ingin jadi seperti Kurt Cobain, Superman, Gundala, Gogon.
Karena itu lah saya nggak mau jadi seperti Nabi. Disamping nggak mau inferior, itu juga mengingkari jati diri. Tuhan sengaja membuat manusia berbeda-beda suku, ras dan agama. Kalau dilahirkan di Jawa, berarti diperintah jadi orang Jawa. Jadi, jadilah orang jawa, lapo dadi wong Arab.
Menurutku, kalau kita meniru Nabi (secara budaya), Itu adalah pengkhianatan pada jati diri, karena kita diperintah jadi orang Nusantara. Nabi tidak ingin kita mengikuti model pakaiannya, tapi diperintah meniru akhlaknya.
Rasulullah itu manusia jenis berlian, sedang kita cuman kerikil. Paling banter yo akik, itu pun belum dipoles. Kita paling hanya bisa meniru seperempat persen dari apa yang dicontohkan Rasul. Nggak ada yang bisa meniru Rasul walau cuma lima puluh persen. Kita bisanya hanya meniru Rasul sebisa-bisanya.
Coba saja kalau kita meniru cara dagangnya Rasul yang super jujur : "Saya kulakannya segini, silakan anda ngasih laba berapa." Bisa remuk jaya kita dikadali pembeli kalau pakai cara dagang seperti itu. Poligaminya Rasul pun berbeda dengan poligami umatnya. Nabi berpoligami karena alasan sosial, sedangkan kita berpoligami karena alasan biologis, ngacengan!
Meneladani Rasul itu harus, tapi kalau ngefan jangan. Ngefan itu cinta buta. Seseorang yang ngefan akan melakukan apa pun agar persis seperti pujaannya, walaupun itu tidak ada syariatnya. Rasul menyukai kucing, ikut-ikutan suka kucing. Rasul suka warna hijau, ikut-ikutan suka warna hijau. Rasul nggak suka gambar (makhluk bernyawa), ikutan benci gambar. Akhirnya nggak jadi diri sendiri, gagal identitas.
Ada memang beberapa hadits yang menyinggung pelarangan menggambar mahkluk bernyawa. Yang menyebutkan bahwa siksaan yang paling pedih di neraka adalah tukang gambar. Di neraka mereka dipaksa meniupkan ruh pada karya gambarnya.
Tuhan itu Maha Perupa dan manusia adalah pengenjawantahan dari diri Tuhan, kok manusia tidak boleh menggambar. Menggambar atau melukis itu bukan untuk menandingi Tuhan, tapi itu salah satu bentuk ekpresi atas kekaguman manusia pada keindahan ciptaan Tuhan. Dengan kata lain menggambar itu cuman kendaraan. Bisa jadi sarana menambah kecintaan kita pada Allah atau malah melupakanNya.
Jadi bukan menggambarnya yang dilarang, tapi apa dan untuk apa kita menggambar. Semua tergantung niat, konsep dan tujuannya.
Oke, kembali ke soal kostum.
Kalau jadi Jawa seutuhnya bukan berarti terus harus pakai jarik dan blangkon. Yo gak ngono rek. Tiap generasi punya trend fashionnya sendiri. Pakaian adat hanya cocok dipakai saat ritual atau event budaya. Kalau saya yang seorang buruh pabrik ini pakai jarik, ya salah kostum. Bagi saya busana seperti itu nggak nyaman untuk kerja.
Ini jangan diartikan saya anti Arab. Aku nggak anti Arab atau anti gamis. ­ Jangan suka gegabah menyimpulkan. Repot kalau nggak suka gamis dicap anti Arab. Mengkritisi ulama dicap anti Islam. Membela non muslim dituduh memusuhi Islam, padahal membela manusianya, bukan agamanya.
Saya tidak sedang menghina budaya Arab atau menyuruh orang untuk tidak pakai gamis. Bukan itu poinnya. Hakmu untuk menentukan kostum apa yang kamu suka.Tapi, mari belajar cerdas menguraikan, mana budaya, mana agama, mana Arab, mana Islam.
Sunan Kalijaga adalah contoh terbaik ulama yang meneladani Rasul. Beliau memakai busana asli Jawa seperti Rasul yang memakai busana asli Arab (gamis). Rasul bergamis karena cinta pada budaya asli negerinya. Baju gamis bukanlah sebuah syariat atau perintah Allah, tapi budaya Arab.
Intinya, Jangan ingkari jati dirimu, kalau jadi orang Nusantara jangan jadi Arab atau Barat. Tuhan menciptakan dirimu adalah dirimu, bukan orang lain. Kalau orang Jawa tapi jadi Arab atau Barat, itu adalah bentuk 'pengkhianatan' terhadap jati diri. Kalau ditakdirkan jadi ayam, jangan jadi bebek.
Wis ah, matur nuwun.
(c) Robbi Gandamana, 21 Februari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar