Selasa, 31 Desember 2019

Menulis karena Omongan tidak Digubris



Di medsos itu gampang banget dapat predikat "cerdas" selama tulisan-tulisanmu sering di-share banyak orang. Itu yang aku takutkan dari dulu --> dianggap cerdas, mumpuni, pakar. Padahal aku nulis itu untuk menutupi kebodohanku (ojok ngomong sopo-sopo yo).
Aku cuman tahu sedikit tentang sedikit hal. Bukan orang yang tahu banyak tentang banyak hal. Kalau tulisanku di-share banyak orang itu karena  faktor X. Aku nggak pernah tahu kenapa bisa begitu. Aku selalu bingung membaca tulisanku yang dulu-dulu. Kok iso aku nulis koyok ngono iku, entah apa yang merasukiku.
Medsos itu aneh. Yang asli cerdas malah diabaikan. Aku sering membaca tulisan dari seorang yang pakar di bidang yang ditulisnya, tapi kok ndilalah nggak ada yang nge-share. Yang ngelike pun cuman keluarganya. Gak payu. Lha wong tulisane"anyep". Bahasa yang dipakai mirip dengan buku panduan ibu menyusui. Formal banget.
Tapi sebenarnya aku nulis itu karena kalau ngomong sering tidak digubris. Karena di Endonesyah tercintah ini omongan tidak didengarkan kalau dia belum jadi orang hebat. Beda dengan negara-negara mapan yang menghargai pendapat orang. Semua omongan didengarkan untuk mengetahui orang itu hebat atau tidak.
Di sini kalau bukan ahli di bidangnya nggak akan didengarkan. Pernah saat pul kumpul sesama kere elit di angkringan, aku ngomong soal tumbuhan yang bisa berinteraksi dengan sesama tumbuhan, langsung ditertawakan, "alaa raimu.."
Memang terlihat konyol kalau kita ngomong soal tumbuhan tapi kita bukan ahli botani.  Walaupun sebenarnya nggak salah, sudah ada penelitian soal itu. Bahwa tumbuhan itu bisa berinteraksi, tapi tidak bisa berekspresi seperti manusia. Dan tumbuhan akan lebih banyak berbunga atau berbuah bila sering disapa atau dielus-elus. Iki serius rek, masio rodok gendeng.
Bagaimanapun juga menyampaikan gagasan lewat tulisan itu lebih asyik. Kalau lewat omongan biasanya ada yang menyela atau interupsi. Kaet mangap wis dipotong, " koen iku gak eruh opo-opo..menengo."
Banyak orang seperti itu. Inginnya hanya omongannya yang didengar, omongan orang lain gak dianggep. Menyebalkan ngobrol bersama orang jenis ini, yang selalu berusaha mendominasi pembicaraan. Yang lain dianggap gemblung.
Tapi menulis juga tidak selalu dibaca. Nggak masalah. Yang penting puas bisa mengeluarkan unek-unek. Tidak semua orang bisa mendapatkan "kemewahan" seperti itu. Banyak orang yang ngomong nggak dianggep, mau nulis tapi gak iso nulis. Iso nulis tapi ganok sing moco. Wasyuok.
Bagiku menulis di medsos atau situs opini itu bukan soal benar atau salah. Selama tidak menyinggung sara. Kalau memang salah ya monggo dikoreksi. Lebih baik jangan komen yang meremehkan kayak "ngoceh opo se iki..", "iki opo se.." .
Nek gak bakat komen asyik mending ojok komen. Aku sudah unfriend beberapa orang yang sukanya komennya seperti itu. Dijarno-jarno kok suwe-suwe dadi langganan. Langsung unfriend. Jarno ae, teman di medsos itu kebanyakan cuman virtual, nggak benar-benar teman, gak iso diutangi. Walau ada yang jadi teman beneran sih.
Menulis itu juga seni. Dan tulisan yang indah itu tidak selalu ditulis dengan menggunakan ejaan yang disempurnakan (EYD). Pakai bahasa alay pun bisa indah. Asal bukan bahasa rumput. Tulisan yang terlalu taat EYD itu cuman membuatku ngantuk. Kayak membaca makalah zaman kuliah dulu. Tahu khan, menyebalkan.
Omong kosong soal "menulis yang benar" yang diajarkan di kampus itu masih saja membuatku neg. Aku memang nggak waras. Setidaknya aku sudah melewati masa-masa konyol itu. Bikin makalah yang hampir seratus persen nyontek dari makalah mahasiswa lama. Aku nggak bangga sama sekali.
Menulis di medsos atau situs opini memang bukan hal yang keren. Tapi setidaknya aku melakukan sesuatu yang positif. Jangan remehkan tulisan. Kurasa nggak berlebihan kalau tulisan yang inspiratif bisa saja mengubah dunia.
Aku ingat pertama kali tulisanku di-share jutaan orang ketika menulis pemikiran Cak Nun "Surga Itu Nggak Penting". Di-copy paste dimana-mana dengan nama penulis yang bukan aku. Ada yang tercerahkan, ada pula yang tersesat, dan banyak juga yang marah. Sampai-sampai judulnya kuganti.
Orang yang marah itu yang cara berpikirnya lurus-lurus saja. "Surga Nggak penting"  itu cuman ungkapan orang dengan level keikhlasannya yang tinggi. Ibadahnya hanya terfokus pada Tuhan. Surga dan neraka itu bias bagi mereka. Surganya tetap penting. Maksudnya kalau yang diinginkan hanya Tuhan dan mendapatkanNya, otomatis dapat surga.
Tulisanku yang lain yang cukup menggegerkan dunia adalah "Gantungkan Cita-citamu Setinggi PNS". Ribuan orang mengelu-ngelukan aku. Tapi sejuta lainnya  misuh berjamaah. Mereka-mereka yang tidak berjiwa besar menerima perbedaan. Aku pun kapok menulis seperti ini.
Saiki ya'opo carane nulis opini yang membuat semuanya hepi. Walau itu nggak mungkin. Hidup yang hanya sejengkal ini sayang kalau dibiarkan berlalu begitu saja. Dan aku menulis tidak untuk tujuan popularitas (fuck populer). Aku hanya mencoba mengisi hidupku seasyik mungkin. Entah itu nulis, gambar atau apa saja.  
Ya begitulah. Gagasanku memang sinting secara intelek. Tapi kalau nggak begitu itu bukan aku. Aku bukan rektor. Bukan pula kepala sekolah.
Jadi sekarang kalau omonganmu tidak dianggap penting, tuangkan saja lewat tulisan. Tunjukan pada orang-orang  kalau kamu bukan makhluk menyedihkan yang pernah diciptakan Tuhan.
-Robbi Gandamana-

Antara Rezeki, Perang Ojol, dan Teflon


Dunia bisnis itu memang keras. Hukum rimba berlaku. Siapa yang lemah dilibas. Apalagi orang sekarang itu diam-diam nggak percaya kalau Tuhan itu Maha Pemberi rezeki. Rezeki disamakan dengan ilmu eksak, kalau dua ditambah dua hasilnya pasti empat.
Aku tidak sedang membahas atau mengajari bisnis pada Anda semua. Aku nggak paham bisnis. Aku wonge gak isoan. 
Capek-capek nggambar nggak dibayar, manut saja. Padahal ada perjanjian bisnis di awal. Aku nggak masalah, aku nothing to lose saja. Lha wong masalahnya nggak sama aku, tapi sama yang di atas.
Tapi memang lebih baik jangan meremehkan janji. Aku gak meden-medeni rek. Karena sengsaranya saat di akhirat. 
Waktu akan masuk surga distop oleh malaikat, " Sik Ndes, raimu kok rembes yo...Woala lha awakmu duwe tanggungan utang sing durung kok bayar. Ayo adus nang neroko disik, rong taon.." Dan kamu pun lemes, "Benci aku!"
Sekarang ini bisnis ojek online sedang berjaya. Ini karena sifat dasar manusia itu pemalas. Inginnya apa-apa dilayani tanpa repot beranjak dari tempat tidur. 
Ingin ini itu tinggal pencet henpon. Aku gak ngenyek lho rek, soale aku dewe yo ngono. Memang sudah zamannya, wis wayahe.
Screen culture sedang melanda dunia. Sekarang ini 80% hidup manusia ada di depan layar henpon. Makanya kebutuhan manusia sekarang itu sandang, pangan, papan, dan pulsa. Nggak ada pulsa stres, misuh-misuh, menyalahkan Jokowi.
Manusia sekarang itu males, bagaimana caranya mengerjakan apa pun tanpa berkeringat. Memerah susu sapi sekarang pun pakai mesin. Tinggal colok, ember pun penuh susu segar. 
Bahayanya kalau alat ini sampai ke tangan orang yang otaknya mesum. Bakalan dipakai onani. Alat pemerah susu ini otomatis, mesinnya nggak akan mati kalau belum dapat lima liter. Lemes jaya. 
Adza adza ajza dwech ach.
Ngomong soal bisnis ojek online. Jadi ingat kejadian kemarin, saat Gojek dan Grab protes sama Maxim. Karena mematok harga rendah yang dianggap mateni pasar. Kantornya digeruduk dan disegel.
Oala Xim Ximm, koen iku loh kok apes tenan. Baru kemarin buka lapak, sudah kena masalah.
Gojek dan Grab protes karena takut konsumennya lari ke Maxim. Ketakutan yang wajar, nggak bisa disalahkan. Karena cara berpikir orang modern itu sangat realistis. Bahwa yang laris itu yang lebih murah. Padahal nggak selalu begitu.
Aku tidak membela atau menyalahkan siapa-siapa. Semua bisa salah dan bisa benar. Kebenaran itu relatif. Tergantung sudut pandang, jarak pandang, cara pandang dan pandang pandang yang lain.
Sebenarnya wajar kalau Maxim lebih murah, karena masih masa promosi. Walau itu menyalahi aturan soal tarif minimum yang sudah ditetapkan pemerintah. Harusnya dikasih tenggat waktu untuk promosi (sudah ya? aku gak eruh). 
Kalau baru buka harganya sama dengan ojol lain yang sudah punya nama, yo merongos. Maxim belum populer. Maxim what? bukan teflon khan?
Embuh rek, aku nggak paham-paham amat soal harga. Aku awam soal ngono iku. Aku juga meragukan "persaingan sehat" dalam dunia bisnis. Yang kulihat persaingan sehat di dunia bisnis sudah lama sekarat.
Tapi tenang ae, harga murah tidak berarti membuat konsumen ojol lain berduyun-duyun ke Maxim. Orang biasanya lebih percaya pada yang pioner, sudah punya nama besar dan terpercaya.
Aku sendiri masih setia pada Gojek. Nggak ada aplikasi Maxim di henponku (sori yo mas). Karena memori henpon sudah penuh. Mungkin kapan-kapan aku donlot. Kalau ingat.
Harus diakui Gojek memang yang terdepan. Yang paling kreatif memang Gojek. Sebut saja Goride, Gocar, Gofood, Gopay, Gobox dan Gosend. Gondes nggak termasuk.
Aku punya pengalaman saat makai jasa Gocar. Saat itu aku bawa beras duapuluhlima kilo. Kupikir driver-nya akan sigap membantu ngangkat beras, seperti jamaknya sopir taksi yang langsung ikut membantu ketika tahu penumpangnya bawa bawaan berat.
Ternyata perkiraanku meleset. Si sopir sama sekali nggak ada inisiatif ikut membantu. Dia hanya buka bagasi dan menutupnya kembali setelah aku ngos-ngosan ngangkat beras.
Tapi no problem. Memang membantu ngangkat barang penumpang nggak ada di dalam job deskripsi. Itu cuman soal "roso". Membantu disyukuri, nggak membantu yo ojok diprenguti.
Itu perbedaan antara sopir "beneran" dengan sopir yang sekedar sambilan. Sikap dan mentalnya beda.
Sopir mobil online memang kebanyakan srata sosialnya sudah lumayan. Mereka kebetulan punya mobil nganggur di rumah. Ya akhirnya dikaryakan, lumayan dapat tambahan. 
Jadi secara mental memang beda dengan sopir taksi atau angkutan lain yang kerjaan utamanya memang sopir.
Sori ojok tersinggung yo. Tapi aku percaya driver Gocar yang seperti itu cuman oknum. Banyak driver Gocar yang njawani. Selalu ramah, asyik diajak ngobrol dan nggak pura-pura nggak ada kembalian saat dikasih uang gede.
Ngomong soal rezeki, orang modern memang nggak yakin-yakin amat kalau rezeki itu tidak ditentukan oleh murah atau mahalnya harga, sedikit atau banyaknya saingan. 
Makanya ada oknum tukang tambal ban yang menyebarkan paku di jalanan. Takut kalah saingan. Wedi gak kumanan.
Rezeki itu soal ghaib. Tuhan Maha Tanggung Jawab. Selama kamu ubet dengan kerjaanmu, pasti diberi rezeki. Rezeki tidak akan tertukar. Kabeh keduman. 
Tukang tambal ban tidak perlu mendoakan pengendara motor bannya bocor. Tapi selalu saja ada orang yang mampir, menambal ban motornya yang bocor.
Dokter tidak mendoakan orang sakit, tapi selalu saja ada orang sakit. Tukang gali kubur pun tidak mendoakan orang mati. Juga pembuat peti mati. 
Masak pembuat peti mati doanya begini, "Ya Tuhan semoga besok banyak job membuat peti mati, lagi butuh duit, anak sulung mau masuk kuliah."
Urip iku sawang sinawang. Jangan gampang terpengaruh dan minder kalau kamu masih buruh pabrik. Langsung resign ketika ada yang ngiming-ngimingi gaji gede kalau jadi driver ojek online. Gajinya lebih sip dibandingkan gaji di perusahaan tempatmu kerja.
Jangan gampang percaya. Ada yang berhasil, ada juga yang terpuruk. Kalau cuman sampingan, cari pengalaman, atau ngisi waktu luang itu bagus. Ada nggak sih orang yang sejak lulus sekolah ingin berkarier total jadi driver ojol?
Tapi sakarepmu rek. Iku urusanmu karo keluargamu. Semua profesi itu baik, asal nggak maling. Ojek online juga profesi yang baik, bagi yang cocok dan tahan banting. Kalau pikiranmu cuman bagaimana caranya dapat uang yang lebih banyak, yo remuk Nda. Ngojek bukan kerjaan yang ringan. Butuh stamina yang oke. Kalau gampang masuk angin, jangan nekad jadi driver.
Ada seseorang yang aku tahu kerjanya ojek online. Hasilnya memang lumayan, tapi wajahnya yang dulu fresh sekarang jadi "boros", kulite abang ireng akibat kepanasan dan kehujanan, kelihatan jauh lebih tua dari umurnya, ubannya tumbuh subur menguasai kepala. Tapi tentu saja tidak semua driver seperti itu. Yang tetap segar bugar juga banyak.
Maksudku, banyak yang nggak sadar kalau awet muda itu rezeki yang tidak terbeli.
Kerja jadi karyawan memang nggak menantang, tiap hari ngisi jurnal laporan, dan segala runitas yang membosankan. Tapi kamu masih bisa tertawa, masih sempat medsosan, kerja di dalam ruangan yang ber-AC, swejuk. Bikin awet muda. Terhindar dari panasnya matahari juga polusi asap kendaraan, radikal bebas keparat yang membuat wajah cepat berkarat.
Tapi aku memang orang yang selow sih. Ojok ditiru. Makanya taraf hidupku begini begini saja. Tapi aku nggak ngersulo yo, sing penting hepi. Aku nggak mau kesetanan dalam mencari uang dengan nyambi ini nyambi itu. Kakean nyambi, sampai lupa dengan dirinya sendiri. Lho? Aku iki sopo yo? Seniman opo bisnismen. Mungkin bisnismen yang bergaya seniman.
Jangan sampai stres cari uang. Setelah dapat uang, uangnya buat nambani stres. Lak munyer ae.
Kata Simbah, derajat manusia itu lebih tinggi dari uang. Jangan sampai diperalat oleh uang. Makanya jangan kesetanan mengejar uang, tapi bagaimana caranya uang yang mengejarmu (sori, ini maksudnya bukan MLM). Caranya? ya sedekah. Sedekah nggak selalu pakai uang. Selama kamu membuat bahagia orang tanpa pamrih itu sudah sedekah.
Ketoke kok ndakik ndakik yo tulisan iki. Babah wis. Setuju karepmu, gak setuju urusanmu. Piss.
Zaman sudah berubah, manusia sudah semakin materialistis. Mbiyen witing tresno jalaran soko kulino, nek saiki witing tresno jalaran soko atusan limo.
Sekali lagi, aku tidak sedang menyalahkan atau menyudutkan siapapun. Semua bisa sudut dan bisa siku (opo iku). Protes boleh tapi jangan main kekerasan. Tetap jaga ukhuwah antar ojol. Podo-podo golek duwike. Sing sabar. Insya Alloh munggah kaji.
-Robbi Gandamana-

Senin, 16 Desember 2019

Antara Nadiem dan Anak Kampung

sumber gambar : strategi.id

Aku bukan Jokower (juga Prabower), tapi harus kuakui bahwa menteri pilihan Jokowi memang cadas. Dulu ada Susi Pudjiastuti yang terkenal dengan jargon "tenggelamkan!" Sekarang ada Erick Thohir yang mengosek bersih BUMN dan memasang Ahok sebagai komisaris utama Pertamina. Sip wis, apik Hir!
Para pejabat bedebah nggak bisa tidur tenang lagi. Perlahan tapi pasti akan ketahuan bajingannya. Mungkin akan bernasib sama kayak Ari Askhara, dirut Garuda yang lengser keprabon setelah ketahuan ngutil motor Harley Davidson dan pit onthel Brompton.
Di dunia pendidikan ada Nadiem Makarim yang merombak total sistem pendidikan yang sudah usang dengan kebijakan yang diistilahkan dengan "merdeka belajar". Bagaimana caranya proses belajar bisa membahagiakan guru dan siswa. Sesuai dengan konsep Taman Siswa yang dicanangkan oleh Ki Hadjar Dewantara, mbahe arek-arek.
Belajar itu harus bahagia. Yak opo carane kudu bahagia. Jadi kalau kamu belajar di sekolah tapi tidak membuatmu bahagia, yo muliho ae. Tapi merdeka belajar itu bukan kayak anak yang males belajar di sekolah, akhirnya belajar di mall. Yo gak ngono. Pokoke ojok sampek budal seger mulih rembes.
Yang pasti prestasi seseorang tidak lagi diukur dari nilai ujian nasional. Karena ujian nasional memang tidak menyentuh nilai karakter dan kemampuan kognitif siswa. Negeri ini nggak butuh siswa yang pinter menghafal.
Ojok salah paham. Ujian tetap ada, tapi bukan ujian nasional. Namanya orang belajar harus melewati ujian. Kalau mau hebat yang harus mau diuji. Untuk lebih jelasnya tanyakan ke Nadiem, aku gak eruh.
Tapi aku nggak ngurus rek. Monggo saja menggunakan kurikulum atau sistem apa saja. Sakarepmu Diem. Kurikulum atau sistem apapun tidak mesti bagus atau jelek. Semua tergantung pada orang-orangnya juga.
Kalau aku sih inginnya kurikulum yang membuat siswa bangga jadi masyarakat negara agraris. Bukan kurikulum yang melanggengkan hedonisme. Bukan kurikulum yang ingin menjadikan kita kayak negara China, Singapura, Jerman, Korsel, dan negara mapan lainnya.
Kita adalah kita, bukan mereka. Kita adalah negara agraris, bukan negara industri. Apesnya kita lebih bangga jadi masyarakat industri daripada masyarakat agraris. Profesi petani sudah nggak laku. Petani bukan profesi yang keren dan membanggakan. Semua ingin jadi pengusaha dan atau pegawai negeri.
Virus industrialisasi telah meracuni kota-kota rasa desa atau desa yang sok kota. Banyak sawah yang dijadikan destinasi wisata. Dibangun wahana hiburan. Ladang yang harusnya ditanami tanaman produktif malah ditanami bunga-bunga dari plastik. Dijadikan tempat selfie (eco park) yang istagramable.
Tanah Jawa yang sangat subur ini mulai berkurang lahan tanamnya. Karena orang lebih suka membangun wahana wisata, ruko, perumahan, hotel atau mall. Tidak ada regenerasi petani. Karena jadi petani nggak keren dan labanya kecil. Petani itu rembes, kotor dan mambu. Nggak kiyut kayak bintang pilem Korea.
Teringat pitutur Mbah KH Maimun Zubar yang bilang kalau salah satu tanda-tanda kiamat adalah jika petani nggak mau bertani karena untungnya kecil. Dan itu sedang terjadi sekarang. Persiapan kiamat rek.
Sekarang ini banyak orang yang sok kota dan malu disebut anak kampung. Seolah-olah kampung adalah tempat orang rendahan. Ledekan "kampungan!" jadi ledekan yang merendahkan.
Di negeri ini petani tidak diapresiasi sebagaimana mestinya. Tidak dianggap pahlawan sebagaimana orang menganggap guru sebagai pahlawan tanpa tanda terima. Hari Tani Nasional pun tidak semeriah Hari Guru. Padahal kontribusi petani pada negara juga nggak kalah sama guru. Nggak ada petani, gak mbadok koen Ndes.
Pokoknya aku ingin sebuah kurikulum yang membuat kita bangga pada negeri ini, tidak lupa asal-usul atau siapa kita. Aku nggak tahu bentuk kurikulumnya kayak apa. Aku nggak mau mikir, karena sudah ada yang dibayar negara untuk mikir itu.
Aku memang lulusan IKIP, tapi saat mengikuti mata kuliah soal silabus, kurikulum dan tetek bengek dunia pendidikan perutku langsung mules. Aku anak Seni Rupa, aku hanya ingin nggambar saja.
Well, kita memang payah dalam hal antri, kebersihan, dan banyak lagi. Tapi itu semua karena negara gagal ngasih kesejahteraan pada rakyatnya. Makanya pikiran orang Indonesia itu simpel, nggak berpikir jauh ke depan, pokoknya bagaimana caranya besok bisa makan.
Mereka sangat tahu kalau menebang pohon itu menyebabkan longsor dan bencana yang lain. Tapi perut lapar nggak bisa diajak kompromi.
Di sini orang ngerampok karena memang miskin. Beda dengan perampok di negara-negara besar yang nganggur saja digaji. Di sana membunuh karena ingin eksis atau psikopat. Di sini membunuh karena survive (kere) atau harga diri.
Jadi jangan berpikir linear, kalau negara-negara di luar sana makmur, banyak mall, gedung mentereng, terus kita ikut-ikutan atau mengcopy-paste sistem mereka. Kita punya gaya dan cara sendiri. Kita bukan Amrik, kita bukan Jerman, kita bukan Yunani, kita Indonesia.
Di Barat anak yang semasa kecilnya dididik dengan keras akan jadi psikopat atau pembunuh berantai. Di sini enggak. Tanyakan pada orang-orang tua yang sudah jadi "orang". Bagaimana masa kecil mereka dididik keras, digebuk sabuk, dipukul pakai gagang sapu. Itu tidak membuat mereka trauma, bahkan malah tambah hormat pada orang tua.
Jadi jangan percaya begitu saja dengan ilmu psikologi dari Barat. Kita punya ketahanan dan gen yang berbeda dengan mereka.
Jangan percaya kalau negara kita nggak maju. Maju opo rek. Memangnya ukuran maju itu dilihat dari banyaknya gedung mentereng. Sejak dulu di negeri kita pembangunanya lebih pada membangun manusianya daripada membangun materi dunia. Asline peradaban kita lebih tua dan maju. Mereka junior kita. Ojok kuwalik. Kita merasa tertinggal karena terjangkit virus materialisme.
Embuh wis, panjang kalau diteruskan.
Hidup Petani!
-Robbi Gandamana-

Antara Akal dan Abu Jahal

sumber gambar : artikula.id


Dulu orang yang bertaubat (hijrah; istilah para muslim kagetan) kostumnya nggak langsung berubah seratus persen. Nggak lantas berbaju koko atau gamis plus memanjangkan jenggot. Pokoknya perubahannya hanya pada perilaku, bukan pada baju.
Tapi sejak virus aliran konservatif mewabah di negeri ini, banyak muslim berpenampilan kayak kontes cosplay Abu Jahal. Begitu bertobat, besoknya menjelma Abu Jahal. Bergamis kempling, berjenggot dan kepalanya diuntel-unteli kain atau "ban vespa" (anak maiyah pasti paham).
Kok Abu Jahal?
Karena gamisnya Rasul sedikit berbeda dengan milik Abu Jahal atau kebanyakan orang kaya di Arab abad itu. Punya Rasul nggak sekinclong punyanya Abu Jahal. Karena baju Nabi itu sederhana. Hanya ada tiga setel : yang dipakai, yang disimpan (di lemari ; kalau zaman sekarang), dan yang dicuci.
Makanya jangan terlalu yakin gamismu itu ittiba (meneladani) Rasul. Bisa-bisa malah ittiba Abu Jahal. Karena meneladani Rasul itu nggak lantas jadi Arab. Sing Jowo tetep Jowo. Sing Cino yo tetep Cino. Karena agama bukan soal penampilan, tapi kelakuan.
Islam berkembang dengan pesatnya. Sayangnya berkembangnya tidak ke arah yang lebih cerdas, tapi malah semakin kolot. Harusnya semakin mendalami agama, orang  akan semakin srawung pada sesama dan menghormati perbedaan.  
Tapi sekarang semakin mendalami agama malah jadi ekslusif dan kuper. Orang di luar golongannya dianggap najis.
Dalil dipahami secara harfiah. Misal soal menundukan pandangan pada lawan jenis. Menundukan pandangan itu bukan berarti berpaling atau tidak memandang wajah. Menundukan pandangan kok malah mengesampingkan budaya tegur sapa. Pura-pura nggak tahu. Malah ilang Jowone.
Nggak masalah memandang atau bertatapan wajah, asal hati bertapa, tidak ada muatan syahwat. Beda kalau memandangnya dengan nafsu -----makanya tugasnya hati itu bertapa. Nek diumbar terus, bojo papat ae gak cukup. Keinginan hati itu nggak ada cukupnya---.
Kemarin ada postingan sepasang muslim penganut aliran konservatif mengadakan resepsi pernikahan. Anehnya wajah sang pengantin wanita ditutupi kain sehingga nggak bisa dikenali wajahnya. Alasannya untuk menjaga pandangan dari laki-laki yang bukan mahram, karena istri adalah hiasan. Biar suaminya saja yang berhak "menikmati" hiasan itu.
Maksudnya baik, tapi salah kaprah.
Orang mengadakan acara pernikahan (mengundang banyak orang) itu bertujuan agar khalayak mengetahui dengan pasti  (wajah) bahwa ada pasangan kekasih yang telah resmi menjadi suami istri. Sehingga tidak timbul fitnah saat mereka berduaan di depan publik.
Terus bagaimana khalayak bisa tahu si pengantin wanita kalau wajahnya ditutupi kain . Si pria ini menikah dengan siapa????
Walau nama pengantin wanita ditulis di surat undangan, tapi tetap saja orang butuh bukti otentik yang meyakinkan.
Abad 21 harusnya menjadi puncak kecerdasan manusia.  Sayangnya banyak yang begitu takut menggunakan akal dalam membaca ayat.
Manusia menjadi mahkluk utama karena akal pikirannya. Akal adalah karunia tertinggi dari Tuhan bagi umat manusia, bahkan bagi alam semesta. Hanya manusia yang punya keistimewaan itu.
Semua Nabi dikarunia mujizat yang nggak bisa dinalar dengan akal, tapi sebenarnya akal adalah mujizat yang tertinggi. Bagaimana manusia dengan akalnya menjadikan besi bisa terbang (pesawat terbang). Mengirim pesan, tulisan plus gambar ke orang yang sangat berjauhan hanya dengan henpon.
Akal manusia itu pondasi dasar peradaban. Tanpa akal, kehidupan manusia akan berjalan stagnan. Tidak akan ada penemuan-penemuan. Urip cuman gawe mangan turu koyok wedus.
Jangan pernah melakukan hal apapun tanpa akal. Membaca ayat atau dalil pun harus dengan akal. Dan memang jodohnya kitab suci adalah akal. Makanya kitab suci tidak akan diturunkan pada binatang. Coba saja sodorkan Al Qur'an pada anjing. Pasti anjingnya tersinggung dan misuh, "menungso!"
Akal adalah karunia Tuhan yang paling mulia. Tapi zaman sekarang kata "diakali" malah berubah menjadi kata yang hina. Padahal dalam kehidupan sehari-hari manusia itu kerjaannya ngakali. Beras diakali jadi nasi, pohon diakali jadi meja kursi, kapur dan lempung diakali jadi semen.
Tapi tentu akal harus disinergikan dengan hati. Hasil putusan dari akal harus dipertimbangkan dengan hati. Kadang akal mengatakan iya, tapi hati menolak. Begitu juga sebaliknya. Tanpa perpaduan akal dan hati, manusia akan terombang-ambing dalam kesesatan.
Kalau memahami agama hanya dengan akal saja, manusia bisa jadi ateis. Karena agama itu soal ghaib. Dan akal manusia tidak mampu menjangkau  pengetahuan soal Tuhan. Dengan kata lain Tuhan nggak bisa dibuktikan secara ilmiah. Tuhan hanya bisa dirasakan dengan hati. Itu pun harus dengan hidayah dulu.
Kitab suci itu buku manual agar manusia selamat menjalani hidup sampai akhirat. Dan itu harus dibaca dengan memperdayakan akal. Itulah sebabnya posisi akal itu di atas kitab suci. Seandainya manusia itu diciptakan tanpa akal, nggak akan pernah ada kitab suci. Akal dulu, baru ada kitab suci.
Jadi, alat utama untuk menjadi manusia yang Islami itu adalah akal, bukan Al Qur'an atau Hadits, apalagi kitab-kitab karangan ulama. Tapi karena fanatisme, orang tidak bisa menerima itu,  "Ojok salah! Al Qur'an dulu, baru akal!" Sakarepmu Ndes.
Kalau kamu beli barang eletronik, kamu akan diberi buku manual yang gunanya untuk mengetahui cara menggunakan barang tadi. Tapi seandainya tanpa buku manual pun, orang akan tetap berusaha untuk bisa menjalankannya. Masalahnya adalah itu akan membutuhkan waktu lama.  Karena harus melakukan trial and error berkali-kali.
Zaman dulu sebelum ada kitab suci, orang mencari-cari sendiri siapa yang menciptakan alam semesta ini. Dengan mendayagunakan akal dan nalurinya mereka pun menemukan Dewa, peri, buto.
Berhubung manusia semakin tersesat, akhirnya Tuhan nggak sabar juga, Dia pun menurunkan kitab suci beserta NabiNya.
Seandainya tidak dikasih Al Qur'an atau kitab suci yang lain, manusia yang akal dan hatinya beres nggak akan menyakiti manusia lainnya. Apa berbuat baik harus menunggu kitab suci dulu? Masak agar tidak saling bunuh sesama manusia harus menunggu ada hukum dulu?
Justru perang atau kekacauan di dunia ini dicetuskan oleh orang yang paham hukum. Dan itu disebabkan oleh pertikaian antara agama yang berbeda. Agama datang harusnya mendamaikan tapi malah menyebabkan perang.
Banyak suku pedalaman terpencil yang hidup rukun dan baik dengan sesamanya. Padahal sama sekali tidak paham kitab suci maupun hukum modern. Dan malah merekalah yang sering jadi korban manusia-manusia intelek yang beragama dan mengerti hukum.
Makanya hukum itu rendah. Kamu cuek ketika ada orang jatuh di jalan, itu nggak salah menurut hukum. Tapi salah menurut akhlak. Jadi yang tinggi itu akhlak. Tanpa akhlak yang beres, hukum bisa dimainkan dengan uang dan kekuasaan.
Wis ah.
-Robbi Gandamana-

Rabu, 11 Desember 2019

Simbol Agama Itu Beban

sumber gambar | pepnews.com


Bangga dengan agama yang dianut itu sip. Ke mana-mana menunjukan simbol agamanya. Misalnya memakai kaos atau topi bertuliskan kalimat tauhid. Tapi bagiku pakai simbol agama itu beban. Karena harus menjaga nama baik simbol yang kamu pakai.
Banyak di medsos yang foto profilnya pakai topi bertuliskan "Lailahaillallah" atau simbol sejenis, tapi komennya nyelekit dan menyakitkan hati saat menanggapi postingan orang yang nggak sepaham. Gak mecing blas.
Jangankan pakai simbol agama, aku pakai kaos bergambar Cak Nun saja beban kok. Pernah saat di dalam kereta api yang penumpangnya berjubel-jubel. Di depanku ada seorang ibu berdiri menggendong bayinya karena nggak dapat tempat duduk. Aku bak Ksatria Baja Ringan langsung ngasih tempat dudukku ke dia, "Monggo bulik."
Saat itu aku jadi kayak pemeran protagonis di sinetron "Kere yang Tertukar". Swemprul.
Tapi itu kulakukan bukan karena aku baik, tapi karena aku pakai kaos Cak Nun. Nama baik Cak Nun dipertaruhkan. Juga nama maiyah. Kalau aku nggak ngasih tempat duduk, takutnya ada yang kecewa, "Anak buahe Cak Nun nggateli, onok wong meteng kok meneng ae. Maiyah cap peli."
Aku masih punya satu kaos Cak Nun (sing takok sopo). Gambarnya karyaku sendiri (cie ciee). Dulu sering kupakai kemana-mana, disamping kaos warna hitam favorit. Tapi sekarang sudah nggak lagi. Bukan karena sudah rusak, tapi karena beban. Cak Nun wong alim, sedangkan aku bajingan. Gak mecing, distorsi sekali. Akhire tak simpen ae. Cukup untuk koleksi saja.
Untung Nabi Muhammad nggak ada fotonya. Kalau ada, bisa-bisa dijadikan kaos. Dijual berdampingan dengan kaos Bob Marley. Ke mana-mana pakai kaos tersebut. Bahkan pas ngeden nang toilet. Wadoh.
Btw, dulu sempat booming kaos bergambar Cak Nun. Embuh saiki sik payu opo ora. Gambarku sempat dibajak distro-distro kere yang awam soal hak cipta. Ada yang dengan rileksnya posting (promosi) kaos bergambar karyaku di fesbuk. Padahal aku ada di daftar pertemanan dia. Walhasil aku jadi tahu. Dasar pembajak ndlahom.
Ketika kutegur dianya nggak nanggepi, eh malah ngilang. Embuh sik urip opo ora areke. Mugi-mugi jembaro kubure. Aku se ikhlas ae, sing uwis yo uwis. Tapi ojok dibaleni maneh. Sepak ndasmu..huwehehehe guyon mas.
Kembali ke soal simbol agama.
Aku menjauhi simbol-simbol agama bukan karena minder dengan agamaku. Tapi karena tahu diri.
Cak Nun pernah cerita saat di Suriname, negara yang banyak dari warganya keturunan Jawa.  Ceritanya Cak Nun tanya pada salah seorang dari mereka, "Opo kowe isih Islam? " Yang ditanya pun menjawab serius, "Ojo! Islam kuwi apik, aku ojo Islam. "
Maksudnya dia nggak Islam karena nggak mau merusak citra baik agama Islam karena dia merasa masih belum benar tabiatnya.
Dia adalah contoh orang yang biso rumongso. Bisa jadi dia adalah muslim, hanya saja dia nggak ingin keIslamannya mendapat pengakuan dari orang lain. Cukup Tuhan saja yang tahu.
Kira-kira aku ingin seperti itu. Cukup Tuhan saja yang tahu dengan pasti aku Islam atau tidak. Biarlah agama jadi urusan dapur, nggak perlu dipajang di ruang tamu. Yang penting saat ada tamu datang disambut dengan baik.
Simbol Islam itu banyak jenisnya. Bisa jadi jilbab masuk kategori sebagai simbol Islam. Berani berjilbab, harusnya berani menjaga nama baik jilbab. Kalau mau berbuat hal yang tak senonoh selalu ingat jilbabnya. "Wadoh iyo, aku jilbaban. Gak sido maling rantang wis.. "
Makanya aku nggak pernah memaksa anak istriku berjilbab kalau belum mantep hatinya. Aku hanya tegas kalau soal shalat dan rukun Islam yang lain. Kalau soal jilbab, aku cocok dengan pehamamannya Quraisy Shihab, Gus Dur atau Cak Nun. Beliau-beliau ini tidak pernah memaksa anaknya berjilbab. Soal kenapanya, tanya angsung ke orangnya. Nek aku sing jelasno engkok malah keliru. Pendangkalan aqidah.
Berjilbab harusnya karena Allah, bukan karena disuruh bapaknya atau sungkan dengan lainnya yang pada berjilbab.  Apalagi tugasnya manusia itu cuman mengajak atau mengingatkan, tidak memaksa atau memerintah. Hidayah seratus persen kuasa Allah.
Dan Tuhan bingung kalau kamu berjilbab karena sungkan sama bapakmu, "Karepe opo arek iki..luwih sungkan karo bapake timbangane aku. Asem."
Soal jilbab itu hukumnya wajib atau embuh, aku gak eruh. Kalau tahu pun aku juga nggak akan membahasnya. Bukan kapasitasku membahas soal itu. Tanyakan pada ustadzmu masing-masing. Nggolek enake tok ae koen iku. Kesel nulise Ndes.
Kesimpulannya, bangga itu harusnya pada akhlakmu, bukan karena simbol agamamu. Catet.
-Robbi Gandamana-

Minggu, 01 Desember 2019

Merindukan Zaman di Mana Kaki dan Tangan Digunakan Secara Orisinil



Kemajuan teknologi memang membuat orang manja. Ada orang yang ngamuk saat pesawatnya delay setengah jam, padahal dulu dia naik kapal laut yang bisa sehari semalam sampai ke tempat tujuan. Dan saat sampai di tempatnya langsung lemes. Karena mabuk laut parah.
Zaman dulu saat aku kuliah seni rupa, bikin pamflet  itu nggambarnya pakai kuas, spidol, dan cat poster di atas keras. Kalau nggak di-acc dosen, nggambar lagi diulang dari awal. Swemprul banget. Beda jauh di zaman milenial yang semuanya dikerjakan pakai komputer. Kalau salah tinggal edit.
Teknologi itu sebenarnya angker banget kalau dipikir secara manual (lugu). Kita nulis di henpon dan kita kirim ke orang lain yang jauh di luar kota. Dalam hitungan detik tulisan itu kok bisa nyampai ke orang yang kita tuju. Iku sopo sing ngirim. Kok yo gelem. Terus tulisan iku mlayune liwat endi. Kok bisa nyampai dengan cepat. Seolah-olah henpon itu ada jinnya.
Dulu cuman "say hello" ke teman yang di luar kota saja pakai surat yang tiga hari baru nyampai. Setelah nyampai, menunggu balasannya selama tiga hari lagi. Sabar pol. Hidup dengan cara yang sangat lambat.
Masio metalhead aku yo tau surat-suratan Mblung. Tapi aku nyesel melakukan itu. Bukan karena suratnya tapi karena yang dikirimi surat (cewek) nggak bisa nahan cangkem, cerita kemana-mana. Apalagi suratnya konyol, bukan surat cinta tapi suratnya banyak gambar tengkorak khas anak metal. Akhire aku diisin-isin karo arek-arek. Cok.
Bagi dia mungkin itu hal yang biasa. Tapi bagiku cukup bikin mati gaya. Tiap orang punya standar malu yang berbeda. Orang Eropa bertelanjang dada di pantai itu biasa. Bagi orang Timur itu malu luar biasa.
Tapi aku dapat pelajaran penting dari kejadian itu--> jangan pernah membully teman. Salah satu hal yang tidak mudah dilupakan adalah saat dipermalukan. Seumur hidup akan ingat terus. Walaupun sudah memaafkan, sing uwis yo uwis, tapi nek eling yo tetep misuh. Cok maneh. Ya'opo iki. Ampuni hambamu ya Alloh.
Yo wis lah, off the record. Ojok ngomong sopo-sopo.
Ngomong soal teknologi, generasi lawas iku tangguh sekaligus melas. Tangguh kerena serba manual. Melas karena terbatas.
Dulu saat awal-awal henpon baru keluar, harga pulsa cukup bajingan, mahal sekali. Tapi anehnya, laris manis. Kalau telpon ngomongnya super singkat, tanpa basa basi karena ngirit pulsa, "Halo..wasweswuswosss..nganu yo..weswuswos..sip (langsung matikan telpon)." Nggak cuman buruh yang begitu, bossnya juga sama. Ngirit kabeh.
Harga nomer perdana seharga emas. Bersyukurlah kalau sekarang pulsa murah, wifi gratisan ada dimana-mana. Sebentar lagi pulsa akan gratis.
Sekarang ini kebanyakan orang tidak menggunakan tangan dan kakinya secara orisinil seperti burung yang menggunakan sayapnya untuk terbang. Semua pakai mesin. Mau apa-apa tinggal pencet. Kemana-mana tinggal ngegas dan ngerem.
Makanya sekarang  banyak orang yang kena serangan jantung atau stroke. Karena kurang gerak dan nggak hobi olahraga. Olahraganya dalam bentuk game di henpon atau kompi.
Walau dimanjakan teknologi, kadang-kadang kita rindu melakukan sesuatu yang tradisional. Sekali waktu kita ingin merasakan jalan kaki atau naik sepeda ontel ke tempat yang agak jauh. Atau hal lain yang bisa dibilang kuno.
Kalau soal jalan kaki, aku wis qatam. Dulu saat masih sekolah, 90% kemana-mana jalan kaki. Anehnya, aku bisa bahagia dengan itu. Sekarang jalan kaki dari stasiun Tugu ke pasar Beringharjo Jogja saja sudah meratapi nasib. Mengutuk pemerintah. Menyalahkan Jokowi. Wadoh :)
Konon orang yang sering jalan kaki itu jiwanya lebih kaya. Karena dalam jalan kaki ada proses menghayati, mendalami, merenungi. Kalau naik kendaraan tidak bisa seperti itu. Harus fokus menjalankan mesin. Kalau merenung sedikit bisa nubruk bak truk.
Konon juga pejalan kaki itu perasaane landep, rasa sosialnya tinggi. Karena terbiasa sengsara dan sering melihat (merasakan) kesengsaraan hidup orang miskin dengan dekat. Kalau naik kendaraan melihatnya sambil lalu.
Dulu beberapa kali di jalan dipertemukan dengan para musafir kere yang kehabisan uang.  Mereka curhat sambil mewek minta kemurahan hati (uang). Ketika uangku habis kuberikan, gantian aku sing mewek. Ya Alloh, kok yo dipertemukan karo aku sing duwike pas-pasan. Ngerti nek aku gak isoan. Woalaa kere ketemu kere = kere bersatu.
Eh sik sik..iki sakjane mbahas opo se?
Embuh wis gak ngurus. Ini cuman contoh tulisan Nggedabrus. Jenis prosa baru dari generasi medsos.