Pidato Anies memang terlalu jujur. Ngomong soal pribumi dan non pribumi di depat rakyat yang hidupnya 'terancam' itu rawan pertumpahan darah. Itu sama saja memanas-manasi rakyat agar mengambil jarak pada non pribumi (keturunan Cina). Mempertebal tembok pemisah antara orang Nusantara dengan keturunan Cina.
--Rakyat Indonesia itu hidupnya terancam. Terancam tidak mendapatkan makanan yang sehat. Terancam tidak mendapatkan pekerjaan, kesejahteraan yang layak, pendidikan yang pantas, kesehatan yang memenuhi syarat. Hidupnya nggak aman. Banyak birokrat dan aparat yang kerjaannya mengancam daripada mengayomi--
Sudah rahasia umum, kalau orang (keturunan) Cina dirasani dimana-mana. Di pergaulan masyarakat, di warung kopi, di pengajian, di kantor pemerintah dan banyak lagi. Intinya kita takut orang Cina 'menguasai' (menjajah) kita, terutama di bidang perekonomian. Katanya ada 9 naga lah, taipan lah, taek lah. Nggak percaya rugi, percaya juga rugi, mumet ndasmu. Lebih baik waspada saja.
Salahe sopo, sopo mbiyen sing males-malesan. Kalau ingin menguasai perekonomian negeri ini belajarlah dari orang Cina. Tentunya belajar yang baik-baik saja. Sing nggolek pesugihan nang gunung Kawi ojok ditiru.
Jangan salah, orang Cina itu mayoritas kalau dilihat dari segi kwalitas. Sedangkan kita ini minoritas. Orang Cina lah yang sekarang menguasai perekonomian. Secara kwantitas, orang Nusantara yang mayoritas. Tapi sayangnya banyak yang kere. Percuma berjumlah banyak kalau kere berjamaah. Ingat, kere bersatu mudah dikalahkan.
Di zaman ini orang berduit lah yang menang. Semakin berduit, semakin berkuasa. Dengan uang, orang kere bisa dibeli. Itu sebabnya bangsa Nusantara gampang diadu-domba. Maka nggak heran kalau banyak orang hebat (berprestasi) yang mengabdi pada orang kaya. Lulusan S3 pun mengabdi pada orang kaya. Persetan pengabdian pada negara. Negara tidak menjamin jadi kaya. Orang kaya harus dibela!
****
Kata 'pribumi' dan atau 'non pribumi' kalau diucapkan di tempat dan waktu yang salah bisa berbahaya. Yang pidato nggak perhitungan, yang mendengarkan sensitif jenar. Akhire misuh berjamaah. Pidato paling epic di tahun 2017. Epic mblendesss!
Menurutku, pribumi itu definisi singkatnya adalah penduduk asli. Penduduk yang sudah lama menetap, beranak pinak, bersosial budaya di suatu wilayah selama berabad-abad lamanya. Tapi nggak ada jangka waktu yang pasti, harus berapa abad lamanya menetap sehingga dapat copy right "pribumi".
Orang Dayak bisa disebut sebagai penduduk pribumi Kalimantan. Penduduk asli Australia adalah Aborigin. Orang Indian adalah pribumi Amerika. Dan banyak lagi. Mereka sudah menetap duluan di suatu benua, pulau, atau wilayah tertentu selama ratusan tahun. Jadi jika ada kaum yang datang setelahnya, mereka disebut pendatang.
Terlalu jauh kalau menyebut manusia purba sebagai pribumi yang sesungguhnya. Kalau begitu semua manusia keturunan Nabi Adam juga bukan pribumi. Nabi Adam bukan manusia purba. Eksistensi bani Adam sampai saat ini masih sekitar 7000an tahun, sedang manusia purba sudah jutaan tahun.
Menurutku penggolongan pribumi dan non pribumi itu untuk kepentingan ilmu pengetahuan (Anthropologi) untuk mempermudah pembelajaran. Juga untuk kepentingan administratif. Kalau keturunan Tionghoa, ya jangan tersinggung kalau di kantor kelurahan didata sebagai warga keturunan. Itu bukan SARA. Kalau memang wedus ya jangan dibilang luwak.
Menyinggung SARA kalau penyebutan kata 'pribumi' dan 'non pribumi' di luar kepentingan tadi. Misal dalam pidato politik atau kampanye politik. Kata "pribumi" dan "non pribumi" itu semacam aurat yang nggak bisa sembarangan diucapkan. Jadi asyiknya nggak usah mengucapkan kata-kata itu kalau nggak penting.
Wis rek gak usah gelut, jarene Scorpions, "We are live under the same sun." Saiki kerjo ae sing bener, ojok lali bayaren utangmu.
-Robbi Gandamana-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar