Kamis, 30 Mei 2019

Cak Nun : Jangan Mengajak Orang Berbuat Baik



Aku nggak akan nulis kehidupan pribadi atau laku spiritual Cak Nun. Wis akeh sing nulis. Sampek apal aku. Kalau ada ujian pelajaran Maiyah soal Cak Nun, mungkin nilaiku seratus (lambemu).
Bagiku yang paling asyik dari Cak Nun adalah pemikirannya yang revolusioner. Ngomong sak ngomong mesti dadi quotes mbois. Kata-katanya simpel tapi dalam. Salah satunya saat beliau bilang dengan wajah serius, "Jangan mengajak orang berbuat baik!"
Tentu saja orang yang nggak biasa mendengar omongan Cak Nun langsung berkeringat dingin, darah rendahnya kumat. Tapi dia bergas lagi, setelah nyaris semaput. Ternyata kalimat ajakan tadi masih ada terusnya, belum selesai. Kalimat berikutnya ".....tapi beritahu nikmatnya berbuat baik." Oala swemproel.
Orang sekarang memang sukanya ngajak yang sifatnya sok ngajari, tapi sama sekali tidak disinggung nikmat atau indahnya yang diajarkan tadi. Ngajak anak kecil sedekah tapi tidak dikasih tahu indahnya berbagi. Ngajari bangun pagi tapi nggak dikasih tahu manfaatnya. Mengajak berbuat baik tapi cuman ditakut-takuti neraka. Yo abot Ndes.
Tiap hari di medsos kita temui banyak orang yang sok ngajar-ngajari, termasuk aku. Nggak heran kalau banyak orang yang keluar dari grup WA karena nggak tahan dengan temannya yang mendadak jadi ustadz. Hampir tiap hari posting soal agama ---> "Bahwa sesungguhnya Nabi itu bla bla bla bla....kolu maa antum bahlulun."
Medsos itu bukan TPA atau pondok pesantren. Tidak semua orang punya minat, selera, mood, atau iman yang sama denganmu. Juga tidak semua orang di grup itu muslim. Muslim pun nggak semua alim. Sharing soal ayat, hadits atau dalil itu bagus, tapi kalau tiap hari dijejali ayat yo pecah ndase.  
Orang sekarang itu begitu haus popularitas. Ingin selalu tampil 'yes' dengan status-status bijak. Sok ngajar-ngajari orang. Tapi itu masih okelah. Yang nggak asyik itu hampir tiap hari mencari-cari kesalahan orang lain dan didoakan masuk neraka. Malah kebalikan dari apa yang dilakukan Nabi. Kalau Nabi mencari-cari kebaikan seseorang dan didoakan masuk surga.
Dakwah yang mbois itu memang perbuatan. Kalau cuman omongan ae gampang, akeh tunggale. Saat Islam datang, banyak orang Arab yang masuk Islam bukan karena dikhotbahi Nabi, tapi karena kagum dengan akhlak beliau (disamping juga karena hidayah, tentu saja).
Tapi yo wis lah, sakarepmu rek. Tulisan ini cuman caption dari gambarku. Aku gambar iki mergo melok-melok arek-arek sing ngrayakno Ultahe Cak Nun.
Sugeng ambal ban..eh ambal warso Cak Nun. Semoga tetep istiqomah menemani dan membesarkan hati rakyat. Memberi alternatif cara berpikir yang brilian. Yang sangat membuka pori-pori kecerdasan. Pokoknya ayem hepi....ai kol yu tu infes in mai kantri. Dobollllll.
Eh, tulisannya sedikit ya? Memang. Tulisan sedikit saja sudah mencerdaskan, kenapa harus berpanjang-panjang.
-Robbi Gandamana-

Diakali Wong Arab



Orang modern itu memang ngalem. Sudah tahu kalau puasa itu tujuannya agar merasa lapar, kok minum suplemen agar tidak merasa lapar. Ya'opo se Doel.
Terus ada artikel "Tips Sehat di Bulan Ramadhan". Lha wong puasa itu jalan menuju sehat, lha lapo dikasih tips sehat saat puasa.
Artikel yang lebih cocok itu "Tips Sehat di Bulan Syawal". Karena di bulan Syawal makanan berlimpah. Persediaan kue masih puluhan toples dan kaleng ---walau merk kalengnya kadang jauh berbeda dari isinya. Kaleng Khonguan, isinya kerupuk uli---. Di awal lebaran, banyak orang yang "balas dendam" dengan makan sekenyang-kenyangnya.
Wis gak tips sehat-tips sehatan. Tips sehat untumu. Dilakoni ae. Monggo mangan opo ae sakarepmu, sing penting halal,  tidak berlebihan dan cocok karo awakmu. Kalau makan gorengan menurut ilmu gizi nggak sehat, kalahkan dengan sugestimu. Ngono ae, kok repot.
Semakin kamu merasa "remuk" dalam berpuasa, itu semakin baik. Puasanya kuli bangunan yang berpanas-panasan, itu kwalitasnya jauh lebih dahsyat dari puasanya orang kantoran. Jadi nggak perlu juga "Tips Tetap Bugar di Bulan Puasa". Puasa itu proses olah tubuh menjadi bugar. Berembes-rembes dahulu, berbugar-bugar kemudian.
Tuhan memang sengaja membuat manusia menderita dengan rasa lapar di bulan puasa. Biar kita mencicipi penderitaan orang miskin. Dengan begitu rasa kepekaan sosial akan timbul. Rumuse Simbah --> belajarlah pada penderitaan, maka kamu akan mengerti kebahagiaan.
Puasa itu sengsara, nggak ada yang suka puasa---kalau manusia suka puasa, Tuhan nggak akan ngasih perintah puasa. Kenyataannya manusia itu lebih suka kenyang daripada lapar---. Tapi tetap harus ikhlas dan bahagia menjalankan perintahNya. Sebahagia pakde Jokowi yang bilang, "Aiyem hepi..feri hepi...Ai kol yu tu infes tu mai kantri." Oalaa, kantri ala kantri nogosari. Dobolll.
Puasa juga mengajari kita menahan diri dari makan berlebihan. Ingat ilmu kesehatan tertinggi itu "makanlah saat lapar dan berhentilah sebelum kenyang". Karena orang sekarang memfungsikan lidahnya hanya untuk fungsi kuliner. Tidak pernah dipakai untuk mengenali mana yang cocok untuk tubuhnya dan mana yang tidak cocok. Pokoknya mbadok all the way.
Kalau Nabi saat berbuka makan pembukanya pakai kurma, bukan berarti kurma lebih baik dari buah-buahan di sini. Terus ada hukum kalau makan kurma itu sunnah Rasul. Opo se rek. Lha wong Nabi makan kurma karena kebetulan adanya kurma. Nggak mungkin onok rukem, juwet, kenitu, opo maneh ciplukan.
Di Arab itu jenis buah-buahannya terbatas. Jauh kalau dibandingkan Indonesia yang gudangnya buah-buahan. Lha terus lapo kudu mangan kurmo. Semongko luwih seger Ndes. Diakali wong Arab!
Cinta Rasul iku bagus, tapi ojok dadi ndlahom.
Kita memang sejak kecil diajari berpikir statis, tekstual, harfiah dan semacamnya. Ketika ada hadits "setan dibelenggu di bulan puasa", kita memahami apa adanya : setan dirantai pakai besi. Ndlahom jaya. Padahal maksudnya, di bulan puasa setan dibelenggu oleh puasa (lapar) kita. Karena pusatnya nafsu terletak di perut yang kenyang. Kalau kamu ngacengan, itu karena hobi makan.
Kalau di bulan puasa Tuhan menutup pintu neraka, iku nggak koyok nutup kandang marmut. Di bulan puasa ini pahala benar-benar diobral beratus-ratus persen. Tidur saja berpahala. Jadi kans untuk masuk neraka itu kecil banget. Kalau pahala di bulan puasa itu seumpama air hujan, rintik hujannya yang jatuh dari langit gedenya seember-ember. Pahala melimpah, pintu surga pun terbuka lebar. Iku gawe sing gelem poso. Sing gak gelem yo matio.
Lutju kalau kita memahami ayat atau hadits soal puasa dengan sangat harfiah. Aku mbayangno Tuhan dialog karo Jibril :
Allah : "Bril, tulung nerokone ditutup karo terpal disik...iki arek-arek kate poso,"
Jibril : "Oh inggih Gusti Alloh.."
Allah : "Engkok nek nutup neroko wis beres, konco-koncomu klumpukno.."
Jibril  : "Lho..wonten nopo Gusti Alloh?"
Allah : "Kerja bakti ngrante setan..."
JIbril  : "Siap..!"
****
Adza adza ajza dwech ach.
- Robbi Gandamana (bukan ustadz)-

Etika Lebih Utama daripada Fiqih


Alhamdulillah dapat kiriman buku lagi dari penerbit Noura (group Mizan). Termasuk rezeki iki rek. Zaman sekarang ilmu  itu rezeki yang tidak diakui. Tapi gak popo. Oh iya, kebetulan aku yang nggambar covernya (lumayan yo).
Di dalam buku sederhana ini, Nadirsyah Hosen atau yang lebih dikenal dengan Gus Nadir cukup piawai mengurai kesempitan-kesempitan berpikir. Kyai muda ini memang smart, bekgron keilmuannya nggak diragukan lagi. Pendidikan formal dan non formal dia kuasai dengan baik (baca di Wikipedia, nggolek enake tok ae koen iku).
Gus Nadir di sana cukup gencar mendakwahkan ajaran Islam yang lentur, luwes dan luas. Dan sekarang dia dicap Liberal oleh kaum Nganu. Wis tau. Biasane yo ngono. Kalau mengajarkan keluwesan dicap Liberal, tapi kalau mengajarkan kekakuan dicap radikal. Podo ae. Mending nggak usah cap-capan, dilakoni ae. Sing penting gak ngisruh.
Islam aliran sempit ternyata nggak cuman menjalar di Indonesia, tapi juga menjangkiti Australia. Di buku ini Gus Nadir menceritakan pengalamannya bergaul dengan sesama muslim dari berbagai negara saat menuntut ilmu di kampus ternama di negeri kanguru itu.
Islam itu agama yang dimudahkan, tapi malah dibikin sulit. Purifikasi (pemurnian) yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (pengikutnya disebut Wahhabi) telah menjalar kemana-mana. Di Australia muslim jenis ini biasanya dari Pakistan dan atau negara-negara Timur Tengah. Mereka begitu reseh menyikapi hal yang sederhana, menjadikannya ruwet. Agama jadi kayak militer, kaku mekengkeng.
Misalnya soal halal haramnya makanan atau minuman. Saat acara makan-makan, tamu (muslim) yang hadir masih sempat-sempatnya tanya pada tuan rumah (yang juga muslim), "Ini daging ayamnya beli dimana?", "Yang menyembelih pakai menyebut nama Allah nggak?", "minyaknya pakai minyak babi nggak?", dan seterusnya. Gak sopan blas.
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu harusnya nggak sopan ditanyakan. Mengingat yang bikin acara (tuan rumah) adalah seorang muslim dan yang disajikan pun jelas-jelas daging ayam (halal). Tinggal mbadok ae kok yo leren nggambleh disik.
Aku dulu saat makan siang, makannya di warung seorang Nasrani. Tapi nggak ada pikiran sama sekali untuk nanya proses masak masakannya. Aku percoyo ae. Sakarepmu kono nggorenge karo minyak jelantah opo minyak tawon. Sing penting segone akeh dan murah. Sip wis.
Etika harusnya lebih didahulukan daripada fikih. Menjaga perasaan tuan rumah itu jauh lebih baik. Nabi sendiri selalu berprasangka baik saat dikasih makanan dari non Muslim. Ketika ditanya sahabatnya soal kehalalan makanan pemberian non muslim tadi, Nabi menjawab singkat, "Baca Bismillah dan makanlah." Beres.
Nggak cuman soal makanan. Banyak hal dalam kehidupan sehari-hari yang dibikin rumit dan jadi ribut. Salah satunya masalah klasik mengucapkan selamat Natal. Ternyata sama seperti di sini. Bakalan tiap tahun (sampai kiamat) muslim di negeri ini akan terus ribut mempersoalkan pengucapan selamat Natal.
Padahal mengucapkan selamat itu cuman soal tata krama, interaksi sosial sesama anak bangsa. Sama sekali nggak ada hubungannya dengan teologi. Kalau kamu mengucapkan selamat pada temanmu yang menikah, bukan berarti kamu setuju dengan pilihan pasangan dia. Sesederhana itu.
Islam itu asline agama sing simpel. Dakwah nggak pakai dalil yo iso. Semakin tinggi maqam seorang ulama, malah semakin jarang menggunakan dalil saat berdakwah. Lihat saja Gus Mus. Walaupun sangat paham dalil, beliau sangat jarang ndalil. Ndalil kalau terpaksa. Sing kakean ndalil itu biasane ustadz anyaran, biar terlihat 'yes'.
Menurutku dalil itu melegitimasi kebaikan. Selama kamu berbuat baik, perbuatan baik itu pasti ada dalilnya. Dalilnya bisa sama persis dengan apa yang kamu perbuat atau bisa berupa substansi.
Bermedsos itu nggak ada dalilnya, tapi menyebarkan kebaikan itu ada dalilnya. Jadi nggak masalah medsosan asal untuk kebaikan. Gak pamer ae. Sembarang dipamerno. Akhirnya jadi "bintang porno". Karena memposting sesuatu yang harusnya tidak elok untuk diposting ke publik. Aib keluarga dijadikan status fesbuk. Remuk.
Buku ini cukup oke untuk jadi bahan rujukan. Sing uteke lemot mungkin agak susah menelaah buku ini (termasuk aku), banyak istilah Arab dan atau mengutib kitab-kitab hasil ijtihad ulama terkenal.  Aku lulusan IKIP Ndes. Tapi gak popo rek, kalau ada beberapa yang nggak paham, minimal kamu bisa ambil poinnya yang terpenting.
Wis ngene ae.

-Robbi Gandamana-

Minggu, 19 Mei 2019

Framing adalah Kejahatan yang Sempurna



Bagiku memframing sebuah video agar orang terprovokasi dan membenci tokoh tertentu adalah perbuatan pengecut. Apalagi video yang diframing ternyata video lama, 3 atau 5 tahun yang lalu.

Framing itu sangat efektif bila dishare ke jiwa-jiwa yang dibutakan fanatisme. Semakin fanatik semakin gampang digiring. Maka semakin banyaklah orang yang membenci tokoh yang diframing tadi.  Dan si Tukang framing  terbebas dari segala tuntutan hukum. Padahal sudah membuat tokoh yang diframing jadi terlihat salah dan hina.  

Maka framing adalah kejahatan yang sempurna.

Orang sekarang itu gampang sekali menyimpulkan. Berpikirnya hanya sejengkal. Dengan hanya melihat potongan video atau foto, mereka bisa menyimpulkan panjang lebar. Cuman lihat satu atau dua  foto langsung menyimpulkan, " bla bla bla akhirnya ketahuan topengnya." Topeng monyet?

Ada cerita seorang guru latah yang menulis di papan tulis. Karena menulisnya terlalu ditekan, kapurnya patah dan patahannya jatuh. Dia pun kaget dan spontan teriak, "Kont*l tibo!"

Towengwengwengwenggg. Seisi kelas pun heboh. Seorang siswi anak priyayi yang tebiasa bertutur kata halus langsung menutup telinganya dan bilang, "aku gak krungu lhoo.."

Seandainya itu direkam dan di-share di medsos, bakalan hujan hujatan yang luar biasa dari netizen, "Guru kok cangkeme bosok!", "Cangkem gak tahu dikorai!" dan sebagainya. Padahal mereka nggak tahu peristiwa dan fakta di lapangan, kalau yang dilihat di video itu ternyata orang latah.

Dalam kasus ini, orang latah nggak bisa disalahkan. Yo ngono iku wong latah. Tiap kali kaget langsung keluar teriakan "kelamin". Nggak tahu kenapa. Walau nggak semua orang latah yang ekspresi kagetnya begitu.

Orang latah itu sengsara, apalagi kalau profesinya guru. Saat istirahat siang pergi ke kantin. Ndilalah dia menduduki kursi basah bekas es teh.  Karena kaget bokongnya kena air dingin, dia pun teriak keras, "Temp*k anyep!"

Ajur Jum!

Hidup begitu luas dimensinya. Ada banyak kemungkinan dalam hidup. Ojok kesusu menyimpulkan (apalagi membully) hanya dengan melihat selembar foto atau sekilas video. Atimu burek.

Nanti kalau ada anak yang giginya lumuten, ada noda hijau, mungkin karena obat atau apa. Bisa-bisa dia dikira  titisan Ande Ande Lumut. Wadoh!

Sudah gampang menyimpulkan, fanatik lagi. Fanatisme itu bisa mengerdilkan pikiran. Ilmu akan sulit masuk. Ada sebuah quotes  dahsyat di medsos, tapi ketika tahu quotes itu milik seorang yang dibenci, dia nggak jadi suka. Pikiran dan hatinya ketutupan oleh tokoh yang dia benci. Emane rek.

Makane aku nggak fanatik -fanatikan, biasa ae.

Eling pesene Simbah, jangan berlaku 100% pada kebenaran yang kamu anut, cukup 99% saja. Dengan begitu kamu akan mendapat ilmu yang lebih tinggi. Begitu juga pada Capres, club bola, geng motor, atau apa pun. Nggak usah fanatik 100%, cukup 99 % ae. Biar nggak gampang diprovokasi, diadudomba, digiring ngalor ngidul koyok kebo.

Okelah kalau memang harus membela. Membelalah dengan cara yang elegan. Nggak usah membully, memakai bahasa yang menyakitkan. Ada kemarin Jokower yang marah karena nggak terima presiden Jokowi disebut "buruh" oleh Cak Nun, dia menyebut Cak Nun sebagai Cuk Nan (Jancuk Tenan). Itu khan menyakitkan sebenarnya.

Kalau menurutnya Cak Nun itu payah (karena telah mengejek bahasa Inggris Jokowi), lha terus apa bedanya dengan dia yang menyebut Cak Nun dengan Cuk Nan alias jancuk tenan.  Malah lebih payah dia. Pertanggungjawabannya berat di akhirat.

Banyak orang begitu pongah menulis dengan bahasa bully-an yang menyakitkan. Tanpa berpikir panjang akibat jangka panjangnya. Mereka nggak sadar bahwa jejak digital itu sulit dihapus. Bisa saja dia menghapus tulisan di wall-nya. Tapi tidak dengan jejaknya, karena tulisannya sudah dishare kemana-mana. Mampus kau nak.

Jadi pikirkan dulu sebelum menulis dengan bahasa bully-an. Kontrol emosi. Begitu juga framing video provokatif. Kamu nggak akan dapat apa-apa dari itu semua, kecuali tepuk tangan. Berhentilah main framing-framingan, membuat seseorang jadi terlihat konyol dan hina. Karena setelah itu, penyesalan tidak akan membebaskanmu dari karma.

Understand??

Sementara ngene disik.

-Robbi Gandamana-








La Ubali



Ya'opo yo, kalau aku menulis ini nanti dikira membela Cak Nun. Aku cuman mencoba meluruskan kesalahpahaman (walaupun nggak yakin mereka bisa paham, karena fanatisme). Kesalahpahaman yang tidak diluruskan itu menyesatkan.
Juga aku nggak tega hati dengan beliau yang sudah berjuang sejak jaman  Orba dibully oleh anak ingusan kemaren sore hanya karena Cak Nun menjadikan junjungan mereka jadi obyek guyonannya. Cak Nun sendiri kalau punya medsos mungkin inbox aku, "Ojok repot-repot mbelani aku le..urusono keluargamu dewe."
Mbuh wis gak ngurus, lebih baik membela daripada membully. Atau bagaimana caranya membela tanpa membully.
Beliau yang begitu gigih memperjuangkan jilbab dimana-mana. Di perusahaan-perusahaan dan di kampus-kampus yang melarang karyawan atau mahasiswinya berjilbab. Sampai begitu pede mementaskan drama kolosal "Lautan Jilbab" (1987), padahal saat itu hanya ada segelintir orang yang berjilbab.
Dan doa beliau terkabul. Lihatlah sekarang hijaber memenuhi penjuru negeri. Nggak cuman lautan tapi samudera jilbab. Cewek anteng, cewek alay, mbokde-mbokde, bahkan metalhead pun banyak yang berjilbab. Tapi sedikit yang tahu siapa pahlawan dibalik kemerdekaan berjilbab.
Cak Nun juga yang datang di tengah peperangan antara orang Dayak dan Madura. Dan sukses mendamaikan mereka. Sempat juga jadi mediator korban lapindo, tapi ujung-ujungnya malah difitnah.
Cak Nun sih cuek saja difitnah, beliau bukan orang yang alergi fitnah. Dan itu yang diajarkan pada anak Maiyah : teruslah berbuat baik, jangan ngurusi penilaian manusia, jadikan Tuhan sebagai satu-satunya audiensmu.  Cuman  istrinya, Novia Kolopaking, yang nggak tahan. Diapun turun tangan meluruskan. Yaaaa.
Buanyak kalau disebutkan satu persatu kiprah Cak Nun untuk negeri. Tapi nggak usah, percuma, kalau hati sudah membenci akan sulit bersimpati. Dan Cak Nun juga nggak butuh simpati. Dia nggak butuh lover atau umat. Seandainya semua anak maiyah nggak lagi simpati sama Cak Nun, Cak Nun gak ngurus.
Tapi aku percaya itu nggak bakal terjadi. Kenyataannya semakin hari semakin banyak anak muda yang jatuh cinta pada pemikirannya.  
Beliau melakukan kiprahnya tanpa pamrih nggak ada urusannya dengan nyaleg, nyagub maupun nyapres.  Padahal seandainya Cak Nun bikin Partai, bakalan jutaan orang yang mau jadi pengikutnya. Tapi  beliau malah melarang orang mengkultuskan dirinya, "Awas kalau kamu jadi Cak Nun Mania, tak tonyo ndasmu.."
Mendengarkan omongan Cak Nun itu harus dengan hati yang selesai. Bersihkan dulu hati anda dari keberpihakan dan kebencian pada siapa dan apa pun. Karena fanatik cuman membuat hati dan otak tumpul. Ilmu akan sulit masuk. Yang nyantol cuman misuhnya doang.
Sejak dulu style dakwah Cak Nun ya begitu, penuh dengan candaan tapi juga penuh muatan ilmu kehidupan yang dahsyat yang tidak diajarkan di kampus-kampus. Cak Nun sangat lihai bicara, kapan saatnya "maskulin" dan kapan saatnya "feminin". Kapan saatnya ngakak dan kapan saatnya serius. Nggak heran kalau audiensnya betah duduk mendengarkan sampai subuh. Dan itu nyata adanya, karena pengajian beliau biasanya memang sampai pagi.
Banyak tokoh politik atau tokoh agama yang jadi obyek guyonannya. Aku ingat dulu saat Cak Nun menirukan gaya bicaranya Moerdiono, mantan Mensesneg Orba. Bicara dengan mata merem melek, " Saya kira....kita.....harus....mengadaken......hal...yang....kita....." Duarrrr!! Wartawannya mumet keburu dikejar detlain.
Atau saat menirukan suara Mahfud MD yang logat maduranya kental. Juga Gus Dur yang ngorok saat rapat kenegaraan tapi saat disuruh menyimpulkan hasil rapat, kesimpulannya bisa sangat nyambung dengan yang dirapatkan. Aneh bin ajaib.
Wis talah, kalau kamu memahami Cak Nun dengan pemahaman budaya yang mainstream, kamu bakalan bingung, kecewa, atau marah saat tokoh yang kamu kagumi dibuat guyon.
Kalau nonton videonya Cak Nun di youtube, samakan dulu frekuensimu dengan Cak Nun, hayati peristiwanya, kenali siapa yang bicara.
Guyonan Cak Nun itu guyonan rakyat, nggak jauh beda saat aku ngumpul dengan sohibku di kampung. Ada yang menirukan suara seorang anak yang ngomongnya bindeng, "nyanyok anyek anyek, monyok anyu dinyonyon nyanyi, nyonyong ae anyel oconyanye nyanyi..(jancok arek-arek, mosok aku dikongkon nyanyi, ngomong ae angel opo maneh nyanyi.."
Atau saat ngguyoni seseorang yang kakinya pincang, "Arek iku pancen seneng ngenyek pemerintah...lha ya'opo, dalan wis diaspal mulus kok sik dijeglong-jeglongno.."
Tentu itu semua tidak bermaksud menghina kalau kita memahaminya dengan hati yang luas. Itu peristiwa kemesraan antar sesama teman. Nggak jauh beda saat Cak Nun menjadikan Jokowi jadi obyek guyonannya, menirukan gaya berbahasa Inggris Jokowi.
Kalau ada Jokower yang marah besar. Itu karena fanatisme. Juga karena nggak kenal, gagal menyelami Cak Nun dan atau hatinya belum selesai. Tapi yang membuat masalah ini jadi polemik karena video guyonan tadi diframing. Disebarkan kepada para milenial unyu yang nggak sepenuhnya kenal atau bahkan nggak kenal Cak Nun sebelumnya. Maka ambyarlah semuanya.
Kalau Cak Nun sering mengejek Jokowi itu bukan berarti beliau memihak Prabowo. Prabower jangan geer. Kalau kalian kira Cak Nun memihak Prabowo, kalian akan patah hati nantinya. Cak Nun di luar semua itu.
Cak Nun itu ibarat orang yang berada di lantai atas gedung bertingkat dan Indonesia adalah jalan yang macet. Cak Nun bisa tahu dengan jelas, penyebab macet, jalan mana yang bisa dilewati, siapa yang bikin macet dan seterusnya.
Jadi kalau kamu membenci dan membully  Cak Nun hanya karena beberapa potongan video Cak Nun mengejek Jokowi, kamu akan rugi besar. Trust me. Belum ada kyai (gelar budayawan itu cuman bungkus) yang seikhlas dan setabah beliau. Difitnah cuek, disantet nggak marah malah bagaimana caranya penyantetnya jangan sampai tahu kalau Cak Nun tahu dia yang nyantet.
Pokoknya "La Ubali" (gak ngurus). Nggak perduli apa pun yang menimpaku, asal Tuhan nggak marah.
Aku pernah sangat mengagumi Jokowi (sekarang pun masih salut). Tukang kayu yang menjelma jadi presiden. Aku sempat buat karikaturnya dan sukses dibajak dimana-mana, dijadikan kaos atau souvenir.  Lumayan, karikatur Jokowi tadi banyak mendapat apresiasi(ciee ciee). Membuatku merasa jadi semacam Ksatria Baja Ringan.
Kalau aku sekarang jadi golput, itu bukan karena aku membenci Jokowi atau Prabowo. Tapi karena kecewa, ternyata pembangunan dan semua keindahan yang tampak di negeri ini cuman "screensaver".
Sebelum kenal Cak Nun pun aku sudah golput. Dan setelah kenal Cak Nun jadi semakin mantap golputnya. Pernah sekali datang ke bilik suara, tapi milihnya ngawur. Sopo iku, gak kenal blas.
Aku nggak mau jadi bagian dari "kebusukan" negara ini. Sudah jadi rahasia umum kalau dibalik itu semua,  ada intrik dahsyat para mafia pembangunan yang karena ulahnya tidak sedikit rakyat yang terusir dari tanahnya sendiri, sekarat dan mati karena limbah dan asap cerobong-cerobong PLTU yang angkuh berdiri.
Kalau begitu caranya mending nggak usah mbangun-mbangun. Karena dalam agamaku membunuh satu orang muslim tanpa alasan yang dibenarkan, sama dengan membunuh umat muslim seluruhnya.  Sudah aku tulis kemarin.
Buat apa makmur kalau ada yang menangis akibat kemakmuran itu. Memangnya kalau tidak ada jalan tol, MRT atau gedung-gedung tinggi, negeri ini akan tertinggal dan nggak makmur?
Jangan salah paham, aku tidak anti pembangunan. Juga aku tidak membenci Jokowi. Dia hanya korban. Buat apa aku membenci Jokowi (atau siapa saja). Bahkan iblis pun tidak aku benci. Semuanya punya peran dalam kehidupan. Kebetulan iblis berperan sebagai antagonis. Dia nggak punya pilihan, pilihannya cuman berbuat buruk. Lucu kalau iblis tobat dan jadi mualaf.
Sementara itu saja dulu. Kesel nulise. Kalau ada komen reseh yang mempermasalahkan soal "bos" dan "buruh" nggak aku gubris. Karena soal itu sudah kutulis kemarin. Cari sendiri di wall-ku.
-Robbi Gandamana-

Cak Nun memang "Bos" dan Presiden adalah "Buruh"



Ini serius..
Sebelumnya perlu kalian tahu bahwa saya bukan Jokower, apalagi Prabower. Saya bukan anak maiyah, cuman pengagum maiyah dan Cak Nun sebagai founding father-nya. Dan perlu diketahui juga maiyah itu bukan sekte, Ormas, gerakan politik, atau apa pun. Maiyah cuman majelis ilmu yang berupaya ndadani uteke arek-arek sing rengat alus bla bla bla.
Oke langsung saja. Ini soal pernyataan Cak Nun yang kurang lebihnya menyatakan, "Saya orang yang hina kalau mau mendatangi undangan ke istana. Masa "bos" mau mendatangi "buruh"(beliau tidak memakai kata "jongos' seperti yang dituduhkan selama ini)."
Rupanya banyak Jokower yang ngamuk dengan ucapan Cak Nun di atas yang dicuplik dari secuil rekaman videonya di Youtube (bersama Najwa Shihab, acara Peringatan 2 tahun kasus Novel Bawesdan). Di medsos sudah banyak yang ndase umep kebal-kebul.
Ngene rek, maksud kata "bos" di sini Cak Nun menempatkan diri sebagai rakyat. Karena rakyat adalah juragannya Presiden. Rakyatlah yang membayar Presiden dan segala aparatnya untuk ngurusi atau mengatur negara. Presiden itu cuma pegawai outsourcing negara selama lima tahun. Jadi Presiden itu sejatinya adalah bawahannya rakyat (buruh). Rakyat adalah bosnya.
Makane kalau anda nanti jadi presiden, jangan geer. Jadi kalau ada rombongan presiden (atau pejabat penting lainnya) sedang berada di jalan raya jangan nggaya nyuruh-nyuruh rakyatnya minggir. Anda itu bawahannya rakyat.
Dan pernyataan Cak Nun itu bukan kesombongan. Rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi. Dan yang namanya buruh itu harus melamar dulu untuk ketemu bos. Dan itu terserah-serah bosnya mau nolak atau menerima. Kalau baik ya diterima, kalau mblendes ya nanti dulu.
Makanya negara harusnya yang membuat proposal pada rakyat (pemuda) yang berprestasi. Bukan rakyatnya yang ngemis-ngemis menyodorkan proposal minta dana bantuan. Negara yang butuh orang pintar. Negara harus proaktif hunting pemuda berprestasi. Embuh carane ya'opo aku gak eruh.
Selama ini kita memang "dibodohkan" dengan hirarki kenegaraan. Bahwa presiden adalah kasta paling mulia di atas rakyat. Kenyataannya presiden bukanlah raja dan jangan pernah me-raja-kan diri. Presiden itu petugas administrasi nomer satu di wilayah negara yang dibayar pakai uangnya rakyat.
Aturan negara atau apa pun yang sifatnya protokoler juga kadang malah membuat kita "bodoh". Seperti cerita Cak Nun saat di bandara.
Para petugas selalu menyambut dan mencium tangannya. Setelah itu minta KTP, karena aturannya harus menunjukan KTP. Lho ya'opo se, KTP itu gunanya untuk meyakinkan, kalau data di KTP cocok dengan pemilik KTP. Kalau sudah kenal dan yakin itu Cak Nun, kok masih diminta KTP. Lha terus sing kok ambung tangane iku maeng sopo!?
Kembali ke soal bos dan buruh..
Pernyataan Cak Nun yang tidak mau diundang ke istana pun dihubung-hubungkan dengan foto Cak Nun saat bersama Soeharto di istana.
Ngene rek. Foto Cak Nun dan Soeharto itu ceritanya saat Cak Nun diminta Soeharto untuk jadi guru ngaji pribadinya. Tentu saja Cak Nun nggak bisa menolak kalau menyangkut soal agama. Kalau soal agama tidak ada istilah "buruh" dan "bos", buruh boleh jadi imam shalatnya bos. Ini soal syiar Islam dan itu jelas bukan karena memihak rezim Orba.
Cak Nun sendiri adalah salah satu pengkritik Soeharto. Tapi soeharto tidak marah. Karena tahu Cak Nun adalah orang yang ikhlas, tidak haus kekuasaan dan bukan pengikut partai politik manapun. Terbukti setelah Soeharto lengser, gaya hidup Cak Nun nggak berubah blas. Sederhana.
Setelah Soeharto lengser Cak Nun malah menjauh dari hiruk pikuk dunia politik dan lebih intens mengadakan shalawatan dimana-mana, ngajari anak-anak muda agar tidak mengulangi kesalahan-kesalahan para orang tua pada negara. Karena negara ini tidak sedang baik-baik saja. Sakit tapi tidak merasa sedang sakit dan tidak tahu obatnya. Pokoke asyik ae lah.
Jadi kedekatan Cak Nun dengan keluarga Cendana nggak ada hubunganya dengan politik atau kekuasaan. Urusane cuman ngajari ngaji. Hasilnya juga lumayan. Soeharto tobat dan sempat naik haji. Yang dulu agamanya Islam Jawa jadi Jawa Islam.
Cak Nun pula yang ikut membujuk Soeharto segera lengser (tapi nggak diakui oleh bangsa ini, malah Amin Rais yang diakui bla bla bla). Soeharto pun lengser dan tidak lari ke luar negeri. Karena Soeharto sudah tobat. Biasanya presiden yang dilengserkan akan lari ke luar negeri menghindari hukuman. Tapi Soeharto tidak, dia ikhlas dihukum. Sayangnya nggak ada yang berani menghukum. Lha wong pancen ReformAsu.
Ya kira-kira begitu..
Kalau ada foto Cak Nun bersama HTI atau pengikut Capres 02 itu wajar. Cak Nun itu sesepuh. Beliau merangkul semuanya. Nggak cuman HTI yang dirangkul, Banser, Ansor, Syiah, Ahmadiyah, anak punk pun dirangkul. Koruptor pun juga dirangkul.
Bukan membenarkan tindakan koruptor, tetapi menemani hatinya, menasehatinya layaknya sesepuh. Penjahat paling kakap pun juga manusia yang masih punya kesempatan untuk tobat.
Omongan Cak Nun memang hanya cocok ditujukan untuk anak Maiyah (pada saat acara Maiyah). Jadi kalau omongan itu keluar di Youtube, Anda harus menyamakan frekuensinya dengan suasana saat Cak Nun ngomong. Kalau tidak, mumet ndasmu.
Interprestasinya bisa sangat berbeda. Cak Nun bilang 'jancuk' langsung dituduh misuhSing misuh sopolha wong itu peristiwa kemesraan kok, semua orang tertawa gembira, nggak ada yang sakit hati.
"Kata" jangan hanya dilihat dari kata, tapi lihat suasana atau peristiwa saat kata diucapkan.
Di Indonesia masih banyak orang yang belum paham kata, nuansa saat kata diucapkan. Makanya jangan keburu menilai Cak Nun hanya dari secuil rekamannya di youtube.
Kenali orangnya, karakternya, peristiwanya, dan banyak lagi nggak perlu kusebutkan, paling awakmu yo gak paham.
Wis rek.
-Robbi Gandamana-