Berawal di sebuah kantor mingguan 'Pelopor jogja' di utara Malioboro yang sekarang bernama Toko Corona. Umbu sebagai pengasuh rubrik sastra budaya di mingguan tersebut. Selanjutnya Umbu dengan beberapa penyair lainnya membentuk PSK (Persada Studi Klub) yang tujuannya menampung dan mengayomi para anak-anak muda yang tertarik pada dunia sastra.
Waktu itu Malioboro menjadi surga seniman, sebuah panggung imajinasi yang saat itu belum tersentuh kapitalisme, hedonism pop. Kadang-kadang di sepanjang Malioboro diadakan Poetry Singing yaitu menyanyikan puisi bersama-sama, ada Ebiet G Ade, Deded R Murad, dan Umbu Landu Paranggi sendiri.
Hampir tiap malam anak buahnya juga diajak jalan kaki menempuh sekitar 15-20 km di jalanan Yogya. Sebulan dua bulan sekali mereka jalan kaki dari Yogya ke Magelang, ke Klaten, ke Wates, ke Parangtritis, hanya dengan jalan kaki. Atau duduk saja di trotoar sesudah toko-toko tutup hingga pagi para pelajar berangkat sekolah. Itulah salah satu bentuk perkuliahan di 'Universitas' Malioboro.
Umbu selalu menekankan keterlibatan penuh dari seluruh panca indra untuk bisa menghasilkan karya yang baik dan tentu saja otentik. Nama-nama seperti : Linus Suryadi AG, Emha Ainun Nadjib, Agus Darmawan T, Korrie Layun Rampan, Yudhistira ANM Massardi, Frans R Passandaran, dan lain-lain adalah hasil gemblengan PSK.
Umbu mengajak “Jalan”, bukan “jalan-jalan”. Ada beda sangat besar antara “jalan” dengan “jalan-jalan”, antara naik sepeda dengan bareng-bareng bersepeda gembira.
Sangat beda antara bekerja dengan hiburan, antara berjuang dengan iseng-iseng, antara makan beneran dengan mencicipi, antara jalan kaki sungguhan dengan jalan-jalan. Kalau pakai konsep waktu: yang satu menghayati, lainnya melompat. Yang satu mendalami, lainnya menerobos. Yang satu merenungi, lainnya memenggal.
***
Suatu saat Umbu mencintai seorang mahasiswi ASRI yang asal Malang (kesaksian Emha Ainun Nadjib, salah seorang muridnya). Umbu tidak pernah memburu wanita itu untuk disentuh dan diperistrikannya.
Umbu cukup puas mendengarkan deru bus jurusan Malang -Jogja yang biasa ditumpangi si cewek saat pulkam. Umbu hanya menikmati nuansa bahwa jalur Malang-Yogya itu paralel dengan jalur cinta yang sedang dialaminya. Cukup baginya untuk menghadirkan kekhusyukan cintanya. Bus-nya tidak penting, tapi 'kota Malang' itu sakral baginya. Ia berkait erat dengan kekasih hatinya.
Mungkin Umbu sedang menjalani cinta model Platonik, cuman dalam bentuk khayalan, dunia yang tak nyata. Dunia yang gegap gempita ini memang tidak nyata bagi Umbu.
Sampai hari ini Umbu mengayomi anak-anak muda belajar menulis puisi, tapi Umbu sendiri menjauhi eksistensi sebagai penyair. Di tahun 1973 puluhan puisinya akan dimuat oleh Majalah Horizon (majalah elit sastra saat itu) tapi Umbu diam-diam masuk ke percetakan, mencuri puisi-puisinya dan menyembunyikannya sampai hari ini. Umbu sangat curiga kepada kemasyhuran dan popularitas.
Bandingkan dgn pemuda2 (yg menggeluti sastra) sekarang. Begitu getolnya ingin secepat mungkin membukukan karyanya (yg ternyata biasa2 saja).
Umbu tiap saat menjauh dari segala sesuatu yang semua orang di muka bumi mengejarnya. Ia menyebut seluruh keputusannya itu dengan idiom 'kehidupan puisi', berpuasa dari kemewahan dan gegap gempita dunia. Ia meninggalkan harta, kekuasaan, wanita, kemasyhuran dan menyimpan uang dalam bungkusan plastik dipendam di tanah.
Kita selama ini sudah berjumpa dengan jutaan orang. Rata-rata mereka adalah orang memperlakukan teman curhatnya sebagai keranjang sampah untuk mengeluhkan dunia, membuang kesedihan, frustrasi, kebingungan dan rasa tertekan oleh keadaan dunia yang menindas mereka. Tapi tidak dengan Umbu, ia bahagia dan khusyu dalam kesunyian dan 'ketiadaan'nya.
Di mana-mana saja pun orang sibuk mengejar dunia, kapan pun orang ribut curhat tentang dunia. Kita dengar sehari-hari, baca di medsos, di mana saja, hampir semuanya adalah tentang keluhan-keluhan tentang dunia: kemiskinan, kesulitan mencari nafkah, susahnya dapat kerjaan, usaha seret, tanggal tuwek, bensin mundak, bojo gak meteng-meteng.
Banyak orang yang kesasar menjadikan dunia sebagai tujuan. Padahal sudah tahu “urip kuwi mung mampir ngombe”. Namanya juga mampir, singgah sejenak, bukan bertempat tinggal. Sudah jelas dunia hanya tempat persinggahan sementara di tengah perjalanan, kok disangka kampung halaman. Kalau tujuan hidup akhirat, terus kenapa harus mengeluhkan dunia!??
***
Salah satu puisi Umbu Landu Paranggi dimusikalisasi di acara Mocopat Syafaat maret 2015
Apa Ada Angin di Jakarta
Apa ada angin di Jakarta
Seperti dilepas desa Melati
Apa cintaku bisa lagi cari
Akar bukit Wonosari
Yang diam di dasar jiwaku
Terlontar jauh ke sudut kota
Kenangkanlah jua yang celaka
Orang usiran kota raya
Pulanglah ke desa
Membangun esok hari
Kembali ke huma berhati
(Diolah (dirangkum) dari http://umbulanduparanggi.blogspot.co.id/ )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar