Ya'opo yo, kalau aku menulis ini nanti dikira membela Cak Nun. Aku cuman mencoba meluruskan kesalahpahaman (walaupun nggak yakin mereka bisa paham, karena fanatisme). Kesalahpahaman yang tidak diluruskan itu menyesatkan.
Juga aku nggak tega hati dengan beliau yang sudah berjuang sejak jaman Orba dibully oleh anak ingusan kemaren sore hanya karena Cak Nun menjadikan junjungan mereka jadi obyek guyonannya. Cak Nun sendiri kalau punya medsos mungkin inbox aku, "Ojok repot-repot mbelani aku le..urusono keluargamu dewe."
Mbuh wis gak ngurus, lebih baik membela daripada membully. Atau bagaimana caranya membela tanpa membully.
Beliau yang begitu gigih memperjuangkan jilbab dimana-mana. Di perusahaan-perusahaan dan di kampus-kampus yang melarang karyawan atau mahasiswinya berjilbab. Sampai begitu pede mementaskan drama kolosal "Lautan Jilbab" (1987), padahal saat itu hanya ada segelintir orang yang berjilbab.
Dan doa beliau terkabul. Lihatlah sekarang hijaber memenuhi penjuru negeri. Nggak cuman lautan tapi samudera jilbab. Cewek anteng, cewek alay, mbokde-mbokde, bahkan metalhead pun banyak yang berjilbab. Tapi sedikit yang tahu siapa pahlawan dibalik kemerdekaan berjilbab.
Cak Nun juga yang datang di tengah peperangan antara orang Dayak dan Madura. Dan sukses mendamaikan mereka. Sempat juga jadi mediator korban lapindo, tapi ujung-ujungnya malah difitnah.
Cak Nun sih cuek saja difitnah, beliau bukan orang yang alergi fitnah. Dan itu yang diajarkan pada anak Maiyah : teruslah berbuat baik, jangan ngurusi penilaian manusia, jadikan Tuhan sebagai satu-satunya audiensmu. Cuman istrinya, Novia Kolopaking, yang nggak tahan. Diapun turun tangan meluruskan. Yaaaa.
Buanyak kalau disebutkan satu persatu kiprah Cak Nun untuk negeri. Tapi nggak usah, percuma, kalau hati sudah membenci akan sulit bersimpati. Dan Cak Nun juga nggak butuh simpati. Dia nggak butuh lover atau umat. Seandainya semua anak maiyah nggak lagi simpati sama Cak Nun, Cak Nun gak ngurus.
Tapi aku percaya itu nggak bakal terjadi. Kenyataannya semakin hari semakin banyak anak muda yang jatuh cinta pada pemikirannya.
Beliau melakukan kiprahnya tanpa pamrih nggak ada urusannya dengan nyaleg, nyagub maupun nyapres. Padahal seandainya Cak Nun bikin Partai, bakalan jutaan orang yang mau jadi pengikutnya. Tapi beliau malah melarang orang mengkultuskan dirinya, "Awas kalau kamu jadi Cak Nun Mania, tak tonyo ndasmu.."
Mendengarkan omongan Cak Nun itu harus dengan hati yang selesai. Bersihkan dulu hati anda dari keberpihakan dan kebencian pada siapa dan apa pun. Karena fanatik cuman membuat hati dan otak tumpul. Ilmu akan sulit masuk. Yang nyantol cuman misuhnya doang.
Sejak dulu style dakwah Cak Nun ya begitu, penuh dengan candaan tapi juga penuh muatan ilmu kehidupan yang dahsyat yang tidak diajarkan di kampus-kampus. Cak Nun sangat lihai bicara, kapan saatnya "maskulin" dan kapan saatnya "feminin". Kapan saatnya ngakak dan kapan saatnya serius. Nggak heran kalau audiensnya betah duduk mendengarkan sampai subuh. Dan itu nyata adanya, karena pengajian beliau biasanya memang sampai pagi.
Banyak tokoh politik atau tokoh agama yang jadi obyek guyonannya. Aku ingat dulu saat Cak Nun menirukan gaya bicaranya Moerdiono, mantan Mensesneg Orba. Bicara dengan mata merem melek, " Saya kira....kita.....harus....mengadaken......hal...yang....kita....." Duarrrr!! Wartawannya mumet keburu dikejar detlain.
Atau saat menirukan suara Mahfud MD yang logat maduranya kental. Juga Gus Dur yang ngorok saat rapat kenegaraan tapi saat disuruh menyimpulkan hasil rapat, kesimpulannya bisa sangat nyambung dengan yang dirapatkan. Aneh bin ajaib.
Wis talah, kalau kamu memahami Cak Nun dengan pemahaman budaya yang mainstream, kamu bakalan bingung, kecewa, atau marah saat tokoh yang kamu kagumi dibuat guyon.
Kalau nonton videonya Cak Nun di youtube, samakan dulu frekuensimu dengan Cak Nun, hayati peristiwanya, kenali siapa yang bicara.
Guyonan Cak Nun itu guyonan rakyat, nggak jauh beda saat aku ngumpul dengan sohibku di kampung. Ada yang menirukan suara seorang anak yang ngomongnya bindeng, "nyanyok anyek anyek, monyok anyu dinyonyon nyanyi, nyonyong ae anyel oconyanye nyanyi..(jancok arek-arek, mosok aku dikongkon nyanyi, ngomong ae angel opo maneh nyanyi.."
Atau saat ngguyoni seseorang yang kakinya pincang, "Arek iku pancen seneng ngenyek pemerintah...lha ya'opo, dalan wis diaspal mulus kok sik dijeglong-jeglongno.."
Tentu itu semua tidak bermaksud menghina kalau kita memahaminya dengan hati yang luas. Itu peristiwa kemesraan antar sesama teman. Nggak jauh beda saat Cak Nun menjadikan Jokowi jadi obyek guyonannya, menirukan gaya berbahasa Inggris Jokowi.
Kalau ada Jokower yang marah besar. Itu karena fanatisme. Juga karena nggak kenal, gagal menyelami Cak Nun dan atau hatinya belum selesai. Tapi yang membuat masalah ini jadi polemik karena video guyonan tadi diframing. Disebarkan kepada para milenial unyu yang nggak sepenuhnya kenal atau bahkan nggak kenal Cak Nun sebelumnya. Maka ambyarlah semuanya.
Kalau Cak Nun sering mengejek Jokowi itu bukan berarti beliau memihak Prabowo. Prabower jangan geer. Kalau kalian kira Cak Nun memihak Prabowo, kalian akan patah hati nantinya. Cak Nun di luar semua itu.
Cak Nun itu ibarat orang yang berada di lantai atas gedung bertingkat dan Indonesia adalah jalan yang macet. Cak Nun bisa tahu dengan jelas, penyebab macet, jalan mana yang bisa dilewati, siapa yang bikin macet dan seterusnya.
Jadi kalau kamu membenci dan membully Cak Nun hanya karena beberapa potongan video Cak Nun mengejek Jokowi, kamu akan rugi besar. Trust me. Belum ada kyai (gelar budayawan itu cuman bungkus) yang seikhlas dan setabah beliau. Difitnah cuek, disantet nggak marah malah bagaimana caranya penyantetnya jangan sampai tahu kalau Cak Nun tahu dia yang nyantet.
Pokoknya "La Ubali" (gak ngurus). Nggak perduli apa pun yang menimpaku, asal Tuhan nggak marah.
Aku pernah sangat mengagumi Jokowi (sekarang pun masih salut). Tukang kayu yang menjelma jadi presiden. Aku sempat buat karikaturnya dan sukses dibajak dimana-mana, dijadikan kaos atau souvenir. Lumayan, karikatur Jokowi tadi banyak mendapat apresiasi(ciee ciee). Membuatku merasa jadi semacam Ksatria Baja Ringan.
Kalau aku sekarang jadi golput, itu bukan karena aku membenci Jokowi atau Prabowo. Tapi karena kecewa, ternyata pembangunan dan semua keindahan yang tampak di negeri ini cuman "screensaver".
Sebelum kenal Cak Nun pun aku sudah golput. Dan setelah kenal Cak Nun jadi semakin mantap golputnya. Pernah sekali datang ke bilik suara, tapi milihnya ngawur. Sopo iku, gak kenal blas.
Aku nggak mau jadi bagian dari "kebusukan" negara ini. Sudah jadi rahasia umum kalau dibalik itu semua, ada intrik dahsyat para mafia pembangunan yang karena ulahnya tidak sedikit rakyat yang terusir dari tanahnya sendiri, sekarat dan mati karena limbah dan asap cerobong-cerobong PLTU yang angkuh berdiri.
Kalau begitu caranya mending nggak usah mbangun-mbangun. Karena dalam agamaku membunuh satu orang muslim tanpa alasan yang dibenarkan, sama dengan membunuh umat muslim seluruhnya. Sudah aku tulis kemarin.
Buat apa makmur kalau ada yang menangis akibat kemakmuran itu. Memangnya kalau tidak ada jalan tol, MRT atau gedung-gedung tinggi, negeri ini akan tertinggal dan nggak makmur?
Jangan salah paham, aku tidak anti pembangunan. Juga aku tidak membenci Jokowi. Dia hanya korban. Buat apa aku membenci Jokowi (atau siapa saja). Bahkan iblis pun tidak aku benci. Semuanya punya peran dalam kehidupan. Kebetulan iblis berperan sebagai antagonis. Dia nggak punya pilihan, pilihannya cuman berbuat buruk. Lucu kalau iblis tobat dan jadi mualaf.
Sementara itu saja dulu. Kesel nulise. Kalau ada komen reseh yang mempermasalahkan soal "bos" dan "buruh" nggak aku gubris. Karena soal itu sudah kutulis kemarin. Cari sendiri di wall-ku.
-Robbi Gandamana-