Rabu, 12 April 2017

Bangsa Yang Paling Bahagia


Sepertinya PBB kurang kerjaan, bahagia kok dikompetisikan. Tahun ini PBB merilis daftar negara paling bahagia di dunia. Norwegia menempati urutan pertama, selanjutnya Denmark, Islandia, Swiss, dan seterusnya. Indonesia sendiri menempati urutan 81.
Aku gak ngurus dan nggak percaya dengan daftar peringkat semacam itu. Itu semua dibuat oleh kaum materialis. Yang selalu menilai sesuatunya dari segi materi, bahwa orang yang pendapatannya rendah, miskin, itu nggak bahagia. Dan tentu saja penilaiannya pasti subyektif.
Bangsa Indonesia itu punya keistimewaan lain dibanding bangsa-bangsa cengeng itu, yang kesejahteraan hidupnya dijamin negara. Bangsa kita punya teknologi jiwa yang dahsyat. Punya ketangguhan luar biasa karena kesejahteraan nggak dijamin oleh negara. Negara isinya cuman ngrepoti rakyatnya.
Jadi kebahagiaan bangsa Indonesia tidak bisa diukur pakai parameter pendapatannya, tata kelola pemerintah, bla bla bla bla bullshit!
Bagi saya bangsa Indonesia adalah bangsa yang paling bahagia. Persetan opini kalian!
Oke, mereka akan sedih, marah ketika harga bensin, tarif listrik naik, tapi seminggu dua minggu setelah itu mereka akan lupa. Menjalani hidup seperti biasanya, seperti tidak ada kenaikan, cengengesan tanpa beban. Tetap akan berburu kuliner, beli gadget yang paling canggih, jalan-jalan naik pesawat dan seterusnya.
Mereka punya daya adaptasi yang tinggi. Oleh rakyat Indonesia, semua problema dan tekanan hidup itu akan disulap menjadi ilmu, disulap menjadi hikmah, disulap menjadi revolusi diri, disulap menjadi optimisme melangkah ke depan. Mereka bisa tertawa dengan segala keterbatasan dan penindasan.
Orang Papua yang hidup di Lembah Baliem, mangane telo, bisa sangat bahagia kok. Bahkan mendengar suara klakson Bis Sumber Selamet saja bisa membuat bangsa ini bahagia (om telolet om).
Jadi, kebahagiaan sebuah negara tidak bisa diukur dari maju atau tidaknya sebuah negara.
Jangan dipikir kalau tukang becak, tukang angkut, kuli bangunan dan bahkan pengemis itu tidak bahagia. Mereka bisa sangat bahagia. Walau sepi penumpang, para tukang becak ini tetap ketawa ketiwi main gaple di pojokan.
Pengemis pun kalau di rumah wajahnya tidak semelas saat meminta uang di jalanan. Memelas itu akting, mereka sengaja berkarir jadi pengemis. Walau ada juga yang terpaksa jadi pengemis karena memang hanya itu yang bisa dilakukan (cacat misalnya).
Angka bunuh diri di Indonesia itu lebih rendah dibanding negara lain seperti Korea, Jepang, Tiongkok dan negara maju lainnya. Di sini yang kebanyakan bunuh diri adalah 'kaum sinetron', kelas menengah ke atas. Mereka yang sukses disusupi paham-paham dari Barat, materialis, hedonis, dan seterusnya.
Kalau rakyat jelata tidak seperti itu. Sukses atau tidak sukses itu bukan parameter sebuah kebahagiaan. Selama bisa bergaul, punya gadget canggih, selalu update berita, itu sudah sangat membahagiakan mereka. Minimal urip dan nggak ngisruh ngono ae wis apik.
Kebanyakan rakyat kita itu kreatif, bisa jadi apa saja, kerja apa pun no problem, asal halal. Hanya bawa sulak membersihkan kaca mobil di lampu merah, mereka bisa hidup. Mereka jenis manusia 'fighter', tidak menggantungkan hidupnya pada negara. Seandainya negaranya hancur lebur mereka tetap bisa cengar cengir, piss man!
Di negeri ini, sangat nyaman jadi manusia, karena aturan hidup bermasyarakat tidak setertib di negara-negara lain. Lihat saja orang bisa dengan santainya menutup jalan umum saat mengadakan pernikahan anaknya (kepentingan individu di atas kepentingan umum). Tapi sebagai warga negara, kita banyak nggak nyamannya. Ngurus apa saja ruwet, banyak pungli. Birokrat dan aparatnya banyak yang korup. Tak ada uang ke laut aja.
Kita adalah bangsa yang terbiasa menderita. Bahkan bagi rakyat Indonesia penderitaan itu adalah prestasi. Penderitaan bagi mereka adalah sarana untuk meneguhkan diri, lelaku prihatin. Nenek moyang kita adalah bangsa lelaku. Puasa mutih, puasa senin kemis, puasa ngebleng (nggak makan 3 hari 3 malam) itu adalah rutinitas yang biasa dijalani.
Rakyat kita punya standar dasar filosofi hidup yang di negara maju hanya dimiliki oleh kaum terpelajar lulusan kampus. Jadi walaupun tidak sekolah tinggi, rakyat kita filosofi hidupnya matang, punya kearifan, kesabaran dan keteguhan. Di Jawa ada filosofi dasar kehidupan seperti 'jer basuki mawa bea', 'ngunduh wohing pakarti', dan seterusnya.
Kalau krisis ekonomi melanda, mereka bisa sangat survive. Bahkan mereka tidak mengenal krisis, krisis itu cuman itung-itungan di atas kertas yang dibesar-besaran oleh media.
Jadi, persetan dengan penilaian PBB, Amrik dan anteknya soal kebahagiaan. Kita punya cara yang berbeda dalam menyikapi hidup. Bahagia itu ada di dalam hati, nggak bisa diukur dari apa yang tampak di fisik luar manusia. Dan bahagia itu sebenarnya soal yang sangat sederhana, kuncinya cuma bersyukur dan sabar. Syuperrr sekaliiii.

(c) Robbi Gandamana, 27 Maret 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar