Rabu, 04 Oktober 2017

Supremasi Hukum itu Omong Kosong! (Belajar dari Kasus Setya Novanto)



Bebasnya Setya Novanto (SN) dari jeratan hukum mengingatkanku pada salah satu quotes dahsyat Cak NUn, "Jangan bercita-cita jadi negara makmur, tapi bercita-citalah jadi negara adil!"

Bingung khan?

Karena kalau adil, dipastikan akan makmur. Sebaliknya, makmur tapi nggak adil, negara jadi kacau. Ketika hukum hanya memihak pada mereka yang ber-uang maka rakyat jelata jadi pecundang.

Makan bareng-bareng lauknya cuman tempe nggak masalah, asal dibagi rata (adil). Daripada makan enak sendirian, tapi makan jatah orang. Yang diambil jatahnya jadi nggak makan.

Bebasnya SN juga membuktikan bahwa hukum itu nggak supreme (tertinggi), yang supreme itu akhlak. Menempatkan hukum sebagai posisi tertinggi (supremasi hukum) dalam suatu negara untuk melindungi rakyat itu omong kosong.

Tujuan utama adanya supremasi hukum adalah menjadikan hukum sebagai pimpinan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara, yang mana apabila tujuan tersebut tercapai dapat memberikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Tapi kenyataan yang terjadi, keadilan untuk siapa? Untuk si Tuan Takur.

Makanya negara hukum itu kurang tepat, yang benar adalah negara akhlak. Hakim memutuskan perkara itu tidak pakai pasal-pasal, tapi pakai rasa keadilan (akhlak). Jadi kalau hakim berakhlak mblendes, hasil putusan perkaranya pun jadi nggak beres. Walau adil itu relatif dan nggak ada manusia yang adil, bisanya hanya berusaha seadil-adilnya.

Tapi sudahlah, di negeri ini ketimpangan hukum sudah jadi peradaban, susah untuk dirubah. Lebih asyik kembali ngomong soal kemakmuran.

Kebanyakan orang cita-citanya hidup makmur. Persetan kemakmuran itu didapat dari mana dan dari cara apa, yang penting kaya, gedung mentereng, jalan aspal mulusss, masjid direnovasi ratusan kali, dan seterusnya. Ternyata dana di dapat dari sumbangan (sogokan) para Caleg untuk membeli suara rakyat. Suap tetaplah suap. Haram is haram. Taek gak iso dipoles dadi akik.

Kesalahan orang modern adalah bercita-cita jadi orang kaya, tidak jadi orang bahagia. Dipikirnya kalau kaya itu pasti bahagia. Banyak temanku yang kaya, tapi hidupnya garing, bingung, merana. Soale hobine kenta kentu ae. Aku juga berharap kaya, semua orang ingin kaya, tapi aku lebih suka bahagia. Kaya Alhamdulillah, nggak kaya sudahlah. Salah nggak?

Kerajaan Fir'aun dulu juga sangat makmur. Tapi karena keadilan tidak ditegakan dengan benar, kerajaannya pun hancur juga. Ketidakadilan dan kemaksyiatan itu bagai dua sisi mata uang. Ketika keadilan tidak ditegakan, biasanya kemaksyiatan ikut merajalela. Kemaksyiatan itu juga bentuk dari tidak ketidakadilan, tidak adil pada diri pribadi dan kehidupannya.

Di zaman Orba juga begitu. Rakyat jelata dijadikan kerbau sembelihan. Dikasih kemurahan oleh pemerintah, tapi setelah itu disembelih (kebebasan berpendapat, berekspresi, berkreasi dikekang). Rakyat tidak pernah tahu sejarah asli negerinya sendiri, karena sejarah yang ada direkayasa selama puluhan tahun. Bajingan jadi pahlawan, pahlawan jadi bajingan.

Rezim Orba adalah era penjajahan gaya baru. Serba murah tapi kebebasan dikebiri. Hanya para priyayi dan orang kaya yang berjaya. Selama perut kenyang, mereka nggak akan cari masalah dengan penguasa. Sedangkan yang kere awet merana, barang murah tapi tidak terbeli. Berani bereaksi pasti diculik dan dihabisi.

Kalau ada orang yang ingin kembali ke zaman Orba hanya karena dulu itu serba murah, dipastikan dia nggak paham-paham amat soal 'adil makmur'. "Piye kabare? isih enak zamanku to?" Kiss my ass!

Kalau cuman cari makmur saja, gampang. Datanglah ke Lokalisasi. Dengan selembar dua lembar uang lima puluh ribu (regane piro rek sing murah? aku gak eruh. Sing ngerti inbox yo) kamu akan mendapat pelayanan, kemesraan, pijatan dengan musik mengalun syahdu. Oh yess, oh noooo, oh maigot! Lemes jaya. Tamat.

-Robbi Gandamana -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar