Minggu, 19 Mei 2019

Framing adalah Kejahatan yang Sempurna



Bagiku memframing sebuah video agar orang terprovokasi dan membenci tokoh tertentu adalah perbuatan pengecut. Apalagi video yang diframing ternyata video lama, 3 atau 5 tahun yang lalu.

Framing itu sangat efektif bila dishare ke jiwa-jiwa yang dibutakan fanatisme. Semakin fanatik semakin gampang digiring. Maka semakin banyaklah orang yang membenci tokoh yang diframing tadi.  Dan si Tukang framing  terbebas dari segala tuntutan hukum. Padahal sudah membuat tokoh yang diframing jadi terlihat salah dan hina.  

Maka framing adalah kejahatan yang sempurna.

Orang sekarang itu gampang sekali menyimpulkan. Berpikirnya hanya sejengkal. Dengan hanya melihat potongan video atau foto, mereka bisa menyimpulkan panjang lebar. Cuman lihat satu atau dua  foto langsung menyimpulkan, " bla bla bla akhirnya ketahuan topengnya." Topeng monyet?

Ada cerita seorang guru latah yang menulis di papan tulis. Karena menulisnya terlalu ditekan, kapurnya patah dan patahannya jatuh. Dia pun kaget dan spontan teriak, "Kont*l tibo!"

Towengwengwengwenggg. Seisi kelas pun heboh. Seorang siswi anak priyayi yang tebiasa bertutur kata halus langsung menutup telinganya dan bilang, "aku gak krungu lhoo.."

Seandainya itu direkam dan di-share di medsos, bakalan hujan hujatan yang luar biasa dari netizen, "Guru kok cangkeme bosok!", "Cangkem gak tahu dikorai!" dan sebagainya. Padahal mereka nggak tahu peristiwa dan fakta di lapangan, kalau yang dilihat di video itu ternyata orang latah.

Dalam kasus ini, orang latah nggak bisa disalahkan. Yo ngono iku wong latah. Tiap kali kaget langsung keluar teriakan "kelamin". Nggak tahu kenapa. Walau nggak semua orang latah yang ekspresi kagetnya begitu.

Orang latah itu sengsara, apalagi kalau profesinya guru. Saat istirahat siang pergi ke kantin. Ndilalah dia menduduki kursi basah bekas es teh.  Karena kaget bokongnya kena air dingin, dia pun teriak keras, "Temp*k anyep!"

Ajur Jum!

Hidup begitu luas dimensinya. Ada banyak kemungkinan dalam hidup. Ojok kesusu menyimpulkan (apalagi membully) hanya dengan melihat selembar foto atau sekilas video. Atimu burek.

Nanti kalau ada anak yang giginya lumuten, ada noda hijau, mungkin karena obat atau apa. Bisa-bisa dia dikira  titisan Ande Ande Lumut. Wadoh!

Sudah gampang menyimpulkan, fanatik lagi. Fanatisme itu bisa mengerdilkan pikiran. Ilmu akan sulit masuk. Ada sebuah quotes  dahsyat di medsos, tapi ketika tahu quotes itu milik seorang yang dibenci, dia nggak jadi suka. Pikiran dan hatinya ketutupan oleh tokoh yang dia benci. Emane rek.

Makane aku nggak fanatik -fanatikan, biasa ae.

Eling pesene Simbah, jangan berlaku 100% pada kebenaran yang kamu anut, cukup 99% saja. Dengan begitu kamu akan mendapat ilmu yang lebih tinggi. Begitu juga pada Capres, club bola, geng motor, atau apa pun. Nggak usah fanatik 100%, cukup 99 % ae. Biar nggak gampang diprovokasi, diadudomba, digiring ngalor ngidul koyok kebo.

Okelah kalau memang harus membela. Membelalah dengan cara yang elegan. Nggak usah membully, memakai bahasa yang menyakitkan. Ada kemarin Jokower yang marah karena nggak terima presiden Jokowi disebut "buruh" oleh Cak Nun, dia menyebut Cak Nun sebagai Cuk Nan (Jancuk Tenan). Itu khan menyakitkan sebenarnya.

Kalau menurutnya Cak Nun itu payah (karena telah mengejek bahasa Inggris Jokowi), lha terus apa bedanya dengan dia yang menyebut Cak Nun dengan Cuk Nan alias jancuk tenan.  Malah lebih payah dia. Pertanggungjawabannya berat di akhirat.

Banyak orang begitu pongah menulis dengan bahasa bully-an yang menyakitkan. Tanpa berpikir panjang akibat jangka panjangnya. Mereka nggak sadar bahwa jejak digital itu sulit dihapus. Bisa saja dia menghapus tulisan di wall-nya. Tapi tidak dengan jejaknya, karena tulisannya sudah dishare kemana-mana. Mampus kau nak.

Jadi pikirkan dulu sebelum menulis dengan bahasa bully-an. Kontrol emosi. Begitu juga framing video provokatif. Kamu nggak akan dapat apa-apa dari itu semua, kecuali tepuk tangan. Berhentilah main framing-framingan, membuat seseorang jadi terlihat konyol dan hina. Karena setelah itu, penyesalan tidak akan membebaskanmu dari karma.

Understand??

Sementara ngene disik.

-Robbi Gandamana-








Tidak ada komentar:

Posting Komentar