Minggu, 19 Mei 2019

Cak Nun memang "Bos" dan Presiden adalah "Buruh"



Ini serius..
Sebelumnya perlu kalian tahu bahwa saya bukan Jokower, apalagi Prabower. Saya bukan anak maiyah, cuman pengagum maiyah dan Cak Nun sebagai founding father-nya. Dan perlu diketahui juga maiyah itu bukan sekte, Ormas, gerakan politik, atau apa pun. Maiyah cuman majelis ilmu yang berupaya ndadani uteke arek-arek sing rengat alus bla bla bla.
Oke langsung saja. Ini soal pernyataan Cak Nun yang kurang lebihnya menyatakan, "Saya orang yang hina kalau mau mendatangi undangan ke istana. Masa "bos" mau mendatangi "buruh"(beliau tidak memakai kata "jongos' seperti yang dituduhkan selama ini)."
Rupanya banyak Jokower yang ngamuk dengan ucapan Cak Nun di atas yang dicuplik dari secuil rekaman videonya di Youtube (bersama Najwa Shihab, acara Peringatan 2 tahun kasus Novel Bawesdan). Di medsos sudah banyak yang ndase umep kebal-kebul.
Ngene rek, maksud kata "bos" di sini Cak Nun menempatkan diri sebagai rakyat. Karena rakyat adalah juragannya Presiden. Rakyatlah yang membayar Presiden dan segala aparatnya untuk ngurusi atau mengatur negara. Presiden itu cuma pegawai outsourcing negara selama lima tahun. Jadi Presiden itu sejatinya adalah bawahannya rakyat (buruh). Rakyat adalah bosnya.
Makane kalau anda nanti jadi presiden, jangan geer. Jadi kalau ada rombongan presiden (atau pejabat penting lainnya) sedang berada di jalan raya jangan nggaya nyuruh-nyuruh rakyatnya minggir. Anda itu bawahannya rakyat.
Dan pernyataan Cak Nun itu bukan kesombongan. Rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi. Dan yang namanya buruh itu harus melamar dulu untuk ketemu bos. Dan itu terserah-serah bosnya mau nolak atau menerima. Kalau baik ya diterima, kalau mblendes ya nanti dulu.
Makanya negara harusnya yang membuat proposal pada rakyat (pemuda) yang berprestasi. Bukan rakyatnya yang ngemis-ngemis menyodorkan proposal minta dana bantuan. Negara yang butuh orang pintar. Negara harus proaktif hunting pemuda berprestasi. Embuh carane ya'opo aku gak eruh.
Selama ini kita memang "dibodohkan" dengan hirarki kenegaraan. Bahwa presiden adalah kasta paling mulia di atas rakyat. Kenyataannya presiden bukanlah raja dan jangan pernah me-raja-kan diri. Presiden itu petugas administrasi nomer satu di wilayah negara yang dibayar pakai uangnya rakyat.
Aturan negara atau apa pun yang sifatnya protokoler juga kadang malah membuat kita "bodoh". Seperti cerita Cak Nun saat di bandara.
Para petugas selalu menyambut dan mencium tangannya. Setelah itu minta KTP, karena aturannya harus menunjukan KTP. Lho ya'opo se, KTP itu gunanya untuk meyakinkan, kalau data di KTP cocok dengan pemilik KTP. Kalau sudah kenal dan yakin itu Cak Nun, kok masih diminta KTP. Lha terus sing kok ambung tangane iku maeng sopo!?
Kembali ke soal bos dan buruh..
Pernyataan Cak Nun yang tidak mau diundang ke istana pun dihubung-hubungkan dengan foto Cak Nun saat bersama Soeharto di istana.
Ngene rek. Foto Cak Nun dan Soeharto itu ceritanya saat Cak Nun diminta Soeharto untuk jadi guru ngaji pribadinya. Tentu saja Cak Nun nggak bisa menolak kalau menyangkut soal agama. Kalau soal agama tidak ada istilah "buruh" dan "bos", buruh boleh jadi imam shalatnya bos. Ini soal syiar Islam dan itu jelas bukan karena memihak rezim Orba.
Cak Nun sendiri adalah salah satu pengkritik Soeharto. Tapi soeharto tidak marah. Karena tahu Cak Nun adalah orang yang ikhlas, tidak haus kekuasaan dan bukan pengikut partai politik manapun. Terbukti setelah Soeharto lengser, gaya hidup Cak Nun nggak berubah blas. Sederhana.
Setelah Soeharto lengser Cak Nun malah menjauh dari hiruk pikuk dunia politik dan lebih intens mengadakan shalawatan dimana-mana, ngajari anak-anak muda agar tidak mengulangi kesalahan-kesalahan para orang tua pada negara. Karena negara ini tidak sedang baik-baik saja. Sakit tapi tidak merasa sedang sakit dan tidak tahu obatnya. Pokoke asyik ae lah.
Jadi kedekatan Cak Nun dengan keluarga Cendana nggak ada hubunganya dengan politik atau kekuasaan. Urusane cuman ngajari ngaji. Hasilnya juga lumayan. Soeharto tobat dan sempat naik haji. Yang dulu agamanya Islam Jawa jadi Jawa Islam.
Cak Nun pula yang ikut membujuk Soeharto segera lengser (tapi nggak diakui oleh bangsa ini, malah Amin Rais yang diakui bla bla bla). Soeharto pun lengser dan tidak lari ke luar negeri. Karena Soeharto sudah tobat. Biasanya presiden yang dilengserkan akan lari ke luar negeri menghindari hukuman. Tapi Soeharto tidak, dia ikhlas dihukum. Sayangnya nggak ada yang berani menghukum. Lha wong pancen ReformAsu.
Ya kira-kira begitu..
Kalau ada foto Cak Nun bersama HTI atau pengikut Capres 02 itu wajar. Cak Nun itu sesepuh. Beliau merangkul semuanya. Nggak cuman HTI yang dirangkul, Banser, Ansor, Syiah, Ahmadiyah, anak punk pun dirangkul. Koruptor pun juga dirangkul.
Bukan membenarkan tindakan koruptor, tetapi menemani hatinya, menasehatinya layaknya sesepuh. Penjahat paling kakap pun juga manusia yang masih punya kesempatan untuk tobat.
Omongan Cak Nun memang hanya cocok ditujukan untuk anak Maiyah (pada saat acara Maiyah). Jadi kalau omongan itu keluar di Youtube, Anda harus menyamakan frekuensinya dengan suasana saat Cak Nun ngomong. Kalau tidak, mumet ndasmu.
Interprestasinya bisa sangat berbeda. Cak Nun bilang 'jancuk' langsung dituduh misuhSing misuh sopolha wong itu peristiwa kemesraan kok, semua orang tertawa gembira, nggak ada yang sakit hati.
"Kata" jangan hanya dilihat dari kata, tapi lihat suasana atau peristiwa saat kata diucapkan.
Di Indonesia masih banyak orang yang belum paham kata, nuansa saat kata diucapkan. Makanya jangan keburu menilai Cak Nun hanya dari secuil rekamannya di youtube.
Kenali orangnya, karakternya, peristiwanya, dan banyak lagi nggak perlu kusebutkan, paling awakmu yo gak paham.
Wis rek.
-Robbi Gandamana-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar