Jumat, 28 Oktober 2016

Tuhan Tidak Perduli Model Celanamu

istimewa
Sebelum nggedabrus ngalor ngidul membahas celana (cingkrang), ada baiknya anda perlu tahu bahwa saya bukan seorang ustadzzz apalagi kyai, cuman seorang muslim gembel jaya yang nggaya sok-sokan berpikir kritis, merdeka jadi diri sendiri tanpa 'makelar'.

Karena akal adalah anugerah terbesar Tuhan bagi umat manusia, sayang kalau nggak dipakai. Ayat kalau cuman dibaca dan dihafal doang, otak jadi mubazir. Kayak burung Nuri yang bisanya cuman meniru suara orang tapi nggak paham maksudnya.

Oke, nggak usah banyak cing cong, langsung ke inti pembahasan saja.

Dari dulu saya bingung kalau melihat muslim yang celananya di atas mata kaki (cingkrang), agak aneh juga sih di abad Millenium begini ada yang memakai fashion trend jadul Arab klasik abad 6 Masehi. Karena menurutku setiap generasi punya fashion style-nya sendiri-sendiri.

Apa kalau pakai celana jeans  terus kita jadi kafir? Kalau menyerupai suatu kaum terus kita jadi bagian dari kaum itu? Muhammad SAW sendiri berpakaian persis seperti Abu Jahal atau Abu Lahab. Apakah Muhammad bagian dari kaum jahiliyah tadi? Tentu saja tidak.

Menurutku nggak masalah berpakaian seperti bajak laut, ninja, atau siapa saja, asal tabiat kita sesuai syariat. Karena celana atau kain itu tidak ada agamanya. Maka ambigu kalau baju dikasih label 'taqwa' (baju taqwa). Saya sendiri nggak berani pakai baju taqwa, takut jadi 'penipuan'. Iman dan ilmu saya pas-pasan kok bergaya orang alim, pinter agama.

Teknologi terus berkembang, trend fashion manusia juga berubah. Pakaian adalah produk budaya manusia yang pasti berubah pada tiap generasi. Asal sesuai syariat, norma adat budaya setempat, tak masalah kita memakai pakaian model apa. Syariatnya menutupi aurat, tapi dalam segi budaya kita bisa memilih model, warna, jenis baju yang kita inginkan.

Debat soal isbal (celana di bawah mata kaki) bakalan tak ada habisnya. Tiap orang punya latar belakang berbeda kenapa dia memakai celana cingkrang. Ada yang ingin meniru persis kostumnya Rasullullah, ada yang ngefan Michael Jackson, ada pula yang mengartikan secara harfiah ayat dari hadits : "Celana di bawah mata kaki dibakar di neraka." Juga ayat lain yang mengatakan bahwa orang yang bercelana menutupi mata kaki akan dicueki Tuhan di akhirat.

Saya sendiri Muslim tapi tidak bercelana cingkrang, lha lapo. Ayat di atas memang hadist shahih, tapi saya tidak mengartikannya secara harfiah begitu saja. Karena ayat tersebut ternyata bicara soal kesombongan.

Idiom orang Arab di jaman itu, orang yang memakai celana menutupi mata kakinya adalah orang sombong. Dan orang sombong lah yang tidak akan disapa (dicueki) Tuhan di akhirat nanti.

Jadi ayat soal isbal tadi sebenarnya bunyinya seperti ini : "Orang sombong dibakar di neraka." tapi kebanyakan muslim lebih menangkap aspek celana cingkrangnya daripada aspek sombongnya. Karena mereka berhenti pada teks, tidak menelusuri ayat itu lebih jauh (bahasa ustadznya : Asbabun Nuzul). Kenapa, di mana ayat itu turun. Adat dan budayanya bagaimana.

Kalau tujuannya takut kena najis, karena menyentuh tanah, ya diusahakan ukuran panjang celana nggak menyentuh tanah. Nggak cingkrang juga bisa to. Tapi kalau alasannya takut terkena najis, kenapa kaum wanita yang  berjilbab syar'i malah roknya menyentuh tanah, padahal kakinya sudah pakai kaos kaki.

Kalau ulama Arab mengharamkan celana yang menutupi mata kaki itu wajar. Mereka menghormati adat dan budaya mereka. Kalau di sini ya salah tempat. Bisa jadi malah salah kostum karena iklim, karakter geografis kita berbeda jauh dengan Arab. Dan juga negeri ini punya paradigma adat budaya yang berbeda dengan Arab.

Juga belum ada penelitian ilmiah yang menyatakan celana di bawah mata kaki itu nggak baik  bagi kesehatan. Seperti larangan seorang pria muslim memakai perhiasan emas. Karena atom pada emas mampu menembus kulit pria sehingga rentan terkena penyakit Alzheimer, jika dipakai dalam jangka panjang.

Banyak hadits yang terbukti secara empiris. Misal  larangan meniup makanan panas sesaat sebelum memasukan ke mulut karena udara yang kita tiupkan (karbondioksida) jika bertemu air akan menghasilakan asam karbonat. Jika asam karbonat masuk ke dalam tubuh bisa menyebabkan penyakit jantung.

Hadits lain yang juga terbukti empiris adalah boleh minum air minum yang kejatuhan lalat asal lalatnya ditenggelamkan di dalam air minum tadi. Berdasar penelitian ilmiah ternyata  ada obat yang berbahaya di salah satu sayap lalat, tapi sayap lainnya dapat menetralisirnya (dengan cara ditenggelamkan ke air).

Dan masih banyak lagi kedahsyatan ayat Qur'an dan Hadits yang sudah dibuktikan secara imiah. Hadits sendiri dihimpun 300 tahun sesudah hidupnya Nabi Muhammad. Berdasarkan katanya ulama ini, perawi itu. Jadi walaupun sahih masih harus diverifikasi. Kalau nggak masuk akal buang, pakai Al Qur'an saja. Apalagi di zaman itu tak ada alat perekam. Kata-katanya tidak sama persis seperti Al Qur'an yang pasti sama dengan perintah Allah.

Agama Islam jadi terlihat wagu karena kesempitan umatnya mengartikan ayat dengan sangat apa adanya. Kurang bisa memilah mana bahasa budaya, bahasa hukum, bahasa sastra, dan lainnya. Dipikirnya Al Qur'an itu kayak UUD '45, KUHP, Perda dan sejenisnya.

Orang yang berpendidikan tinggi (sekolah Islam) nggak bisa jadi ukuran bahwa agama mereka lebih benar. Yang lulusan Arab saja banyak yang meyakini ayat "Bahasa Arab adalah bahasa surga". Oala Jek Jekkk, dipikirnya Tuhan itu lulusan Sarjana Sastra Arab. Bagiku itu menuduh Tuhan Rasis atau diskriminatif pada bangsa selain Arab.

Kembali ke soal celana cingkrang. Sungguh konyol kalau meyakini Tuhan tidak menyapa orang yang celananya di bawah mata kaki di akhirat nanti. Ngapain Tuhan ngurusi model celana. Tuhan hanya perduli pada amal kebaikanmu, cintamu pada-Nya. Kecuali model kostum ibadah haji (kain ihram), itu Tuhan sendiri yang ngasih perintah dengan tujuan agar timbul rasa merendahkan diri dan hina dihadapan-Nya bla bla bla bla.

Dalam soal agama dan moral, orang yang paham agama tak bisa diukur dari lulusan perguruan tinggi Arab atau tidak. Ada orang yang pendidikan cuman lulusan pesantren kampung tapi ilmu agamanya lebih dahsyat dari yang lulusan Arab. Itu bisa terjadi karena paduan antara iman, lelaku, tirakat plus intelegensi yang luar biasa pada seorang muslim sehingga di dianugerahi karomah oleh Allah, punya sidik paningal, waskita. Kalau cuman lulusan luar negeri tok, yo nggak njamin Jek.

Wis ah, saya menulis ini tak ada maksud menentang hadits atau ayat Allah, tapi lebih pada menggunakan akal daripada cuman membaca dan menghapal. Intinya gunakan hati, akal dan logika dengan benar. Untuk apa pakai Qur'an kalau tidak pakai hati, untuk apa pakai syariat Islam tapi tidak pakai akal?


(c) Robbi Gandamana

*Sori tidak menerima perdebatan.

Sabtu, 15 Oktober 2016

"Ulama Jangan Jadi 'Makelar' Umat.." [Think Different Ala Cak Nun - 3)


Bersyukurlah orang yang mengenal dan mengikuti 'sepak terjang' Cak Nun , karena tak perlu membaca berjilid-jilid buku untuk memahami ilmu kehidupan. Cak Nun benar-benar membuka pori-pori kecerdasan umat dengan pemikirannya yang dahsyat dan revolusioner.

Sebutan budayawan, penyair, seniman, atau apa lah, itu hanyalah bungkus, hakikat beliau lebih dari itu. Ilmu agama, pengetahuan umum dan makrifat Cak Nun begitu istimewa, nggak salah kalau banyak orang menyebutnya sebagai kyainya para kyai.

Ini adalah puzzle-puzzle pimikiran beliau tentang umat dan pemimpin agama (Islam) yang saya himpun dari berbagai sumber . Saya terinspirasi menuliskan ini setelah membaca berita-berita di dumay, ulama sedang naik daun.  Tapi sori Jek, saya tidak sedang bicara politik.

***
Umat Islam sekarang sama sekali kurang berpendidikan dalam soal Islam. Tidak ada tradisi ijtihad, tidak mengerti harus taat pada siapa. Kalau ada orang berbuat sesuatu, nanyanya : "Kyai siapa yang ngomong?", "kitabnya apa?", tapi tidak ditanya "Qur'annya apa?"

Semua perbuatan pun harus berdasarkan dalil. Itu saking tidak berpendidikannya. Dan memang tidak ada mekanisme berpikir, padahal Islam adalah agama yang aqliyah (cara berpikir). Dan itu yang membedakan manusia dengan wedus.

Kalau nggak dipikir atau tanpa akal, itu sama kayak kambing yang disodori buku tebal penuh ilmu pengetahuan. Kambingnya cuman ndlahom, nggak paham. Mau secanggih atau sedetail apa pun sistem nilai dalam Islam, tak ada gunanya kalau manusia menghadapinya tanpa menggunakan akal.

Banyak orang tidak pernah berpikir mendasar, tidak pernah mengerti pijakan hidup, nggak pernah memiliki akar-akar nilai.  Jadi akhirnya menafsirkan sesuatu begitu tidak berakalnya, begitu gemblungnya.

Maka yang harus disebarkan adalah etos tadabbur : berfikir secara menyeluruh  yang sampai pada akhir-akhir dari indikasi-indikasi kalimat dan tujuan-tujuannya yang jauh.

Bertadabbur tidak berarti anti tafsir, tafsir dibutuhkan pada saat sesuatu harus ditafsirkan. yang pokok dalam Islam adalah tadabbur : kamu mencari manfaat dari pergaulanmu dengan nilai-nilai Islam terutama Al Qur'an.  Parameternya (ukuran keberhasilan) adalah yang penting kamu menjadi lebih baik sebagai manusia.

Paham atau nggak paham itu bukan parameter. Benar atau tidak benar pemahamanmu itu juga bukan parameter. Parameternya adalah setelah kamu baca dan mencintai Al Quran kamu menjadi lebih dekat pada Allah apa tidak, lebih beriman apa tidak, kamu lebih baik menjadi manusia apa tidak.

Kenapa perlu menggalakan taddabur? karena umat Islam sekarang tergantung pada ahli tafsir. Kita semua dibuat merasa tidak paham Al Qur'an. Kita tidak pernah dimerdekakan untuk otentik bergaul dengan Allah dan Al Qur'an. Kita harus selalu pakai makelar : Ulama, Kyai, Ustadz, dst. Mereka menjadi 'makelar' di antara kita dan Al Quran, di antara kita dan Allah.

"Saya bukan makelar! Yang saya omongkan tidak harus anda anut. karena anda berdaulat atas diri anda sendiri, anda bertanggung jawab atas diri anda sendiri di hadapan Allah. Jadi setiap keputusan, langkah, pikiran dan sikap anda  harus berasal dari anda sendiri karena nanti tanggung jawabnya juga anda sendiri, " Kata Cak Nun.

"Saya tidak bisa mempertanggungjawabkan kelakuan anda. Saya bukan Nabi Muhammad. Kalau Muhammad harus ditaati, karena bisa menolong kita. Sedangkan saya tidak bisa menolong anda, " lanjutnya.

Ke Al-Qur'an jangan pakai makelar. Kalau pakai makelar itu sebagai wacana atau mendengarkan, tapi tetap pertimbangannya ada pada kita.  Selama ini umat Islam dibikin tidak pernah merasa paham Al Qur'an, untuk itu harus tanya pada kyai, ulama, dst.

Padahal kebenaran (sejati) itu tidak ada, yang bisa dilakukan manusia itu sebisa mungkin menuju kebenaran. Kebenaran itu ada 3 : benarnya diri sendiri, benarnya orang banyak dan kebenaran sejati. Dan yang bikin kita bentrok itu karena seseorang atau umat ngotot dengan benarnya sendiri.

Suara kokok ayam versi orang Madura itu "kukurunuk", orang Sunda "kongkorongkong, orang Jawa "kukuruyuk". Yang benar yang mana? semuanya salah. Yang benar adalah taruh ayamnya di tengah ketiga orang tadi dan sama-sama mendengar suara kokok ayamnya.

Jarak antara kokok ayam dengan kita menirukan suara kokoknya itu namanya tafsir.  Tafsir itu melahirkan madzhab dan pengelompokan-pengelompokan. Itu karena pendengarannya berbeda terhadap suara kokok ayam tadi.

Kita harus saling menyadari bahwa yang benar itu ayam. Antara tafsir 'kukuruyuk', 'kukurunuk' dan 'kongkorongkong' harus saling menyadari kelemahan masing-masing sehingga tercipta toleransi. Kalau nganggap benarnya sendiri, egois atau egosentris dengan tafsirnya sendiri maka akan terjadi bentrok.

Maka sebenarnya tidak ada tafsir yang betul betul benar atau benar benar betul, nek wong Jowo, bener bener pener.  Anda boleh menafsirkan menurut pikiranmu yang penting itu membuatmu menjadi lebih dekat, lebih cinta pada agama dan Tuhanmu. Dan tentu saja tidak menimbulkan kemudharatan umat.

Pandai-pandailah membedakan mana agama, mana terjemahan syariatnya, mana fiqihnya.  Fiqih pun banyak versinya, fiqih A, fiqih B, dst. Tapi tetap default-nya adalah Al Qur'an. Sedangkan hadits itu diidentifikasi, dihimpun 300 tahun sesudah hidupnya Nabi Muhammad.

Jadi hadits itu berdasar katanya. Katanya ulama itu, perawi itu.  Ada yang lulus, ada yang tidak. Jumlahnya dua juta dua ratus hadits, yang lulus dibawah seratus ribu. Itu pun belum tentu lulus. Kalau kira-kira nggak masuk akal, buang saja, hanya Al Qur'an yang dipakai.

Maka hadits pun harus diverifikasi. Apalagi jaman dulu tak ada alat perekam. Jadi kalimatnya tidak sama persis dengan yang tercantum di kitab hadits. Hanya Al Qur-an yang kalimatnya sama persis dengan apa yang difirmankan oleh Allah dan tak bakalan bisa dirubah.

"Saya sering bilang, Jangan percaya sama saya, Saya cuman mengantarkan sejumlah bahan dan cara berpikir supaya kamu mengolahnya. Nanti kamu akan menemukan apa yg kamu percaya secara otentik dari pikiran dan hatimu sendiri. Jangan percayanya kepada saya, "  Kata Cak Nun.

"Penjelasan saya itu khan menurut saya. Anda juga boleh menurut anda, asal baik. Anda selalu berpikir bahwa jawaban saya itu kebenaran. Itu salah. Sama-sama belum tentu benar. Yang membuat kita sampai ke Allah adalah kita beritikad baik di dalam yang belum tentu benar itu. Tidak apa-apa nggak benar-benar banget. Presisinya nggak harus pas banget, hadap kiblat 24.5 derajat, akhirnya kemana-mana bawa garisan." Imbuh beliau.

Jadi antara kita dengan Tuhan jangan ada siapa-siapa. Kita sama Tuhan itu langsung. Bahwa kita mendengarkan kyai, ulama, ustadz itu wacana, tapi mereka tidak mewakili kita. Dan mereka tidak bisa menyelamatkan kita.

Apakah kyai bisa menyelamatkan kamu? Apakah ulama bisa menyelamatkanmu? tidak bisa. Begitu juga dengan pemuka agama yang lain, tidak bisa menyelamatkan kita. Hanya kamu yang bisa menyelamatkan kamu sendiri di hadapan Allah. Maka kalau kamu beribadah pada Allah jangan ada siapa-siapa.

"Saya tidak mau ada di antara anda dengan Tuhan! " Kata Cak Nun.

Susahnya pimpinan-pimpinan agama suka bertempat di situ. Menjadi 'gerhana' di antara Tuhan dengan umatnya. Karena di situ ada jabatan, kepemimpinan, akses eksistensi dan ekonomi.

"Saya bicara begini supaya anda percaya sama Allah, bukan percaya sama saya. Makanya saya jangan jadikan panutan. Yang bisa kau ambil dari saya adalah sebagian yg relevan untukmu, sebagian kecenderungan saya yang pas untuk kamu. Dan itu sebenarnya kamu tidak meniru saya, tapi pihak yang sebelum saya : Nabi atau Tuhan sendiri, bukan saya. Saya cuma akselerator dari nilai dan kecenderungan itu." tegasnya lagi.

Kesimpulannya, kebenaran itu tidak pada siapapun. Kecuali pada keputusan terakhirmu masing-masing. Karena itu nanti yang dihisab oleh Allah. Kamu boleh mendengar apa pun, boleh menafsirkan kayak apa pun, boleh melakukan apa pun setelah itu. Tapi sebenarnya yang dinilai adalah bahwa itu menjadi keputusanmu.

Jangan pernah punya keputusan yang tidak otentik pada dirimu. Artinya kalau shalatmu itu ya shalat kamu dan Allah..itu otentik. Bukan kamu plus Cak Nun, plus Kyai, plus Ustadz, plus Ulama dan Allah.

Wis ah..

(c) Robbi Gandamana, 15 Oktober 2016

Jumat, 14 Oktober 2016

"Nggak Ada Nabi Yang Mengaku Alim.." [Think Different Ala Cak Nun - 2]




Jujur aku rodok sungkan nulis koyok ngene iki rek. Yang saya takutkan adalah orang menganggap saya ini hebat, pinter ngaji, tahu agama. Ketahuilah mblo, saya ini cuman seorang gentho bosok yang sedang berproses belajar agama. Maka saya sebisa mungkin tidak menyantumkan dalil-dalil biar tidak terkesan ngustadz (tapi pitutur Cak Nun nggak asal ngablak, semua ada dalilnya dan atau melalui proses ijtihad yang panjang). Semoga bisa menjadi bahan renungan dan pembelajaran. Yo wis lah, zuukk mariii..

Akhlak Tidak Untuk Dipamerkan
Walaupun seorang ulama atau kyai, tapi Cak Nun selalu berpakaian seperti layaknya orang biasa. Bisa dikatakan ganok bedane karo wong dodol akik, buruh pabrik atau sales kaos kaki.

“Kalau saya datang dengan berpakaian gamis dan sorban, memang tidak ada salahnya. Cuman saya takut semua orang akan berkesimpulan bahwa saya lebih pandai daripada yang lain. Lebih parah lagi, kalau mereka berkesimpulan bahwa saya lebih alim...Kalau itu tidak benar, itu khan namanya 'penipuan'...!" kata Cak Nun.

"Kalaupun memang benar, apakah akhlak itu untuk dipamerkan kepada orang lain (melalui pakaian)? Tidak boleh kan? Maka semampu-mampu saya, berpakaian seperti ini untuk mengurangi potensi 'penipuan' saya kepada Anda. Anda tidak boleh mendewakan saya, me-Muhammad-kan saya, meng-habib-kan saya, karena saya adalah saya karena Allah menjadikan saya sebagai saya dan tidak karena yang lain. Maka Anda obyektif saja sama saya...” lanjut Cak Nun.

Menurut Cak Nun, seorang ulama harusnya bisa berpakaian yang sama dengan pakaian umatnya yang paling miskin. Cak Nun tidak mempersalahkan orang yang bergamis dan berserban. Malah salut sama mereka yang menunjukan kecintaannya pada Rasulullah dengan meniru persis apa yang ada di diri Rasul.

Tapi perlu diketahui bahwa baju Rasulullah tidak sebagus dan sekinclong yang dipakai kebanyakan orang sekarang. Baju Rasulullah sendiri ada 3 jenis : yang dipakai, yang di dalam lemari dan yang dicuci. Dan semua orang Arab di jaman nabi, model pakaiannya seperti itu. Nggak cuma Nabi Muhammad..;Abu Jahal, Sueb, Sanusi, Atim dan orang Arab lainnya, model klambine koyok ngono iku. Jadi sebenarnya sunnah Rasul yang paling mendasar adalah Akhlaknya bukan kostumnya.

Orang yang disukai Tuhan adalah orang yang menyebut dirinya buruk, biso rumongso, nggak rumongso biso. Orang yang diragukan keihklasannya adalah orang menyebut dirinya baik. Semua nabi mengaku dirinya dzolim : "Inni Kuntu Minadzolimin"(aku termasuk orang yang dzolim). Nggak ada nabi yang mengaku dirinya sholeh. Kalau ada orang yang mengaku paling benar atau alim, langsung tinggal mulih ae...ndang baliyo sriii..!

"Kalau sama Tuhan kita harus 100%, kalau kepada ilmu kita, cukup 99%. Seluruh yang saya ketahui dan yakini benar itu belum tentu benar. Maka saya tidak mempertahankan yang saya yakini benar karena mungkin mendapatkan ilmu yang lebih tinggi." kata Cak Nun.

Karena itulah saat bersama jamaahnya, Cak Nun selalu memposisikan dirinya sama, sama-sama belajar. Dan Cak Nun sendiri lebih suka pada jamaah yang sedang berproses daripada yang sudah ahli ibadah. Karena itu lebih tepat sasaran. Bukan pengajian pada orang yang sudah ngerti Al Quran, bukan pengajian yang menyuruh haji orang yang sudah berhaji, menyuruh ngaji orang yang sudah ngaji tiap hari, menyuruh orang shalat yang sudah shalat, dst.


"Tidak apa-apa kalau ilmu agamamu masih pas-pasan, itu malah membuatmu menjadi rendah hati. Banyak orang yang sudah merasa tahu ilmu agama, malah menjadikannya tinggi hati, " begitu pesan Cak Nun.


"Kalau saya kadang bicara pakai bahasa Jawa, jangan dibilang Jawasentris..saya cuman berekspresi sebagai orang Jawa..saya lahir dan dibesar di Jawa..diperintah Tuhan jadi orang Jawa...maka saya mencintai dan mendalami budaya saya..siapa bilang Jawa itu tidak Islam..kalau saya ayam saya nggak akan jadi kambing..kalau anda kucing jangan meng-anjing-anjing-kan diri..Kita memang disuruh Bhineka (berbeda-beda) kok..!"

Banyak orang salah kaprah menyebut Cak Nun sebagai penganut kejawen. Kejawen ndasmu... 'Software' Cak Nun lebih canggih karena laku tirakat luar biasa yang dilakukan sejak kecil. (Laku tirakat yang tidak bertujuan untuk menguasai ilmu hitam koyok mbahmu mbiyen). Sehingga beliau waskito, mempunyai sidik paningal, mempunyai pandangan yang tajam dan jernih soal kehidupan.

Little bit wagu kalau ada orang Jawa (atau Indonesia) yang malah membangga-mbanggakan budaya Arab atau Barat. Benci kebaya tapi nggak ngasih solusi bagaimana kebaya bisa Islami. Ingat : Jowo digowo, Arab digarap dan Barat diruwat.

Musik Itu Tidak Ada Agamanya
Cara dakwah Cak Nun hampir mirip dengan dakwah yang dilakukan Sunan Kalijaga. Satu-satunya Wali yang mengerti bahwa dakwah harusnya digarap secara kultural dan strategi ke-Jawa-an, karena wilayah dakwahnya ada di Jawa. Begitu juga Cak Nun dalam dakwahnya yang berpartner dengan kelompok musik Kyai Kanjeng pimpinan Nevi Budianto.

Ada cerita ketika Cak Nun dan Kyai Kanjeng bertemu dengan Yusuf Islam (Cat Stevens) seorang penyanyi pop lawas di London. Yusuf Islam yang Mualaf ini heran, dipikirnya seorang muslim itu diharamkan main musik. Rupanya mas Yusuf ini mengartikan ayat (hadits) secara harfiah atau tekstual. Tahu khan bunyi hadits-nya? sip, pinterrr.
Yusuf Islam ditanya sama Cak Nun, " Awakmu mrene numpak opo mas.?"
"Numpak montor cak..." jawab Yusuf Islam.
"Seperti mobil, musik itu netral, tidak ada agamanya, bisa dipakai sebagai kendaraan ke surga atau ke neraka.....bermusik boleh saja, asalkan tujuannya untuk mengagungkan Allah. Masjid pun kalau untuk memusuhi Allah, justru jadi sarana masuk neraka, " jelas Cak Nun yang menggunakan musik Kyai Kanjeng sebagai kendaraan untuk berdakwah.
"Oalaa..ngono yo cak,..yo wis suwun..see you tomorrow, " akhirnya mas Yusuf pun melanjutkan kegiatan musiknya sampai sekarang. Semprul, gara-gara tafsir harfiah, karier musiku rusak mblo, begitu mungkin batin Yusuf Islam.

Bukan musiknya yang haram tapi musik yang apa, bagaimana dan untuk apa. Hidup manusia tak bisa lepas dari musik. Unsur musik itu : bunyi, nada dan irama. Kalau bunyi dilarang, awakmu nek ngising ojok sampek ngeden...!. Manusia bicara pun pakai nada, tempo dan irama. Nada omongan Jawa berbeda dengan orang Batak atau suku lain. Saat berjalan pun, sadar atau tidak sadar, pakai irama dan tempo. Dan seterusnya...(Sori saya nggak memperpanjang soal ini...bakalan bisa jadi berlembar-lembar tulisan...ndas mumet mblo.)

Jangan Sampai Diperalat Sekolah
Cak Nun tidak pernah menempuh pendidikan (formal) yang tinggi. Pendidikannya hanya sampai semester 1 Fakultas Ekonomi UGM. Tapi Cak Nun tampil dengan cerdas dan meyakinkan dalam seminar-seminar berdampingan dengan nama-nama top markotop, bergelar akademik tertinggi. Yang sekolahnya jauh di Amrik sana. Malah Cak Nun yang selalu lebih ‘bintang’ dari siapapun di forum-forum tersebut. Profesor pun kadang minder kalau 'diadu' sama Cak Nun dalam sebuah dialog kebudayaan atau hal yang lain.

Satu-satunya orang yang diakui Cak Nun sebagai guru adalah Umbu Landu Paranggi. Seorang sufi (begitu Cak Nun menyebutnya) yang banyak membimbing Cak Nun menemukan makna dan hakikat hidup melalui sastra di 'universitas' Malioboro. Walau Umbu beragama Marapu, agama asli Sumba, itu tidak menjadikan halangan Cak Nun untuk terus menimba ilmu darinya.


Ilmu tidak selalu diperoleh dari guru, ustadz, kyai, ulama atau ahli agama. Kebenaran bisa datang dari siapa saja. Seorang bajingan bisa saja membuka mata hatimu pada sebuah hidayah. Seorang ulama bisa saja membuatmu ‘kerdil’ dengan ilmu pengetahuan dan keyakinan yang kamu dekap erat. Yang membuatmu jadi menutup diri pada ilmu dan pengetahuan yang ada di luar sana. Yang kamu anggap bertentangan dengan keyakinanmu.


Belajar boleh pada apa dan siapapun. Nggak masalah mempelajari Fir'aun, Hitler, Che Guevara, Fidel Castro dan lainnya. Semua yang ada di dunia ini adalah cahaya ilmu. Selama kita dewasa, kita nggak akan gampang 'masuk angin' oleh kalimat kayak apapun. Yang penting nggak mudah terseret untuk menyalahkan atau membenarkan. Ambil saja makna dan manfaatnya. Simpan yang baik, tendang jauh-jauh yang mblendes.

"Saya merasa bersyukur karena saya dilindungi Tuhan sehingga dihindarkan dari sekolah yang saya masuki. Selalu diusir oleh sekolah-sekolah tadi . Itu karena desakan untuk meneliti diri saya sangat besar. Dan itu diganggu oleh guru-guru saya, " kelakar Cak Nun serius (kelakar kok serius..ya'opo se rek).

Kalau kita cermati saat bayi baru lahir. Kok si bayi ini menggerak-gerakan mulutnya, bisa tahu tempat dan caranya menyusui. Maka sebenarnya pendidikan itu jangan ge-er, guru itu tidak bisa mengajari orang, guru itu bisanya menemani. Agar murid punya bahan dalam rangka meneliti dirinya sendiri. Kalau kita tidak tahu diri kita ini siapa, bagaimana kita tahu kemampuan kita.

Kalau nggak tahu kita ini kiper apa penyerang, maka saat di lapangan sepakbola, kita bakalan kebingungan, aku iki lapo nang kene..? Kalau kucing jangan diajari menggongong. Kalau kambing jangan diajari terbang. Maka kenali dirimu, barang siapa mengenali dirinya sesungguhnya ia mengenali Tuhannya.

Kalau kamu bernama Paimo. Apa kamu itu memang Paimo? Itu khan nama yang diberikan bapakmu. Kalau kamu menamai dirimu sendiri, pasti bukan Paimo. Jadi dirimu itu bukan Paimo, bukan Markeso, bukan semua itu. Dirimu dijadikan tertutup. Begitu kamu punya orang tua, begitu masuk sekolah TK sampai kuliah..kamu ditutupi. Tugas sekolah adalah membuka tabir siapa dirimu, memberikan alat supaya mengenal dirimu. Sekolah malah menutup-nutupi dan malah ditambahi sarjana anu, ditambah doktor, ditambah kepala dinas, dsb.

"Kamu itu harus jadi tuan, sekolah itu alat anda, jangan sampai diperalat sekolah. Andai kamu perlu ijazah, oke no problem..ikutilah aturan sampai mendapatkan ijazah. Tapi tidak ada hubungannya dengan cari ilmu. Kalau cari ilmu ya banyak tempatnya, tidak hanya di sekolah. Kuliah itu mencari ijazah untuk membahagiakan orang tuamu. "

Jadi jangan salah niat. Kalau niatnya mencari ilmu, goblok koen mblo..! Kita bersekolah itu biar punya sertifikat buat mencari pekerjaan. Sekolah itu tidak mengenal Tuhan. Tuhan tidak diakui secara akademis. Karena Tuhan tidak bisa diteliti, didata, dianalisis dan disimpulkan. Segala sesuatu yang tidak memenuhi persyaratan akademis (nggak ilmiah) itu tidak diterima. Jadi semua universitas itu sebenarnya atheis...!

Pastikan anda tidak terjajah oleh dunia pendidikan. Penting mana anda sekolah atau belajar? Anda 'diperalat' sekolahan atau anda 'memperalat' sekolahan? Anda bergantung pada sekolah ataukah sekolahan yang tergantung pada anda? Terhadap pendidikan, jadikan anda subyek dari sekolahan, bukan obyek sekolahan.


Alat kejahatan yang paling canggih adalah aturan-aturan, maka bikinlah aturanmu sebelum kamu dikalahkan orang lain dengan menggunakan aturan dia.


"Kamu itu sekarang diatur oleh yang membuat sekolahan..kamu seharusnya nyantri tapi kamu dikasih aturan : nyantri itu tidak ada masa depannya, yang bermasa depan itu sekolah. Dan sekolah mempunyai aturan yang lebih detail lagi, bahwa orang harus jadi S1, S2.." kata Cak Nun di depan santri-santri NU suatu kali.

Pendidikan itu tujuannya sederhana, biar kita tidak kesasar saat kembali ke Tuhan. Maka teruslah belajar agar tidak kesasar. Sebenarnya tidak sekolah itu lebih baik tapi tetap ente harus sekolah mblo..!. Karena begitu sekolah kamu lupa dirimu, ketutupan. Begitu kamu sarjana, kamu pikir kamu itu sarjana. Sarjana itu bukan hakikat, bukan wujud, bukan kasunyatan. Sarjana itu cuman kartu parkir. Maka niatkan sekolah untuk membahagiakan orang tuamu. Ngono ae wis dan itu adalah motivasi yang paling tinggi. Cepatlah lulus biar orang tuamu bahagia. Beressss.

Demokrasi adalah Diktator Mayoritas
Cak Nun adalah seorang 'pejalan sunyi'. Beliau 'out of the box' dari semua hiruk pikuk duniawi. Sekarang tidak pernah mau tampil di media nasional. Hanya mau tampil di TV lokal, itu pun bukan keinginan Cak Nun. Tapi media yang datang, merekam event dan menyiarkannya.Tanpa transaksi, karena memang tujuannya sodaqoh .

"Saya nggak mau diatur media." kata Cak Nun.

Cak Nun bukan NU juga bukan Muhammadiyah atau yang lainnya. Beliau orang yang fleksibel, bisa menempatkan dirinya di semua kalangan dan aliran. Malah kalangan dan aliran tertentu yang tidak bisa menerima Cak Nun. Menurutnya, agama tidak dianjurkan untuk di-lembaga-kan. Yang penting sebisa mungkin akhlak kita seperti Rasulullah.

Cak Nun tidak pernah jadi anggota sebuah organisasi atau partai politik. Kalau beliau jadi ketua dewan syuro SAR Jogja, itu karena diminta dan alasan kemanusiaan yang nggak mungkin ditolak. Pernah juga jadi anggota ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) atas permintaan BJ. Habibie yang berjanji akan menyelesaikan kasus Kedungombo yang ditangani Cak Nun. Tapi ternyata janji tinggalah janji, Cak Nun pun keluar dari ICMI.

"Saya tidak berpolitik dan jangan sampai ada politisi Indonesia yang boleh masuk dalam pikiran saya, apalagi dalam hati saya, karena syarat rukunnya tidak terpenuhi sama sekali..!" tegas beliau.

"Ahmaq adalah orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu..orang yg tidak mau mendengarkan, memikirkan dan mempertimbangkan pendapat-pendapat orang lain. Demokrasi di Indonesia adalah salah satu bentuk dari ke-ahmaq-an. sudah berkali-kali tertipu dan menjadi korban, tapi tetap dipakai juga.." kata Cak Nun.

Cak Nun sendiri nggak suka dengan demokrasi (Indonesia). Baginya demokrasi adalah diktator mayoritas. Yang menang adalah yang mayoritas (suara terbanyak), bukan yang benar. Politik kita adalah politik yang tidak mungkin melahirkan pemimpin sejati. Kerikil bisa ditempatkan di maqam-nya berlian, begitu juga sebaliknya. Orang sehebat apapun tidak akan pernah menjadi apa-apa kalau tidak ikut Parpol.

Cak Nun juga menganggap kampanye partai di Indonesia itu aneh. "Kalau ada partai kampanye di depan kader partainya sendiri, itu namanya onani..!"

Partai itu seharusnya kampanye kepada partai yang lain. Kampanye kok di depan anggotanya yang jelas sudah tahu persis misi dan tujuan partai tersebut. Menurut Cak Nun, jargon Pemilu-pun juga salah kaprah (langsung, umum, bebas dan rahasia). "Bebas kok rahasia..kalau rahasia ya nggak bebas..! Ya'opo se rek."


Karena sikapnya yang indepeden itulah Cak Nun sempat dicap sombong oleh sebagian kalangan. Cak Nun menanggapi hal itu dengan santai :
"Saya memang sombong. Harus itu! Sombong kepada dunia itu wajib hukumnya. Yang tidak boleh itu sombong kepada Tuhan. Tapi, kepada dunia, kepada popularitas, kepada semua yang ada di dunia, kepada uang, harta benda, anda harus sombong! Kalau tidak, anda hanya akan jadi budak dunia...!"


***
Sementara ngene disik...kapan-kapan disambung maneh mblo....

Kalau ada sesuatu yang nggak paham, solusinya adalah kita belajar memahami. Kalau ada sesuatu yang tidak setuju, solusinya adalah mencoba menghayati dan menerima sesuatu yang tidak sama. Jangan lupa, bahwa kamu juga tidak sama dengan dia. Jangan berpikir kamu tidak setuju pada sesuatu hal, sesuatu hal itu juga nggak setuju dengan kamu..! Melihat uler jijik, padahal ulernya juga jijik lihat kamu. Rumangsamu..

Nggak perlu teriak : liberal! ;apalagi ngafir-ngafirno. Pikiren nang awakmu dewe, opo uripmu iku wis bener? Nek pancen Cak Nun kafir utowo liberal, terus koen kate lapo..?

Cak Nun cuman berusaha menyumbangkan gagasan dan pemikirannya untuk menunjukkan jalan lain bagi kita yang sudah beku dan merasa tak lagi menemukan cakrawala yang suejukk. Cak Nun memberikan kita sebuah alternatif cara menilai, dan menyikapi hidup. Hanya itu.


Robbi Gandamana, 10 Juli 2015
(Sumber : Mocopat Syafaat, Kenduri Cinta atau pengajian maiyah yang lain, mbah google, buku, dsb)

*Pertama kali dipublish di Kompasiana

"Janji Tuhan Jangan Dijanjikan Oleh Manusia.." [Think Different Ala Cak Nun]



Emha Ainun Nadjib atau biasa disebut Cak Nun adalah seorang ulama atau kyai yang punya pemikiran-pemikiran nggak umum, kadang kontroversial, berbeda dari kebanyakan ustadzzzz. Tapi tentu saja pemikirannya sangat masuk akal, brilian, otentik dan bisa dipertanggungjawabkan . Ulasan di bawah ini adalah beberapa dari banyak sekali pemikiran beliau yang saya anggap sangat dahsyat untuk bahan renungan dan pembelajaran.

Ingat : Tulisan ini khusus untuk para gentho yang sedang berproses mencari kebenaran Tuhan. Sing ngaku alim atau ahli ibadah minggir dulu, menengo disik, gak usah komen. Jangan berharap ada dalil-dalil dari Syekh Zulkifli Jabal Syueb Sanusi (embuh sopo iku).

Banyak Orang Beribadah Yang Masih Salah Niat
Beberapa tahun belakangan marak 'sedekah ajaib' yang sering digiatkan oleh seorang ustad 'nganu'. Cak Nun mengingatkan, "Sedekah itu dalam rangka bersyukur, berbagi rejeki bukan dalam rangka mencari rejeki. Kalau anda mengharapkan kembalian berlipa-lipat dari sedekah, itu bukan sedekah..tapi dagang!"
Beliau tidak mengecam juga, lha wong taraf imannya masih segitu kok.

Kalau menyedekahkan uang, sepeda motor, mobil, rumah, helikopter atau apa pun..kasih saja..titik! Setelah itu jangan berharap apa-apa. Walau kita yakin akan dibalas dengan berlipat ganda tapi ketidaktepatan dalam niat menjadikan sedekah bukan lagi sedekah, melainkan sekedar jual beli. Sedekahnya sudah bagus tapi janji Tuhan jangan dijanjikan oleh manusia..!

Banyak orang beribadah yang masih salah niat. Naik haji biar dagangannya lebih laris. Shalat Duha biar diterima jadi PNS. Ibadah itu dalam rangka bersyukur..titik!. Menangislah pada Tuhan tapi bukan berarti jadi cengeng. Nabi dalam shalatnya menangis tapi sebenarnya itu adalah menangisi. Beda antara menangis dan menangisi. Kalau menangis itu kecenderungan untuk dirinya tapi kalau menangisi itu untuk selain dirinya : orang tua, anak, istri, saudara, sahabat dan seterusnya.

Ada seorang pedagang miskin yang daganganya nggak laku, dia sabar dan ikhlas : "kalau memang saya pantasnya miskin , dagangan saya nggak laku..saya ikhlas..manut...yang penting Tuhan ridha sama saya." Malah keikhlasan seperti ini yang langsung dijawab oleh Tuhan dengan rejeki berlimpah yang tak disangka-sangka datangnya.
Tapi kalau kita yang ditimpa sial, dagangan nggak laku, biasanya langsung mewek : "Ya Tuhan kenapa saya kok miskin, dagangan nggak laku, gak iso tuku montor....aku salah opo se..!???" Waaahh...malaikat langsung gregetan, njundu raimu : "Ohhh..cengeng koen iku!!!"

Iman seseorang memang tidak bisa distandarisasi. Tiap orang mempunyai kapasitas iman yang berbeda . Makanya kalau jadi imam harus paham makmumnya. Makmumnya koboi tapi bacaan imamnya panjang-panjang disamakan dengan anak pesantren. Akhire makmumnya nggerundel, gak ihklas ,“matane…!”

Cak Nun mengingatkan, usahakan berbuat baik jangan sampai orang tahu. Kalau bisa jangan sampai orang tahu kalau kita shalat. Lebih ekstrim lagi, jangan sampai Tuhan tahu kalau kita shalat (walau itu nggak mungkin). Pokoknya lakukan saja apa yang diperintahkan dan jauhi yang dilarang-Nya..titik!. Itu adalah sebuah bentuk keikhlasan, tanpa pamrih yang luar biasa. Sudah suwung, sudah nggak perduli dengan iming-iming imbalan pahala, yang penting Tuhan ridha, nggak marah sama kita.

Motong rambut atau kuku nggak harus nunggu hari Jum'at. Mau 'hohohihe' aja kok ya harus nunggu malam Jum'at. Itulah kita, tarafnya masih kemaruk pahala. Nggak ada pahala, nggak ibadah. Ini jangan diartikan meremehkan Sunnah Rasul. Pikiren dewe..

"Surga itu nggak penting.." kata Cak Nun suatu kali. Tuhan memberi bias yang bernama surga dan neraka. Tapi kebanyakan manusia kepincut pada surga. Akhirnya mereka beribadah tidak fokus kepada Tuhan. Kebanyakan kita beribadah karena ingin surga dan takut pada neraka. Kelak kalau kita berada di surga, bakalan dicueki oleh Tuhan. Karena cuma mencari surga nggak mencari Tuhan. Kalau kita mencari surga belum tentu mendapatkan Tuhan. Tapi kalau kita mencari Tuhan otomatis mendapatkan surga. Kalau nggak dikasih surga, terus kita kost dimana???

"Cukup sudah, jangan nambah file di kepalamu tentang surga dan neraka..fokuskan dirimu pada Tuhan. Karena sebenarnya orang yang berada di surga adalah orang yang mencari Tuhan. Dzat yang sangat layak dicintai di atas segala makhluk dan alam semesta..." kata Cak Nun.

Tolong jangan diartikan 'nggak penting' di sini adalah sebuah bentuk kesombongan. Itu sebenarnya adalah sebuah ungkapan pada orang yang level keimanannya sudah tinggi. Soal surga dan neraka sudah tidak menjadi tujuan ibadah mereka lagi. Mereka hanya berfokus pada Tuhan. Walaupun sebenarnya surga dan neraka tetaplah penting.

Kuncinya Kesehatan Adalah Berpikir Dengan Benar
Ilmu kesehatan Cak Nun berbeda dengan ilmu kesehatan pada umumnya. Beliau tidak percaya bahwa olahraga itu pasti sehat.
"Gizi iku asline gak ono rek...tapi ojo diomongno dokter lho yo.." kata Cak Nun.
Omongan Cak Nun itu jangan diartikan linier dan harfiah. Bisa jadi itu cuman cara berpikir dan sugesti aja.

Kalau kita cermati bayi jaman dahulu yang hanya dikasih pisang atau tajin. Kok ya bisa tubuhnya tumbuh jadi besar. Atau gelandangan yang hidup di jalan bertahun-tahun makan nggak jelas apa yang dimakan, kok ya bisa hidup dan nggak pernah sakit. Dan masih banyak contoh yang lain.

Menurut Cak Nun kunci kesehatan itu terletak pada pikiran yang benar. Kalau pikiran kita salah maka akan membuat disorganisasi otak. Perintah yang datang dari otak ke organ tubuh yang lain (saraf, jantung, ginjal dan lainnya) akan jadi kacau. Maka akan menimbulkan sakit-sakit.

Usahakan dalam segala hal cara berpikir kita benar, walau kita nggak mampu bertindak untuk mewujudkan kebenaran itu. Misal kita tahu ada seorang presiden yang dalam pikiran kita dia nggak benar tapi kita tidak bisa merubahnya. Itu sudah beres, minimal pikiran kita sudah tepat.

Maka hati-hatilah dalam berpikir. Karena pikiran akan jadi ucapan. Dan ucapan akan jadi perbuatan. Perbuatan yang terus menerus akan menjadi kebiasaan. Karena sudah menjadi kebiasaan maka akan menjadi karakter hidup. Kalau sudah menjadi karakter lama-lama menjadi unsur dari kebudayaan dan bersama-sama menjadi kebudayaan masyarakat. Kalau kebudayaan masyarakat dibiarkan tanpa kritik atas dirinya maka dalam jangka waktu tertentu akan menjadi peradaban. Kalau sudah jadi peradaban, susah untuk dirubah lagi. Ibarat batu yang sudah jadi akik.

Begitu juga Endonesah dengan korupsinya, dengan kecurangannya, dengan kedengkiannya..tidak bisa dirubah lagi. Maka pisahkan dirimu dengan Endonesah yang itu.Temukan dirimu, kamu regulasi lagi, kamu teliti lagi benihmu, kesejatianmu.

Per-nya hidup adalah berpikir dengan benar. Tidak kebenaran berpikir akan membuat destruksi, disorganisasi sel-sel maupun urat-urat syaraf otak. Selanjutnya urat-urat syaraf yang kacau tadi menurunkan perintah ke seluruh tubuh dan dalam jangka panjang terakumulasi menciptakan sakit-sakit...stres, daya tahan tubuh berkurang, perut sakit, stroke, dsb.

Kunci kesehatan terletak di pikiran bukan di hati. Kalau hati tugasnya bertapa. Orang yang selamat adalah yang hatinya bertapa, tidak lirik kanan lirik kiri. Sekarang nikah, besok selingkuh, cerai, kawin lagi, selingkuh lagi, cerai lagi dan seterusnya.

Pernah suatu kali Cak Nun bertanya pada dokter, "Dok, jantung itu baiknya dipacu atau dihemat..?"
Doktere ngelu ndase. "Ono-ono ae sampeyan iku.....yooo dihemat..," jawab dokter seperti nggak yakin.
"Mangkane jangan suruh saya olahraga, " kelakar Cak Nun.

Dalam guyonannya suatu kali, beliau bilang kalau di Lauh Mahfudz konon tiap manusia dijatah detak jantung sekian milyar detak. Dan jatah tiap manusia berbeda .
“Soal benar tidaknya itu…aku yo gak eruh rek..” kata Cak Nun.

Dulu Cak Nun sempat berolahraga bulutangkis. Tapi sekarang tak dilakukannya lagi. "Itu bukan olahraga, itu penyiksaan!" kata beliau berkelakar.
Lihat saja saat shuttle cock menuju ke kanan, kita ikut lari ke kanan. Saat shuttle cock menuju ke kiri, terpaksa kita juga ikut ke kiri. Bagi beliau, olahraga itu harus berdaulat. Tubuh dan pikiran bebas melakukan sesuatu gerak atau aktifitas yang membuat tubuh jadi nyaman/sehat. Tapi yang terjadi adalah kita dipaksa oleh lawan untuk mengejar shuttle cock .

Orang sekarang tidak bisa membedakan antara olahraga dan permainan. Saat bermain sepakbola sebenarnya yang disebut olahraga itu saat pemanasan atau latihan. Tapi pada saat bertanding itu adalah permainan. Karena pikiran nggak merdeka, kita lari ke sana kemari mengejar bola karena dipaksa oleh lawan.

Tidak berarti Cak Nun anti olahraga. Olahraga tentu saja baik tapi kita hendaknya bisa memaknai semua itu dengan tepat. Dengan begitu tubuh kita nggak gampang capek dan sakit. Ini nggak cuma teori nggedabrus atau wacana omong kosong. Bukti otentiknya pada Cak Nun sendiri, yang masih lincah di usianya yang sudah kepala 6. Aktivitas luar biasa dengan jadwal jadi pembicara atau pengajian yang padat dan tidur nggak sampai 5 jam tiap harinya.

Menurut penelitian, gerakan shalat dan wudhu itu sebenarnya gerakan olahraga dan pijat refleksi yang asli ciptaan Tuhan. Mengalahkan semua gerakan olah raga ciptaan manusia : Tai Chi, Yoga, SKJ, Goyang Dombret, dsb. Kalau kita melakukan dengan benar, teratur dan waktu yang tepat maka dijamin akan menyehatkan.

Manusia diturunkan Tuhan di bumi sebagai khalifah (wakil Tuhan) untuk mengolah dan memanfaatkan apa yang ada di alam semesta. Atas dasar inilah Cak Nun yakin bahwa manusia mempunyai kedaulatan atas dirinya . Sampai batas tertentu kita bisa memerintah tubuh kita. Jadikan semua yang ada dirimu itu sebagai anak buahmu. Tanganmu adalah bagian dari tubuhmu tapi itu bukan kamu. Seperti juga matamu itu bukan kamu. Kalahkan mereka dengan niat dan sugestimu. (Tapi ya nggak iso rai welek diperintah dadi ayu).

Menurut Cak Nun, satu obat pun bisa diperintah jadi obat sakit yang lain. Ketika MUI mengharamkan pengobatan batu oleh Ponari di Jombang, Cak Nun pikir itu tidak tepat. Apa bedanya batu, kapsul atau obat yang lain. Sama-sama benda mati. Kesembuhan dari Tuhan bisa lewat apa saja. Syirik atau bukan itu tidak terletak pada bendanya tapi pada niat dan konsepnya.

Karena umur sudah kepala 6, maka otomatis kemampuan tubuh pun menurun. Begitu juga dengan kemampuan penglihatan Cak Nun. Tapi dengan keyakinan dan sugesti tadi, beliau melatih, memerintah matanya untuk bisa melihat dengan normal. Sekarang mata beliau bisa normal lagi tanpa harus pakai kaca mata. Tentu saja tidak semua orang bisa berhasil dengan itu. Kasihan para penjual kaca mata...gak payu mblo.

Tidak Ada Manusia yang Suka Puasa
Suatu kali beliau bertanya pada jamaahnya, "Kalian suka puasa nggak..?"
Reaksi jamaahnya beragam, ada yang jawab "Suka..!" dengan semangat dan ada yang jawab "Yaa..suka.." dengan malu-malu seolah nggak yakin.
"Alaa raimu...nggak ada manusia yang suka puasa..!" kata Cak Nun.

Menurut Cak Nun, manusia itu melakukan puasa karena perintah Tuhan (apalagi perintahnya wajib). Kalau manusia suka puasa, ya nggak akan diperintahkan..ngapain, lha wong sudah suka kok. Berhubung itu perintah Tuhan dan hukumnya wajib, mau nggak mau harus dijalankan. Tapi manusia menjalankannya dengan ikhlas sebagai bentuk cinta pada Tuhannya. Dan orang hebat adalah orang yang melakukan dengan ihklas perbuatan yang tidak disukainya. Kalau orang melakukan sesuatu karena memang suka..ya apa hebatnya.

Sifat dasar manusia adalah lebih banyak meminta daripada memberi. Sebuah perintah (Tuhan) harus diiming-imingi imbalan dulu. Kayak anak kecil yang diiming-imingi coklat kalau mau si anak hapal ayat suci tertentu. Imbalan pahala yang sangat besar itu adalah sebuah bentuk stimulus agar manusia tergerak dan jadi suka. Itu pun nggak jadi jaminan manusia mau melaksanakan.

Kalau hukumnya nggak wajib, maka segelintir orang yang mau melaksanakan. Perhatikan saja saat puasa sunnah Syawal, walaupun diiming-imingi 'puasa seminggu pahalanya sama dengan puasa setahun', hanya sedikit orang yang menjalankan. "Males boss..cuman puasa sunnah..nggak wajib!"

Dan puasa (atau semua ibadah yang lain) bukan untuk kepentingan Tuhan. Tuhan gak pathe'en, manusia mau melakukan atau tidak..gak ngurus!. Semua sudah ada aturan dan sanksi yang jelas. Puasa itu 100% untuk kepentingan manusia. Untuk kebaikan, pelatihan dan pemahaman manusia.

**
Masih buanyakk pemikiran-pemikiran nyeleneh tapi cerdas dari beliau yang kalau ditulis bisa jadi disertasi…tapi sementara ini dulu mblo… kesel nulise, enak awakmu cuman moco tok ae huwehehehe…………………………(bersambung).


(Robbi Gandamana. 3 juli 2015. Sumber : Mocopat Syafaat, Kenduri Cinta atau pengajian maiyah yang lain, mbah google, buku, dsb)

*Pertama kali dipublish Kompasiana

"Belajar Agama Kok Sama Budayawan, Cak Nun..!"

Banyak yang menyebutnya sebagai kyai mbeling. Dalam ceramahnya, Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun nggak jarang menggunakan kata-kata yang sangat rakyat jelata(ndasmu, asu, jancok, taek, dsb) dan nylekit. Yang tentu saja menyesuaikan dengan audience-nya saat itu (tidak di depan anak kecil atau semacamnya).

Cak Nun sengaja begitu agar tidak dikultuskan, tidak ingin di-wali-wali-kan oleh jamaahnya. Kalau orang yang pikirannya linier, sempit, tidak paham kontek, nggk kenal beliau..pasti bakalan berpikiran negatif, mengkafir-kafirkan.

Pernah suatu kali saat diundang di sebuah sarasehan, Cak Nun menyebutkan bahwa kita ini sesat, ulama-ulamanya sesat, semuanya sesat.
"Coba tunjukkan satu saja di Indonesia ini yang tidak sesat," kata Cak Nun saat itu.
Mereka yang tidak kenal dan tidak terbiasa dengan omongan Cak Nun, marah besar. Terutama mereka-mereka yang masih muda.

Kita memang masih sesat karena setiap kita sholat diwajibkan membaca ayat 'Ihdinash Shirathal Mustaqim' yang artinya tunjukilah kami jalan yang lurus.
"Kalau sudah merasa lurus dan benar maka nggak usah ikut pengajian..di sini tempatnya orang sesat yang terus mencari kebenaran dan jalan yang lurus."

Cak Nun tidak ingin masyarakat umum mengenalnya sebagai kyai, haji, ustadz atau gelar-gelar semacam itu. Beliau sengaja mencopot gelar-gelar tersebut. Pernah suatu kali Cak Nun jadi seorang pembicara dalam acara seminar. Panitia membuat Spanduk penyambutan yang isinya kurang lebih : "Selamat datang KH Emha Ainun Nadjib...."
Cak Nun pun bercanda sama panitia-nya, "Mas kalau gelar saya Kyai Haji..terus gelarnya Rasullulah apa mas ..: 
Kanjeng sepuh Kyai Haji Panglima Besar Waliyullah Nabiullah blablablablablabla..Muhammmad SAW."

Dan kayaknya Cak Nun berhasil dengan cita-citanya itu. Kebanyakan orang menganggapnya sebagai tokoh budaya, penyair atau seniman. Ketika ada jamaahnya Cak Nun yang bicara pemikiran (bukan ajaran) Cak Nun tentang agama, mereka sinis : "Kok percaya sama omongannya penyair... belajar agama kok dari seorang budayawan..!"

Tongkrongannya pun biasa saja, tidak menampakan diri sebagai seorang kyai. Menurut beliau :

"Agama itu letaknya di dapur, nggak perlu dipamerkan di warungnya...nggak masalah kamu masak di dapur pakai gas, kompor biasa atau apa pun yang penting yang kamu sajikan di ruang tamu adalah masakan yang menyenangkan semua orang..begitu juga dengan agama, nggak masalah agama apapun yang di anut yang penting output di masyarakat itu baik..jadi orang yang mengamankan, menentramkan, menolong saat dibutuhkan.."

Cak Nun adalah salah satu tokoh gerakan reformasi (yang tidak diakui negeri ini), melengserkan sekaligus guru ngajinya Presiden Soeharto. Yang membujuk Gus Dur untuk mau jadi presiden dan mengajaknya meninggalkan istana saat Gus Dur di-impeachment oleh MPR.

"Lapo sampeyan nang istana setan...ayo mulih nang istana malaikat..!" ajak Cak Nun pada Gus dur.
"Nang endi istana malaikat iku Cak..?" tanya Gus Dur.
"Yo nang Ciganjur (rumah Gus Dur)..!" jawab Cak Nun.
Setelah itu Gus Dur keluar istana cuman pakai kaos oblong dan celana kolor.

Saya rasa jarang ada orang yang begitu ikhlas, berani, cerdas, arif seperti beliau. Walaupun pendidikannya cuman sampai semester 1 fakultas Ekonomi UGM tapi otaknya melebihi seorang profesor. Profesor pun minder kalau disandingkan dengan Cak Nun. Karena beliau adalah berlian yang intelektualitasnya mumpuni.

Banyak sekali aktifitas Cak Nun demi keutuhan NKRI yang tak pernah diakui, ditulis dalam sejarah Indonesia. Dan sekarang beliau memutuskan untuk out of the box dari semua itu. Indonesia mengalami sakit kronis parah. Ilmu manusia pun nggak sanggup untuk menyembuhkan Indonesia.

Cak Nun pun tak lagi mau tampil di media nasional. Menyibukan diri dalam kegiatan pengajian, shalawatan dan semacamnya (Mocopat Syafaat, Juguran Syafaat, Kenduri Cinta, Bang Bang Wetan dan sebagainya).
Cak Nun tidak mengakui negara Indonesia. Beliau cuma seorang penduduk Indonesia saja. 
"Saya tidak menganjurkan anda Golput...tapi kalau anda nggak Golput itu goblok..! Wis ngerti dike'i taek kok yo gelem ae...tiap lima tahun sekali dike'i taek kok yo ora kapok-kapok..! Terus anda masih penasaran : 'jangan-jangan ini lidah saya ya..? lho kok pahit..lho kok??'.."

Dalam setiap acara seminar, sarasehan atau apa pun namanya Cak Nun tidak pernah perduli soal honor. Dibayar atau tidak dibayar bagi Cak Nun tak masalah. Cak Nun mewanti-wanti pada manajemen yang ngurusi Cak Nun untuk tidak menyebutkan angka. "Berapa sih yang akan anda bayarkan pada saya??...dibayar berapapun nggak akan cukup!...Maka lebih baik tidak usah. Bukannya saya hebat...tapi saya takut menyinggung perasaan Tuhan. Urusan Akhlak dan dagang harus dipisahkan. Jangan sampai akhlak dikapitalisasi."

Ustadz dibayar itu bukan karena transfer ilmunya, tapi karena tenaganya, waktunya yang dikorbankan, akomodasinya dan seterusnya. Karena itu tidak selayaknya kalau ada Ustadz, Motivator, Guru Ngaji pasang tarif.

Cak Nun yang menyebarkan kebaikan, membuka pori-pori kecerdasan, mencerahkan, membesarkan hati para jamaahnya tanpa minta imbalan apa pun. Beliau selalu memposisikan sama dengan jamaahnya. Sama-sama belajar dan mencari kebenaran bersama.

***
Berikut ini cuplikan beberapa pituturnya tentang ketidakinginanya untuk dikultuskan :

"Awas kalau sami'na wa atho'na (kami dengar dan kami taat) sama saya....tak tonyo ndasmu..!
Karena di maiyah ini semua orang berposisi sama.
Di sini tidak ada kyai-nya, tidak ada imam-nya, tidak ada mursid-nya, tidak ada syekh-nya.
Biasanya khan sebuah perkumpulan pengajian atau tariqat ada 'ndas-ndasane' yang harus ditaati sama jamaahnya.
Yang harus anda taati hanya Rasullulah dan Allah..bukan saya...saya nggak mau..!
Soalnya kalau anda taat sama saya..Saat kamu nyolong..saya nggk bisa nolong kamu di akhirat.
Hanya Allah dan syafaat Rasulullah yang bisa menolong kamu.
Kalau kamu taat sama saya..apa gunanya?
Saya sendiri masih harus taat sama Rasullah dan Allah.

Di sini adalah majelis ilmu..mencari kebaikan bersama dan tujuanya bukan untuk menguasai Indonesia..tapi mencari kebenaran bersama.
Jangan hidup menurut Cak Nun. Hidup sekali kok menurut Cak Nun..menurut Cak Nun, menurut syekh ini, menurut ulama ini, menurut itu...gak kabeh!!
Hidup itu menurut Allah, menurut Rasullullah..titik!
Hidup sekali kok menurut ini, menurut itu.
Kalau hidup menurut Cak Nun, nanti saya diseret di pengadilan Gusti Allah :
"Wong iki jarene nglakoni ngene mergo awakmu Nun.."
Terus saya njawab, "lha salahe dewe..wong kulo cuma' ngomong kok.."

Kebenaran itu tidak pada siapapun. Kecuali pada keputusan terakhir anda masing-masing. Karena itu nanti yang dihisab oleh Allah. Anda boleh mendengar apa pun, boleh menafsirkan kayak apa pun, boleh melakukan apa pun setelah itu. Tapi sebenarnya yang dinilai adalah bahwa itu menjadi keputusan anda.

Jangan pernah punya keputusan yang tidak otentik pada diri anda masing-masing. Artinya kalau shalatmu itu ya shalat kamu dan Allah..itu otentik. Bukan kamu plus Cak Nun, plus Kyai, plus Ustadz, plus Ulama dan Allah.
Sepanjang kebenaran itu anda ketahui terletak di situ maka seluruh forum apa pun tidak masalah. Karena anda dewasa, tidak gampang 'masuk angin' oleh kalimat kayak apa pun.

Jangan mau ditipu oleh siapapun yang menghadir-hadirkan Tuhan kepadamu. Yang menghalang-halangi hubunganmu dengan Allah. Jangan percaya kepada Emha Ainun Nadjib. Jangan percaya kepada Kyai, Ustadz atau siapapun. Itu hak pribadimu untuk menemukan Tuhanmu dengan gayamu dan caramu..!"

***
Begitulah segelintir cerita tentang sang Guru Rakyat yang sebenarnya bisa berjilid-jilid kalau diceritakan secara detail. Begitu banyak kiprah beliau dalam mencerdaskan rakyat negeri ini dengan gerakan Maiyah-nya yang tujuannya tidak untuk menguasai Indonesia. Indonesia itu kecil, Indonesia adalah bagian dari kampung halamanku, begitu kata Cak Nun.

Dan Maiyah bukanlah sebuah sekte, aliran, madzhab dan sejenisnya. Maiyah adalah sebuah majelis ilmu, mencari kebenaran bersama untuk membentuk manusia Indonesia baru yang tangguh, berani, cerdas dan berwawasan luas (tambahi sendiri kalau kurang).


-Robbi Gandamana-

*Pertama kali dipublish di Kompasiana

Senin, 10 Oktober 2016

Bukan Jin yang Membuat Keris Itu Sakti


istimewa

Karena masih rame orang membicarakan (memaki-maki) postingan saudara se-Islam berinisial PAL yang menginjak-injak (menghancurkan) keris karena menurutnya itu syirik, koyoke asyik nek aku nggedabrus maneh soal iki.
istimewa
Aku sendiri bukan pecinta atau kolektor keris, tapi tentu saja menghormati dan menghargai budaya negeri ini. Dan amit-amit nggak akan ngelakoni perbuatan yang dilakuken oleh saudara PAL. Aku nulis ini setelah mendapat pencerahan dari someone di fesbuk.

Banyak yang salah paham soal keris, terutama keris bertuah dibuat oleh para Mpu. Dipikirnya kekuatan gaib keris itu karena ada jinnya. Terutama mereka dari kaum penganut paham 'sesat langsung sikat' yang tidak mau mencari tahu maupun diberi tahu.

Ada baiknya pelajari dulu bahan dan teknik apa yg digunakan untuk membuat keris. Bahan pamor keris, terutama pada keris-keris kuno adalah meteor, sama seperti batu hajar aswad. Selain itu ada pula kristal-kristal yang dari sononya memang berenergi, seperti halnya bahan-bahan radioaktif.

Pembuatan keris juga disertai lelaku tersendiri oleh sang Mpu, karena itu berlimpah-limpah pula tenaga dalam dan tenaga alam yang tersalurkan dalam proses pembuatannya.

Fakta sains pada keris terlupakan karena keris selalu dijadikan benda keramat yang berkesan seram, angker.  Padahal keris juga kayak akik atau benda seni lainnya.

Kata Nikola Tesla, "Jika Ente ingin menemukan rahasia alam semesta : berpikirlah dalam hal energi, frekuensi dan getaran."

Kalau belum tahu atau baca pengetahuan tentang bahan-bahan radioaktif, peluruhan materi menjadi energi, tentang gelombang pikiran, vibrasi, radiasi, resonansi, pastilah memandang tuah keris dan pusaka sejenis sebagai kekuatan jin, kekuatan gaib, syirik, musyrik, jangkrik!

Aku dewe yo gak paham blas soal sains itu tadi. Tapi minimal pernah baca lah.

Awakmu yo ngono, ada istilah 'menjamas' langsung ribut. Penjamasan itu cuman istilah untuk merawat atau membersihkan keris (pusaka). 'Jamas' itu bahasa kromo inggil-nya dari kata 'kumbah' (mencuci). Berarti 'jamas' lebih tinggi, digunakan untuk benda yang dianggap sakral.

Menjamas juga gak perlu diseram-seramkan. Padahal Itu adalah bentuk penghormatan pada pusaka. Seperti halnya merawat dan membersihkan bendera merah putih asli yang pertama kali dikibarkan saat proklamasi dulu.

Keris adalah pusaka orang Jawa, sedang pusaka bangsa Indonesia adalah bendera merah putih. Jadi harus dirawat dan dijaga dengan sungguh-sungguh. Karena fungsi pusaka itu untuk meneguhkan diri  dalam hidup bersosial budaya dan negara. Intine soal filosofi..abot pokoke, paling awakmu yo gak eruh, alaa raimuu.

Menghormati keris atau bendera merah putih jangan diartikan syirik. Itu cuman menghormati kesepakatan dalam berbudaya dan bernegara. Maka ketika ada atlet yg mencium bendera, itu bukan berarti mencium kain dalam artian harfiah.

Koyok awakmu ngambung sempake bojomu pas kangen nang perantauan. Bukan sempaknya yg dicium, tapi cintamu dan cintanya yg terwujud di sempak itu.

Perbuatan syirik itu simpel : ketika di hatimu ada Tuhan selain Allah. Selama hati bertauhid, silahkan saja melakukan kegiatan budaya. Silahkan menghormati bendera atau lainnya.

Tuah dari keris pada dasarnya adalah memang energi dari bahan-bahan pembuatnya yang dipolakan sedemikian rupa oleh sang Mpu. Sehingga vibrasi atau getarannya mempengaruhi keadaan di sekitarnya.

Jadi posisi sang Mpu pada dasarnya sama seperti para ilmuwan yang mengolah reaktor nuklir, hendak menjadikannya bahan radioaktif tersebut sebagai penghasil listrik, atau menjadi alat pemusnah massal.

Adapun lelaku para  Mpu untuk proses pembuatan keris adalah tidak ubahnya pemfokusan pikiran dan upgrade skill guna menghasilkan keris yang lebih baik dan lebih baik lagi.

Energi yg terpola dengan baik, vibrasinya bisa memengaruhi gelombang otak orang-orang di sekitarnya. Sehingga mereka cenderung mudah menurut. Karena hal itu banyak yang menyangka keris itu penakluk orang.

Ada pula yang vibrasinya membuat orang yang punya keris lebih fokus dalam urusan keuangan (yang tentu saja akan lebih optimal dalam berniaga) dan itu menjadikan keris disangka sebagai penarik rejeki.

Jadi nggak usah nuding-nuding syirik kalau belum paham ilmunya. Dan juga jangan komentar konyol (sinis) kalau nggak ingin kelihatan gemblung bin ndlahom.

Ketika ada orang memposting dirinya menginjak-nginjak keris di Medsos, komentar : "nggak papa diinjak-injak khan benda mati.." Hadoohh Mblo, benda apa pun itu kalau sudah jadi ikon atau kesepakatan dalam bersosial budaya atau bernegara, benda itu jadi sakral.  Jadi tidak etis diperlakukan seenaknya .

Coba saja injak-injak bendera merah putih dan posting di fesbuk, dijamin ndasmu rengat dikepruki wong sak endonesah tercintah.

Jika ada dukun yang menggunakan keris untuk media perdukunannya, nggak usah diurus. Itu urusan pribadi orang dengan hidup dan Tuhannya. Bisa jadi ada keris yg dihuni (dimiliki) jin, tapi nggak bisa digeneralisasi bahwa semua keris itu benda syirik yang berisi jin.

Jadi saranku buat saudara se-Islam PAL, hentikan posting menginjak, menghancurkan benda yang menjadi ikon budaya bangsa, karena itu sama saja meremehkan dan menghina bangsamu sendiri..and that's mean war!!

Wis ngono ae..