Jumat, 21 April 2017

Nggak Gampang Legowo Itu Bagus


Istilah 'kalah' dan 'menang' dalam Pilkada, Pilpres dan Pil yang lain, sebenarnya nggak asyik. Pilkada bukan balap karung. Asyiknya istilah yang dipakai adalah 'terpilih' dan 'tidak terpilih'. Kita saudara sebangsa. Mencari yang terbaik bukan siapa yang menang. Dan yang terpilih bukan berarti terbaik, kita lihat dulu hasil kerjanya lima tahun ke depan. Sesuai dengan janjinya nggak. So, mari kita kawal program rumah DP 0%.
Nggak ada orang yang senang dicap kalah, apalagi dibilang pecundang atau loser. Kata-kata seperti itulah yang merusak persahabatan. Pelacur pun marah kalau dibilang lonte. Jadi mari kita sama-sama jaga cangkem.
Kalau Ahok legowo karena tidak terpilih, itu biasa. Tapi kalau pendukungnya langsung legowo atas tidak terpilihnya Ahok, itu baru janggal. Pendukung yang sekarang belum bisa legowo, kecewa atau sedih..itu bagus! Itu menunjukan kalau mereka memilih Ahok dengan sepenuh hati. Seperti kesedihan seorang jomblo yang gagal kawin. Kesedihan itu akan mengendap berhari-hari lamanya di kepala.
Jadi silakan saja kecewa, sedih, marah! satu sampai tiga hari ini. Asal tidak anarkis dan memancing keributan. Menjeritlah, jika itu dianggap penyelesaian : "Jiancokkkk kalahhhh..!"
Buat yang jagoannya terpilih nggak usah nggaya, biasa ae Bude. Jangan menuding-nuding orang lain dengan sebutan pecundang, loser. Pecundang itu orang yang banyak kehilangan teman, sahabat, saudara, pacar, selingkuhan, istri,..akibat terlalu fanatik membela jagoan neon. Pilkada kok diambil hati. Karena ulah si Didik, rusaklah susu si Julaikah.
Akibat tidak bisa menempatkan cangkem dalam menyikapi Pilkada, para sahabat yang dulu suka ngobrol atau ngumpul membahas suatu hobi yang sama : musik, seni, film, badokan,..jadi berkurang drastissss tiss tissss. Awalnya Pilpres, lalu disempurnakan oleh Pilkada. Burek sudah persahabatan kita, seburek tungkak yang full rangen.
Medsos itu bagus untuk sarana komunikasi, memudahkan silaturahmi, tapi nggak bagus untuk pembangunan mental diri. Medsos sangat membuka peluang untuk melampiaskan diri. Padahal fungsi agama itu mengendalikan, bukan melampiaskan. Maka berhati-hatilah pada apa pun yang membuat kita melampiaskan diri dengan mudah.
Di medsos,wajah nggak berhadapan langsung, jadi nggak sungkan kalau nyetatus mewek, mengasihani diri atau ngamuk-ngamuk nggak jelas. Saya herman baca status fesbuk semacam itu. Apes kok dipamerkan, punya mental karak kok bangga. Sudah kwalitasnya KW, mudah mlempem pula.
Hermannya, status-status 'sakit' tadi nggak selalu ditulis oleh abege, tapi juga para babe yang sudah mulai keriput, rambut sudah beruban krowak di sana sini (mbrodol, salah shampo). Mereka dengan suka rela, ikhlas lilahitaala jadi buzzer mengkampayekan jagoannya. Baguslah kalau mereka dikasih gelar Pahlawan Tanpa Tanda Terima.
Kekacauan Pilkada ini pelajaran untuk menyongsong Pilpres 2019 nanti. Apakah kalian nanti jadi lebih dewasa atau tambah babak belur? monggo terserah. Saya dari dulu nggak pernah tertarik eyel-eyelan membela Capres tertentu, jika sudah saling ejek dan bully paling aku cuman tepuk tangan. Hiburan gratis.
Sekarang bagi yang jagoannya gagal terpilih, tenangno pikirmu, gagal itu bukan aib. Gagal terpilih bukan berarti kalah. Istilah 'kalah' dan 'menang' pada saat Pilkada itu berpotensi merusak kerukunan umat, apalagi yang kalah selalu disalahkan, yang menang selalu dianggap benar.
Pilkada itu soal memilih hijau atau merah. Kalau seleramu hijau pilih yang hijau. Simpel banget. Setelah itu boleh berharap pada janji-janji gubernur terpilih saat kampanye dulu, tapi jangan terlalu yakin. Karena janji-janji kampanye itu kebanyakan hoax!
Wis ah, ada yang lebih penting daripada membahas Pilkada. Utangmu ndang disahurrr!
Zuukk mariiiii...
(c) Robbi Gandamana, 21 April 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar