Rabu, 12 April 2017

Pilkada is My Ass!


Bangsa ini belum bisa dewasa. Gampang sekali diprovokasi dan diadudomba. Kupikir setelah Pilpres selesai rakyat Indonesia akan kembali rukun, eh ternyata malah tambah ruwet.
Bangsa Indonesia saat ini kayak rumput kering yang gampang terbakar. Ada api di mata mereka. Fanatisme buta lah yang membuat mereka sangat sensitif, gampang ngamuk, raine burek.
Begitu gampangnya menyimpulkan sesuatu. Ketika melihat foto cewek menunjukan tanda 2 jari, langsung dicap Ahoker, karena identik dengan Ahok. Padahal itu tanda 'piss', cinta damai. Foto itu dibuat jauh sebelum Pilkada DKI dan orang yang difoto tadi bukan warga DKI.
Dendam simpatisan yang jagoannya kalah dalam Pilpres tahun lalu, rupanya berlanjut ke Pilkada DKI. Salah satunya karena ada Cagub yang non muslim plus keturunan China.
Gara-gara Pilkada DKI, terbukalah lebar kedok atau sifat asli teman kita di Medsos. Foto profil yang kelihatan kalem, alim, berjilbab, ternyata cangkemnya bosok total. Kita jadi tahu mana muslim yang asyik (toleran, luas hati dan pikirannya) dan mana yang kolot, yang dikit-dikit ngasih label kafir, munafik, laknatulloh.
Banyak sekali orang yang saya kenal itu baik, anteng, introvert, jadi berbalik 180 derajat temperamennya saat membela Cagub pilihannya . Dengan mengutip ayat suci, mereka dengan keras menyerukan siapa Cagub yang wajib dan haram untuk dipilih. Padahal Pilgub nggak ada hubungannya dengan agama. Ibarat bengkel yang butuh seorang mekanik handal, bukan imam agama yang pinter ngaji.
Juga banyak dari kita yang terjebak jadi Rasis dan Fasis. Ada upaya untuk memilah-milah, memisahkan mana pribumi dan mana yang China (keturunan). Seperti yang terjadi di aksi 313 kemarin (31 Maret 2017), penempelan stiker 'pribumi' di mobil-mobil. Mereka begitu takut (paranoid) negeri ini dikuasai oleh China. Seperti bangsa Jerman terhadap ras Yahudi.
Seorang muslim yang tidak menerima perbedaan, sebenarnya gagal sebagai muslim. Karena muslim itu bisa menerima semua (perbedaan) manusia, tidak perduli apa pun ras, suku dan agamanya. Karena perbedaaan itu rahmat.
Efek Pilkada DKI ini benar-benar dahsyat. Gara-gara kaum yang suka mengkafirkan orang itu, anak-anak kecil yang masih ingusan pun ikut-ikutan teriak "kafir!" pada temannya yang non muslim. Bahkan mengganggap non muslim itu halal darahnya alias boleh dibunuh.
Siapa pun yang membela Ahok pasti langsung dapat label kafir. Tidak terkecuali Djarot, Wagub DKI pasangan Ahok, saat mengikuti haul Soeharto dicemooh dengan kata-kata kotor dan diteriaki "kafir!" oleh mereka yang ngakunya muslim. Padahal saat itu sedang di dalam Masjid, rumah Tuhan.
FYI, muslim adalah orang yang menyelamatkan, menentramkan sesama manusia. Jadi kalau masih suka menyakiti hati manusia, mereka gagal jadi seorang muslim.
Jadi, tidak salah ketika GP Ansor menghentikan paksa ceramah Ustadz Khalid Basalamah beberapa waktu lalu. Karena ucapannya menyinggung, menyakiti perasaan umat NU. Penghentian itu nggak ada hubungannya dengan sentimen Wahabi. Siapapun yang menyakiti hati manusia pasti dapat masalah.
Akibat kejadian tersebut, GP Ansor disindir dengan lagu lama : "Sama umat Islam sendiri memusuhi tapi sama non muslim malah mesra. Ustadz yang jelas muslim diusir, tapi gereja yang jelas milik non muslim dijaga (saat Natal) ". Padahal GP Ansor menjaga gereja itu dalam rangka menerapkan Islam yang Rahmatan Lil Alamin, rahmat bagi sekalian alam.
Itu semua terjadi karena kesempitan hati dan pikiran. Mengkritisi pun diartikan menghina. Mengkritisi Ulama diartikan memusuhi Ulama, memusuhi Islam atau Anti Islam. Ketika seorang Ulama ditangkap karena melanggar hukum yang berlaku, langsung dituduh kriminalisasi Ulama. Nggolek menange dewe.
Saya tidak anti Pilkada, tapi saya tidak suka perpecahan. Buat apa mbahas Pilkada kalau menimbulkan permusuhan, perpecahan antar saudara sebangsa. Pilkada itu harusnya pesta demokrasi bukan ajang 'perang' agama, sekte atau madzhab antar simpatisan Cagub atau partai politik yang bertikai. Mencari pemimpin bukan pemenang. Yang tidak terpilih bukan berarti kalah.
Demokrasi di negeri ini memang sudah nggak beres sejak dari awalnya. Politik yang ada sekarang menyimpang jauh dari Azas Musyawarah Mufakat : mencari kebenaran bersama. Mencari yang paling benar bukan mencari siapa yang menang.
Pilgub atau Pilpres sekarang ini adalah mencari siapa yang menang, yang kalah tersisihkan dan tidak punya tempat untuk beraspirasi. Padahal dalam konsep musyawarah, semua pihak bergandengan berjalan bersama untuk menjalankan hasil musyawarah tadi dan mewujudkannya dalam kehidupan bernegara.
Asas Pemilu (Luber : langsung, umum, bebas, rahasia) itu juga konyol. 'Rahasia' tidak bisa disandingkan dengan 'bebas'. Bebas kok rahasia, kalau rahasia ya nggak bebas. Ya'opo se rek.
Negara ini dibangun oleh sistem konyol semacam itu. Ketidakbenaran yang dilakukan terus menerus dan massif akan membuat kapal (negara) akan oleng. Jika sudah oleng, maka melakukan apa pun jadi sulit presisi dan akurat.
Apa yang terjadi sekarang adalah akumulasi dari kekonyolan-kekonyolan sejak negara ini berdiri. Nggak heran kalau tiap Pilpres atau Pilkada selalu gegeran, perang berdarah-darah di medsos. Apalagi bangsa ini adalah bangsa perumpi. Ngerumpi tapi tidak punya keluasan hati dan pikiran. Asal njeplak tapi nggak paham ilmunya. Sumbunya pendek pula, bahkan ada yang nggak punya sumbu. Disenggol langsung mbledozzzz.
Jadi sekarang, jika nulis soal Pilkada, pikirkan diksi dan bahasanya. Gak usah pakai istilah yang menyakitkan, merendahkan. Misuh gak popo asal gak misuhi uwong. Kalau tulisan menimbulkan kebencian, permusuhan dan perpecahan, lebih baik nggak usah nulis atau nyebar tulisan soal Pilkada.
Jika masih ada yang nyangkem soal Pilkada dengan kata yang 'njancuki', lebih baik skip saja. Anggap itu wong gendeng lagi kumat. Jadikan mereka sumber kegembiraanmu. Mereka sedang ngelawak dan kita lah penontonnya. Atau kalau bisa jauhi soal Pilkada sekalian. Pilkada is my ass!
Nggak perlu diblokir atau unfriend. Karena bisa jadi suatu hari nanti kamu butuh mereka. Siapa tahu kamu terperosok di lembah MLM dan butuh teman banyak untuk diprospek, dijadikan downline. Atau kamu terpaksa jualan Cilok online yang membutuhkan banyak pembeli. Ingat, semakin banyak teman semakin banyak rejeki .
Pokoknya jangan pernah tersiksa oleh keributan Pilkada. Kalau nggak paham dan atau ilmunya cekak, lebih baik nggak usah ikutan nimbrung soal Pilkada. Buanyak urusan yang lebih puenting daripada ngurusi Pilkada. Jangan sampai kehidupanmu dirusak oleh omong kosong soal Pilkada. Wis ah, Saiki tulung inggirno becakmu disik, aku kate liwat.
(c) Robbi Gandamana, 3 April 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar