Jumat, 07 Oktober 2016

Menginjak-nginjak Keris, Menghina Budaya Nusantara

facebook.com/perdana.akhmad
Semua agama pasti mengajarkan toleransi, menghormati perbedaan, tepo seliro (tenggang rasa). Dalam Islam secara tersirat disinggung dalam surat Al Kafirun dan mungkin surat lainnya (sori aku bukan ustadzzzz).

Kalau kamu hidup di suatu negara, kamu harus menghormati adat budaya negara tersebut. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Hormati mereka selama tidak melakukan intervensi dan tindakan dekstuktif.  Bagimu agamamu, bagi mereka agama mereka.

Apalagi kalau kamu warga asli, lahir, hidup negara tersebut. Aneh kalau merendahkan budaya negeri sendiri dan malah mengagungkan budaya asing . Konyol kalau mempertontonkan diri di Medsos menginjak-injak (menghancurkan) keris karena menganggapnya sebagai benda syirik.

Semua benda bisa jadi syirik, nggak cuman keris, jika benda tersebut dipercaya membuat si empunya kaya, sukses, rejeki lancar, lupa pada Tuhan.

Syirik tidak terletak pada bendanya, tapi pada niat, tujuan dan konsepnya. Selama hati bertauhid (meng-Esa-kan Tuhan), apa pun yg kau lakukan no problem.

Pengertian syirik itu sederhana, kalau di hati kita ada Tuhan lain selain Allah. Ngono tok. Silahkan saja percaya Feng Shui, Primbon, hari baik, hari mblendess..selama tidak menduakan Tuhan dan melupakan agama.

Saya sendiri nggak makai kitab-kitab semacam itu. Lha wong  kita Khalifatullah Fil Ardh (wakil Tuhan di Bumi). Apa pun yang ada di Bumi jadikan anak buahmu dan kalahkan semua itu dengan ke-khalifah-an dan sugesti-mu.

Feng Shui atau primbon itu merupakan hasil penelitian panjang para leluhur. Jadi nek gak paham nggak usah makai dan nggak usah nuding-nuding orang yang makai. Pelajari itu kalau mau, kalau nggak mau mempelajari ojok ngenyek, menengo cangkemmu.

Wis gak usah ngomong bid'ah. Itu ibadah Muamalah bukan ibadah wajib (Mahdhah) yang Rukun Islam itu. Silahkan lakukan apa pun selama itu baik (tidak menjerumuskan) dan tidak ada larangannya. Jadi nggak masalah ibadah dikreatifitaskan asal tidak Rukun Islam yang 5 itu.

Kalau semua perbuatan nunggu dalil atau tuntunannya, repot. Hanya malaikat yang melakukan sesuatu nunggu perintah Tuhan dulu.

Di negeri ini agama Islam di-indah-kan. Ibarat kursi yang nggak cuman kayu yang diduduki, tapi diukir, dibentuk dengan indah. Tapi sayangnya sekarang banyak yang dimusnahkan karena di-bid'ah-kan. Hari raya ketupat pun hanya dirayakan sebagian kecil umat. Banyak kearifan lokal di Nusantara musnah hanya karena kata 'bid'ah'.

Juga yang bikin muslim di sini bentrok adalah sukanya ngasih label : Islam Nusantara, Islam Arab, Islam Rileks, Islam Kaku. Jadi baiknya lakukan ibadah menurut cara dan gayamu asal jangan dikasih label. Sing penting iku ngelakoni, titik.
Kembali ke soal syirik..

Selama hati bertauhid, terserah kamu melakukan kegiatan budaya apa pun asal tidak menimbulkan kemudharatan umat. Nggak kayak ritual di gunung Kemukus , yang harus ritual  seks dulu untuk mendapatkan pesugihan. Tapi aku gak ngurus kalau kamu melakukan itu.

Orang Jawa menganggap Keris itu sebagai pusaka. Pusaka untuk pemahaman, pendewasaan, meneguhkan diri (jiwa). Keris nggak efektif buat perang, bacokan. Kalau mau bacokan pakai pedang. Yang membuat keris itu hebat adalah Mpu-nya. Jadi kalau keris dibuat tanpa Mpu yang hebat, namanya keris-kerisan.

Para Walisongo pun banyak yang memiliki keris pusaka. Misalnya Sunan Kalijaga yang punya keris Kyai Carubuk, dibuat oleh Mpu Supa. Sunan Kalijaga adalah satu-satunya Walisongo yang berhasil menyebarkan Islam secara kultural. Kostum beliau sangat Jawa, jauh dari kesan Arab.

Nabi Muhammad sendiri sangat menghormati dan menghargai budaya Arab. Beliau memakai gamis, berserban dan bercelana cingkrang karena beliau lahir, hidup dan wafat di Arab. Jadi sebenarnya ittiba' Rasul itu menghormati dan menghargai budaya sendiri.

Kostum Nabi tadi bukan karangan Nabi sendiri, juga bukan perintah Tuhan. Karena sebelum Nabi lahir, orang Arab kostumnya seperti itu. Abu Jahal, Abu Lahab juga Abu Sofyan, pakaiannya sama seperti beliau.

Kalau ada ayat, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” Terus bagaimana dengan Nabi Muhammad yang berpenampilan persis Abu Jahal atau Abu Lahab? Ternyata menyerupai di sini bukan kostumnya tapi tabiatnya.

Kalau ada muslim yg berpakaian kayak Nabi, itu soal cinta, bukan syariat. Mereka fan berat beliau. Ingin berpenampilan persis seperti nabinya. Soal kamu menganut ayat "celana di bawah mata kaki dibakar di neraka" monggo saja.

Saya tidak menolak ayat itu, cuman nggak menafsirkan harfiah begitu saja.  Idiom budaya Arab di jaman Nabi : 'Celana menutupi mata kaki itu sombong'. 

Jadi ayat itu sebenarnya "Orang sombong dibakar di neraka".  Kalau ada ayat lagi yang bilang 'memakai celana di bawah mata kaki dicueki oleh Tuhan di akhirat' itu konyol. Buat apa Tuhan ngurusi model celana, Tuhan mencueki manusia karena kesombongannya.

Tuhan nggak ndeso koyok ngono iku rek..

Saya sendiri nggak mau berpenampilan seperti Nabi Muhammad. Karena saya orang Jawa. Saya lahir, hidup dan diperintahkan jadi orang Jawa. Saya ingin jadi saya sendiri. Sunnah Nabi yang paling utama itu akhlaknya bukan kostumnya. Kostum itu tidak ada agamanya, selama menutup aurat, nyaman..silahkan pakai.

Silahkan saja sebut saya Musbil. Bagiku ittiba' Rasul itu menghormati dan menghargai budaya sendiri (selama itu sesuai syariat). Jadi kalau aku lahir dan besar di Jawa, aku akan berpenampilan layaknya orang Jawa di jaman ini.

Tentu saja nggak terus pakai jarik, blangkon dan sejenisnya. Karena itu hanya cocok untuk acara budaya tertentu, ribet kalau untuk kerja sehari-hari. Kalau memaksakan diri bekerja memakai jarik, itu salah kostum (bagiku). Tiap generasi  jaman punya fashion-nya sendiri.

Begitulah, buanyak Muslim yang belum bisa (atau takut berpikir) membedakan antara budaya dan agama, antara madzhab dan agama, juga yang lain.

Agama Islam itu agama Aqliyah (cara berpikir). Agama itu tidak berguna kalau kita tidak siap dengan akal dan logika. Kalau manusia tak pakai akal dan logika, apa bedanya dengan burung Beo yang hanya bisa meniru suara orang tapi tak paham apa yang dikatakannya.

Maka pendidikan Islam nomer satu itu penggunaan akal. Kalau bahasa ustadz-nya "Afala ta'qilun afala tatafakkarun". Apakah kalian tak memakai akal? Apakah kalian tak menelaah? Apakah kalian tak berpikir?

Banyak orang yang bicara agama tapi tidak dengan dimensi budaya dan dimensi sosial. Ketika ada kaum yang melakukan ritual adat langsung dicap musyrik tanpa mau memahami ada apa dibalik semua itu.

Padahal kebanyakan konsep ritual budaya  di Nusantara itu manembah : mempersembahkan kehidupan, jiwa raga dipasrahkan padaNya. Bukan untuk jin iprit, genderuwo dan konco-konconya.

Maka guru (ustadz, kyai, ulama) yang baik adalah guru yang membuka pori-pori kecerdasan, bukan guru yang cuman menyuruh membaca dan menghafal ayat. Murid juga jangan jadi keranjang, jadilah mesin pengolah. Ilmu yang didapat nggak cuman diterima tapi diolah.

Bagi yang sudah menemukan kebenaran nggak usah sombong, nuding-nuding orang lain sesat. Hormati mereka dalam proses menemukan. Hidayah nggak bisa dipaksakan. Kalau dipaksa dengan frontal malah mental.  Lha wong Nabi sendiri nggak bisa mengIslamkan pamannya opo maneh raimu.


Wis ah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar